Harusnya tulisan ini masuk ke dalam artikel detikTravel, namun apa daya. Saya minim foto dan data, ini semua gara-gara perjalanan ini dilakukan dalam rangka mudik dan hati dagdigdug karena butuh lebih dari 10 jam untuk sampai ke kampung halaman di Cirebon.
Jadilah kami: saya, Desti, dua anak kami Zahra dan Dzaky, plus Fitri adik ipar, bergabung bersama jutaan orang lain yang memilih mudik pada 17 Agustus lalu. Saat bendera Merah Putih dikerek naik lewat upacara bendera, kami sudah membelah jalan tol Jagorawi.
Dicky, anak magang detikTravel memberi kabar buruk dari BB. Dia hanya beringsut di Pantura. Oke, saya akan ambil jalan Sadang. Namun rupanya, pintu tol Cikampek sudah ditutup, semua kendaraan diminta keluar di Sadang.
Walhasil, Sadang pamer paha -padat merayap tanpa harapan- dan ketika kami tinggal melintas lampu merah, Sadang ditutup polisi tepat di depan hidung saya. What!!!
"Liwat Wanayasa!" kata bapak polisi.
Tahu begitu, saya keluar sekalian dari pintu tol Purwakarta. Sumpah, saya nggak punya bayangan lewat Wanayasa itu seperti apa. Plang "Wanayasa belok kiri" terbaca dan Terios kami nan perkasa ini masuk menyusuri jalan kampung yang kecil.
Hei, hei, pemandangannya asyik juga dan edukatif buat Zahra yang jarang bisa melihat sawah. Kami disuguhi padi, tebu, jagung, ubi, balong ikan. Yang membuat kami tergelak adalah balong ikan bertuliskan "Sedia Anak Buaya" Serius? Kami ingin berputar balik, tapi konvoi mobil mudikers di belakang menyulitkan kami untuk putar arah.
Jalan desa yang kami ambil akhirnya bertemu dengan jalan utama Wanayasa dari mereka yang keluar di pintu tol Purwakarta. Sistem buka tutup jalan sempat membuat beberapa mobil frustasi dan putar balik. Tapi kami terus melaju, sabar-sabar sajalah.
Jalan raya Wanayasa punya pemandangan yang lebih asyik. Rupanya banyak destinasi wisata yang saya juga baru tahu. Kami lewat Situ Buleud, danau yang tidak terlalu besar, tapi ditata rapi. Ada juga Curug Cijalu yang tidak pas di pinggir jalan, tapi mesti masuk dulu 5 km. Entah seperti apa penampilannya. Lagi-lagi, saya tak sempat berfoto di Situ Cibuleud, gara-gara memburu waktu ke Cirebon.
Pemandangan asyik lainnya adalah warga desa menjemur cengkeh. Yup! Cengkeh ada dimana-mana. Warga gelar terpal di halaman untuk menjemur cengkeh. Rupanya pula, di kawasan ini teras persawahannya pun hijau dan cantik, seperti di Ubud.
Di lereng gunung mana ini kami berada? Google map menunjukan kalau mobil kami melintas di belakang Gunung Tangkubanperahu. Pantas saja, hawa lebih adem daripada di Pantura.
Menjelang simpang Cagak, Subang, pemandangan berganti dengan jejeran penjual nanas nan menggiurkan. Apalagi, kondisi lagi macet karena buka tutup jalur, mana tahan kalau nggak beli nanas. Dengan membayar Rp 10.000, dua nanas pun menambah penuh belakang mobil kami.
Nah, pemandangan dari Cagak menuju Sumedang tuh yang asyik. Kebun teh menghampar diselingi jejeran pohon sengon. Lagi-lagi, karena lagi tanggung jalanan lancar, saya urungkan niat berhenti untuk mengambil gambar.
Jalan Cagak ini membawa kita menembus persawahan sampai ke Cimalaka, Sumedang menjelang magrib. Polisi menahan iring-iringan mobil kita sampai 15 menit, demi memberi jalan kendaraan dari Bandung. Nah, di pinggiran jalan berjejerlah aneka penjual tahu Sumedang. Karena waktu buka puasa sudah dekat, konvoi mudiker pada kalap meninggalkan mobil masing-masing untuk memborong tahu hehehe.
Selepas itu jalanan lancar sampai kita masuk Majalengka malam hari. Pas balik ke Jakarta beberapa hari kemudian, pada siang hari, barulah saya sadar Majalengka sudah lebih menarik untuk para traveler. Saya angkat topi untuk Pemkab yang mencoba menata taman kota. 3 Hal yang saya garis bawahi.
Alun-alun Majalengka punya air mancur yang interaktif untuk anak-anak bermain basah-basahan. Kedua, bundaran tugu ikan, sekarang punya taman kota yang memajang jet tempur tua, tapi dicat ulang sampai kinclong. Keren banget nih ada monumen pesawat jet! Ketiga, menjelang arah Kadipaten, ada tugu tulisan 'KOTA MAJALENGKA', konsepnya meniru tulisan Hollywood, Pantai Losari, I AmSterdam. Sederhana, tapi menarik banget buat nongkrong.
Yudasmoro protes kenapa saya nggak twit pic. Sorry banget bro, saya nyetir dan istri jaga 2 anak yang hiperaktif hehehe.
Tapi, satu hal kita baru menyadari betapa Pantura itu membosankan, walaupun mobil bisa melaju kencang. Sebaliknya, jalan alternatif Wanayasa atau Sadang butuh waktu lebih lama, tapi dua jalan ini menawarkan pemandangan yang lebih asyik dengan banyak tempat menarik untuk sebuah road trip yang berkesan.
Dalam hati kami berjanji, kalau lewat Sadang atau Wanayasa lagi, kami akan menikmati setiap kilometernya. Banyak berhenti untuk menikmati suasananya, termasuk menemukan gambar menarik macam toko seluler dengan nama istri saya seperti di samping ini. Semua itu demi Situ Buleud, demi kebun teh, demi sawah menghampar, demi tugu pesawat tempur, demi traveling yang berkualitas.
1 comment:
Keren Fay! Kadang emang perlu keluar dr kebiasaan dan mencoba hal baru.
Post a Comment