Tuesday, February 27, 2007

Sweet Child of Mine

Ini foto waktu Zahra ultah 6 Februari kemarin. Dia seneng narik gantungan koin Cina kalau lagi digendong gue. Fotonya diambil Teh Fanny. Oh iya, ini baju princess yang Desti beliin buat dia di ITC Depok, cantik banget.

Gue yang baru setahun belajar jadi ayah masih sering amaze dengan malaikat kecil ini. Ada gitu, manusia kecil yang mukanya mirip gue.

Semua orang juga bilang gitu. Mirip gue kecuali bibirnya dari Desti. Alis tebel, muka bulat, pipi tembem, mata belo, jari panjang, termasuk mimik muka manyunnya yang nggak pernah gue ajarin tapi menurun secara genetis. Sumpah mirip banget ama gue waktu kecil yang difoto ibu gue.

Desti suka manggil dia Fitraya Kecil, gue lebih suka nyebut Mini Me.

Amazing menyaksikan dia tumbuh setiap hari. Berguling, merangkak, berdiri dan sekarang berjalan. Gue berdoa semoga Allah selalu memberikan gue waktu untuk melihat Zahra tumbuh.

Weekend sempurna adalah hari di mana gue dan Desti sepenuhnya milik Zahra. Terserah dia mau minta apa. Jalan-jalan di Danau Cilala, Telaga Kahuripan atau makan di Pizza Hut walau dia baru bisa makan garlic bread doang.

Ah....... tidak ada habisnya mengagumi nikmat Allah yang ini....

Duh Levina!

Gue baru selesai belanja bulanan bareng Desti dan Zahra saat kami terjebak hujan di McDonald Plaza Bogor Indah. Kami duduk di teras McD sambil makan kentang goreng dan di sebelah kita ada stand elektronik.

TV-nya masang breaking news Metro TV, KM Levina I tenggelam wartawan jadi korban. Gue kaget tapi belum mudeng. Hujan berhenti, kita pulang dan di rumah gue tonton berita sore. Wartawan Lativi meninggal, 3 hilang, beberapa luka.

Gue spontan sms Melly yang piket di kantor. Anak Detik ada yang celaka? Alhamdulillah nggak ada. Nala yang semestinya naek ke kapal ternyata salah informasi dan menunggu di tempat yang salah. Tempat yang justru menyelamatkan dia.

Besok paginya, Hatta Radjasa dan Wakapolri Komjen Pol Makbul Padmanegara menyalahkan wartawan. Kenapa naik ke kapal yang sudah diberi police line? Perdebatannya berlanjut dengan siapa yang mempersilakan wartawan naik ke kapal.

Pak, ada hal-hal yang mungkin sulit dipahami orang lain. Kami selalu berupaya menyajikan berita terbaik, gambar terbaik, suara terbaik, tulisan terbaik. Kami akan mencari informasi itu dengan mempertahankan kualitas terbaik. Walau itu artinya meloncat naik ke KM Levina I yang tenggelam dalam 3 menit.

Ada kepuasan tersendiri Pak, bagi kami. Sepuas tegukan air pertama di hari yang panas. Kepuasan yang bernama "memanfaatkan kesempatan dengan baik". Tidak fair jika kesalahan ditimpakan kepada wartawan, karena pada akhirnya kita ingin memberikan informasi terbaik bagi masyarakat.

Kami memang sering menerabas police line dan masuk ke TKP bermodalkan kartu pers. Tapi bukan artinya kami tidak bisa dilarang. Kami masih tahu aturan.

Levina menyadarkan gue, bahwa profesi ini memiliki resiko kematian. Teman-teman juga mungkin lupa memikirkan pelampung yang tidak dipakai.

Sambil menonton berita itu, gue peluk Desti erat-erat, sementara Zahra tidur-tiduran di pangkuan gue. Gue bersyukur tidak berada di kapal itu. Dalam hati gue tegaskan diri gue sendiri untuk totally aware and be careful.

"Jangan polos-polos pisan ya, Pah," pinta Desti yang kujawab dengan anggukan dalam.

