Ini adalah lanjutan dari tulisan pertama, Menjadi Wartawan Detektif. Dalam tulisan kedua ini, saya tidak bicara soal jurnalisme investigasi, tapi bicara wartawan yang berpikir seperti detektif, hehehe.
Sebelum saya menjadi redaktur pelaksana detikTravel, saya malang melintang di detikNews. Walaupun akhirnya pos liputan saya lebih banyak berkaitan dengan berita internasional dan politik, saya mencicipi juga liputan di wilayah (sebutan wartawan untuk kawasan kerja polisi di Jakarta). Mulai dari Polsek sampai Mabes Polri.
Untuk kawan-kawan yang lebih lama liputan di kantor polisi, mereka lambat laun mengembangkan cara berpikir yang sama dengan polisinya. Ini saya bicara soal polisi Reserse, bukan polisi cantik yang biasa cuap-cuap di TV soal macet Jakarta. Unit Reserse Kriminal ini beneran polisi yang tiap hari bekerja membuat Jakarta menjadi lebih aman. Anda baru melihat mereka di acara berita-berita kriminal.
Di Amerika, mereka inilah yang disebut detektif polisi. Biasanya, sore atau malam hari menjadi momen ngobrol antara para wartawan dan para reserse ini. Bukan untuk konsumsi berita, tapi ini obrolan untuk sama-sama meng-update kondisi sebuah kasus. Mulut resmi nantinya tetap memakai ucapan Kepala Unit Reskrim, Direskrimum dst.
Kalau polisi punya 'Cepu' alias informan di jalanan, maka wartawan juga punya 'Cepu' yaitu para polisi detektif ini. Ini hubungan yang dibangun dengan relasi yang bagus antara si wartawan dan polisi. Kenapa ini perlu? Dalam sesi ngobrol itu polisi bisa cerita bagaimana kasus berkembang, wartawan bisa memberi masukan dan tanya jawab langsung. Ini ada manfaat langsungnya loh. Di sini wartawan bisa belajar berpikir ala detektif.
Rupanya, kasus kriminal itu bisa dibaca polanya, dari modus, locus delicti alias tempat kejadian perkara, sampai para pelakunya. NYPD atau FBI di luar negeri sana, menyebut ini Profiler. Kasus-kasus kriminal, karena sering terjadi, bisa terpolakan untuk memudahkan polisi menangkap pelaku.
Wartawan bisa ikut mempelajari profiler ini untuk berpikir ala detektif. Pada akhirnya nanti, si wartawan juga bisa mengira-ngira ini siapa pelakunya. Ada banyak profiler, tapi ada dua yang selalu saya ingat-ingat:
1. Kalau ada cowok mukanya agak ganteng atau lumayan, dan dia dibunuh dengan sadis, pelakunya homo
2. Kalau ada anak kecil diperkosa bahkan dibunuh, pelakunya keluarga atau tetangga fedofil
Saya kasih ilustrasi. Ini adalah sebuah kasus kriminal paling besar tahun 2008 di Indonesia, dan saya adalah wartawan pertama yang datang ke lokasi (boleh dong bangga sedikit, please....). Mana saya tahu ini bakal jadi kasus paling heboh tahun 2008 hehehe.
Saat itu adalah Sabtu 12 Juli 2008, pagi hari pukul 09.30 WIB. Saatnya saya pulang setelah menjalani tugas piket malam di markas detikcom. Saat motor saya melintas di perempatan Ragunan, ponsel saya berdering.
"Fay, ada mayat di belakang Ragunan, elo liputan lagi dong. Posisi ente paling deket tuh. Ntar Ari nyusul ente ke sono. Baru deh ente balik," kata Mas Djoko, korlip saya dari ujung sambungan telepon.
Walaupun habis begadang semalaman, tapi wartawan detikcom harus siap tempur. Walaupun badan lelah, tapi kalau kondisi genting dan belum ada wartawan yang siap, dan posisi sayang paling memungkinkan, saya siap liputan lagi! (Pasang baterai cadangan di jantung hehehe).
TKP-nya di Jl Kebagusan, dekat kantor IM2 dan SDN 14 Ragunan. Warga berkerumun di luar Police Line, dengan menunjukkan kartu wartawan, saya minta izin mendekat. Ada beberapa lembaran koran menutupi potongan tubuh yang tersebar di beberapa tempat. Wah, dimutilasi nih!
Kok santai aja Fay, lihat mayat dipotong-potong gitu? Hmmm, ada proses pembelajarannya. Kalau saya wartawan newbie, mungkin muntah-muntah juga.
Usai mengambil gambar, ada polisi nyeletuk, "Korban ganteng nih." Voilla! Itu adalah kode profiler nomor 1 yang saya sebut di atas. Pelakunya diduga gay. Penemuan mayat pagi itu menjadi awal dari terungkapnya kasus pembunuh berantai paling sadis di Indonesia: Ryan si Jagal Jombang, seorang gay.
Kasus kedua: Bocah kelas V SD di Jakarta Timur mengalami peradangan dan meninggal. Polisi menemukan tanda korban pernah diperkosa. Pelaku? Berdasarkan profiler nomor 2, pelakunya kalau bukan keluarga, ya tetangga. Belakangan diketahui, pelaku adalah ayahnya sendiri.
Dengan belajar mempelajari profiler dari kasus-kasus kriminal, wartawan terbantu membayangkan bagaimana suatu berita kriminal yang akan ditulisnya bergulir ke arah mana. Menjadi wartawan, artinya kita juga belajar berpikir seperti detektif!
No comments:
Post a Comment