Sunday, October 14, 2012

Marriage is A Reminder From God

Kemarin, sejumlah orang termasuk saya mendapat sebuah pelajaran maha penting, sekaligus sebuah pengingat tentang pernikahan. Seseorang yang dekat dengan kami, batal menikah pada jam-jam terakhir menjelang pernikahannya. Batal begitu saja... dengan alasan tertentu.

Sedih rasanya mengetahui hal ini... Kisahnya terlalu privat untuk diceritakan di sini. Namun ada esensi penting yang harus disampaikan sebagai pengingat.

Menikah...... bukan hanya menyatukan dua manusia. Menikah adalah menyatukan banyak orang..... dalam dua keluarga, atas nama Allah, agama dan cinta.

Terlalu sederhana kalau menikah hanya menyebut A menikahi B, karena faktanya banyak orang yang akhirnya bersatu dalam sebuah pernikahan, lebih dari sekadar kedua mempelai tersebut. Kedua orang tua menjadi besanan, saudara-saudara menjadi ipar, dan sanak famili menjadi kerabat. Anak akan punya orang tua baru bernama mertua, siapkah mereka menghormati? Orang tua akan punya anak baru bernama menantu, sudah siapkah mereka menyayangi?

Melalui pernikahan, cinta mengikat lebih dari sekadar sang pengantin, tapi juga seluruh keluarganya. Hal itu sekaligus juga menjadi tantangan, karena kita tahu bahwa konflik juga merupakan bagian dari kehidupan.

Menikah..... juga adalah cara untuk menyatukan sebuah perbedaan. Terkadang perbedaan itu begitu besarnya, karena lagi-lagi yang terlibat bukan hanya dua orang, tapi banyak orang. Kadang kita semua berhasil mengatasinya..... kadang tidak. Kemarin, perbedaan itu belum bisa kami atasi.

Kemarin, Allah menjadikan pernikahan sebagai sebuah pengingat. Untuk yang akhirnya tidak menjadi pengantin, Allah bertanya, "Apakah kamu sudah siap menikah? Apa niat kamu menikah? Dengan siapa kamu menikah?" Kepada keluarga yang akan menikahkan anak-anak mereka, Allah juga bertanya, "Apa tujuan dari pernikahan ini? Dengan siapa kamu menikahkan anakmu?"

Setiap detil yang menyusun sebuah mahligai pernikahan, adalah kebaikan, dan harus berasal dari kebaikan itu sendiri. Mengawali pernikahan dengan niat yang benar, cita-cita yang benar dan cara yang benar. Jangan beri tempat untuk keburukan mencari celah dalam ruang penikahan.

Saat pertanyaan-pertanyaan dari Allah itu dijawab.... Saat niat itu diuji.... Kita akan tahu, apakah sebuah pernikahan baru layak untuk dimulai atau tidak. Bisakah kita menyatukan perbedaan itu, bahkan berdamai dengan perbedaan dan menjadikannya sebagai benih-benih harmoni.

Saking seriusnya sebuah pernikahan, Rasulullah Muhammad SAW mengatakan, "Menikah itu menyempurnakan separuh agama." Karena pada faktanya, dalam pernikahan kita mempraktekan dalam kehidupan nyata separuh pelajaran agama yang kita dapat, separuh isi Al Quran yang kita baca.

MENIKAH adalah CINTA terhadap pasangan, ditambah RESPEK kepada keluarga, ditambah TANGGUNG JAWAB kepada Allah. Allah ingin mengingatkan kita bahwa menikah adalah salah satu cara untuk menggapai ridha-nya. Jadi, luruskan niat. MENIKAHLAH karena Allah.

Saat sampai kembali ke rumah, saya peluk Desti erat-erat. Allah juga menjadikan peristiwa hari ini sebagai pengingat atas komitmen kami menikah hampir 8 tahun silam.

"Desti, semoga Allah menjaga niat kita, semoga Allah melindungi kita, semoga Allah mengikat kita. Semoga pernikahan ini menjadi jalan untuk meraih cinta sejati dari-Nya."

Thursday, October 11, 2012

Waktu Seperti Membeku di Lawang Sewu


Kalau tidak punya waktu banyak di suatu tempat, kadang cara paling enak untuk menikmatinya ya duduk saja. Biarkan waktu yang sedikit itu bergulir perlahan dengan kita menikmati suasananya. Begitulah waktu saya beberapa waktu lalu ke Semarang.

Jumat 5 Oktober sore itu, tidak banyak waktu saya di Simpang Lima, Semarang. Tinggal menunggu mobil yang akan membawa saya ke MesaStila Resort di Magelang. Rombongan lain ada perlu membeli charger Blackberry. Alih-alih bengong, lebih baik saya menunggu di tempat yang asyik.


Kaki pun melangkah menuju Lawang Sewu. Inilah bekas kantor pusat kereta api Belanda, Nederlandsche Indische Spoorweg Matschappij (NIS). Dibangun pada tahun 1904 selesai pada tahun 1907.

Saya tidak masuk ke dalam, tapi memutuskan untuk menikmati pemandangannya dari arah taman di tengah Simpang Lima. Bersama saya, ada beberapa pasangan yang duduk mojok pacaran. Segerombolan ABG asyik bercanda ria. Sedangkan, tiga penghobi foto membidik Lawang Sewu seperti juga saya.

Jika saya adalah Lawang Sewu, terbayang betapa suasana di hadapan saya berubah dalam 105 tahun. Jepang menjadikan ruang bawah tanahnya sebagai penjara. Darah pemuda Indonesia pernah tumpah di depan Lawang Sewu saat Pertempuran 5 Hari di Semarang, 14-19 Oktober 1945.


Pohon-pohon ada yang hilang berganti jadi gedung dan kantor. Kereta kuda yang melintas berubah menjadi motor dan mobil. Sedangkan si Lawang Sewu... sang waktu berhenti berdetak untuknya.

Lampu merah berganti hijau dan motor lantas menderu duluan disusul mobil-mobil dan bis, mengitari Taman Simpang Lima. Roda-roda yang bergulir seperti tidak peduli ada Lawang Sewu di sana, menunggu perhatian mereka.

Sahabat setianya hanya sebuah lokomotif tua bernomor C 23 01 buatan Chemnitz, Jerman, tahun 1908. Berdua, mereka menyaksikan zaman berubah dan mereka bertahan di Simpang Lima. Entah sampai kapan... Tapi dinikmati saja, seperti saya menikmati suasana di depan Lawang Sewu sore itu dengan sederhana.

Saat matahari sore sudah lebih turun, kaki saya pun melangkah pulang. Paling saya hanya 15 menit di tempat itu. Satu hari lagi akan berlalu untuk gedung berjuluk seribu pintu itu.

Baca versi beritanya di sini