Kuberikan penghormatan tertinggi gue buat Suherman dari Lativi, selamat jalan dan semoga Guntur dari SCTV diberikan keselamatan. Buat semua teman-teman di atas kapal Levina, kalian mendapatkan teguk air itu.

UPDATE: Guntur akhirnya ditemukan meninggal dunia dalam pencarian keesokan harinya.

Saturday, February 17, 2007

Death

Meliput berita kematian itu gampang-gampang susah. Menyelami profesi jurnalis, pasti kita pernah mencicipi yang namanya kasus (baca: liputan) orang mati dibunuh, bunuh diri, mati sebab alami dll.

Waktu gue pertama jadi wartawan, belum kebayang gimana rasanya meliput mayat. Mual nggak ya gue lihat korban pembunuhan? But in fact, ketika akhirnya berhadapan langsung, nggak sempat berpikir untuk mual dsb.

Caranya, gue selalu langsung berkonsentrasi menyiapkan beritanya, karena kecepatan laporan setiap detiknya berarti. Seseram apapun situasinya jadi lupa sendiri, ..... berceceran, ..... bengkak mati tenggelam, ..... pecah, atau ..... terburai . (Cukup segini aja ya detilnya).

My biggest story ever sampai saat ini adalah kasus jatuhnya Mandala Air di Medan, 5 September 2005. Gue yang lagi liput demo di Kedubes AS, langsung bergeser ke Dephub untuk jumpa pers. Ujungnya, Menhub Hatta Radjasa menyediakan 10 kursi untuk wartawan. Gue sign in, nggak masalah siapa yang berangkat, detikcom harus ikut.

Akhirnya emang gue yang dikirim dengan baju yang cuma nempel di badan, dan duit 300 rb dari atm bandara. Gue berangkat bareng keluarga korban dengan Boeing 737-200, model pesawat yang sama dengan yang kecelakaan. Gue berdoa dalam-dalam dan selamat sampai Medan malam hari.

Kamar jenazah RS Adam Malik sebenarnya hanya sedikit lebih kecil dari RSCM, tapi 100 lebih jenazah ditaruh di situ. Nggak muat pastinya. Pihak rumah sakit pasang tenda besar, 100-an jenazah yang kebanyakan hangus dalam posisi duduk, dijejer rapi dan diberi nomer.

Bau? jelas bau hangus. Jijik? nggak sama sekali. Gue malah kasihan ama keluarga korban yang udah histeris. Gue cuma minta masker ama tim forensik, dan mulai berburu ratusan calon berita di hadapan gue. Malam pertama situasi sangat kacau, plus hujan. Gue masih ingat injak jaringan kulit entah siapa yang terjatuh di lantai. Gue cuma minta maaf dalam hati.

Yang nyebelin, pusat data ditaruh paling ujung dari kamar jenazah. Untuk memeriksa update korban teridentifikasi, kita harus lewat selasar kamar jenazah, dua ruang otopsi dan baru posko data. Hiruk pikuk dan bau menyengat bikin pusing.

Menjelang hari ketiga atau 7 September 2005, situasi lebih buruk lagi. Keluarga mulai stress dan frustasi. Gue lihat ratusan kisah manusia ditentukan di situ. Tentara tegap yang jatuh berlutut dengan menggenggam cincin tunangannya. Dua keluarga yang berantem berebut satu mayat. Ada yang kesurupan arwah korban dan menunjukan sendiri yang mana mayatnya. Berdoa dalam lingkaran meminta Tuhan memberi petunjuk yang mana mayat kerabat mereka, atau bakar dupa, atau baca Yassin.

Pada 7 September jam 12.00 WIB jadi batas terakhir diidentifikasi. Kondisi jenazah sudah tidak bisa diotopsi lagi karena mulai membusuk. Itupun sudah ditahan dengan balok es. 33 jenazah yang gagal diidentifikasi dimakamkan massal. Gue mengakhiri liputan di Medan dengan nyewa hotel berbintang, mandi air panas, dan jalan-jalan ke Kesawan Square. Masih ada kehidupan di Medan.....

Susahnya liputan kematian adalah: Elo ditelpon kantor, segera meluncur ke kamar jenazah RSCM, ada kasus. Begitu sampai di sana, elo harus mikir, yang mana dari sekian banyak orang berwajah sedih adalah keluarga korban?

