Meliput berita kematian itu gampang-gampang susah. Menyelami profesi jurnalis, pasti kita pernah mencicipi yang namanya kasus (baca: liputan) orang mati dibunuh, bunuh diri, mati sebab alami dll.
Waktu gue pertama jadi wartawan, belum kebayang gimana rasanya meliput mayat. Mual nggak ya gue lihat korban pembunuhan? But in fact, ketika akhirnya berhadapan langsung, nggak sempat berpikir untuk mual dsb.
Caranya, gue selalu langsung berkonsentrasi menyiapkan beritanya, karena kecepatan laporan setiap detiknya berarti. Seseram apapun situasinya jadi lupa sendiri, ..... berceceran, ..... bengkak mati tenggelam, ..... pecah, atau ..... terburai . (Cukup segini aja ya detilnya).
My biggest story ever sampai saat ini adalah kasus jatuhnya Mandala Air di Medan, 5 September 2005. Gue yang lagi liput demo di Kedubes AS, langsung bergeser ke Dephub untuk jumpa pers. Ujungnya, Menhub Hatta Radjasa menyediakan 10 kursi untuk wartawan. Gue sign in, nggak masalah siapa yang berangkat, detikcom harus ikut.
Akhirnya emang gue yang dikirim dengan baju yang cuma nempel di badan, dan duit 300 rb dari atm bandara. Gue berangkat bareng keluarga korban dengan Boeing 737-200, model pesawat yang sama dengan yang kecelakaan. Gue berdoa dalam-dalam dan selamat sampai Medan malam hari.
Kamar jenazah RS Adam Malik sebenarnya hanya sedikit lebih kecil dari RSCM, tapi 100 lebih jenazah ditaruh di situ. Nggak muat pastinya. Pihak rumah sakit pasang tenda besar, 100-an jenazah yang kebanyakan hangus dalam posisi duduk, dijejer rapi dan diberi nomer.
Bau? jelas bau hangus. Jijik? nggak sama sekali. Gue malah kasihan ama keluarga korban yang udah histeris. Gue cuma minta masker ama tim forensik, dan mulai berburu ratusan calon berita di hadapan gue. Malam pertama situasi sangat kacau, plus hujan. Gue masih ingat injak jaringan kulit entah siapa yang terjatuh di lantai. Gue cuma minta maaf dalam hati.
Yang nyebelin, pusat data ditaruh paling ujung dari kamar jenazah. Untuk memeriksa update korban teridentifikasi, kita harus lewat selasar kamar jenazah, dua ruang otopsi dan baru posko data. Hiruk pikuk dan bau menyengat bikin pusing.
Menjelang hari ketiga atau 7 September 2005, situasi lebih buruk lagi. Keluarga mulai stress dan frustasi. Gue lihat ratusan kisah manusia ditentukan di situ. Tentara tegap yang jatuh berlutut dengan menggenggam cincin tunangannya. Dua keluarga yang berantem berebut satu mayat. Ada yang kesurupan arwah korban dan menunjukan sendiri yang mana mayatnya. Berdoa dalam lingkaran meminta Tuhan memberi petunjuk yang mana mayat kerabat mereka, atau bakar dupa, atau baca Yassin.
Pada 7 September jam 12.00 WIB jadi batas terakhir diidentifikasi. Kondisi jenazah sudah tidak bisa diotopsi lagi karena mulai membusuk. Itupun sudah ditahan dengan balok es. 33 jenazah yang gagal diidentifikasi dimakamkan massal. Gue mengakhiri liputan di Medan dengan nyewa hotel berbintang, mandi air panas, dan jalan-jalan ke Kesawan Square. Masih ada kehidupan di Medan.....
Susahnya liputan kematian adalah: Elo ditelpon kantor, segera meluncur ke kamar jenazah RSCM, ada kasus. Begitu sampai di sana, elo harus mikir, yang mana dari sekian banyak orang berwajah sedih adalah keluarga korban?
Nggak mungkin elo naik ke kursi terus teriak: Keluarga Mr/Mrs X yang mana? Informasi didapat dengan bertanya pelan-pelan atau berbagi info dengan wartawan lain. Kalau dapat, Kemudian wawancara keluarga korban.
Ada pantangan bagi gue untuk satu pertanyaan yang suka diajukan wartawan lain (belajar dari pengalaman kasus Mandala). Wartawan kadang suka refleks nanya: Apakah anda sedih ditinggal almarhum?
Please deh. Nara sumber anda sudah berurai air mata, teriak histeris, syok, dan anda masih tanya apa dia sedih?
Pertanyaan kedua masih OK: Apa sebelumnya anda mendapat firasat? (Indonesia banget). Pertanyaan ini suka mendapat jawaban tidak terduga, dan lagi pula pembaca suka dengan kabar gaib-gaib dari firasat apaan gitu. So, yang ini masih gue tanya asalkan semua pertanyaan penting gue udah dijawab.
Tapi meliput berita kematian hati-hati juga, jangan sampai kayak temen gue anak radio (nama dan media tidak disebutkan) :
Ketua DPD II Golkar dari Donggala, Adham Ardjad meninggal di Hotel Mulia, usai Rakernas, November 2006. Temen gue segera meluncur ke kamar jenazah RSCM. Di selasar utama, sesosok mayat sudah ditempatkan di keranda dan bungkus kain putih. Seorang pemuda khusuk mengaji Yassin sambil menangis. Hanya ada mereka di selasar utama itu.
"Pak, bisa wawancara sebentar," tanya temen gue pelan-pelan.
"Bi bi bisa..," ujar pemuda itu menutup buku Yassin-nya.
"Bapak apanya almarhum?" lanjut temen gue.
"Putranya..." matanya berkaca-kaca.
"Bapak sakit, Pak?"
"Iya.. bapak sakit...," pemuda itu mulai menangis lagi.
"Keluarga belum kesini, Pak?"
"Masih di jalan.....," dia menangis dengan sesenggukan
"Kalau dari Partai Golkar udah melayat, Pak?"
"Partai Golkar?" pemuda ini heran dan tangisnya berhenti
"Iya, Pak Jusuf Kalla kan mau melayat...," temen gue jadi hopeless
"Oh..., yang orang Golkar bukan yang ini mayatnya, di ruang sebelah," pemuda itu hilang ekspresi.
"Bilang kek dari tadi!" gerutu temen gue, dalam hati tentunya.
Dia ke ruang sebelah dan ketemu gue yang baru laporan kalau Jusuf Kalla barusan melayat jenazah.
"Telat loe Bos,"
"Elo nggak tahu aja Fay.." cetus temen gue manyun.
No comments:
Post a Comment