Sunday, January 13, 2013

Tucuxi dan Mimpi Anak-anak Habibie

Bangun subuh, baca detikcom rupanya ada berita detikOto, soal Danet Suryatama angkat bicara mengenai mobil Tucuxi. Wow, detikOto sampai dini hari uplod berita. Tapi memang penting banget sih masalah Tucuxi. Saya kali ini bukan mau bicara soal otomotif dan rencana industri mobil nasional, bukaaaan.

Saya tertampar dengan kalimat terakhir Danet, "Siapa menggagalkan mimpi anak-anak Habibie?" Jleeb, rasanya seperti sebuah tikaman di jantung. Habibie, manusia yang satu itu berhasil melambungkan mimpi jutaan anak negeri ini untuk meniru dirinya, mencari pengalaman ke luar negeri dan jadi orang pintar. Serius kawan, manusia-manusia Indonesia yang jenius banyak di luar sana.

Danet, saya harus menghela nafas sebelum melanjutkan kalimat ini, adalah orang kesekian ribu yang tidak dihargai pemerintah bangsanya sendiri. Saya sebut pemerintah, karena kalau urusannya people to people, mereka lebih bisa menghargai orang jenius ini daripada pemerintahnya.

Selama merantau di Jerman, saya sering bertemu dengan orang-orang seperti Danet. Manusia dengan tingkat kecerdasan luar biasa. Mereka ada pada level yang saya sendiri tidak sangka manusia Indonesia bisa sepintar itu. Gila man, orang Indonesia tuh boleh diadu dengan orang paling pintar dari belahan dunia mana pun. Sebel saya kalau melihat pejabat kita merasa inferior kalau ketemu bos perusahaan asing atau pejabat pemerintahan asing. Hari gini masih punya mental bangsa jajahan? Hah, sudahlah!

Balik lagi soal manusia Indonesia jenius. Guru bahasa Jerman saya di Hartnackschule Berlin sampai punya anggapan begini: Semua orang Indonesia datang ke Jerman untuk belajar teknologi. Nggak salah kok, mereka adalah Anak-anak Habibie, generasi muda Indonesia yang belajar aneka ilmu yang dahsyat. Bidangnya sudah aneh-aneh. Lagipula, ngapain sih belajar yang biasa kalau mereka punya otak yang luar biasa.

Ada dua ilmuwann yang saya cukup kenal. Demi menjaga privasi mereka,  kita pakai inisial saja ya. Yang pertama ini adalah Pak H. Bidangnya teknik sipil, namun sangat tinggi ilmunya. Tahu nggak kenapa kontruksi beton buatan Jerman kuat-kuat. Mereka menguji beton konstruksinya diledakan! Blarrr! Dan manusia jenius di balik uji coba beton ini adalah Pak H dan dia adalah satu-satunya orang Indonesia yang ada di badan riset beton itu.

Ada ucapan beliau yang terus terngiang-ngiang di kepala saya. "Mas Fitraya, kalau saya ke Indonesia, nanti saya mau kerja apa?" Persis! Ya Tuhan, bangsa ini belum sanggup menampung anak-anak Habibie yang kepintarannya jauh melebihi para anggota DPR yang terhormat itu.

Orang kedua adalah ilmuwan geofisika, Pak M namanya. Sempat berbakti di Indonesia dan terlibat dalam penanganan Kasus Lumpur Lapindo. Namun rupanya pihak Lapindo tidak butuh orang jujur. Ketika Pak M bicara apa adanya soal kemungkinan human error dalam kasus Lapindo, dia malah didepak. Mendepak orang sejenius ini? Karena kejujurannya? Bangsa kita sudah sakit.

Jerman pun mengambil Pak M. Dia kini menjadi salah satu ilmuwan ternama pada sebuah universitas top di Jerman. Orang Indonesia, saudara-saudara sekalian. Masih banyak orang-orang seperti mereka, bertebaran di seluruh dunia dengan kemampuan luar biasa. Mereka siap membangun Indonesia, tapi tidak ada political will yang serius dari pemerintah Indonesia untuk menghimpun mereka.

Saat saya hendak meninggalkan Jerman untuk pulang ke Indonesia, Pak H dan Pak M cerita ada wadah yang sudah dibikin namanya Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I4). Wah saya ikut girang, daripada menunggu niat baik pemerintah, mending mereka yang jemput bola menghimpun diri. Bayangkan anak-anak Habibie ini di seluruh dunia merapatkan barisan, ingin berbuat sesuatu untuk bangsa.