Nggak mungkin elo naik ke kursi terus teriak: Keluarga Mr/Mrs X yang mana? Informasi didapat dengan bertanya pelan-pelan atau berbagi info dengan wartawan lain. Kalau dapat, Kemudian wawancara keluarga korban.

Ada pantangan bagi gue untuk satu pertanyaan yang suka diajukan wartawan lain (belajar dari pengalaman kasus Mandala). Wartawan kadang suka refleks nanya: Apakah anda sedih ditinggal almarhum?

Please deh. Nara sumber anda sudah berurai air mata, teriak histeris, syok, dan anda masih tanya apa dia sedih?

Pertanyaan kedua masih OK: Apa sebelumnya anda mendapat firasat? (Indonesia banget). Pertanyaan ini suka mendapat jawaban tidak terduga, dan lagi pula pembaca suka dengan kabar gaib-gaib dari firasat apaan gitu. So, yang ini masih gue tanya asalkan semua pertanyaan penting gue udah dijawab.

Tapi meliput berita kematian hati-hati juga, jangan sampai kayak temen gue anak radio (nama dan media tidak disebutkan) :

Ketua DPD II Golkar dari Donggala, Adham Ardjad meninggal di Hotel Mulia, usai Rakernas, November 2006. Temen gue segera meluncur ke kamar jenazah RSCM. Di selasar utama, sesosok mayat sudah ditempatkan di keranda dan bungkus kain putih. Seorang pemuda khusuk mengaji Yassin sambil menangis. Hanya ada mereka di selasar utama itu.

"Pak, bisa wawancara sebentar," tanya temen gue pelan-pelan.
"Bi bi bisa..," ujar pemuda itu menutup buku Yassin-nya.
"Bapak apanya almarhum?" lanjut temen gue.
"Putranya..." matanya berkaca-kaca.
"Bapak sakit, Pak?"
"Iya.. bapak sakit...," pemuda itu mulai menangis lagi.
"Keluarga belum kesini, Pak?"
"Masih di jalan.....," dia menangis dengan sesenggukan
"Kalau dari Partai Golkar udah melayat, Pak?"
"Partai Golkar?" pemuda ini heran dan tangisnya berhenti
"Iya, Pak Jusuf Kalla kan mau melayat...," temen gue jadi hopeless
"Oh..., yang orang Golkar bukan yang ini mayatnya, di ruang sebelah," pemuda itu hilang ekspresi.
"Bilang kek dari tadi!" gerutu temen gue, dalam hati tentunya.

Dia ke ruang sebelah dan ketemu gue yang baru laporan kalau Jusuf Kalla barusan melayat jenazah.
"Telat loe Bos,"
"Elo nggak tahu aja Fay.." cetus temen gue manyun.

Friday, February 16, 2007

Belantara Jakarta

Bete abis kalo pulang liputan kena macet. Gue pun menghapal semua jalan tikus yang gue butuhkan untuk bisa pulang dari seputaran Monas menuju Parung.

Tapi ada dua jalan tikus yang gue belum tahu. Bagaimana caranya dari Dukuh Atas bisa ke Atmajaya tanpa lewat Sudirman, kedua bagaimana caranya dari Setiabudi bisa ke Mampang tanpa lewat Kuningan. Akhirnya kemarin ama hari ini dua-duanya gue jajal.

Kemarin balik dari liputan di Istana, kena hujan padahal jarum jam udah ke angka 20.00 WIB. Jam segini, Thamrin-Sudirman macet lagi. Bis-bis jalan lebih pelan dan sabar cari penumpang, maklum, putaran terakhir soalnya. Akibatnya baru lewat Dukuh Atas udah macet sampe Semanggi.

Gue pun memutuskan cari jalan tikus, gue belokin Shogun biru gue ke jalan yang tembus ke Hotel Four Seasons. Terus gue ambil jalan tikus yang kira-kira masuk ke belakang Setiabudi. Gue di tengah pemukiman padat dan nggak tahu mesti kemana.

Yang gue cari adalah gedung pencakar langit manapun yang keliatan mata gue. Gue liat JW Marriot artinya gue terlalu deket ke Casablanca, gue belok kanan. Gue liat HSBC gue pilih lurus. Nekat aja, kalo nyasar tidak akan lebih lama dari terjebak macetnya.

