Monday, December 24, 2012

Menikah Muda dan Bangga!

Di tengah tulip Britzergarten Berlin
"Mas Faya anaknya mau tiga, dan kita belum menikah!" pekik anak buah saya, Putri, waktu saya memberi tahu Travel Troopers (sebutan untuk awak detikTravel), kalau Desti lagi hamil.

Yup, saya dan Desti menikah dalam usia 23 tahun. Pada saat saya berumur 24 tahun, saya sudah menggendong bayi bernama Zahra. Masih muda bukan? Sampai ibu saya bilang, pernah ada yang menduga kami menikah karena Desti hamil duluan. Apaaa? Sembarangan! Saya adalah pria gentle yang menjaga kehormatan perempuan...

Tergesa-gesa juga bukan. Menikah dengan Desti adalah keputusan terbaik dalam hidup saya. Menikah muda adalah langkah yang kami ambil dengan PENUH perhitungan. Lihat, kata 'penuh' ditulis dengan bold, italic, underline dan uppercase. Ini bukan main-main.

Pada saat saya seusia anak buah saya sekarang, saya sudah berpikir jauh lebih dewasa dari mereka. Dunia mereka masih bermain, belajar kerja, cinta masih dicari, kalaupun dapat masih flirting kanan kiri. Mungkin enak hidup seperti itu. Namun sayang, itu bukan pilihan untuk saya saat itu.

Saya menjalani hidup yang keras. 5 Tahun paling kelam yang akhirnya mengubah Fitraya Ramadhanny selamanya. Shafa, anak buah saya, nggak percaya saya pernah hidup dalam kegelapan hahahaha. Dia mengira saya lugu, polos dan lurus hehehehe.

Mungkin butuh 5 blog untuk menjelaskan masa-masa itu, tidak sederhana memang. Ibu saya berulang kali bilang, "Mama bersyukur kamu bisa melewati masa itu, bahkan kamu itu nggak lari ke narkoba!" Saya pribadi bersyukur masih hidup, tidak berakhir menjadi sebuah artikel di koran lampu merah bagian berita bunuh diri.

Saya dipaksa hancur di saat saya baru mau meretas masa depan. Saya melawan dengan menjadi nakal. Lelah menjadi nakal, saya lari. Lelah melarikan diri, saya belajar bangkit dan menolak hancur. Saya harus melindungi orang-orang yang saya sayang. Walaupun saya babak belur, namun saya merasa hidup saya masih layak diperjuangkan. Karena saya menjalani itu tidak sendirian, ada seorang gadis cantik dan brilian otaknya, yang mengetahui kejadian itu sejak awal, dan menemani saya melewati masa sulit itu. Namanya Desti Fitriani.

Kebun anggur Sans Soucci Palace, Postdam
Desti, juga menjalani hidup yang sama keras. Dalam usia sebelia itu, kami dipaksa menghadapi dan mengatasi masalah untuk orang-orang 10-20 tahun lebih tua dari kami, justru karena mereka yang kekanak-kanakan. Situasi memaksa kami berpikir dan bertindak dewasa, jauh lebih dewasa dari teman-teman sebaya. Pilihan kami cuma dua, bertahan atau hancur.

"Kita mesti mikir hidup ini nanti bagaimana, bukan bagaimana nanti," ujar Desti, yang selalu saya ingat sampai sekarang. We were living in hell...

Penasaran ya ada apa yang terjadi? Desti bilang, nggak usah ditulis jadi blog hahahaha. Cukup jadi lesson learned for us. Sori......... Anyway, cinta kami yang awalnya tipikal gejolak kawula muda (halah ampun ini istilahnya), tiba-tiba menemukan makna sejatinya. Jadi beneran, jadi serius. Kami saling mencintai untuk bertahan hidup. Saling menguatkan satu sama lain, saling membantu satu sama lain, saling menjaga satu sama lain. Saling menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing, ini yang paling sukar. Mentertawakan dan meratapi nasib kami bareng-bareng.

Kami seperti tinggal berdua melawan dunia.Teman-teman SMA, cuma 2 orang yang tahu masalahnya. Teman-teman kampus nggak ada yang tahu juga kami menghadapi apa, dan masa iya kami mesti pasang pengumuman. Kami tersenyum di depan mereka dengan hati yang getir, kami tertawa dengan hati yang menangis.

Kenapa saya begitu yakin akan menghabiskan hidup dengan Desti? Saya saat itu menyadari kalau pasangan hidup bukan seseorang yang sempurna. Manusia nggak ada yang seperti itu. Pasangan hidup adalah seseorang yang saya butuhkan. Seseorang yang bisa melengkapi keberadaan kita, walaupun dia berbeda sifat. Apa yang nggak ada di saya, ada di Desti. Begitu juga sebaliknya. Desti lah yang menyempurnakan keberadaan saya di dunia.

Saya dan Desti sampai kepada suatu titik kesimpulan. Menikah adalah tiket kami untuk menyelamatkan diri dari dunia kami yang sakit. Saat itu usia kami bahkan baru 20 tahun. Sadar bahwa kami mungkin menghadapi tantangan dari orangtua masing-masing, kami mempersiapkan dulu pernikahan itu, sebelum kami benar-benar menyampaikan rencana itu kepada orangtua kami 2 tahun kemudian.

Saya menyampaikan niat saya menikah dengan Desti, bicara empat mata dengan ayahnya, saat umur saya 22 tahun.... masih kuliah. Tapi saya berani karena membawa rencana matang, bukan omong kosong. Calon mertua saya tahu cobaan hidup apa yang saya hadapi.... dan mengizinkan saya menikahi Desti. Dengan syarat, saya lulus kuliah dulu, karena Desti lulus setahun lebih cepat. Desti angkatan 1999, saya angkatan 2000.

6 Bulan setelah lulus kuliah, tepatnya 20 November 2004, kami menikah. Sebuah pernikahan yang kami persiapkan sendiri dibantu teman-teman, karena kami sadar tidak bisa membebani orangtua kami terlalu banyak saat itu.

Stockholm Palace
Delapan tahun berlalu sejak saat itu. Kami mensyukuri pernikahan kami. Benar-benar memulai dari nol, kini kehidupan kami penuh warna. Sempat berkelana 1 tahun di Jerman dan backpacker keliling Eropa, itu juga pengalaman berharga buat keluarga kecil kami. Ada Zahra si juara kelas, ada Dzaky si ganteng yang penuh tenaga, dan bayi di perut Desti.Saya sekarang Redaktur Pelaksana detikTravel dan Desti adalah dosen FEUI dengan gelar Master dari Jerman.

Tentu saja kami masih punya mimpi dan cita-cita. Mimpi dan cita-cita yang saya tahu tidak bisa saya kerjakan sendiri. Sedari awal, saya dan Desti adalah tim yang solid dan akan terus seperti itu. Kami harus punya visi jauh ke depan, itu yang membuat kami bertahan, walaupun dipaksa dewasa sebelum waktunya hehehe.

Kami kini sudah bisa tersenyum melihat masa lalu kami yang berat. Saya sendiri sudah berdamai dengan masa lalu, saya sudah memaafkan semua yang terjadi, memaafkan semua yang membuat kami jadi begini. Kami kini sudah memahami apa rencana Allah di balik semua ini. Memang ini yang jalan yang ditetapkan Allah untuk kami.

Allah mengganti semua air mata itu dengan sejuta kebahagiaan. Titik balik itu adalah pernikahan dini kami, seperti janji-Nya bahwa menikah itu membuka pintu rezeki. Menikah dalam usia muda, adalah hal terbaik yang pernah kami lakukan.

Sunday, December 16, 2012

The Best Job in The World

Pas lagi di Pantai Cinabung, Ujung Kulon, difotoin Fayyas
Lewat jejaring Facebook, saya menemukan teman lama. Lamaaaa banget. Namanya Charlie Huveneers, anak Belgia yang dulu sama-sama jadi Exchange Student 1998-1999 di Queensland, Australia. Dimana dia sekarang?

Usai program duta budaya selesai, kami pulang ke negara masing-masing. Namun, Charlie kembali ke Negeri Down Under. Dari bio-nya dia bekerja di Sydney Institute of Marine Science, jadi marine biologist. Ini adalah pekerjaan yang saya tahu sudah menjadi mimpi dia sejak kami remaja dulu.

"I wanna be Jacques Cousteau!" ujar dia berulang-ulang dahulu. Here it is, jadilah dia Jacques Cousteau, ahli biologi laut yang film dokumenter divingnya sering dipasang TVRI dalam acara Flora dan Fauna, zaman kita kecil dulu. Kita? Elo kali Fay yang masih kecil baru ada TVRI doang.

Charlie bilang apa kepada saya dalam sebuah chatting beberapa bulan lalu? "Maaan, I have the best job in the world! I'm paid to swim and play with fish, can't complain, hahaha."

Pernyataan Charlie menyentak saya. Pekerjaan terbaik di dunia bukanlah soal pekerjaan dengan gaji jutaan dollar. Pekerjaan terbaik di dunia adalah melakukan hal yang kita cintai. Penyanyi Nugie bilang 'Lentera Jiwa'.

Bagaimana kalau pekerjaan ini bukan sesuatu yang kita cintai? Kita masih bisa membuatnya the best job in the world. Caranya, belajar mencintai dan mensyukuri pekerjaan Anda. Karena, dengan itu Anda tidak menggelandang di jalanan. Karena, pekerjaan Anda sekarang bisa menjadi alat bantu untuk Anda melakukan hal yang Anda cintai, entah hobi, travelling, makan, belanja dll. Cinta itu proses kok, memang butuh waktu.

Saya terdiam satu jurus dan berpikir, iya juga ya. Lalu saya akhirnya menjawab ucapannya. "Me too, mate. I also have the best job in the world. I'm paid to travel!"

Menjadi wartawan detikTravel, artinya kami dibayar untuk jalan-jalan. Keren nggak sih? Jalan-jalan, tentu adalah hal yang kami cintai. Team member saya, Afif dan Sastri puas menjelajah Papua, dibayari. Shafa ke Pulau Komodo, Putri ke Kalimantan, dibayari juga. Badan pariwisata negara lain meminta detikTravel menulis pariwisata di negara mereka, artinya membayari kami datang.

Charlie membantu saya untuk bisa mensyukuri kehidupan saya sekarang. Sekeras apapun masalah yang saya, Desti, Zahra dan Dzaky alami dalam hidup ini, setidaknya saya mengerjakan sesuatu yang saya cintai sebagai penghidupan.

Untuk team member saya, Afif, Putri, Shafa, Sastri. Kerja yang rajin ya... Bersyukurlah Travel Troopers, kita punya pekerjaan terbaik di dunia!!

Sri Lanka: Victoria's Secret, Dilmah Tea dan Sebuah Kekecewaan

Stand pameran Sri Lanka Tourism
Akhirnya pagi datang di Colombo. Dari jendela kamar saya bisa melihat pemandangan kota dan sebuah danau berkilau di belakang Hotel Grand Colombo.

Tapi saya harus bergegas gara-gara liputan pembukaan Sri Lanka Expo 2012, yang manaaaaaa Presiden Sri Lanka Mahinda Rajapaksa akan membuka acara. Ngomong-ngomong, Rajapaksa adalah nama yang keren untuk seorang presiden. Powerful banget kan, Raja-Paksa.