Tapi, masalah Tucuxi ini seperti pukulan terhadap mimpi idealis mereka untuk menyembuhkan bangsa yang berpikir pendek dan instan ini. Danet, kalau saya tidak salah, adalah bagian dari jaringan I4 ini. Saya hanya bisa membayangkan sakit hatinya Danet.

Saya hanya berdoa......... Ah lagi-lagi saya harus menghela nafas panjang. Please, Danet, Pak H, Pak M dan kalian wahai anak-anak Habibie di segala penjuru planet Bumi, jangan menyerah dengan bangsa ini. Kalau bangsa ini memang kerbau. Cocoklah hidungnya dan bawa ke padang rumput yang hijau, lalu ajari kerbau ini menjadi manusia Indonesia seutuhnya.

Saya hanya mengutip, kalimat pembuka surat terbuka I4 yang dibikin dulu banget waktu deklarasi. Ingat-ingatlah kata-kata ini, ingat-ingatlah mimpi kalian:

Kepada Para Ilmuwan Indonesia Internasional di Berbagai Belahan Bumi
Bahwa sesungguhnya kemajuan dan kemuliaan suatu bangsa tidak terlepas dari penguasaannya terhadap ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi. Kemajuan dan kemuliaan suatu bangsa merupakan kristalisasi keringat dan kerja keras dari bangsa tersebut dalam menguasai, memanfaatkan dan mengamalkan ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi dalam pembangunan bangsanya.


Anak-anak Habibie, kalian adalah pemuda yang disebut Soekarno dapat mengguncang dunia!

Sri Lanka: Di Titik Nol Sebuah Negara

Nampang depan Independence Memorial Hall
Ini masih kelanjutan cerita soal liputan ke Sri Lanka pada akhir Maret sampai awal April 2012 lalu. Usai dari Sri Lanka Expo 2012 dan mengisi perut dengan aneka kari di Harbour Room, Grand Oriental Hotel yang antik, saya masih punya banyak waktu luang sore hari.

Anthony yang jadi pemandu saya menawarkan kami, 4 jurnalis dari Indonesia ini, pergi ke monumen kemerdekaan Sri Lanka. Secara saya penikmat jejak peradaban dan sejarah, saya langsung setuju. Maka jadilah Anthony membawa kami ke kawasan Cinnamon Garden.

Independence Memorial Hall adalah monumen nasional yang sangat penting untuk bangsa Sri Lanka, sekaligus objek wisata menarik untuk wisatawan. Letaknya di jantung Kota Colombo. Kalau kita traveling sendirian, tanya sopir bajaj yang bertebaran di kota ini, mereka pasti bisa mengantar Anda ke taman alun-alun ini.

Karena namanya Hall alias aula, monumen ini memang berbentuk seperti aula dengan banyak tiang dan atap kokoh, namun sengaja dibuat tanpa dinding. Pengunjung bisa masuk dari arah mana saja. pada 28 Maret 2012 sore itu, matahari bersinar terik sekali. Tadinya mau foto narsis lama-lama, eh nggak jadi.

Patung Stephen Senanayake, PM Sri Lanka pertama
Dalam catatan sejarahnya, pada 4 Februari 1948, di lokasi ini menjadi tempat diresmikannya parlemen pertama Sri Lanka oleh Pangeran Henry dari Inggris. Hal itu sekaligus menandai, dimulainya pemerintahan Sri Lanka yang berdiri sendiri, bebas dari kekuasaan Inggris.

Arsitekturnya bukan sembarangan. Aula kemerdekaan ini meniru Mogul Moduwa, ruang perayaan dari Kerajaan Kandy, kerajaan terakhir di Sri Lanka sebelum dijajah Inggris.

Di depan aula ini tegak berdiri patung Stephen Senanayake. Dialah bapak bangsa untuk Sri Lanka, sebagai Perdana Menteri pertama Sri Lanka. Dia menjadi ikon, seperti halnya Soekarno menjadi proklamator Indonesia bersama Mohammad Hatta.

Objek wisata ini menarik untuk dikunjungi karena menjadi titik awal lahirnya Sri Lanka. Tempat ini gratis lho untuk didatangi. Sebagai bonus tambahan, jangan lewatkan Independence Memorial Museum yang terletak di ruang bawah tanah aula kemerdekaan ini. Sayang kami tidak punya banyak waktu untuk melongok isi museum.

Singa, lambang negaranya Sri Lanka
Oh, jangan lupa untuk menikmati relief di langit-langit di dalam aula. Relief ini menceritakan sejarah Sri Lanka tapi dalam periode di luar dugaan saya. Ada relief sebuah gunung. Anthony bilang itu adalah Adam's Peak alias Gunung Sri Pada.