Gue akhirnya keluar di Jl Dr Satrio, gue masuk lagi ke belakang Danamon Square dan keluar sebelum Atmajaya. Sukses!

Hari ini pun gue coba lagi. Kuningan macet ampun-ampunan. Pas sampe Casablanca, gue belok kiri dan cari jalan masuk dari kuburan Kober ke Menteng Dalam. Acuan gue lagi-lagi tower. Gue tembus ke Patra Kuningan dengan patokan Gran Melia. Sukses lagi keluar di samping Gran Melia

Sambil meninggalkan kemacetan di belakang gue, gue cuma mikir apa bedanya ini dengan mountaineering waktu gue masih jadi pecinta alam di SMU. Cari jejak jalan juga patokannya menghapal bukit di sekitar kita selain peta ama kompas. Bukit yang bentuknya begini dibelakangnya ada sungai, bukit yang begitu di belakangnya ada desa, dst.

Bedanya, belukarnya sekarang aspal, pohonnya sekarang tiang beton, dan gunungnya sekarang pencakar langit. Dalam hela napas, gue tidak habis berpikir sudah jadi apa Jakarta hari ini.........

Tuesday, February 13, 2007

Inspiration 1

Ada beberapa orang yang inspiring hidup gue, dan itu bisa siapa aja. Tapi kisah hidup dia keren banget.

Mang Kohar itu tukang becak. Waktu gue sekolah di SD Cendrawasih I Cirebon dekade 80-an, dia tukang becak langganan anak-anak. Sistemnya sebenarnya jemputan. Tuyul-tuyul kecil anak SD ini berjejalan di becak dia, terus dia anter pulang satu-satu. Orang tua kita akan bayar dia bulanan. Namanya juga becak buat keroyokan, dari tempat duduk, sandaran tangan ampe lantai becak diisi bocah-bocah.

Tapi dia nggak pernah mengeluh. Mang Kohar tipikal orang kecil yang nggak ngerti represifnya rezim Soeharto atau cengkraman multi national coorporation pasca oil boom. Rumah dia pun sangat sederhana. Buat dia yang penting dia memberi senyum buat anak-anak nakal yang naik di becaknya.

Gue pernah bikin dosa ama dia. Karena becaknya penuh (8 anak SD bisa muat di becaknya, sumpah), gue minta duduk dibonceng. Yoi, gue duduk di belakang tukang becaknya. Baru jalan 50 meter gue meringis, kaki gue masuk jeruji becak. Wadaw, darahnya kemana-mana, Mang Kohar panik bukan kepalang. Gue pun sukses dilarikan ke rumah sakit dan meninggalkan luka jahit di belakang mata kaki kiri gue.

Gue lulus SD and times goes by, tahu-tahu gue denger Mang Kohar naik haji. Gue dalam hati cuma bilang, subhanallah, tukang becak bisa naik haji. Wajarlah, dia pekerja keras, gue pikir dia rajin nabung jadi bisa naik haji.

Belasan tahun gue ngga ketemu dia, sampai Ramadhan 2004. Gue mau nikah ama Desti, dan gue pengen banget undang dia. Gue dateng ke rumahnya.

Dalam ruang tamu yang sangat sederhana ada karpet bergambar Ka'bah, oleh-oleh haji yang dulu, begitu gue pikir. Mang Kohar pun masuk ke ruang tamu. Senyumnya masih sama, namun tubuh kurus itu makin renta.

Dari cuma ngasih undangan, obrolan pun akhirnya jadi bermenit-menit. Gue minta dia cerita soal naik hajinya. Dan ternyata dia naik haji bukan karena menabung.

"Alhamdulillah, ada yang bayarin Mang Kohar naik haji, Fay," ujarnya menangis. "Alhamdulillah," lanjutnya kembali tersenyum.

Gue ikut bersyukur Allah memberinya nikmat yang luar biasa. "Mang Kohar mana kebayang naik haji, Mang kan cuma tukang becak," kata dia.

