Saturday, June 18, 2016

Media Disuruh Netral, Eh Malah Pembacanya yang Partisan

Yaaa judul tulisannya sudah menjelaskan apa yang mau saya tulis kan? Semua berawal dari obrolan panjang dengan kawan-kawan SMA di group Whatsapp ketika untuk ke sekian kalinya berbagi link berita media online abal-abal.

Ternyata banyak yang belum tahu juga ngebedain media abal-abal sama media beneran. Jadilah saya jelasin, sesuai UU patokannya 3: mencantumkan alamat, mencantumkan susunan redaksi dan mencantumkan pedoman media cyber‎.

Terus ada pertanyaan, apakah 3 patokan ini menjamin media itu nulis berita yang benar? Ya saya balik lagi omongannya, media yang nulis berita bener itu banyak, pertanyaannya apakah sekarang pembaca butuh berita bener?

Kami sudah capek-capek liputan sampe malam, nulis berita sesuai fakta, cover both side. Tapi apa yang di-share orang? Pelintiran berita yang bahkan wartawannya saja nggak ada di lokasi, Wong cuma media online abal-abal.‎ Kan kezzeeeelll. Udah jelas datanya palsu, kita pegang data asli. Tetap aja orang percaya yang data palsu itu.

Faktanya pembaca sudah membentuk persepsi politik di otaknya. Media dia pakai untuk pembenaran atas persepsinya bukan untuk mencari kebenaran, yang parah sumbernya adalah media abal-abal atau blog yang menyerupai media, yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Itulah yang terjadi sekarang.

Padahal, aturan yang ada itu untuk melindungi hak pembaca. Manakala dirugikan oleh berita, ada hak jawab bahkan somasi. Sekarang kalau kamu difitnah sama media abal-abal, mau protes sama siapa?

Pembaca menuntut media untuk selalu netral. Tapi pembacanya malah partisan. Kalau beritanya enak buat kuping mereka, keluar puja puji. Kalau nggak enak, keluar caci maki. Media yang legal saja sulit menjaga netralitas, lantas netralitas apa yang bisa dijamin oleh media abal-abal. Tapi tidak akan ada protes selama itu memuaskan ego politik pembaca.

Situasi ini adalah pembelajaran baru di Indonesia. Masyarakat kita akan menjadi seperti di Inggris atau Amerika. Media dan pembacanya sama-sama partisan. Di Inggris kalau kamu dukung Uni Eropa, kamu bacanya Guardian. Kalau anti Uni Eropa, kamu bacanya Daily Mail. Di USA kalau kamu benci Islam kamu bacanya New York Post, tapi kalau belain Islam kamu bacanya New York Daily News.

Di Indonesia sudah mulai begini. Dukung Jokowi nontonnya Metro Mini, anti Jokowi nontonnya TV Satu. Tapi setidaknya partisan ini dijaga dalam koridor media yang resmi, jangan kasih tempat untuk media abal-abal yang cuma jadi sumber fitnah dan adu domba dari kedua kubu.

Lantas, bagaimana cara menjadi pembaca berita yang cerdas? Eh tapi yakin mau jadi pembaca berita yang cerdas? Sudah siap mental? Baik, begini caranya: Bacalah berita dari kedua kubu. Berani nggak? Udah siap sakit hati belum?

Kalau nonton TV Satu, nonton juga dong Metro Mini. Kalau baca Media Nusantara, baca juga dong Rakyat Freedom. Pun demikian dengan media sosial, kalau dengerin Jonru, dengerin juga dong Abu Janda. Percayalah, mereka saling melengkapi informasi dan kamu dijamin jadi pembaca yang cerdas.