Anyway, berkumpul lah kami di lobi setelah sarapan. Para wartawan, saya, Roland, Imung, Astrid dan Mbak Glory dari Singapore Airlines membuat kesepakatan. Kita kan diundang oleh Sri Lanka Tourism, ngapain juga kita liput pidatonya presiden. Serahkan itu kepada wartawan Sri Lanka hehehe. Itu artinya satu jam tambahan untuk mengumpulkan tenaga.

Jemputan anak sekolah
Lantas bergeraklah kami menuju lokasi Expo di Bandaranaike Memorial International Convention Hall (BMICH). Inilah JCC-nya punya Colombo. Sepanjang jalan, barulah saya bisa menikmati pemandangan. Anak-anak naik mobil jemputan sekolah, bajaj lalu lalang, orang-orang berkerumun di pinggir jalan, gedung-gedung beraneka rupa.

BMICH sendiri tidak sebagus JCC, sebagian jalannya masih tanah, dengan stand-stand pameran berserakan. Paspampres bersiaga, rupanya Presiden Rajapaksa baru pulang. Wartawan masuk dari pintu yang tidak mengenakan, dari belakang dan entah tembus ke sebelah mananya pameran. Rabu 28 Maret 2012 itu, matahari bersinar terik di langit Colombo.

Batu mulia dan perhiasan
Jangan mengeluh kawan, inilah pameran besar di Colombo pertama kalinya usai selesai perang saudara dengan gerilyawan Macan Tamil. Terakhir mereka bikin pameran seperti ini 15 tahun lalu. Usahanya kelihatan kok betapa mereka ingin pemodal kembali masuk ke Sri Lanka.

Ini pameran besar-besaran diikuti 370 eksporter termasuk 70 perusahaan kecil dan menengah, serta 1.200 delegasi perdagangan. Sri Lanka mempromosikan komoditi ekspor mereka yaitu pakaian jadi, karet dan produk karet, batu mulia dan perhiasan, teknologi informasi, makanan dan minuman serta rempah-rempah.

Produsen lingerie Victoria's Secret saja pameran di sini. Hmmm, mungkin mereka mau bikin lingerie-sari atau apa begitu kali. Tapi tidak ada yang mengalahkan perhatian saya selain stand pameran Dilmah Tea! Hell yeaaaah!

Victoria's Secret ada yang mau?
Stand pamerannya besar banget dengan teh Dilmah asli Sri Lanka beraneka rasa menggugah selera. Bikin mupeeeeeng. Tapi yang jelas ada aneka produsen teh dan semua produk promo gratisannya saya sikat, hohohoho. Kantung tas ransel saya isinya teh sachet aneka pabrik.

Puas merampas teh, saatnya liputan. Wartawan detikcom (awas lagi sombong) sanggup meliput apa saja. Wartawan news, kalau situasi membutuhkan, bisa juga meliput ekonomi, olahraga, gosip, otomotif dll. Walaupun saya di detikTravel, aroma acaranya saja membuat saya harus menyetor berita ekonomi ke detikFinance. Ini hasilnya.

Nah, untuk kebutuhan kanal sendiri, saya mencari Sri Lanka Tourism. Wah, rupanya satu tenda sendiri dia. Saya girang bukan kepalang. Saya masuk ke dalam tenda dan ada beraneka meja dan brosur. Terbayang dong saya mau bertanya soal bagaimana liburan ke Sri Lanka, apa yang menarik, naik apa, kalau mau backpackeran bagaimana dll.

Dilmaaaaaaaaaaah 
Tapi yang saya hadapi adalah wajah-wajah tertegun.... padahal saya sudah menunjukan identitas saya sebagai wartawan. Saya dioper ke sana, ke sini, untuk sebuah wawancara yang semestinya sederhana. Ujung-ujungnya mereka bilang, "Maaf pejabat yang berhak menjawab Anda sedang tidak berada di tempat. Kami tidak berwenang untuk menjawabnya."

Tiba-tiba saya merasa sedang berada di kelurahan mana begitu dengan birokrat yang menyebalkan. I'm sorry, you invite me all the way long from Jakarta, then you reject an interview? Saya kan undangan kalian, haloooo? Kalian meminta saya menulis apa kalau begini?

Saya keluar dari tenda itu dengan hati gondok, nggak dapat berita. Saya menghela nafas panjang, Sri Lanka masih belajar....

Sri Lanka: Nama Bandaranya, Bandaranaike!

Bandara Bandaranaike (bingung ya tulisannya?)
Saya sebenarnya tidak suka jika sampai ke negeri orang pada malam hari. Saya butuh melihat suasana sejak detik pertama sampai ke suatu tempat, dan itu lebih enak dilakukan pada siang hari. Jadinya terbayang dan tahu tempat begitu.

Tapi apa daya, pesawat Singapore Airlines yang membawa saya ke Colombo, Sri Lanka akhirnya mendarat lewat tengah malam, tepatnya Rabu 28 Maret 2012 dini hari. Dari jendela pesawat saya baca tulisan 'Bandaranaike', itukah nama bandara dalam bahasa Sri Lanka? Pikir saya begitu.

Turun dari pesawat, panitia Sri Lanka Expo menunggu kami, para wartawan dari Indonesia, saya, Roland, Imung, Astrid. Namun ada masalah, pemandu yang akan mengantar kami selama di Sri Lanka belum datang, Anthony namanya. Bukan bule, tapi orang lokal bernama barat.

Ya sudah saya mengamati saja bandara ini. Ukurannya mungkin hanya sebesar Terminal Tiga Bandara Soekarno Hatta, tapi lebih bagus Cengkareng. Terlihat ada renovasi yang dikebut harus selesai demi menyambut Sri Lanka Expo. Banner-banner menggantung di langit-langit bandara, semua soal Sri Lanka Expo. Kayaknya tipikal negara dunia ketiga ya, pembangunan itu kejar setoran menjelang ada hajatan besar.

Dekorasi di ruang makan utama Grand Colombo
"I'm sorry Sir, Madam!" sebuah suara memanggil kami. Ini dia Anthony! Pria paruh baya berkulit gelap namun dengan senyum ramah. Sejurus kemudian backpack Deuter saya melompat masuk ke belakang mobil dan kami meluncur ke luar bandara.

Tapi ya itu tadi, malam hari membuat saya tidak bisa membayangkan bagaimana itu Colombo. Ada hutan, ada sungai, rumah-rumah yang sepi karena sudah dini hari, deretan gedung-gedung yang juga sepi. Tidak sampai satu jam kemudian kami pun sampai.

Cinnamon Grand Colombo, hotel besar banget. Bayangkanlah Grand Indonesia kali ya. Yang bikin mulut menganga ini adalah lampu bermodel lentera atau lampion super besar di atas ruang makan utamanya yang punya langit-langit tinggi.

Ah, tubuh ini sudah terlalu lelah untuk mengagumi. Check in beres dan saya hanya memfoto kamar sebelum tubuh ini menghempaskan diri di atasnya. Sudah pukul 03.00 waktu setempat dan pukul 07.00 nanti saya harus sudah siap liputan. 'Pidato Presiden Sri Lanka', ah ya ampun tulisan di TOR liputan ini bikin badan bertambah lemas.

Kamar hotel saya nih
Begitulah nasib wartawan, harus siap tempur 24 jam. Padahal niat saya besok sederhana saja, saya ingin melihat wajah Colombo ketika surya datang menyapa.

Dan dalam beberapa jam, saya tahu kalau Bandaranaike itu nama bapak bangsanya Sri Lanka, seperti Soekarno-nya. Yang jelas bukan terjemahan bandara dalam bahasa Sri Lanka. Hehehehe, maaf.

Saturday, December 15, 2012

Puisi Twitter (#Puitwit) 11-20

Mengumpulkan bait digital yang tercerai-berai...

------------------------------

11.
4 Juli Fitraya Ramadhanny Fitraya Ramadhanny @fayanamaku
Ketika angin berdansa dengan daun padi. Kepeluk erat dirimu di sini. Tempat ini tak berubah. Cinta ini tak berubah. Jangan pernah...

12.
4 Juli Fitraya Ramadhanny Fitraya Ramadhanny @fayanamaku
Purnama menemaniku pulang sepanjang jalan, jelang tengah malam. Terima kasih, aku memang sendirian....

13.
4 Juli Fitraya Ramadhanny Fitraya Ramadhanny @fayanamaku
Ada lelah, ada gundah, ada yang terasa sakit di dalam dada. Ya Allah, jadikan aku orang yang bersabar dan bersyukur

14.
4 Juli Fitraya Ramadhanny Fitraya Ramadhanny @fayanamaku
Tuhan, Engkau adalah lautan. Biarkan Aku hanyut menuju diriMu

15.
6 Jul Fitraya Ramadhanny Fitraya Ramadhanny @fayanamaku
JEDA - Awan kelabu dan tanpa angin. Seolah hari tak mau beranjak main. Pohon patah terbaring kaku. Sang waktu ikut berhenti bersamaku

16.
6 Jul Fitraya Ramadhanny Fitraya Ramadhanny @fayanamaku
PATH - Men walk, men run. Sometime, we just run into each other. Walk along, run along. But we walk our own way. Different, and always

17.
6 Jul Fitraya Ramadhanny Fitraya Ramadhanny @fayanamaku
CEMBURU - Kugenggam erat tanganmu. Kita susuri malam biru. Hati kita satu. Dan biarkan rembulan cemburu

18.
6 Jul Fitraya Ramadhanny Fitraya Ramadhanny @fayanamaku
JURANG - Tak pernah mudah meraihmu. Dan kamu tak pernah percaya itu. Di antara cinta kita ada jurang. Tapi Aku adalah seorang pejuang.

19.
6 Jul Fitraya Ramadhanny Fitraya Ramadhanny @fayanamaku
DESTI - Kupandang indah coklat bola matamu. Kunikmati setiap binar itu. Tak perlu ada kata dari bibirmu. Aku tahu kau cinta padaku

20.
6 Jul Fitraya Ramadhanny Fitraya Ramadhanny @fayanamaku
For you, love has something more. For me, love has something new. For us, love is a celebration #Puitwit

Analisa Politik Soal Penembakan Sandy Hook

Photo by Reuters
Bangun pagi baca detikcom, tahu-tahu sudah ramai penembakan di SD Sandy Hook, Newton, Connecticut, USA. Korban jiwa 27 orang, termasuk 20 anak-anak SD. Obama menangis.... Cukup? Saya tersenyum getir. Untuk yang satu ini entah kenapa Amerika tidak pernah belajar.

Pada 1998-1999 silam, saya hanyalah seorang anak SMA yang ikut Exchange Student ke Australia. Tapi teman-teman saya yang dikirim ke USA punya masalah tambahan. Terjadi penembakan brutal di SMA, yang saya ingat pelakunya geng sekolah bernama Trenchcoat Mafia. Teman-teman saya itu menjalani hari-hari menegangkan dengan razia senjata api.... setiap hari.