Beberapa belas menit lagi obrolan berlalu, dan gue pamit pulang. Ini orang mungkin masih takjub dengan rencana Allah untuknya. Tapi gue pikir semua bukan keberuntungan atau kebetulan.

Kok bisa Allah mengundang dia ke Tanah Suci?
Jawabannya sederhana, dia nggak pernah berhenti bersyukur, sesulit apapun hidup dia.

Yang tidak pernah berubah dari dia adalah nyebut alhamdulillah setiap beberapa kalimat yang dia ucapkan dan senyum yang dia bagi untuk orang-orang.

"Alhamdulilah kamu mau nikah, alhamdulillah bapa ibumu sehat, alhamdulillah tetehmu kerja di Bandung, alhamdulillah Mang Kohar juga sehat, alhamdulillah kamu udah sarjana, alhamdulillah temen kamu dulu si Yayan yang bapaknya bandar kerupuk itu sekarang sudah di....alhamdulillah." Dan jutaan alhamdulillah lain yang dia ucapkan sepanjang sore itu dan sejak hari-hari lampau waktu gue jadi pelanggan becaknya.

Dan sungguh Allah akan menambah nikmat bagi mereka yang mau bersyukur... Allah mengundangnya karena dia kaya hati dalam kebersahajaan materi.

Gue belum pernah ketemu dia lagi setelah hari pernikahan gue. Tapi yang penting buat gue sekarang, gue harus bisa bersyukur dalam kondisi hidup gue yang paling sulit. Karena, Mang Kohar bisa mensyukuri lebih banyak hal daripada gue.

Syukurin Banjir....!

Bukan nyumpahin, tapi ini untuk semua orang termasuk diri gue sendiri. Capek banget deh kita diguyur hujan dan direndam banjir. Alhamdulillah rumah mungil gue di Parung aman dari genangan.

Dapat hujannya, nggak dapat banjirnya, alhamdulillah.
Tahu nggak bedanya tsunami, gunung meletus, gempa bumi dengan banjir?

Yang terakhir itu sebenarnya bukan bencana alam, tapi bencana manusia. Bencana alam adalah aktifitas bumi yang menimbulkan kerusakan (menurut manusia), namun hanya bisa diprediksi tanpa bisa dicegah.

Bencana manusia adalah bencana akibat ulah tangan kita sendiri dan sebenarnya tidak perlu terjadi. Kayak banjir itu.

Percayalah Allah menciptakan alam dengan mekanisme untuk menyeimbangkan diri sesuai sifat Allah sendiri yang Maha Adil. Karena gunung meletus, memberi alam sumber kesuburan baru dari sisa lava dan material lain.

Alam akan selalu imbang dengan catatan, kita manusia ini tidak berbuat kerusakan. Masalahnya adalah kita tenggelam dengan keserakahan dan melihat pohon, air, batu dan lain-lain sebagai alat produksi, bahan baku, dan sumber uang.

Mensos Bachtiar Chamsyah dalam sebuah wawancara (bukan gue sih yang ngeliput), dia bilang jelas aja Kelapa Gading banjir, itu kan dulu situ diurug jadi perumahan.

Persis..... Elo bayangin Kelapa Gading, Kapuk, Angke, Daan Mogot jaman Si Pitung dulu apaan. Empang, situ, rawa, muara. Buat developer, itu lahan tidur yang bisa jadi uang kalau diurug. Tapi hakikinya itu adalah mekanisme alam bumi Jakarta ini mengalirkan air untuk diserap.

Developer dengan masterplan brilian menurut mereka tapi bodoh menurut pakar ekologi bikin pemukiman besar-besaran. AMDAL mereka gue definisikan sebagai cara para insiyur menghajar babak belurkan hukum alam dan menjejalkan logika teknik dan arsitektur untuk kepentingan apalagi kalau bukan bisnis.

Give such a good name. You name it: kepala naga, buntut naga, badan naga, kumis naga dll. Orang pun berduyun-duyun datang membeli properti anda.

Uang kita bisa membeli istana, tapi kita nggak akan pernah bisa membeli hukum alam......

Planet ini tetap berjalan dengan mekanisme hidupnya, dan Angke, Daan Mogot, Kapuk, Kelapa Gading, serta daerah-daerah lain yang dari dulunya adalah tempat air berkumpul, akan tetap seperti itu.