Gunung itu diyakini sebagai tempat Nabi Adam turun ke bumi. Hal itu ditandai dengan sebuah tapak kaki di puncak Sri Pada. Sayang beribu sayang, Adam's Peak tidak ada dalam itinerary saya... Haaaaah ya sudahlah. Anyway, kisah soal monumen ini sudah saya tulis juga untuk detikTravel.

Sri Lanka: Sebuah Pemandangan 175 Tahun

View dari balkon Harbour Room
 Beres liputan Sri Lanka Expo 28 Maret 2012 silam, sambil nggak dapat berita apa-apa juga, saya, kawan-kawan wartawan dan Mba Glory Singapore Airlines memutuskan hengkang dari sana. Hmmm, rupanya panitia Expo sudah menyiapkan tempat untuk kita makan siang: Grand Oriental Hotel. Rupanya bukan tempat sembarangan. Mereka ingin sekalian mempromosikan sebuah tempat yang bisa jadi objek wisata sejarah di Colombo.

Lorong kota tua di York Street
Kolonialisme Inggris di Colombo, Sri Lanka, menyisakan banyak bangunan antik yang memesona wisatawan. Grand Oriental Hotel ini adalah salah satu bangunan antik tersebut. Tempat ini menawarkan suasana makan zaman panjajahan dengan pemandangan Pelabuhan Colombo. Klasik!

Hotel jadul ini terletak di ujung jalan York Street, di kawasan kota tua Colombo. Patokannya gampang, hotel ini bersebelahan dengan Mabes Polisi Colombo dan pintu masuk Pelabuhan Colombo. Kita sempat menikmati lorong-lorong kota tua ini sebelum masuk ke dalam hotel.

Di lobi hotel, ada plakat soal keterangan pembangunan Grand Oriental Hotel. Dibangun dengan duit 80.000 Poundsterling oleh Pemerintah Inggris pada 1835, hotel ini selesai dibangun pada 1837. Artinya, hotel ini sudah berumur 175 tahun, wow!

Untuk menikmati pemandangan terbaik di Pelabuhan Colombo, silakan naik ke lantai 5 hotel ini menuju restoran Harbour Room. Nama tempatnya pas banget. Restoran ini dikonsep dengan suasana restoran di dalam kapal dan punya pemandangan menakjubkan dari Pelabuhan Colombo. Para wisatawan yang berkunjung bisa menikmati buffet atau ala carte tergantung hari kunjungannya.

Yang unik, daftar menu minumannya berbentuk menyerupai peta tua. Sementara, makanan hari ini berkonsep buffet. Begitu melihat buffet-nya, mata saya langsung hijau. Kari! Kari bertebaran di mana-mana! (pakai efek mata berlinang-linang). Saya campur semua di piring, Dhal Curry, Chicken Curry dan Mutton Curry.

Tampak depan Grand Oriental Hotel
Makanan enak sudah di meja, kini saatnya menikmati pemandangan. Meja paling dekat jendela memang menjadi rebutan. Pemandangannya bagaikan layar TV raksasa menampilkan pelabuhan dan laut lepas. Aktivitas bongkar muat kapal, kapal patroli, serta kapal pesiar di kejauhan, hiruk pikuk itu begitu terasa.

Tapi, kita ingin pemandangan yang lebih asyik. Jadi setelah makan, kita melipir ke balkon restoran. Panas hawanya tapi kita bisa menikmati angin pelabuhan, suara kapal pun terdengar lebih jelas dan lebih leluasa untuk mengambil foto.

Di kepala saya langsung terbayang, bagaimana para pejabat kolonial Inggris, dan para landlord pemilik perkebunan teh dahulu bergaul di tempat ini. Pada malam hari, pasti lampu-lampu pelabuhan juga akan tampil dengan cantik. Setelah 175 tahun berlalu, suasanya klasik ini nyaris tak berubah.

Soal suasana makan di Grand Oriental Hotel ini sudah tayang di detikTravel juga kawan-kawan...

Saturday, January 12, 2013

Menjadi Wartawan Detektif - Part 1: Investigasi

Serius, yang membuat saya jadi wartawan, salah satunya adalah gara-gara membaca komik Tintin sewaktu kecil. Bayangan saya, wartawan itu kerjanya mengungkap misteri dan rahasia begitu. Semacam mengungkap Rahasia Kapal Unicorn hehehehe.

