Tuesday, November 29, 2016

Obrolan Taksi Tentang Nasib Pilkada DKI

Landing dari Jerman, hape saya yang punya aplikasi taksi online mati. Jadilah saya pulang naik taksi dari bandara. Si bapak ini rupanya adalah orang yang doyan ngobrol.

"Pulang liburan, Mas?"
"Bukan, liputan seminggu,"
"Oh Mas-nya wartawan yah. Seminggu ditinggal pergi Jakarta rame lho, Mas,"
"Iya nih saya baca di hape juga gitu ya,"
"Islam itu kan rahmatan lil alamin ya Mas. Tapi kok ulamanya nggak rahmatan lil alamin..."
"Kenapa gitu Pak?"
"Masa khotbah Jumat kemarin khotibnya bilang siap-siap Jakarta menghadapi Perang Badar. Yaelah Pilkada DKI kok disama-samain ama Perang Badar,"

Saya terkekeh dengan ucapannya yang ceplas-ceplos. "Kan Ahok menista agama, Pak..."

"Tapi Ahok bisa batal maju nggak, Mas?"
"Nggak sih, penistaan agama nggak masuk UU Pilkada. Kalau Bapak emang ngeliat Jakarta sekarang gimana?" saya iseng bertanya...

"Saya mah orang kecil, Mas. Nggak ngerti politik-politik gitu. Saya cuma ngerasa sekarang hidup saya di Jakarta lebih rileks..."
"Rileks gimana maksudnya?"
"Ibu mertua saya kemaren operasi jantung, pasang ring, biayanya Rp 150 juta..... Saya nggak keluar duit apa-apa,"
"Kok bisa?"
"Kan saya punya KJS.... Orang kaya bayar, orang miskin gratis...."

Ooooh kata yang dia maksud sebenarnya Secured bukan Rileks... "Gara-gara Ahok ya, Pak? Ahok kasar lho pak, emosional, emang enak punya gubernur begitu?"

"Mulutnya emang masalah sih, Mas. Tapi kan Ahok udah minta maaf, udah dibawa ke polisi, udah jadi tersangka. Kok masih dikerjain ya, Mas? Orang mah yang tadinya sebel, lama-lama malah bisa jadi kasian lho ama dia, bener lho. Kenapa sih ini orang digituin terus..."
"Orang yang mana, Pak?"
"Yaaaa kayak saya ama temen-temen saya, kalo sopir ngumpul kan ngobrolin beginian juga,"

"Eh, Mas," celetuk dia tiba-tiba... "Saya ngomong gini bisa jadi berita buat Mas, nggak?"
Dalam hati saya menjawab tidak. Tapi mulut ini berucap, "Kenapa gitu, Pak?"

"Siapa yang mau dengerin suara rakyat kecil kayak saya? Saya mau bicara tapi ke siapa? Saya pengen bilang Islam itu damai dong, Jakarta itu damai dong," kata dia...

Saya menghela nafas..... "Bapak nggak sendirian, suara bapak mungkin mewakili ribuan orang Jakarta lain. Semua juga pengen damai, Pak."
"Mas nyoblos?"
"Saya KTP Depok kan, Gubernur saya Aher," saya kasih cengiran buat si bapak.
Saya menyahut lagi, "Pilkada DKI sekarang enak lho Pak. Ada Agus yang tentara, ada Ahok yang tegas, ada Anies yang pemerhati pendidikan."

"Tapi masa sih kita mesti takluk ama O*** A***," tukasnya.
Waduh... "Pak, nggak semua ulama begitu kan. Masih banyak yang ulama benar dan jujur,"
"Lah tapi dia kan dulu kemana-mana naek ojek, sekarang beuuuh mewah bener hidupnya,"
"Kok Bapak tahu?"
"Kan temen saya tetangganya," jawabnya cepat

"Eh, Mas.... Saya pernah lihat habib turun dari mobil mewahnya.... Pas depan taksi saya,"
"Yang Hummer?"
"Bukan, yang Pajero,"
"Saya sempet kepikiran. Apa saya tabrak aja ya, Mas biar mati. Jakarta mungkin lebih damai kali ya. Saya nggak mewakili siapa-siapa, Mas. Biarin saya ditangkap. Saya malu lihat Islam dirusak..." nada suaranya bergetar.

"Astagfirullah, jangan Pak. Hmmm..." agak bingung juga saya jawab dia.
"Kalau ditabrak, terus dia mati. Terus dinyatakan syahid, terus pendukungnya bergejolak, bapak dipenjara. Kan nambah runyam urusannya.."
"Oh iya ya, Mas. Saya nggak mikir sampe ke sana...."

"Kalau Bapak gelisah melihat situasi, itulah suara hati Bapak, itulah nurani Bapak. Orang bisa ngaku yang paling bener, tapi Bapak yang bisa menilai pake hati nurani Bapak. Hati nurani itu barang langka Pak di Jakarta sekarang. Bapak jaga aja baik-baik hati nurani Bapak..." kata saya.

Dan kami berdua diam......
"Eh Pak, saya keluar di Cilandak ya...."
"Mmmm. Wah ini udah bablas sampai Pasar Minggu, Mas!"

Laaaaahhh.........