(Maaf tadi Googling dulu) Columbine High School Masacre, 20 April 1999, itu dia nama peristiwanya. Peristiwa itu nempel terus di kepala saya, karena beberapa hal. Satu, saya masih SMA dan membayangkan hal itu terjadi di sekolah saya. Dua, teman-teman saya di AS terkena dampaknya, proses curhatnya itu jadi concern semua panitia Rotary Youth Exchange Program saat itu. Tiga, ini yang penting, Australia juga biasa dengan senjata api.

Confession time! Saya belajar menembak di Australia.Saya diajak berburu ke pedalaman outback Rockhampton. Berangkat subuh ke tengah padang rumput. Saya diberi senapan kaliber kecil, lupa kaliber berapa. Tapi itu senapan sungguhan. Kami berburu Kanguru!!

Saya tidak sanggup menembak hewan lucu yang bisa lompat-lompat itu. Saya memilih menembak sekawanan bebek yang lagi minum di billabong. Dor! Random shoot, pasti kena, soalnya bebeknya ratusan lagi kumpul. Takut? Iya. Sedih? Iya. Merasa bersalah? Iya. Tapi saya belajar hal penting saat itu, SENJATA API BERBAHAYA.

Saya tidak pernah menyalahkan host parent saya yang mengajari saya menembak. Saya memahami kulturnya sepenuhnya. Sebuah kultur sosio-politik yang juga sama di USA. Kepemilikan senjata api adalah bagian dari sebuah ideologi politik di USA dan Australia.

Senjata api mewakili sebuah identitas politik konservatif, tradisional, true blood American, rural, redneck, pendukung Partai Republik. Mereka yang tinggal di kota kecil, hidup di peternakan, masyarakat rural, jarang bersentuhan dengan orang asing, memandang sebelah mata kepada kelompok imigran, mereka lah yang merasa memiliki negara ini, dan mereka mempertahankannya dengan....... senjata api.

Perhatikan deh, kebanyakan kasus penembakan sekolah di USA terjadi di kota kecil. Ya itulah masyarakat dengan identitas politik itu tadi. Please tell me kalau ada data penembakan sekolah di New York, LA atau kota besar yang multikultural.

Buntut dari penembakan di Sandy Hook ini pasti desakan soal Gun Control. Sebuah kebijakan yang saya analisa pasti akan diendorsed Presiden Obama dan Partai Demokrat. Tapi, kaum Republican akan menentang habis. Republican selalu menang soal Gun Control, buktinya peristiwa yang sama terus berulang sejak dulu saya tahu tahun 1999 sampai 2012. 13 Tahun!

Entah kenapa Gun Control seperti mentah terus gara-gara 'Invisible Hand' di USA. Terserah mau dibilang lobi Yahudi, Freemason, Kabalis, kepentingan modal kapitalis, dll. Mereka selalu bisa menekan Gun Control itu yang penting ada toko senjata khusus, pembeli dengan aneka persyaratan tertentu, tapi begitu senjata sudah ada di tangan warga sipil, urusan masing-masing deh tuh.

Gun Control setelah kasus penembakan Sandy Hook? Buat saya omong kosong, Republic belum pernah kalah untuk hal ini. Buat mereka Gun Control sudah sempurna. Sandy Hook cuma kasus minor.

Yang orang belum menyadari adalah: Gun Control bisa merusak industri persenjataan USA yang didukung Republik. Ini bisnis jutaan dollar. Yang kelas partai besar (bayangkan Carefour) dibeli militer, yang eceran (bayangkan Indomart) dibeli warga sipil. Perang melawan terorisme, Irak, Afghanistan, Libya, itu sudah memutar uang jutaan dollar.

Bagi mereka, peluru harus selalu bisa dijual, Gun Control haram hukumnya, Sandy Hook besok juga orang lupa, ribuan prajurit USA yang mati, mereka bilang Expendables, bagian dari proses produksi. Yang mati masukan peti, bungkus bendera Star Spangled Banner, cetak prajurit baru.

Saya kasihan sama anak-anak muda galau USA di kota-kota kecil yang punya akses kepada senjata api. Mereka korban dari industri senjata api gila-gilaan. Propagandanya parah memang..... lewat Hollywood.

I tell you secret, ada pesan tersembunyi dari film Iron Man dan Expendables. Itu propaganda betapa industri senjata api itu penting untuk USA. Tony Stark perlu membuat senjata karena itu keren. Stallone dan kawan-kawan butuh senjata itu untuk melawan orang jahat di berbagai belahan dunia. Paham? Masih berharap dengan Gun Control?

Maaf saya pesimistis, tapi kasus Sandy Hook itu dead end. Cuma prihatin dan janji manis untuk mengendalikan senjata. Tapi setelah itu, entah di kota kecil mana lagi di USA, ada anak muda yang labil tapi punya akses kepada senjata api entah punya siapa. Ujung jari telunjuknya ada di pelatuk. Saya berduka cita untuk para korban.

Sunday, November 11, 2012

Batik Kopi Pecah, Batiknya Penggemar Kopi

Batik Kopi Pecah khas Desa Losari

Kopi sekarang sudah menjadi bagian dari gaya hidup orang. Starbucks Coffee menjamur dan sepertinya harga mahal bukan masalah. Kalau mengaku penggemar kopi, wajib deh hukumnya membeli batik bermotif kopi di Desa Losari, Magelang.

Pada hari kedua di Resor MesaStila awal Oktober lalu, usai lomba lari MesaStila Challenge, saya akhirnya bisa melihat batik bermotif kopi ini. Bos PT Adaro sekaligus pemilik resor, Sandiaga Uno rupanya mau memberi bantuan untuk warga di Balai Desa Losari, Magelang.

Di Balai Desa, ruang serbaguna penuh dengan ibu-ibu membatik. Masuk ke dalamnya, saya melihat rak-rak dengan kain-kain batik cantik yang menggantung dan menjuntai.

Desa Losari rupanya tidak hanya memiliki perkebunan kopi. Yang terbaru dari desa ini untuk wisatawan, justru adalah kerajinan batik Losari yang sedang menggeliat. Nama tempatnya adalah Sanggar Batik Eyang Mas Ayu.

Bryan Hoare, Sandiaga Uno dan saya
"Kami baru mulai pada 2008 akhir. Berawal dari pelatihan dan kini diproduksi di rumah masing-masing warga," kata Kepala Desa Losari, Purbo Widodo waktu mengobrol dengan saya. Sebelum penyerahan bantuan dari Sandiaga Uno.

Pembina para ibu-ibu ini adalah Tri Hapsari, istri Purbo. Menurut Tri, kerajinan batik Losari berawal dari pelatihan batik tulis oleh Ibu Laras. Setelah hampir 4 tahun, warga sudah membatik sendiri. Motif batiknya tentu bermacam-macam. Namun rupanya, warga sudah memiliki sebuah motif khas yang menjadi identitas Losari: Kopi.

Ini adalah motif yang menurut saya paling cantik dan sangat mewakili identitas mereka. Nama motifnya adalah Batik Kopi Pecah. Motif batik ini berbentuk daun-daun kopi, bunga dan buah kopi. Warnanya bisa hijau, biru, coklat, ungu dan aneka warna lain.

"Untuk batik tulis harganya Rp 250 ribu-500 ribu untuk kain 2,5 meter. Kalau batik cetak harganya Rp 100 ribu-150 ribu untuk panjang kain yang sama," kata Tri.

Ibu-ibu membatik di Balai Desa Losari
Nah untuk saat ini, Batik Kopi Pecah belum bisa ditemukan di toko-toko dan pasar di Magelang. Para wisatawan yang ingin berburu batik ini bisa datang langsung ke Balai Desa Losari atau ke kediaman Tri Hapsari yang untuk sementara ini menjadi ruang pamer batik Losari.

Jika Anda sedang menginap di Resor MesaStila, pihak hotel akan dengan senang hati mengantar Anda untuk membeli batik Kopi Pecah. Warga pembatik ini juga adalah warga binaan pihak hotel. Bahkan, MesaStila terkadang mengundang para pembatik untuk unjuk kebolehan di depan wisatawan, atau para wisatawan ini yang dibawa ke Sanggar Batik Eyang Mas Ayu.

Harapan Tri, batik asal Losari bisa mendapatkan tempat di hati para wisatawan, bahkan diekspor keluar negeri. Sejauh ini, ibu-ibu pembatik ini sudah mengerjakan pesanan dari berbagai kota di Indonesia.

Wisatawan yang tertarik membeli batik Kopi Pecah, bisa menghubungi Ibu Tri di Sanggar Batik Eyang Mas Ayu, Desa Losari, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang. Tri juga bisa dihubungi di ponselnya 0813 9295 4450 atau di 0813 2674 1125.

Mencanting
Batik Kopi Pecah dari Sanggar Batik Eyang Mas Ayu, layak menjadi oleh-oleh baru saat Anda berlibur ke Losari, Magelang. Sambil membantu perekonomian warga desa, Anda bisa membawa pulang batik bermotif kopi yang cantik. Apalagi kalau Anda memang penggemar minuman legit ini, harus beli! Saya angkat jempol dan ikut berdoa untuk mimpi para warga Desa Losari.

Silakan juga menikmati versi beritanya di sini.

Saturday, November 10, 2012

Tidur Mewah Ala Raja Jawa di MesaStila

Mayong Station - The Front Office
Usai menikmati Lawang Sewu, Semarang, sore hari awal Oktober itu, mobil kami melesat di jalan tol melewati Ungaran dan akhirnya tiba di Resor MesaStila di Desa Losari, Magelang. Hawa sejuk malam hari menyapa tatkala kaki ini sampai di depan sebuah stasiun kereta tua bertuliskan Mayong. Namun di dalam stasiun itu ternyata adalah sebuah front office hotel.

"Ini asli, Mas. Dipindahkan dari Mayong di Jepara ke Magelang sini," ujar pelayan hotel sambil mengambil tas backpack saya. MesaStila langsung membuat saya penasaran malam itu juga. Namun, temaram lampu yang cantik di resor dan spa ini malah membuat saya makin penasaran.

Pagi harinya, pemandangan cantik jelita itu terjawab sudah. Bersama embun pagi, jelas sudah panorama di resor seluas 22 hektar, yang dulu bernama Losari Spa Retreat and Coffee Plantation ini. Separuh kawasan resor ini adalah perkebunan kopi yang masih aktif.

Telomoyo
MesaStila memiliki 22 villa yang merupakan rumah joglo dan limas tua. Asli dipindahkan dari tempat asalnya ke MesaStila. Luar biasa!

Jari jemari saya menyusuri lekuk kusen-kusen dan ukiran kayu dari villa yang saya tempati, Telomoyo namanya. Di kamar ini saya bersama Pak Made dari Kompas. Telomoyo menurut saya adalah relokasi sebuah memori dari masa silam Jawa yang sukses. Bukan hanya satu, tapi 22 rumah Jawa dan bangunan lain yang dikoleksi MesaStila dan dialihfungsikan sebagai villa dan bangunan resor lainnya.

"Di MesaStila, kami ingin menampilkan suasana khas Jawa yang nyaman untuk semua tamu kita," kata Mbak Sri Utami dalam obrolan usai makan malam di ruang makan utama MesaStila. Dia ini Direktur Marketing Mesa Hotels and Resorts.

