Tahu Lamping namanya, asli dari Kuningan. Bentuknya mirip Tahu Sumedang, disajikan dalam keranjang anyaman. Rasanya boleh diadu, tapi Tahu Lamping ini diklaim lebih padat dan tidak kopong seperti Tahu Sumedang. Pembaca detikTravel menyebut persaingan dua tahu ini seseru Apple VS Samsung. Saya setuju.....
Kalau saya harus memilih, saya membela Tahu Lamping. Soalnya saya memang membenci kopongnya Tahu Sumedang, nggak kenyang-kenyang jadinya. Lantas, kemana kita mencari Tahu Lamping?
Lamping adalah sebuah daerah di Kuningan, tepatnya 1 km setelah Masjid Agung Kuningan ke arah Ciamis. Ciri-cirinya gampang, tiba-tiba Anda akan terjebak kemacetan selepas Masjid Agung. Itulah daerah Lamping, atau tepatnya Jl Veteran, Kuningan.
Kemacetan ini karena banyak kendaraan yang parkir di kanan dan kiri jalan. Perhatikan baik-baik, di kanan dan kiri jalan itu banyak toko yang menjual tahu panas, Tahu Lamping namanya.
Ada banyak toko penjual Tahu Lamping, tapi yang menjadi favorit adalah Tahu Kopeci dan cabangnya Tahu Kopeci 2 yang berada di seberangnya. Tahu Kopeci paling menyedot perhatian traveler dibandingkan toko Tahu Lamping lainnya. Tahu Kopeci ini favorit mendiang bapak mertua. Beliau lah yang mengajarkan saya untuk mencintai Tahu Lamping dan pindah ke lain hati dari Tahu Sumedang hehehe.
Saya mampir Selasa 21 Agustus, hari ketiga Lebaran. Kopeci Satu tutup, tapi Kopeci Dua sudah buka begitu pula aneka pesaing mereka. Suasana di Tahu Kopeci penuh sesak pengunjung. Sambil menunggu antrean, saya wawancara seorang pembeli.
"Tahu ini lebih enak dari Tahu Sumedang. Kalau Tahu Sumedang yang baru digoreng kan kopong, kalau Tahu Lamping ini tetap padat berisi. Jadi, tahu ini lebih mengenyangkan selain juga lebih gurih," kata Iip, asal Ciamis. Saya manggut-manggut setuju.
Model pembeliannya "first come first served", yang datang duluan dilayani duluan. Saking lakunya, tahu yang baru keluar dari kuali besar tidak pernah lama-lama berada di tempat saji. Hup hup! Penjual Tahu Lamping dengan cekatan memasukkan tahu panas ke dalam keranjang. Teteh-teteh yang melayani pembeli ini sudah biasa memegang tahu panas.
Saya sengaja masuk ke ruang penggorengan tahu, dan mengobrol dengan Maman, pengolah tahu yang sedang sibuk mengangkat papan-papan berisi tahu mentah berukuran 80x80 cm siap goreng. Sambil mengusap peluh di ruang pengap itu, Maman bertutur lancar.
"Tahu Kopeci dan Kopeci 2 ini adik kakak, sudah lama berjualan tahu di sini. Dalam sehari kita bikin 3,5 kuintal tahu, kalau Lebaran bisa sampai 4,5 kuintal dan pasti habis," kata Maman, pengolah Tahu Lamping.
Maman balik bertanya, saya siapa. Saya jelaskan saya wartawan detikTravel, situs berita traveling paling top di Indonesia, hehehe. Tapi saya jelaskan, bapak saya pun asli dari Lengkong, Kuningan. Nah di sinilah hebatnya brotherhood orang Kuningan.
Kalau Anda traveling ke Kuningan, berbincang dengan orang lokal, dan BISA menunjukan kalau Anda berkerabat/berteman dengan orang dari salah satu desa di Kuningan, Anda langsung dianggap saudara! Begitu saya bilang bapak saya dari Lengkong, Maman langsung girang.
"Pan eta si Juju juga dari Lengkong!" kata dia sumringah.
Juju siapaaaaaaa??? Nggak kenaaaaallll, rasanya saya ingin jatuh berlutut di depan dia. Tapi sifat brotherhood inilah yang membuat semua penjual mie rebus dan bubur kacang asal Kuningan di Jabodetabek kompak-kompak.
Anyway, Tahu Lamping dihargai Rp 500 per biji. Biasanya pengujung membeli Rp 20.000 untuk 40 tahu yang memang pas memenuhi keranjang anyaman. Cabe rawit menjadi teman setia tahu ini. Sajian lain adalah susu kedelai yang dijual Rp 2.000 sekantung kecil ukuran 200 ml.
Tahu panas sudah di tangan saya, saatnya mencicipi tahu ini. Nyamm! Kelezatan Tahu Lamping, bukan omong kosong belaka. Satu keranjang Tahu Lamping jadi teman perjalanan saya kembali ke Cirebon hari itu.
Kisah Tahu Lamping ini bisa dinikmati versi beritanya di sini.
No comments:
Post a Comment