Friday, September 28, 2012

Ein Ritter in Der Familie

Ini adalah satu dari 3 peristiwa besar saat saya vacum dari aktivitas nge-blog: Kelahiran anak kedua kami, laki-laki. Siapa yang nggak ingin punya anak laki-laki, tapi buat saya dan Desti apapun yang diberikan Allah, apapun gendernya.

Bukan tanpa sebab, program anak kedua rupanya jauh lebih sulit dari dugaan kita. Merencanakan kehamilan Desti sudah dimulai sejak Desti mendapatkan gelar Master di Berlin, Jerman. Tapi sampai kami pulang ke Indonesia dan berbulan-bulan kemudian, belum hamil juga.

Perlu satu blog sendiri bagaimana akhirnya Desti hamil, sempat konsultasi ke RSCM segala soalnya hehehe. Saya dan Desti tes ini itu. Tapi sebelum semuanya tuntas, Desti sudah hamil. Alhamdulillah!

Saya benar-benar nggak masalah dengan gender si bayi, karena Desti bisa hamil saja perjuangannya lumayan. Tapi, sejak awal Zahra selalu bilang, "Mama, Papa, aku mau adik laki-laki nanti namanya Dzaky." Kami meng-amin-kan sambil berpikir andai saja memiliki bayi semudah membeli laptop, bisa diatur spek-nya mau bagaimana.

Namun Allah menjawab doa Zahra. Sejak proses USG, ibu dokter kandungan langganan kami sudah bilang bayinya laki-laki. "Itu ada kodenya 0-1-0," kata si ibu dokter berjilbab itu sambil menatap monitor. Testikel-Penis-Testikel, demikian dia menjelaskan sebentuk 'angka' yang muncul di layar USG, di bagian selangkangan bayi kami.

Tiba akhirnya pada Senin 23 Mei 2011, sore hari. Desti menghubungi dari telepon dengan nada santai, "Say, aku sudah pembukaan, kamu nyusul ke RS yaaaa." Ada ibu saya memang di rumah, kebetulan sedang liburan menengok cucunya. Saya waktu itu masih jadi Waredpel detikNews, mohon pamit ke Mba Nurul selaku Redaktur Eksekutif dan tancap gas ke RSIA Citra Insani, Parung, Bogor.

Kelahiran anak adalah momen penting buat saya. Maaf, saya bukan tipikal suami yang menunggu di luar ruang bersalin. Bagi saya, itu adalah momen paling genting untuk Desti dan saya harus ada di sampingnya sejak awal. Ikut berlumur bersama darah dan air ketuban, serta tangan yang lecet-lecet dicubit dan dicakar Desti, yang penting saya hadir saat detik pertama anak kami lahir. Saya ada di situ waktu detik pertama Zahra lahir. Saya harus ada di situ juga saat adiknya lahir.

Saat kepalanya nongol saya cuma bilang, "Come on, my boy!" Melihat kepala mungil berlumur darah dan air ketuban. Pukul 21.45 WIB, putra kami lahir, menangis kecil, dibersihkan suster dan saya mendampingi sang bayi. Saya hitung kelengkapan organ tubuhnya, melihat timbangannya 3,6 kg, panjangnya 50 cm. Yang paling penting, saya mengadzani si bayi kecil.

"Siapa nama bayinya, Pak?" tanya suster. Saya menjawab mantap, "Dzaky Ritter Ramadhanny!"

Proses penamaannya tidak sebentar, karena nama adalah doa dari orangtua. Zahra sudah memberikan nama depan, kami cari ejaan yang benar ternyata "Dzaky" artinya cerdas. Nama belakang sudah pasti ikut nama bapaknya, Ramadhanny walaupun bukan lahir saat Ramadan. Kami tinggal mencari nama tengah.

Sejak awal kami berniat nama tengahnya harus dalam bahasa Jerman, untuk mengenang pengembaraan kami di Negeri Bratwurst itu. Tapi, nama Jerman ini kami tidak mau nama Injil dan bukan pula nama tradisional Jerman yang terkait dengan pekerjaan nenek moyang, contoh: Schumacher - Pembuat Sepatu, Fischer - Nelayan, Schneider - Tukang Jahit, Schweinsteiger - Penunggang Babi.

Kami mencari nama-nama bernada ningrat atau kata sifat yang macho. Tadinya mau pakai Stark (Kuat) tapi sudah dipakai untuk nama belakang superhero Iron Man. Di level nama bangsawan ada Der Koenig (Raja) dan Der Prinze (Pangeran). Namun pilihan saya jatuh pada Der Ritter (Ksatria), di situ ada sifat membela yang lemah, berjuang, berani, bertanggung jawab, gentleman, bersifat ksatria.