Sampai hari ini, sampai di atas tanah tersebut ada rumah, mal, sekolah, pasar, dll. Air tetap datang menunggu diserap ke dalam tanah yang kini tertutup beton dan aspal.

Berhenti melihat ekosistem di sekitar kita sebagai alat produksi, atau obyek eksploitasi semata-mata. Kita sama-sama mahluk hidup ciptaan-Nya. Bedanya cuma satu, manusia Adam mengangkat jarinya saat Allah bertanya siapa yang mau menjadi khalifah di planet Bumi.

Khalifah dalam prinsip manajerial bertugas to organize and manage. Dua tugas yang sering tertukar dengan to search and destroy.

Saturday, February 10, 2007

Baby Punk

Zahra kalau abis mandi kan dikasih hair lotion bayi gitu. Rambutnya suka gue bikin mohawk sebelum disisir. Lucu aja gitu hehe

Biasanya kalau ibunya liat, Desti ngomel-ngomel
"Astagfirullah, Zahra diapain itu rambutnya!"

Gue juga ngga pengen malaikat kecil gue jadi anak punk, hehe. Tapi lucu banget. Zahra tuh bisa diapa-apain rambutnya. Anaknya juga fotogenik banget, sadar kamera.

So, ketika ibunya tidur siang. Zahra mandi ama si bibi, udah gitu kepalanya gue kasih hair lotion dan gue bikin mohawk. Teteh Fanny yang lagi liburan di rumah gue, ambil kamera digital. Thanks Sis.

Jepret! Jadilah foto ini. WE ROCKS! Ibunya bangun beberapa menit kemudian dan liat foto ini dah ada komputer. Dengan mata masih ngantuk, istriku tercinta cuma bilang:

"Ya ampun papa, Zahra diapain......" dan pergi ke kamar mandi.

Saturday, February 3, 2007

Ada Doa Dibalik Nama

Waktu malaikat kecil ini akan hadir antara gue dan Desti, pertanyaannya, mau dikasih apa ya namanya?

Akhirnya terpilih Zahra Rizky Ramadhanny. Nenek dan Uwa-nya (Nyokap ama Kakak gue) pengen ada nama Zahra. Biar seperti putri Rasulullah SAW: Fatimah az-Zahra.

Zahra juga artinya ceria alias cheerful, cerdas dan juga berarti wewangian. Kita ingin dia jadi anak yang periang, pintar dan memberi manfaat bagi lingkungannya.

Gue pengen ada nama Rizky. Soalnya sejak Desti positif hamil, kehidupan kami jadi jauh-jauh lebih ringan dan dimudahkan. Gue masuk ke Detik.com, Desti banyak proyek, dst.

Desti pengen ada nama Ramadhanny. Biar nerusin nama bapaknya, walaupun ngga lahir bulan Ramadhan. Jadilah nama itu: Zahra Rizky Ramadhanny.

Amazingly, she grows somehow as reflections of her name. Subhanallah, anaknya periang banget. Suka ngajakin kita ketawa dengan ketawa duluan, pasang muka manis untuk mancing kita senyum.

Alhamdulillah sabar dan tahan banting. Nggak rewel, kecuali sakit, itu pun tidak serewel anak lain. Pernah dibawa naik KRL gerah bener hawanya, dia masih bisa ketawa-ketawa sama ibunya. Anak-anak lain mah nangis jejeritan. Akhirnya dia jadi hiburan orang segerbong kereta. Gue sampai terharu......

Bener-bener jangan asalan ngasih nama ke anak kita. Kalau bisa, jangan deh kasih nama anak kita Nrimo atau Prihatini. Maaf kalau ada yang namanya ini. Tapi maksud gue give hope in her/his name. Beneran jadi doa soalnya.

So, think best for your children name. Kalau perlu shalat istikharah dulu biar mantap. Good Luck

PS: Per 2 Februari 2007 pukul 10.00 WIB, Zahra sudah bisa jalan sendiri. Horee..!