Mau yang netral? Masih ada detikcom kok tenang aja. Kita punya parameter sederhana untuk menjaga netralitas kita. Bos gue bilang, kalau kita dimusuhin kedua kubu, artinya kita netral. Biarin aja ada pembaca bilang detik pro Jokowi, toh mereka nggak tahu kalau wartawan kita ada yang di-black list PDIP (true story). Zaman pilpres redaktur politik kita dimarahin parpol pendukung Jokowi, sekaligus dimarahin parpol pendukung Prabowo.

Apakah detikcom punya keberpihakan? Oh jelas kita punya, bos gue bilang kita berpihak kepada kebenaran. Aiih sedaaaap.....

Thursday, June 9, 2016

Ilusi Mayoritas

Bismillah, nge-blog lagi ah, drpd isi otak terbuang sayang...

Ilusi Mayoritas

Menganalisa kondisi politik terkini negeri ini, secara sederhana adalah berkembangnya xenophobic populism (skripsi kuliah saya). Ini nggak cuma di Indonesia kok, santai aja bro. Inti masalah pada awalnya ada kesenjangan ekonomi dan politik, lalu ada sebagian kecil yang frustasi karena terancam dalam kompetisi.

Kenapa? Karena mereka hidup dalam ilusi mayoritas. Mereka merasa jumlah mereka banyak, lantas berhak terhadap akses politik dan ekonomi. Masalahnya, mayoritas bukan artinya serta merta bisa meminta begitu saja akses politik dan ekonomi itu. Macam preman pulak kau.... beraninya keroyokan.

Cuma ya ilusi udah jd makanan mereka sehari-hari, untuk mengobati sakit hati. Jadi gagap bgt dengan realitas. Dari Prancis, Amerika, Australia, sampai Indonesia hal ini terjadi. Kebencian mereka mengambil simbol apapun yang dianggap berbeda, tapi mewakili lawan politik mereka.

Di Prancis yang dihajar umat Islam, di Australia yang dihajar adalah imigran, di Amerika yang dihajar imigran Amerika Latin, di Indonesia yang dihajar adalah China dan kaum kafir. Xenophobic populism melakukan agregasi politik dengan cara yang paling mudah dalam sistem politik di negara tersebut. Di Australia, pasti bikin parpol, karena gampang banget. Kalo di Indonesia, pasti bikin ormas dan berharap uang dari parpol tertentu.

Ilusi apa sih maksudnya? Australia contoh paling gampang, banyak parpol gurem mengusung isu anti imigran. Buat mereka, sebagai true blue Australian (pribumi), mereka terjajah kaum imigran. Pdhl itu ilusi, mereka doang kali. Mayoritas pribumi Australian tdk merasa terjajah imigran, karena secara politik dan ekonomi lebih aman posisinya.

Kalau di Indonesia, isi kepala mereka begini: Saya kan pribumi, pribumi kan banyak, masa org China lbh kaya dari saya. Atau, saya kan Islam, Islam kan banyak, kok orang kafir yang jd penguasa. Pdhl realitanya, banyak kok pribumi kaya dan muslim penguasa.

Ciri-ciri mereka: kecil tapi berisik. Tapi jangan takut, kekuatan mereka cuma mengandalkan kebencian semata, ketika benci itu hilang, hilang juga dukungan terhadap kelompok ini, pindah ke spektrum tengah. Solusinya adalah membuat sistem yang lebih menjamin akses politik dan ekonomi yang lebih merata untuk rakyat. Negara yang melakukan itu, terhindar dari gejala xenophobic populism. Negara-negara Skandinavia baek-baek aja tuh.

Btw soal spektrum, xenophobic populism ada di ekstrem kanan, sementara communism ada di ujung paling kiri. Xenophobic populism itu satu famili tapi lebih jinak dari fasism, racism, ultra nationalism, far right, ultra right, right wing. Disebut lebih jinak, karena ada embel-embel populism, mereka gampang terbuai oleh tokoh yang menjual janji-janji surga macam Donald Trump. Intinya mereka cuma anak-anak kecil yang manja dan merengek-rengek, karena anak baru di komplek punya mainan lebih bagus.