The Club House
Suasana Jawa dan Kolonial kental terasa di MesaStila. Ini lantaran sebuah bangunan utama di sebuah bukit kecil yang tampil dominan. Ini adalah club house hotel, namun aslinya rumah seorang Belanda bernama Gustav Van Der Swan yang dibangun pada 1928. Gustav adalah pemilik pertama perkebunan kopi di Losari, Magelang. Rumah Gustav adalah bangunan pertama dan asli yang berdiri di tempat ini.

Kontur perbukitan di MesaStila, memanjakan mata dengan pemandangan Gunung Andong, Gunung Merbabu, Gunung Merapi, dan sederet pegunungan lain. Turun ke lembah dari sisi kiri Club House ada perkebunan kopi menghampar dengan aneka pepohonan besar sebagai peneduh. Dalam suasana tenang, hati pun terasa damai.

Selanjutnya, bersiaplah dimanjakan MesaStila dengan fasilitas kamarnya. Villa-nya terbagi dalam beberapa kelas yaitu Plantation Villa, Arum Villa dengan satu kamar tidur, Ambar Villa dengan dua kamar tidur, dan The Bella Vista yang terdiri dari 5 villa yang terkoneksi. Nah, Bella Vista ini yang mewah banget karena kamar inilah yang pernah dipakai Presiden SBY untuk menginap.

The Bella Vista
"Presiden SBY pernah duduk dibangku itu," kata seorang staf hotel kepada saya menunjuk ke bangku di taman menghadap ke sebuah lembah. Barulah saya sadar itulah pojok yang pernah saya lihat di galeri foto Kantor Kepresidenan. SBY pernah menulis puisi dan naskah pidato di pojok itu.

Semua bangunan ini adalah rumah Joglo dan Limas tampak antik dari luar, namun modern di dalam. Masa silam dan masa kini dikawinkan sempurna di MesaStila. Rumah antik yang dijadikan villa ini memiliki AC, wifi, TV kabel, air panas, telepon dan aneka fasilitas lain layaknya resor.

Namun suasana antik dijaga dengan aneka dekorasi ukiran, ornamen Jawa, lemari antik, bale-bale, bahkan ubinnya tegel khas Jawa zaman baheula. Melihat pembaringannya, serasa melihat tempat tidur para raja Jawa. Mewah!

"The Bella Vista itu aslinya memang rumah pangeran Jawa di Solo, lho," kata Mbak Tami.

Loket Stasiun Kereta Mayong, masih ada!
Ngomong-ngomong orisinil, Stasiun Kereta Mayong yang jadi kantor Front Office itu saking aslinya, masih ada loket tiketnya. Dahsyat! Unik begitu deh ada front office hotel dengan loket untuk membeli tiket kereta di zaman dulu.

Sebagai resor berkonsep retreat, MesaStila menawarkan aneka fasilitas untuk relaksasi dan menenangkan diri. Ada kolam renang dengan pemandangan gunung dan lembah, serta jalur refleksologi. Ada juga jungle gym, semacam outbound mini tanpa flying fox.

MesaStila juga menawarkan aneka kegiatan mulai dari yoga, agrowisata tur ke perkebunan kopi, berkuda, sampai pencak silat. Kegiatan ini ekslusif untuk mereka yang menginap ke MesaStila, kecuali tur perkebunan kopi yang dibuka untuk umum dengan biaya Rp 450.000 ++ per orang termasuk makan siang dan suvenir kopi asli yang dipanen dari MesaStila.

Untuk kesehatan, MesaStila punya fasilitas spa dengan jamu dan aneka rempah-rempah. Yang patut dicoba adalah The Hammam Spa. Ini adalah mandi ala Turki yang diklaim hanya ada satu-satunya di Asia selain di negeri aslinya. Wow!

The Hammam Spa
Berapa room rates di MesaStila? Menurut Tami, tersedia beragam paket menginap menarik mulai dari Experience Losari mulai dari Rp 1.200.000 ++/malam/villa di Plantation villa.

"Ada juga beberapa Wellness Packages yang tersedia seperti Dynamism atau Escapism untuk menginap 2 malam, Executive Recharge atau Destress & Indulgence untuk 3 malam dan lainnya sesuai dengan kebutuhan dari para tamunya," kata Tami.

Dengan kemewahan ala Raja Jawa, MesaStila bisa menjadi pilihan buat mereka yang ingin menyepi dari segala hiruk pikuk kehidupan kota besar. Mencari ketenangan di tengah perkebunan kopi atau mungkin pasangan yang sedang berbulan madu, bisa menemukan tempat tetirahnya di MesaStila.

Yang asyik dari MesaStila ini adalah suasananya yang homy banget. Sesi makan adalah saat dimana para tamu bisa mengobrol dengan pengelola hotel. Chef asal Australia bernama Darren, ini orang Australia kesekian bernama demikian yang saya temui, asyik untuk diajak ngobrol karena dia memantau langsung suasana makan.

"What do we have for dinner?" Dan dia dengan senang hati menunjukkan satu-satu masakan yang dia buat.

The ambience
Satu lagi adalah Retreat Manager MesaStila Bryan Hoare, yang merupakan atlet triathlon dan sudah punya tato Iron Man (bukan superhero ya!) sebagai tanda pernah ikut dan juara triathlon. Bryan ini sudah jatuh cinta banget dengan Jawa Tengah.

"Kami ingin semua orang yang datang ke tempat ini bisa mendapatkan liburan dengan aktivitas yang positif untuk tubuh dan kesehatan mereka. Tempat ini memiliki seluruh kecantikan yang ada di Jawa," kata Retreat Manager MesaStila Bryan Hoare.

Dalam sebuah obrolan dengan Bryan, dia cerita sudah pernah mengurus hotel di Phuket, Maladewa, Malaysia, dan beberapa tempat destinasi top lain. Nah, dia bilang nggak ada tempat di dunia ini dengan masyarakat seperti di Jawa Tengah.

"Di Amerika, orang bilang 'See you again' tetapi setelah itu mereka tidak peduli. Orang Thailand juga bilang 'Sawasdee' tapi tidak ada yang setulus orang Jawa menyapa kamu. Begitu murni hatinya," kata Bryan. Saya setuju, Bryan!

Oh iya, kalau mau lihat versi beritanya ada di sini

Sunday, October 14, 2012

Marriage is A Reminder From God

Kemarin, sejumlah orang termasuk saya mendapat sebuah pelajaran maha penting, sekaligus sebuah pengingat tentang pernikahan. Seseorang yang dekat dengan kami, batal menikah pada jam-jam terakhir menjelang pernikahannya. Batal begitu saja... dengan alasan tertentu.

Sedih rasanya mengetahui hal ini... Kisahnya terlalu privat untuk diceritakan di sini. Namun ada esensi penting yang harus disampaikan sebagai pengingat.

Menikah...... bukan hanya menyatukan dua manusia. Menikah adalah menyatukan banyak orang..... dalam dua keluarga, atas nama Allah, agama dan cinta.

Terlalu sederhana kalau menikah hanya menyebut A menikahi B, karena faktanya banyak orang yang akhirnya bersatu dalam sebuah pernikahan, lebih dari sekadar kedua mempelai tersebut. Kedua orang tua menjadi besanan, saudara-saudara menjadi ipar, dan sanak famili menjadi kerabat. Anak akan punya orang tua baru bernama mertua, siapkah mereka menghormati? Orang tua akan punya anak baru bernama menantu, sudah siapkah mereka menyayangi?

Melalui pernikahan, cinta mengikat lebih dari sekadar sang pengantin, tapi juga seluruh keluarganya. Hal itu sekaligus juga menjadi tantangan, karena kita tahu bahwa konflik juga merupakan bagian dari kehidupan.

Menikah..... juga adalah cara untuk menyatukan sebuah perbedaan. Terkadang perbedaan itu begitu besarnya, karena lagi-lagi yang terlibat bukan hanya dua orang, tapi banyak orang. Kadang kita semua berhasil mengatasinya..... kadang tidak. Kemarin, perbedaan itu belum bisa kami atasi.

Kemarin, Allah menjadikan pernikahan sebagai sebuah pengingat. Untuk yang akhirnya tidak menjadi pengantin, Allah bertanya, "Apakah kamu sudah siap menikah? Apa niat kamu menikah? Dengan siapa kamu menikah?" Kepada keluarga yang akan menikahkan anak-anak mereka, Allah juga bertanya, "Apa tujuan dari pernikahan ini? Dengan siapa kamu menikahkan anakmu?"

Setiap detil yang menyusun sebuah mahligai pernikahan, adalah kebaikan, dan harus berasal dari kebaikan itu sendiri. Mengawali pernikahan dengan niat yang benar, cita-cita yang benar dan cara yang benar. Jangan beri tempat untuk keburukan mencari celah dalam ruang penikahan.

Saat pertanyaan-pertanyaan dari Allah itu dijawab.... Saat niat itu diuji.... Kita akan tahu, apakah sebuah pernikahan baru layak untuk dimulai atau tidak. Bisakah kita menyatukan perbedaan itu, bahkan berdamai dengan perbedaan dan menjadikannya sebagai benih-benih harmoni.

Saking seriusnya sebuah pernikahan, Rasulullah Muhammad SAW mengatakan, "Menikah itu menyempurnakan separuh agama." Karena pada faktanya, dalam pernikahan kita mempraktekan dalam kehidupan nyata separuh pelajaran agama yang kita dapat, separuh isi Al Quran yang kita baca.

MENIKAH adalah CINTA terhadap pasangan, ditambah RESPEK kepada keluarga, ditambah TANGGUNG JAWAB kepada Allah. Allah ingin mengingatkan kita bahwa menikah adalah salah satu cara untuk menggapai ridha-nya. Jadi, luruskan niat. MENIKAHLAH karena Allah.

Saat sampai kembali ke rumah, saya peluk Desti erat-erat. Allah juga menjadikan peristiwa hari ini sebagai pengingat atas komitmen kami menikah hampir 8 tahun silam.

"Desti, semoga Allah menjaga niat kita, semoga Allah melindungi kita, semoga Allah mengikat kita. Semoga pernikahan ini menjadi jalan untuk meraih cinta sejati dari-Nya."

Thursday, October 11, 2012

Waktu Seperti Membeku di Lawang Sewu


Kalau tidak punya waktu banyak di suatu tempat, kadang cara paling enak untuk menikmatinya ya duduk saja. Biarkan waktu yang sedikit itu bergulir perlahan dengan kita menikmati suasananya. Begitulah waktu saya beberapa waktu lalu ke Semarang.

Jumat 5 Oktober sore itu, tidak banyak waktu saya di Simpang Lima, Semarang. Tinggal menunggu mobil yang akan membawa saya ke MesaStila Resort di Magelang. Rombongan lain ada perlu membeli charger Blackberry. Alih-alih bengong, lebih baik saya menunggu di tempat yang asyik.


Kaki pun melangkah menuju Lawang Sewu. Inilah bekas kantor pusat kereta api Belanda, Nederlandsche Indische Spoorweg Matschappij (NIS). Dibangun pada tahun 1904 selesai pada tahun 1907.