Thursday, February 1, 2007

Old Stuff Named Nationalism

Rabu kemarin, di tengah hujan deras pagi-pagi, gue meluncur liputan ke Padepokan Pencak Silat TMII. Acaranya sewindu Keluarga Besar Marhaen.

Gue udah bayangin bakal ketemu generasi oldies. Tuh kan, ngga salah. Acara ini jadi perkumpulan opa-opa dan oma-oma. Ada anak mudanya juga, tapi keliatan yang jadi orang pentingnya yang udah pada ubanan tadi. Penggembiranya tetap anggota-anggota ormas bertampang sangar tapi bajunya nasionalis.

Pembicara utamanya, wedeh.....
Prof Dr dia-yang-namanya-tidak-kuperhatikan-karena-terkesima- dengan-penampilan.

Jalannya pakai tongkat, dipapah naik panggung ke podium. Di situ......... DIA KEPALKAN TANGAN KANAN KE ATAS....

MeRrDeeKAaAaAaAaAa..............................!!!!!! Lirih bener.....
Gila bow, semangat juang 45 dalam artian sesungguhnya, means that was 61 years old!!

Acaranya selanjutnya pidato berganti-ganti soal semangat kebangsaan. Please deh.... Sampai hari ini pesan-pesan nasionalisme tarnyata masih disampaikan dengan cara klasik. Pekik merdeka dan cerita-cerita indah masa lalu.

Nggak akan nyampe sama generasi muda, berani jamin. Hari ini orang lagi ngomong borderless society dan global village, mau bicara nasionalisme bagaimana? Gue sih nggak bakalan nyalahin anak gue kalau nggak ngerti arti upacara bendera, hormat grak, teriak merdeka dan seremoni lain. Karena......percuma........

Paham kebangsaan ngga ada disitu. Nationalism itu pemikiran politik negara-negara berkembang yang lahir saat melawan kolonialisme. Ada konteks bertahan hidup secara kolektif terhadap ancaman yang datang, maka dipilihlah identitas bersama yang disebut sebagai bangsa.

Sedangkan hari ini, bangsa ini asyik berantem sendiri, suku x lawan suku y, etnis a hajar etnis b, buruh lawan kapitalis, rakyat lawan pejabat, mahasiswa lawan aparat. Identitas bersama sebagai bangsa tidak bisa dipahami. Tidak ada kebutuhan untuk berbagi identitas.

Ok Ok langsung solusi nih:
Pikir dong, kenapa orang Italia nyanyi lagu kebangsaan mereka tanpa disuruh waktu menang piala dunia 2006 kemarin? Kenapa orang Libanon pesta waktu Israel mundur dari perbatasan?

Bangga. Bangga sebagai komunitas yang bisa mengatasi sebuah ancaman yang mengancam semua anggota komunitas tersebut. Walaupun bentuknya final piala dunia ataupun perang beneran.

Apa kita punya sesuatu untuk kita banggakan bersama? Adakah kita merasakan ancaman terhadap satu hal yang sama?

Ngga ada. Padahal tanpa itu kita nggak akan merasa perlu punya sense of belonging, need to survive dan will to reach the dreams. Tanpa keperluan ini kita ngga merasa perlu menjadi bangsa. Tanpa itu pula selamat tinggal nasionalisme.

Nasionalisme adalah empty signifier, penanda kosong. Dia diberi makna baru dia bermakna. Siapa yang memberi makna, yang jelas sudah bukan generasi oldies itu. Mereka sudah melakukan tugas mereka.

Bagaimana generasi kita memberi makna ke dalam nasionalisme? Yang jelas bukan dari upacara, hormat grak dll. Usul gue dua (2), just two.

Indonesia menang piala dunia atau kita perang dengan negara lain. Serius bo. Menang piala dunia bukan main bangganya. Soal perang, jalan terakhir emang Tapi inget waktu Malaysia mau nyikat blok Ambalat, orang Madura ama orang Dayak yang biasa berantem, bisa sama-sama bawa bendera merah putih terus teriak: Ganyang Malaysia. Padahal ngga usah segitunya sih. Hari gini ganyang Malaysia..... Mending dengar mp3 Too Phat atawa Raihan

So either win the world cup or make a war, that's the way we define our nationalism. I prefer the first, because George 'War' Bush choose the second one.