Und, haben wir ein Ritter in der Familie! Kami punya seorang Ksatria di dalam keluarga kami! Dzaky, 1,5 tahun kemudian tumbuh menjadi bayi yang berotot betis dan lengan kencang. Energinya tidak pernah habis. Aktif sekali dengan motoriknya bagus. Bodinya sebesar sepupunya yang blasteran bule Australia. Saya bersyukur kepada Allah!

Tapi, orang yang paling berjasa dalam kelahiran Dzaky adalah neneknya. Begini ceritanya, rupanya Desti mengalami Ketuban Pecah Dini dan Desti tidak mengerti. Per detik itu menjadi sangat berarti untuk segera membawa Desti ke RS sebelum kondisinya menjadi genting. Ibu saya gitu-gitu juga pernah jadi istri dokter kandungan. Dia mengambil keputusan cepat dengan BERAKTING, agar Desti bisa dirayu cepat pergi ke RS, tanpa panik.

"Ke RS saja yuk sekarang," kata Mama.
"Kenapa sekarang Ma?" kata Desti yang nggak tahu sudah mengalami Ketuban Pecah Dini.
"Kalau sudah begini cepat kok lahirannya," kata Mama, berpura-pura tenang.

Mama ambil Terios kami dan pergi membawa Desti ke RS dalam kondisi cuaca hujan badai! Pas saya sampai RS, hujan itu baru selesai. Pheeeww.... Mom, you were the hero for us!

Sunday, September 2, 2012

Si Cokor Hejo

Saya nyaris tidak pernah ke Bekasi, selain melintasinya dengan kereta Cirebon Expres. Maaf.... Padahal di Bekasi ada rumah Mas Alvin sepupu saya, Wa Dini mamanya Sastri, dan Bi Nia tantenya Desti. Namun, selama bertahun-tahun itu, waktu memang belum mengizinkan.

Makanya, seminggu usai Lebaran lalu, kami memaksakan diri, pokoknya harus bisa ke Bekasi. Karena Wa Dini ke Bandung, kami hanya pergi ke Bi Nia. Ternyata rumahnya belum masuk Bekasi, tapi Pulo Gebang, Jakarta Timur, nyaris Bekasi sih tempatnya.

Itu adalah hari yang menyenangkan, bisa bertemu Bi Nia dan keluarga. Terakhir saya ingat bertemu Bi Nia saat saya dan Desti menikah. Namun, Bi Nia meralat ucapan saya.

"Bukan, kita pertama bertemu waktu menjenguk Aki Ipik (almarhum kakek mertua). Aki Ipik memanggil kamu Si Cokor Hejo....," kata Bi Nia. Saya benar-benar lupa...
"Iya say, kan waktu itu kamu dikenalkan sebagai calon aku. Aki Ipik udah sakit. Kan kamu tanya juga ke aku Si Cokor Hejo itu apa artinya, aku juga nggak tahu kan," Desti menimpali.
"Si Cokor Hejo itu artinya suka traveling, karena kamu ada turunan orang Bogor," Bi Nia mengingatkan.

Wooooowwww! Bertahun-tahun lalu, sebelum saya lebih banyak bertualang, sebelum saya jadi Redaktur Pelaksana detikTravel, Aki Ipik sudah tahu dalam sekali lirik. Apa ini namanya potensi tersembunyi atau apa begitu.

Jadi karena ibu saya turunan Bogor, saya jadi suka traveling begitu? Masa sih? Mesti nanya dulu sama Kang Haris Maulana ini hehehe.

Tapi ini bukan ramalan, saya tahu betul. Karena, saya yakin dalam setiap nama pemberian orang tua, ada doa di sana. Si Cokor Hejo adalah doa Aki Ipik, dan Allah mengabulkannya. Saya pun berjalan-jalan kesana kemari.

Saat mobil kami membelah Tol JORR nan sepi sore itu, di kepala saya terngiang-ngiang ucapan Bi Nia soal Si Cokor Hejo. Yang bisa saya lakukan hanya memberi Al Fatihah untuk Aki Ipik di surga sana.

Saya jarang foto kaki sendiri (ngapain juga...) Tapi untung ada foto Cokor Hejo saya di bekas Tembok Berlin. Kaki kanan saya di bekas Jerman Barat, kaki kiri saya di bekas Jerman Timur. Ini salah satu foto kesukaan saya.

Yang membuat saya sekarang bahagia, saya bertemu dengan banyak Si Cokor Hejo lainnya, mengurus kanal berita detikTravel soal Si Cokor Hejo dan saya ingin berteman dengan banyak Si Cokor Hejo. Saya yakin, banyak Si Cokor Hejo di luar sana, termasuk Anda.