Saya tidak masuk ke dalam, tapi memutuskan untuk menikmati pemandangannya dari arah taman di tengah Simpang Lima. Bersama saya, ada beberapa pasangan yang duduk mojok pacaran. Segerombolan ABG asyik bercanda ria. Sedangkan, tiga penghobi foto membidik Lawang Sewu seperti juga saya.

Jika saya adalah Lawang Sewu, terbayang betapa suasana di hadapan saya berubah dalam 105 tahun. Jepang menjadikan ruang bawah tanahnya sebagai penjara. Darah pemuda Indonesia pernah tumpah di depan Lawang Sewu saat Pertempuran 5 Hari di Semarang, 14-19 Oktober 1945.


Pohon-pohon ada yang hilang berganti jadi gedung dan kantor. Kereta kuda yang melintas berubah menjadi motor dan mobil. Sedangkan si Lawang Sewu... sang waktu berhenti berdetak untuknya.

Lampu merah berganti hijau dan motor lantas menderu duluan disusul mobil-mobil dan bis, mengitari Taman Simpang Lima. Roda-roda yang bergulir seperti tidak peduli ada Lawang Sewu di sana, menunggu perhatian mereka.

Sahabat setianya hanya sebuah lokomotif tua bernomor C 23 01 buatan Chemnitz, Jerman, tahun 1908. Berdua, mereka menyaksikan zaman berubah dan mereka bertahan di Simpang Lima. Entah sampai kapan... Tapi dinikmati saja, seperti saya menikmati suasana di depan Lawang Sewu sore itu dengan sederhana.

Saat matahari sore sudah lebih turun, kaki saya pun melangkah pulang. Paling saya hanya 15 menit di tempat itu. Satu hari lagi akan berlalu untuk gedung berjuluk seribu pintu itu.

Baca versi beritanya di sini

Friday, September 28, 2012

Ein Ritter in Der Familie

Ini adalah satu dari 3 peristiwa besar saat saya vacum dari aktivitas nge-blog: Kelahiran anak kedua kami, laki-laki. Siapa yang nggak ingin punya anak laki-laki, tapi buat saya dan Desti apapun yang diberikan Allah, apapun gendernya.

Bukan tanpa sebab, program anak kedua rupanya jauh lebih sulit dari dugaan kita. Merencanakan kehamilan Desti sudah dimulai sejak Desti mendapatkan gelar Master di Berlin, Jerman. Tapi sampai kami pulang ke Indonesia dan berbulan-bulan kemudian, belum hamil juga.

Perlu satu blog sendiri bagaimana akhirnya Desti hamil, sempat konsultasi ke RSCM segala soalnya hehehe. Saya dan Desti tes ini itu. Tapi sebelum semuanya tuntas, Desti sudah hamil. Alhamdulillah!

Saya benar-benar nggak masalah dengan gender si bayi, karena Desti bisa hamil saja perjuangannya lumayan. Tapi, sejak awal Zahra selalu bilang, "Mama, Papa, aku mau adik laki-laki nanti namanya Dzaky." Kami meng-amin-kan sambil berpikir andai saja memiliki bayi semudah membeli laptop, bisa diatur spek-nya mau bagaimana.

Namun Allah menjawab doa Zahra. Sejak proses USG, ibu dokter kandungan langganan kami sudah bilang bayinya laki-laki. "Itu ada kodenya 0-1-0," kata si ibu dokter berjilbab itu sambil menatap monitor. Testikel-Penis-Testikel, demikian dia menjelaskan sebentuk 'angka' yang muncul di layar USG, di bagian selangkangan bayi kami.

Tiba akhirnya pada Senin 23 Mei 2011, sore hari. Desti menghubungi dari telepon dengan nada santai, "Say, aku sudah pembukaan, kamu nyusul ke RS yaaaa." Ada ibu saya memang di rumah, kebetulan sedang liburan menengok cucunya. Saya waktu itu masih jadi Waredpel detikNews, mohon pamit ke Mba Nurul selaku Redaktur Eksekutif dan tancap gas ke RSIA Citra Insani, Parung, Bogor.

Kelahiran anak adalah momen penting buat saya. Maaf, saya bukan tipikal suami yang menunggu di luar ruang bersalin. Bagi saya, itu adalah momen paling genting untuk Desti dan saya harus ada di sampingnya sejak awal. Ikut berlumur bersama darah dan air ketuban, serta tangan yang lecet-lecet dicubit dan dicakar Desti, yang penting saya hadir saat detik pertama anak kami lahir. Saya ada di situ waktu detik pertama Zahra lahir. Saya harus ada di situ juga saat adiknya lahir.

Saat kepalanya nongol saya cuma bilang, "Come on, my boy!" Melihat kepala mungil berlumur darah dan air ketuban. Pukul 21.45 WIB, putra kami lahir, menangis kecil, dibersihkan suster dan saya mendampingi sang bayi. Saya hitung kelengkapan organ tubuhnya, melihat timbangannya 3,6 kg, panjangnya 50 cm. Yang paling penting, saya mengadzani si bayi kecil.

"Siapa nama bayinya, Pak?" tanya suster. Saya menjawab mantap, "Dzaky Ritter Ramadhanny!"

Proses penamaannya tidak sebentar, karena nama adalah doa dari orangtua. Zahra sudah memberikan nama depan, kami cari ejaan yang benar ternyata "Dzaky" artinya cerdas. Nama belakang sudah pasti ikut nama bapaknya, Ramadhanny walaupun bukan lahir saat Ramadan. Kami tinggal mencari nama tengah.

Sejak awal kami berniat nama tengahnya harus dalam bahasa Jerman, untuk mengenang pengembaraan kami di Negeri Bratwurst itu. Tapi, nama Jerman ini kami tidak mau nama Injil dan bukan pula nama tradisional Jerman yang terkait dengan pekerjaan nenek moyang, contoh: Schumacher - Pembuat Sepatu, Fischer - Nelayan, Schneider - Tukang Jahit, Schweinsteiger - Penunggang Babi.

Kami mencari nama-nama bernada ningrat atau kata sifat yang macho. Tadinya mau pakai Stark (Kuat) tapi sudah dipakai untuk nama belakang superhero Iron Man. Di level nama bangsawan ada Der Koenig (Raja) dan Der Prinze (Pangeran). Namun pilihan saya jatuh pada Der Ritter (Ksatria), di situ ada sifat membela yang lemah, berjuang, berani, bertanggung jawab, gentleman, bersifat ksatria.

Und, haben wir ein Ritter in der Familie! Kami punya seorang Ksatria di dalam keluarga kami! Dzaky, 1,5 tahun kemudian tumbuh menjadi bayi yang berotot betis dan lengan kencang. Energinya tidak pernah habis. Aktif sekali dengan motoriknya bagus. Bodinya sebesar sepupunya yang blasteran bule Australia. Saya bersyukur kepada Allah!

Tapi, orang yang paling berjasa dalam kelahiran Dzaky adalah neneknya. Begini ceritanya, rupanya Desti mengalami Ketuban Pecah Dini dan Desti tidak mengerti. Per detik itu menjadi sangat berarti untuk segera membawa Desti ke RS sebelum kondisinya menjadi genting. Ibu saya gitu-gitu juga pernah jadi istri dokter kandungan. Dia mengambil keputusan cepat dengan BERAKTING, agar Desti bisa dirayu cepat pergi ke RS, tanpa panik.

"Ke RS saja yuk sekarang," kata Mama.
"Kenapa sekarang Ma?" kata Desti yang nggak tahu sudah mengalami Ketuban Pecah Dini.
"Kalau sudah begini cepat kok lahirannya," kata Mama, berpura-pura tenang.

Mama ambil Terios kami dan pergi membawa Desti ke RS dalam kondisi cuaca hujan badai! Pas saya sampai RS, hujan itu baru selesai. Pheeeww.... Mom, you were the hero for us!

Sunday, September 2, 2012

Si Cokor Hejo

Saya nyaris tidak pernah ke Bekasi, selain melintasinya dengan kereta Cirebon Expres. Maaf.... Padahal di Bekasi ada rumah Mas Alvin sepupu saya, Wa Dini mamanya Sastri, dan Bi Nia tantenya Desti. Namun, selama bertahun-tahun itu, waktu memang belum mengizinkan.

Makanya, seminggu usai Lebaran lalu, kami memaksakan diri, pokoknya harus bisa ke Bekasi. Karena Wa Dini ke Bandung, kami hanya pergi ke Bi Nia. Ternyata rumahnya belum masuk Bekasi, tapi Pulo Gebang, Jakarta Timur, nyaris Bekasi sih tempatnya.

Itu adalah hari yang menyenangkan, bisa bertemu Bi Nia dan keluarga. Terakhir saya ingat bertemu Bi Nia saat saya dan Desti menikah. Namun, Bi Nia meralat ucapan saya.

"Bukan, kita pertama bertemu waktu menjenguk Aki Ipik (almarhum kakek mertua). Aki Ipik memanggil kamu Si Cokor Hejo....," kata Bi Nia. Saya benar-benar lupa...
"Iya say, kan waktu itu kamu dikenalkan sebagai calon aku. Aki Ipik udah sakit. Kan kamu tanya juga ke aku Si Cokor Hejo itu apa artinya, aku juga nggak tahu kan," Desti menimpali.
"Si Cokor Hejo itu artinya suka traveling, karena kamu ada turunan orang Bogor," Bi Nia mengingatkan.

Wooooowwww! Bertahun-tahun lalu, sebelum saya lebih banyak bertualang, sebelum saya jadi Redaktur Pelaksana detikTravel, Aki Ipik sudah tahu dalam sekali lirik. Apa ini namanya potensi tersembunyi atau apa begitu.

Jadi karena ibu saya turunan Bogor, saya jadi suka traveling begitu? Masa sih? Mesti nanya dulu sama Kang Haris Maulana ini hehehe.

Tapi ini bukan ramalan, saya tahu betul. Karena, saya yakin dalam setiap nama pemberian orang tua, ada doa di sana. Si Cokor Hejo adalah doa Aki Ipik, dan Allah mengabulkannya. Saya pun berjalan-jalan kesana kemari.

Saat mobil kami membelah Tol JORR nan sepi sore itu, di kepala saya terngiang-ngiang ucapan Bi Nia soal Si Cokor Hejo. Yang bisa saya lakukan hanya memberi Al Fatihah untuk Aki Ipik di surga sana.

Saya jarang foto kaki sendiri (ngapain juga...) Tapi untung ada foto Cokor Hejo saya di bekas Tembok Berlin. Kaki kanan saya di bekas Jerman Barat, kaki kiri saya di bekas Jerman Timur. Ini salah satu foto kesukaan saya.

Yang membuat saya sekarang bahagia, saya bertemu dengan banyak Si Cokor Hejo lainnya, mengurus kanal berita detikTravel soal Si Cokor Hejo dan saya ingin berteman dengan banyak Si Cokor Hejo. Saya yakin, banyak Si Cokor Hejo di luar sana, termasuk Anda.

Sunday, August 26, 2012

Ini Dia Tahu yang Lebih Enak Dari Tahu Sumedang!