Ternyata bayangan itu tidak salah-salah amat. Jurnalisme Investigasi, begitulah istilah umum menyebutnya. Wartawan mengungkap suatu kasus atau peristiwa dengan riset yang sangat detil dan mendalam. Fakta-fakta yang diungkap belum pernah diketahui publik sama sekali. Kalau kata Kasino Warkop, seperti jadi detektif partikelir.

Satu-satunya tempat untuk memuaskan hasrat investigasi itu adalah detikNews, sekarang plus Majalah Detik dan Harian Detik. Kayanya kalau di detikTravel belum ada yang bisa diinvestigasi hehehe, belum lho ya.

Sepanjang karir saya sebagai wartawan, ada sebuah kasus yang saya ungkap, diinvestigasi dari nol, sampai akhirnya jadi ramai se-Indonesia. Pokoknya ini kasus yang menjadi kenangan untuk saya, karena memuaskan hasrat pribadi saya melakukan investigasi sampai tuntas.

Kasus itu adalah Penipu Cantik Selly Yustiawati yang bikin ramai Indonesia pada awal-awal tahun 2010. Hayoooooo pada masih inget nggak kasusnya? Cewek, cantik, masih muda, jago tipu. Saking banyaknya korban sampai mereka bikin grup di Facebook lho.

Kasus ini bermula dari curhatan sepupu saya yang baru saja ditipu jutaan rupiah oleh seorang gadis muda bernama Selly. Nama itu seperti pernah saya dengar, gebetan teman saya yang lain. Saya tanya ke teman saya itu, dan dia bilang, "Wah nipu tuh cewek, untung belum jadian ama dia." Teman saya menyebutkan si gadis penipu mengaku sebagai wartawan Kompas yang liputan di Mabes Polri.

Saya hanya punya satu nama cewek anak Kompas yang liputan di Mabes Polri, dan namanya Sarie bukan Selly. Ketika saya hubungi Sarie, makin kagetlah saya kalau Selly habis menipu para wartawan dan karyawan Kompas. Selly pernah bekerja sebagai resepsionis Kompas, kemudian resign sebelum kasus penipuannya ketahuan.

Yak, sampai sini saya ingin menjelaskan elemen utama yang penting untuk liputan investigasi: INSTING. Ini seperti Spider Sense punya Spiderman gitu. Insting kalau yang saya hadapi adalah sesuai yang bisa bikin geger. Nggak ada sekolahnya sih, wartawan detikcom melatih insting berita melalui diskusi berkelanjutan dengan Pimred saat itu Pak Budiono Darsono dan Wapimred saat itu Arifin Asydhad. Belajar memahami insting mereka dan mencoba melatih sendiri insting berita kita.

Insting saya mengatakan ini kasus bakal bikin ramai. Kapan lagi ada penipu cantik? Saya bawa kasus ini ke Mas Asydhad, beliau berpikir sebentar dan lalu bilang, "Mainkan, Fay! Tapi kamu riset dulu dari awal yang benar."

Saya waktu itu sudah editor detikNews. Masih liputan ke lapangan, tapi separuh waktu di kantor mengedit tulisan kawan-kawan di lapangan. Kalau sudah ada perintah 'Mainkan' itu artinya editor yang ditunjuk bertanggung jawab penuh mengembangkan beritanya dari nol dan memanfaatkan semua asset wartawan di lapangan untuk mengumpulkan data dan informasi. Jadi ruang redaktur itu isinya editor-editor yang pada pegang kasus gitu. Si X fokus sama kasus A, Si Y fokus sama kasus B. Kayak detektif pegang kasus kan jadinya.

Saya memulainya dengan membuka arsip berita, detektif banget kan buka-buka arsip kerjaannya. Selly pernah dilaporkan ke Polda Metro Jaya karena menipu para mahasiswa Universitas Moestopo pada tahun 2006. Wartawan detikcom Amel di Polda dan Didi di Polres Jaksel memberi informasi kalau Selly juga menipu karyawan Hotel Grand Mahakam pada 2009 dan Kompas juga pada 2009.

Informasi awal cukup dan saya yakin dengan pengembangan berita, saya pun siap melepas berita pertama. Saya butuh judul yang sangat catchy dan pilihan saya adalah film Leonardo di Caprio 'Catch Me If You Can'. Si Selly ini mirip banget dengan karakter dalam film itu, muda dan jago tipu. Jadilah judul pertama "Catch Me If You Can, Perempuan Cantik Menipu Lagi"


Pelan-pelan, meja saya yang kosong menjadi penuh dengan corat-coret, tempelan nomor telepon para korban, dan nomor telepon lain, aneka skenario yang mungkin dilakukan Selly dan semua serba Selly ada di meja saya. Satu orang mengarahkan saya kepada orang lain. Mungkin ada sekitar 50 orang yang saya wawancara. Sementara berita tentang Selly semakin banyak yang muncul di detikcom, dari tulisan saya dan tulisan teman-teman yang membantu saya.