Buat banyak orang, Tahu Sumedang sudah tersohor kelezatannya. Tapi untuk yang tinggal di Ciayumajakuning - Cirebon, Indramayu, Majalengka, Kuningan plus Ciamis, mereka mungkin tahu yang Anda belum tahu: Ada yang lebih enak dari Tahu Sumedang.

Tahu Lamping namanya, asli dari Kuningan. Bentuknya mirip Tahu Sumedang, disajikan dalam keranjang anyaman. Rasanya boleh diadu, tapi Tahu Lamping ini diklaim lebih padat dan tidak kopong seperti Tahu Sumedang. Pembaca detikTravel menyebut persaingan dua tahu ini seseru Apple VS Samsung. Saya setuju.....

Kalau saya harus memilih, saya membela Tahu Lamping. Soalnya saya memang membenci kopongnya Tahu Sumedang, nggak kenyang-kenyang jadinya. Lantas, kemana kita mencari Tahu Lamping?

Lamping adalah sebuah daerah di Kuningan, tepatnya 1 km setelah Masjid Agung Kuningan ke arah Ciamis. Ciri-cirinya gampang, tiba-tiba Anda akan terjebak kemacetan selepas Masjid Agung. Itulah daerah Lamping, atau tepatnya Jl Veteran, Kuningan.

Kemacetan ini karena banyak kendaraan yang parkir di kanan dan kiri jalan. Perhatikan baik-baik, di kanan dan kiri jalan itu banyak toko yang menjual tahu panas, Tahu Lamping namanya.

Ada banyak toko penjual Tahu Lamping, tapi yang menjadi favorit adalah Tahu Kopeci dan cabangnya Tahu Kopeci 2 yang berada di seberangnya. Tahu Kopeci paling menyedot perhatian traveler dibandingkan toko Tahu Lamping lainnya. Tahu Kopeci ini favorit mendiang bapak mertua. Beliau lah yang mengajarkan saya untuk mencintai Tahu Lamping dan pindah ke lain hati dari Tahu Sumedang hehehe.

Saya mampir Selasa 21 Agustus, hari ketiga Lebaran. Kopeci Satu tutup, tapi Kopeci Dua sudah buka begitu pula aneka pesaing mereka. Suasana di Tahu Kopeci penuh sesak pengunjung. Sambil menunggu antrean, saya wawancara seorang pembeli.

"Tahu ini lebih enak dari Tahu Sumedang. Kalau Tahu Sumedang yang baru digoreng kan kopong, kalau Tahu Lamping ini tetap padat berisi. Jadi, tahu ini lebih mengenyangkan selain juga lebih gurih," kata Iip, asal Ciamis. Saya manggut-manggut setuju.

Model pembeliannya "first come first served", yang datang duluan dilayani duluan. Saking lakunya, tahu yang baru keluar dari kuali besar tidak pernah lama-lama berada di tempat saji. Hup hup! Penjual Tahu Lamping dengan cekatan memasukkan tahu panas ke dalam keranjang. Teteh-teteh yang melayani pembeli ini sudah biasa memegang tahu panas.

Saya sengaja masuk ke ruang penggorengan tahu, dan mengobrol dengan Maman, pengolah tahu yang sedang sibuk mengangkat papan-papan berisi tahu mentah berukuran 80x80 cm siap goreng. Sambil mengusap peluh di ruang pengap itu, Maman bertutur lancar.

"Tahu Kopeci dan Kopeci 2 ini adik kakak, sudah lama berjualan tahu di sini. Dalam sehari kita bikin 3,5 kuintal tahu, kalau Lebaran bisa sampai 4,5 kuintal dan pasti habis," kata Maman, pengolah Tahu Lamping.

Maman balik bertanya, saya siapa. Saya jelaskan saya wartawan detikTravel, situs berita traveling paling top di Indonesia, hehehe. Tapi saya jelaskan, bapak saya pun asli dari Lengkong, Kuningan. Nah di sinilah hebatnya brotherhood orang Kuningan.

Kalau Anda traveling ke Kuningan, berbincang dengan orang lokal, dan BISA menunjukan kalau Anda berkerabat/berteman dengan orang dari salah satu desa di Kuningan, Anda langsung dianggap saudara! Begitu saya bilang bapak saya dari Lengkong, Maman langsung girang.

"Pan eta si Juju juga dari Lengkong!" kata dia sumringah.
Juju siapaaaaaaa??? Nggak kenaaaaallll, rasanya saya ingin jatuh berlutut di depan dia. Tapi sifat brotherhood inilah yang membuat semua penjual mie rebus dan bubur kacang asal Kuningan di Jabodetabek kompak-kompak.

Coba saja datang, ke penjual mie rebus yang asli Kuningan, bilang "Kang, bapak saya teh asli dari (sebut nama daerah di Kuningan)." Pasti dia girang dan Anda mungkin boleh berhutang mie rebus hehehe.

Anyway, Tahu Lamping dihargai Rp 500 per biji. Biasanya pengujung membeli Rp 20.000 untuk 40 tahu yang memang pas memenuhi keranjang anyaman. Cabe rawit menjadi teman setia tahu ini. Sajian lain adalah susu kedelai yang dijual Rp 2.000 sekantung kecil ukuran 200 ml.

Tahu panas sudah di tangan saya, saatnya mencicipi tahu ini. Nyamm! Kelezatan Tahu Lamping, bukan omong kosong belaka. Satu keranjang Tahu Lamping jadi teman perjalanan saya kembali ke Cirebon hari itu.

Kisah Tahu Lamping ini bisa dinikmati versi beritanya di sini.

Road Trip Wanayasa, Asoy Geboy!

Harusnya tulisan ini masuk ke dalam artikel detikTravel, namun apa daya. Saya minim foto dan data, ini semua gara-gara perjalanan ini dilakukan dalam rangka mudik dan hati dagdigdug karena butuh lebih dari 10 jam untuk sampai ke kampung halaman di Cirebon.

Jadilah kami: saya, Desti, dua anak kami Zahra dan Dzaky, plus Fitri adik ipar, bergabung bersama jutaan orang lain yang memilih mudik pada 17 Agustus lalu. Saat bendera Merah Putih dikerek naik lewat upacara bendera, kami sudah membelah jalan tol Jagorawi.

Dicky, anak magang detikTravel memberi kabar buruk dari BB. Dia hanya beringsut di Pantura. Oke, saya akan ambil jalan Sadang. Namun rupanya, pintu tol Cikampek sudah ditutup, semua kendaraan diminta keluar di Sadang.

Walhasil, Sadang pamer paha -padat merayap tanpa harapan- dan ketika kami tinggal melintas lampu merah, Sadang ditutup polisi tepat di depan hidung saya. What!!!

"Liwat Wanayasa!" kata bapak polisi.

Tahu begitu, saya keluar sekalian dari pintu tol Purwakarta. Sumpah, saya nggak punya bayangan lewat Wanayasa itu seperti apa. Plang "Wanayasa belok kiri" terbaca dan Terios kami nan perkasa ini masuk menyusuri jalan kampung yang kecil.

Hei, hei, pemandangannya asyik juga dan edukatif buat Zahra yang jarang bisa melihat sawah. Kami disuguhi padi, tebu, jagung, ubi, balong ikan. Yang membuat kami tergelak adalah balong ikan bertuliskan "Sedia Anak Buaya" Serius? Kami ingin berputar balik, tapi konvoi mobil mudikers di belakang menyulitkan kami untuk putar arah.

Jalan desa yang kami ambil akhirnya bertemu dengan jalan utama Wanayasa dari mereka yang keluar di pintu tol Purwakarta. Sistem buka tutup jalan sempat membuat beberapa mobil frustasi dan putar balik. Tapi kami terus melaju, sabar-sabar sajalah.

Jalan raya Wanayasa punya pemandangan yang lebih asyik. Rupanya banyak destinasi wisata yang saya juga baru tahu. Kami lewat Situ Buleud, danau yang tidak terlalu besar, tapi ditata rapi. Ada juga Curug Cijalu yang tidak pas di pinggir jalan, tapi mesti masuk dulu 5 km. Entah seperti apa penampilannya. Lagi-lagi, saya tak sempat berfoto di Situ Cibuleud, gara-gara memburu waktu ke Cirebon.

Pemandangan asyik lainnya adalah warga desa menjemur cengkeh. Yup! Cengkeh ada dimana-mana. Warga gelar terpal di halaman untuk menjemur cengkeh. Rupanya pula, di kawasan ini teras persawahannya pun hijau dan cantik, seperti di Ubud.

Di lereng gunung mana ini kami berada? Google map menunjukan kalau mobil kami melintas di belakang Gunung Tangkubanperahu. Pantas saja, hawa lebih adem daripada di Pantura.

Menjelang simpang Cagak, Subang, pemandangan berganti dengan jejeran penjual nanas nan menggiurkan. Apalagi, kondisi lagi macet karena buka tutup jalur, mana tahan kalau nggak beli nanas. Dengan membayar Rp 10.000, dua nanas pun menambah penuh belakang mobil kami.

Nah, pemandangan dari Cagak menuju Sumedang tuh yang asyik. Kebun teh menghampar diselingi jejeran pohon sengon. Lagi-lagi, karena lagi tanggung jalanan lancar, saya urungkan niat berhenti untuk mengambil gambar.

Jalan Cagak ini membawa kita menembus persawahan sampai ke Cimalaka, Sumedang menjelang magrib. Polisi menahan iring-iringan mobil kita sampai 15 menit, demi memberi jalan kendaraan dari Bandung. Nah, di pinggiran jalan berjejerlah aneka penjual tahu Sumedang. Karena waktu buka puasa sudah dekat, konvoi mudiker pada kalap meninggalkan mobil masing-masing untuk memborong tahu hehehe.

Selepas itu jalanan lancar sampai kita masuk Majalengka malam hari. Pas balik ke Jakarta beberapa hari kemudian, pada siang hari, barulah saya sadar Majalengka sudah lebih menarik untuk para traveler. Saya angkat topi untuk Pemkab yang mencoba menata taman kota. 3 Hal yang saya garis bawahi.

Alun-alun Majalengka punya air mancur yang interaktif untuk anak-anak bermain basah-basahan. Kedua, bundaran tugu ikan, sekarang punya taman kota yang memajang jet tempur tua, tapi dicat ulang sampai kinclong. Keren banget nih ada monumen pesawat jet! Ketiga, menjelang arah Kadipaten, ada tugu tulisan 'KOTA MAJALENGKA', konsepnya meniru tulisan Hollywood, Pantai Losari, I AmSterdam. Sederhana, tapi menarik banget buat nongkrong.

Yudasmoro protes kenapa saya nggak twit pic. Sorry banget bro, saya nyetir dan istri jaga 2 anak yang hiperaktif hehehe.

Tapi, satu hal kita baru menyadari betapa Pantura itu membosankan, walaupun mobil bisa melaju kencang. Sebaliknya, jalan alternatif Wanayasa atau Sadang butuh waktu lebih lama, tapi dua jalan ini menawarkan pemandangan yang lebih asyik dengan banyak tempat menarik untuk sebuah road trip yang berkesan.

Dalam hati kami berjanji, kalau lewat Sadang atau Wanayasa lagi, kami akan menikmati setiap kilometernya. Banyak berhenti untuk menikmati suasananya, termasuk menemukan gambar menarik macam toko seluler dengan nama istri saya seperti di samping ini. Semua itu demi Situ Buleud, demi kebun teh, demi sawah menghampar, demi tugu pesawat tempur, demi traveling yang berkualitas.

Sunday, August 12, 2012

My Sacrifice

Badan ini lelah saat kembali ke rumah usai bikin e-KTP malam-malam di kantor kecamatan. Namun dengan sisa tenaga, ingin rasanya membuka email di laptop. Takutnya ada email penting dari para Traveltrooper, maklum Blackberry lagi dirawat inap di Cempaka Mas.

Namun, yang saya temukan adalah sebuah email dari Jerman, isinya menusuk hati sebenarnya. Tentang sebuah mimpi yang harus saya korbankan ketika memilih menjadi Redaktur Pelaksana detikTravel.

Apakah saya mengorbankan sesuatu yang penting? Jawabannya IYA.

Saya percaya, manusia yang baik harus hidup dengan banyak pilihan dan rencana. Saya membuat banyak hal semacam itu. Senang rasanya ketika saya punya banyak cara untuk menjalani hidup yang cuma sekali ini. Selain berkarir, impian lama saya dan juga Desti adalah bersekolah setinggi-tingginya.

Sudah komitmen kita sejak pacaran, yang satu akan mendukung yang lain untuk bersekolah, apapun risikonya. Tapi kami bukan orang kaya dan kami terbiasa mandiri, andalan kami adalah uang beasiswa. Desti sudah dapat Master of Art dari Fachoschule fuer Wirtschaft und Recht Berlin, kini sebenarnya adalah giliran saya.

Yang menarik hati saya adalah Master's Program International Media Studies dari Deutsche Welle Akademie bekerja sama dengan Fachoschule Bonn-Rhein-Sieg. DW yang bagi saya adalah BBC-nya Jerman, menjadi tempat khayalan ini melayang bahwa saya kerja jadi wartawan di kantor berita asing.

Alangkah girangnya saat 3 tahun lalu saya tahu telah dibuka DW Akademie, sekolah tinggi yang dibikin khusus untuk para wartawan. Saya sudah terbayang thesis saya kelak adalah soal Media Online. Bermodal pengalaman 6-7 tahun jadi wartawan detikcom dan beasiswa DAAD, DW Akademie adalah mimpi yang sempurna. Bersekolah di DW, belum sampai bekerja di sana lho, itu tetap terdengar indah di telinga ini.

Aplikasi kuliah sudah dikirim, lamaran beasiswa DAAD pun demikian, lalu pilihan kedua itu datang tiba-tiba: Promosi ke posisi Redaktur Pelaksana detikTravel. Saya mendadak dalam kebimbangan panjang.

detikTravel adalah tantangan sekaligus impian juga, plus mungkin doa Desti. Semasa di Jerman dan kami jadi backpacker ke beberapa negara dan menulis artikel untuk detikcom, Desti pernah berucap, "Kenapa kamu nggak jadi wartawan travelling saja sayang? Mungkin namanya Detik Travel atau apa gitu?" Ketika kami kembali ke Indonesia, kanal ini sungguhan ada hehehe.

Tapi butuh waktu setahun lebih sampai akhirnya Mas Asydhad selaku Wapimred saat itu untuk menawari posisi yang saya juga sama sekali tidak terpikir. Saya tahu saya akan ditarik dari comfort zone sebagai Waredpel detikNews. Artinya banyak tantangan di depan, tapi ini bidang yang saya suka sebenarnya.

Jika saya mengiyakan, artinya saya harus mengorbankan cita-cita saya bersekolah S2. Karena, saya nggak mau setengah-setengah dalam mengerjakan sesuatu, atau kabur di tengah jalan. Saya harus menghanguskan aplikasi saya dengan berat hati. Sangat berat hati.

Maka jadilah saya Redpel detikTravel, menjadi mentor untuk 4 anak muda yang harus saya poles dan bakar semangatnya. Pada medio Januari 2012, ponsel saya berdering dengan nomor awal +49..... dari Jerman.

Benar saja, DW Akademie menelepon saya. Seorang perempuan berbahasa Inggris, namun dengan aksen Jerman yang kental. Dia menanyakan kelanjutan proses aplikasi S2 saya di DW Akademie.

"I would love to, but I've been promoted as Managing Editor. So, I'm afraid that I can't continue my application process in DW Akademie," ucap saya dengan kerongkongan yang seret.
"If you are still interested with our program next year, you can still apply from our website. Best wishes," ujar suara dari ujung sana.

Itulah terakhir kalinya DW menelepon saya. Email yang saya terima semalam adalah penegasan obrolan tempo hari. Tapi hidup adalah pilihan, selalu ada yang dikorbankan demi sebuah cita-cita dan kehidupan yang lebih baik. Saya berdoa ini adalah pilihan terbaik yang ditetapkan Allah, Sang Maha Mengetahui.

Ada sebuah gambar yang dulu suka saya lihat dari situs DW Akademie di internet, untuk membakar semangat saya waktu menyusun aplikasi S2 ini. Gambar itu tinggal kenangan, saya mungkin tidak akan pernah berada di tempat itu. Gambar itu adalah gedung Deutsche Welle Akademie....

Saturday, August 11, 2012

Puisi Twitter (#Puitwit) 1-10

Inilah cikal bakal Puisi Twittter yang saya kembangkan. Awalnya belum pakai hastag #Puitwit. Benar-benar spontan apa yang dirasakan saat itu. Temanya juga masih sangat personal. Teksnya dibiarkan apa adanya saat copy paste dari timeline di Twitter. Ternyata, hobi ini semua bermula pada tanggal 23 Juni 2012. Enjoy!

------------


1.
23 Jun Fitraya Ramadhanny Fitraya Ramadhanny ‏@fayanamaku
Lalu lembut kucium dirimu. Selembut angin malam mencumbu Ciremai. Mahligai cinta kita dibangun di sini, 8 tahun silam

2.
23 Jun Fitraya Ramadhanny Fitraya Ramadhanny ‏@fayanamaku
Kami pun lari, berdua, saat kabut malam membungkus Ciremai. Aku dan dia ingin kembali ke tempat saat cinta kami dirajut #cirebonhometown

3.
23 Jun Fitraya Ramadhanny Fitraya Ramadhanny ‏@fayanamaku
Kugenggam erat jemarinya saat kami menyusur jalan desa di Sangkanurip. Kubiarkan Orion cemburu pada kami di langit malam #cirebonhometown

4.
27 Jun Fitraya Ramadhanny Fitraya Ramadhanny ‏@fayanamaku
Let the wind blows, sometimes we just don't know why

5.
27 Jun Fitraya Ramadhanny Fitraya Ramadhanny ‏@fayanamaku
Dan biarkan hawa pagi mengisi paru-paruku, lantas kuucapkan selamat pagi pada dunia ketika air wudhu mencuci wajahku

6.
27 Jun Fitraya Ramadhanny Fitraya Ramadhanny ‏@fayanamaku
In a place called Home, I have a lot amount of Love and Passion

7.
27 Jun Fitraya Ramadhanny Fitraya Ramadhanny ‏@fayanamaku
Wahai hari, berkah Tuhan yang mana yang dititipkan padamu kali ini. Biarkan aku menjemputnya dengan hati ikhlas, tenang tanpa pergolakan

8.
3 Juli Fitraya Ramadhanny ‏@fayanamaku
Ya Allah, aku hanyalah cangkir kecil yang Kau tuang lautan ilmu. Tapi ingin kureguk smua, walau perlahan, walau tertatih. Aku adl hamba

9.
3 Jul Fitraya Ramadhanny Fitraya Ramadhanny ‏@fayanamaku
Iri adalah perasaan yang tidak perlu. karena aku tahu, Allah cinta padaku, seperti Dia mengasihi setiap mahluk di planet ini

10.
3 Jul Fitraya Ramadhanny Fitraya Ramadhanny ‏@fayanamaku
Teh pekat itu meluncur hangat ke dalam tenggorokanku. Sebuah hari telah berlalu. Biarkan air membasuh letih. Sudah tak ada lagi rintih

Wednesday, August 8, 2012

Jadi Kapan Kalian Mau Urus Papua?

Dengan suara kresek-kresek, Sastri menelepon dari Lembah Baliem, Papua sana, sembari saya menyendokkan bubur ayam hangat untuk mengisi perut semalam. Gelagatnya buruk nih. Batalnya Menparekraf Mari Elka Pangestu membuka Festival Lembah Baliem disambut kekecewaan bupati dan warga Jayawijaya.

Pagi tadi bupatinya menggelar keterangan pers. Jelaslah saya kenapa bupatinya sangat kecewa.

"23 Tahun menunggu, 4 kali ganti presiden, nggak ada menteri pariwisata yang ke sini. Padahal yang akan ditampilkan adalah murni budaya dan ini adalah budaya tertua di Papua," curhat Bupati Jayawijaya John Wempi Wetipo dalam jumpa pers di Hotel Baliem Pilamo, yang dilaporkan Sastri.

Eh busyet? Selama itukah? Anda wajar marah Pak Bupati. Festival Lembah Baliem sudah berumur 23 tahun, reputasinya sudah mendunia...... tapi rupanya belum men-Jakarta........

Menparekraf Mari Elka Pangestu mengikuti jejak para pendahulunya, sejak 22 tahun lalu, untuk tidak menghadiri Festival Lembah Baliem. Alasannya ada rapat kabinet dengan Presiden SBY. Padahal, pak bupati sudah menyiapkan helikopter untuk ibu menteri kita

Ah lagi-lagi urusan di penghujung Nusantara tidak pernah terlihat seksi di mata penguasa. Para penguasa sedang panik menunggu siapa yang bakal diseret KPK menjadi tersangka minggu ini, atau minggu depan. Semua sedang galau memantau tingkat popularitas yang anjlok. Sebuah festival eksotis di ujung timur Indonesia, sudah tidak penting lagi untuk mereka di Jakarta.

Padahal dalam kesempatan berbeda, politisi berlomba berkoar untuk setiap kasus penembakan, atau konflik bersenjata di Bumi Cendrawasih. Semua berteriak, "Papua bagian dari Indonesia!" Lip service kadang begitu memuakan.

Kasihan Baliem, kasihan ratusan orang-orang Suku Dani. Hari ini dengan bangga mereka memakai koteka, perempuannya memakai kombou. Mereka angkat tombak-tombak mereka dalam tarian penuh kegagahan. Mereka merayakan sebuah budaya yang paling tua dan masih lestari di Bumi Papua.

Mereka hanya butuh sedikiiiiiitttt saja PERHATIAN dari Jakarta. Tak perlu janji-janji promosi internasional untuk Lembah Baliem. Mereka hanya butuh Mari Elka hadir bersama di saat panah pertama melesat menembus tubuh anak babi menandai permulaan festival. Sedikiiiit saja mungkin senyum dari ibu menteri kita mewakili pemerintah pusat, maka orang-orang Dani akan memberikan senyum mereka yang paling lebar.

Jadi kapan kalian mau urus Papua?