Beberapa obrolan dengan psikolog dan kriminolog menyebutkan kalau saya berhadapan dengan orang yang licin, pintar, agak-agak psycho. Bayangkan, Selly mencuri identitas seorang wartawati Kompas sungguhan, mempelajari gerak-gerik, cara bicara, gaya kerja. Selly mengubah dirinya menjadi sang wartawati tersebut, plus membawa-bawa ransel Kompas kemana-mana. Psycho banget nih orang. Saya harus bisa berpikir satu-dua langkah di depan Selly, menebak kemana dia akan pergi.

Isu yang kita mainkan, sukses atau nggak, parameternya satu. Kalau semua media di Indonesia ikutan menulis Selly, itu artinya kita SUKSES. Dari TV, koran, radio akhirnya semua ikut memberitakan Selly. Bahkan Tabloid Nova saja bikin edisi Selly. Wah ketika semua menulis Selly, saya girangnya bukan main. Artinya ruang gerak penipu ini makin terbatas, selain juga merasakan orgasme jurnalistis (istilah apaan nih?!). Maksud saya rasanya puas banget bisa bikin isu yang bisa bikin ramai negara ini yang udah lelah dengan berita politik dan korupsi.

Dari investigasi saya, begini pergerakan Selly: Usai menipu Kompas dia lari ke Depok, menipu di Depok lantas dia lari ke Bogor. Usai menipu di Bogor, dia lari ke Bandung. Nah, ada garis batas yang jelas antara investigasi polisi dan investigasi wartawan. Investigasi wartawan sampai kapanpun tidak bisa menjadi alat penyidikan. Masalahnya dalam banyak hal, wartawan selangkah atau dua langkah lebih maju dari polisi. Kita sudah tahu Selly di Bandung, polisi masih berpikir Selly di Bogor. Hadeeeeuhh.

Satu-satunya cara adalah membujuk agar korban melapor, ini yang paling susah. Kriminolog dan psikolog yang saya wawancarai benar juga. Korban penipuan paling malas melapor ke polisi, ini yang bikin Selly makin merajalela. Saya selalu membujuk para korban agar melapor ke polisi. Tapi walaupun korban malu ke polisi, mereka punya mekanisme sendiri: Bikin grup Facebook.

Selly yang mencari korban lewat Facebook, dilawan para korbannya lewat Facebook juga. Ratusan orang jadi anggota grupnya. Ada korban dan publik yang mau tahu soal perkembangan kasus Selly. Jadinya saya lebih mudah menyebar jejaring informasi lewat jejaring sosial. Setiap hari saya memasang umpan, barangsiapa yang punya info soal Selly akan saya hubungi. Setiap pagi, setiap umpan yang berbalas saya segera hubungi untuk setiap informasi terbaru soal Selly.

Akhirnya, korban yang di Bogor dan di Bandung berani melapor ke polisi. Nah kalau sudah begini kerjaan saya akan lebih mudah untuk mem-push kepolisian menindaklanjuti kasus ini. Akhirnya pada Maret 2010, Selly masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) alias buron. Artinya semua polisi di Indonesia bisa menangkap Selly. Selly lantas menghilang ditelan bumi, tapi saya tahu Selly kabur ke Yogyakarta. Tiarap dan tidak ada lagi kasus penipuan yang muncul. Laporan sumber kepada saya juga menyebutkan Selly muncul di Bali.

EPILOGUE

Setahun setelah Selly menjadi buron, wartawan detikNews di Bali, Gede Suardana memberi tahu Selly tertangkap di Bali. Waktu itu, kasus Selly sudah saya anggap tutup buku sementara waktu. Selly babak dua ini sudah tidak menjadi tanggung jawab saya lagi, tapi sudah dikerjakan ramai-ramai. "Ketangkep juga tuh Fay, Si Selly," ujar seorang kawan.

Akhirnya Selly diadili dan divonis 11 bulan penjara. Tidak lama, tapi semoga itu membuatnya jera dan tidak ada Selly lain di masa depan.

Kalau di film detektif, ini adalah adegan dimana saya kembali ke kantor, menggantung jas dan melempar topi saya. Kemudian duduk dan menaruh kedua kaki saya ke atas meja kerja. Kamera lalu men-zoom in wajah saya, yang lalu berkata, "Case closed!"