Sunday, August 5, 2012

A Gentlemen Agreement

Merujuk istilah dari Shafa, gue adalah redpel yang punya sampingan sebagai tong sampah curhatan anak-anak :) Tapi serius, bukankah membosankan kalau di kantor kita cuma ngobrol soal kerjaan. Maka saya menikmati semua obrolan dengan TravelTroopers selain urusan menulis berita.

Gue tidak ingat awalnya, tapi siang itu tiba-tiba sedang ngobrol dengan Putri soal cowok yang memikat hatinya dan apa tanggapan ibu dan bapaknya. Tiba-tiba! (boleh dengan efek zoom in zoom out sinetron Punjabi) Gue pikir gue tahu cowok yang jadi preferensi bapaknya Putri.

"Bapak kamu pilih yang ini ya? (menyebut nama cowok)" tebak saya.
"Alasan Mas Faya apa?" tanya Putri.
"Tapi tebakan gue benar kan," sahut saya dan Putri cuma nyengir.

Mendadak obrolan itu jadi penting buat gue, bukan lantaran gue bisa menebak cowok pilihan bapaknya Putri, TAPI karena gue juga adalah ayah dari seorang anak perempuan dan mungkin 20 tahun dari sekarang, akan ada seorang pemuda mengetuk pintu rumah gue dan mencari Zahra. Gue belum terbayang harus bagaimana, tapi dari obrolan itu semua jadi jelas.

Bapaknya Putri melakukan hal yang sama persis dengan apa yang dilakukan almarhum bapak mertua gue, dan mendadak jelas buat gue sekarang apa maksud dari segala ucapan bapak mertuaku itu dulu. Intinya, seorang ayah akan memilih pemuda yang paling siap untuk melakukan Gentlemen Agreement dengan dia.

Gentlemen Agreement adalah perjanjian di antara dua pria terhormat, yaitu seorang ayah dan pemuda yang ingin punya hubungan serius dengan anak putrinya itu. Elo mau anak gue, elo minta baik-baik ama gue, kita bikin Gentlemen Agreement. Nah, pemuda mana yang siap melakukan itu, rupanya ada parameternya. Bapaknya putri dan bapak mertua gue parameternya sama, berarti gue juga mesti ngikutin tuh.

Serius, jujur, ulet, tekun, berani, pekerja keras, respek ama ortu ceweknya. Walaupun pemuda itu bukan siapa-siapa asalkan parameter itu ada, dia siap melakukan Gentlemen Agreement. Gue ternyata juga melalui penilaian itu.

Bapaknya Desti tahu betapa gue serius ngejar anaknya sejak SMA, sampai ke UI pun gue kejar walau itu artinya gue harus menempuh UMPTN dulu dan asli itu nggak gampang. Dan, gue berani bilang ke beliau gue serius dan ingin menikahi anaknya, dengan kondisi gue baru lulus dan belum kerja. Nekat? Bukan, gue berani, karena gue punya planning.

Beberapa waktu setelah menikah, gue pernah terlibat obrolan sore hari. Beliau bicara soal pemuda desa biasa-biasa saja yang dia setujui untuk menikah dengan keponakannya di Ciamis.

"Asalkan orangnya tekun, sukses itu tinggal soal waktu," kata beliau. Si pemuda itu kini jadi bandar ponsel dan voucher paling besar di Cibinong dengan 2 rumah dan mobil Terios anyar.

Tapi pada sore hari itu, gue juga tahu bahwa kata-kata itu ditujukan juga buat gue. Gue adalah si pemuda serius dan ulet itu juga, makanya gue dikasih menikah sama anaknya walaupun gue belum kerja hehehe. Gue membayar setiap kepercayaan almarhum dengan karir gue sekarang. 7 Tahun kerja dan sudah jadi redaktur pelaksana, itu adalah energi luar biasa yang salah satunya dipacu oleh kepercayaan dari beliau. Apa yang gue raih hari ini adalah bagian dari Gentlemen Agreement itu, gue janji untuk sanggup menafkahi anaknya.

Sikap bapaknya Putri mengkonfirmasi sikap bapaknya Desti, bahwa itulah pertimbangan paling penting dari seorang ayah terhadap pemuda yang menghendaki putrinya. Gue akan menyetujui cowoknya Zahra yang paling siap melakukan Gentlemen Agreement sama gue kelak. Kalau cuma main-main, iseng-iseng doang, gue bacok!

Pada hari dimana akhirnya gue benar-benar berhadapan dengan bapaknya Desti untuk melakukan Gentlemen Agreement, punggung gue seperti ditimpa karung beras 60 kg, badan gue berat banget sumpah. Ya Allah! Gentlemen Agreement ini beneran serius ya. Mengambil alih amanat atas nasib seorang perempuan dari bapaknya ke gue.

Untuk cewek-cewek yang sedang menunggu Mr Right, pastikan saja dia siap melakukan Gentlemen Agreement dengan ayah Anda. Good luck!

Satu hal lagi, Gentlemen Agreement ini implikasinya luas dan serius, tapi dia punya seremoni formal yang sederhana. Perjanjian di antara dua pria terhormat atas nama Tuhan tentang menentukan nasib seorang perempuan yang sama-sama mereka sayangi. Yang satu, menyerahkan kepada yang lainnya. Islam mengatur Gentlemen Agreement ini dengan indah lewat prosesi sederhana: Ijab Kabul.

Saturday, August 4, 2012

Sri Lanka: Detour dan Senyum Manis Pramugari Singapore Airlines

Subuh hari itu, Selasa 27 Maret 2012, saya sudah sampai di Bandara Soekarno Hatta. Datang terlalu pagi, saya memilih tidur di bangku panjang yang baru ditinggalkan sepasang backpacker. Carrier Deuter jadi bantal yang nyaman menunggu matahari muncul.

Jika saya akan tiba di Colombo malam hari, kenapa harus berangkat pagi-pagi? Pikir saya begitu, karena penerbangan mestinya tidak terlalu lama. Sejurus kemudian hal itu terjawab dalam dering ponsel saya. Mba Gloria dari Singapore Airlines yang akan membawa saya meminta saya datang ke Lounge dan disitulah saya bertemu awak media lain. Roland dan Imung dari Trans7 dan Astrid dari Maxx-M Magazine.

Rupanya kami punya detour di awal perjalanan. Di Singapura, kita akan mengunjungi Singapore Airlines Training Center. Sumpah, ini kesempatan langka banget.

Bermodalkan ransel, sementara carrier saya tetap di bagasi pesawat untuk dibawa ke Colombo nanti malam, saya turun di Bandara Changi dan melipir dibawa taksi ke luar bandara. Tidak jauh rupanya, Pusat pelatihan terpadu ini berada di Upper Changi Road East, tidak jauh dari kawasan Bandara International Changi.

Pria beretnis India menyambut kami di gedung besar itu. Name tagnya bertuliskan: Assistant Manager Public Affairs Singapore Airlines, S Supramaniam. Dia membawa kami ke ruang pelatihan pramugari.

Menurut dia, Singapore Airlines tidak hanya memilih pramugari karena dia cantik atau seksi semata-mata. Ada sejumlah persyaratan ketat yang harus dipenuhi. Mulai syarat pendidikan minimal SMU, tinggi badan, punya kemampuan kerja sama tim, tidak takut air dan ketinggian serta diuji dalam Tea Party.

"Dalam Tea Party, semua bos-bos hadir dalam suasana pesta. Nanti dinilai apakah calon pramugari itu luwes dan bisa bersosialisasi," begitu kata Supramaniam.

Setelah itu ada pelatihan produk untuk memahami pelayanan apa yang dimiliki Singapore Airlines. Mulai dari kelas-kelas penumpang, produk makanan dll. Yang paling penting adalah latihan keselamatan, kebakaran, penanganan penumpang khusus seperti ibu hamil atau manula.

"Pelatihan ini selama 15 minggu dan termasuk pelatihan pramugari paling lama di dunia," kata dia.

Barulah kita sampai ke bagian yang paling seru, simulasi kabin pesawat! Beberapa ruangan disetting seperti kabin sungguhan. Serius, saya penasaran dengan kabin kelas satu Singapore Airlines. Alamak! Nyaman nian. Bangkunya lega, TVnya lebar, privasi terjaga, betaaaahhh.

Pramugarinya manaaaaa?? Supramaniam meminta kami agak bersabar. Sedang ada kelas pelatihan pelayanan penumpang dan untuk sementara tidak boleh diganggu. Lantas kami diizinkan untuk melihat dari luar saja ke dalam kabin pesawat Airbus kelas ekonomi bohongan itu. Belasan pramugari diajari seniornya bagaimana menyajikan makanan dan lain-lain.

Nah ini yang asyik, di tengah latihan datanglah rombongan kelas lain yang sedang mendapatkan materi perkenalan. Saat bertemu dengan rombongan kelas dengan materi pelayanan di kabin, kedua angkatan ini menghentikan kegiatan masing-masing.

"Batch 15, please welcome Batch 12!" kata instrukturnya.
"Good afternooooon Batch 12!" kata mereka kompak sambil tersenyum manis.

Eh rupanya kita kebagian. Instrukturnya bertanya kepada Supramaniam, lantas memberi arahan.
"Batch 15, please welcome Journalists from Indonesia!" kata instruktur itu lagi.
"Good afternoooon Journalists from Indonesia!" mereka memberikan senyum termanisnya. Saya tersenyum lebih lebar lagi.

Aiiih, senyumnya membuat hati lumer. Tapi urusan senyam-senyum ini rupanya bagian paling serius dalam pelatihan. "Mereka dilatih untuk tersenyum, karena mereka harus selalu tersenyum kepada penumpang," kata Supramaniam.

Busyet ya, bagaimana Singapore Airlines membentuk mental para pramugarinya. Hal itu dimulai dari hal yang sangat sederhana: SENYUM

Supramaniam juga memperlihatkan fasilitas mumpuni di Training Center ini. Singapore Airlines memiliki kolam simulasi untuk kecelakaan di lautan. Ada juga simulasi untuk kecelakaan di darat. Saya hanya sempat melihat 2 pramugari berlari-lari kecil basah-basahan menuju ruang ganti.

"Wah kelas latihan lompat ke airnya baru selesai," kata Supramaniam.

Tak apalah, memahami sebuah kunci dari budaya perusahaan sekelas Singapore Airlines, itu lebih penting buat saya. Jika lain kali Anda terbang dengan Singapore Airlines, nikmatilah senyum manis dan pelayanan dari pramugari cantik ini. Ingat-ingat saja, mereka yang melayani Anda telah melampaui sebuah latihan yang panjang.

Malam harinya, kami sudah bersiaga di lounge Singapore Airlines di Changi. Satu artikel dan satu berita foto sudah saya kirimkan lewat Wifi untuk naik di detikTravel esok harinya. Saya sungguh bersemangat menyambut Colombo sebentar lagi.

Redefining Travel Writer

Apakah seseorang harus menjadi Traveler, atau penghobi jalan, atau termahsyur di komunitasnya untuk bisa menulis mengenai sebuah destinasi?

Kita mulai tulisan ini dari pertanyaan itu. Pertanyaan yang menggelitik di kepala saya usai sebuah obrolan sore dengan Mbak Ine. Intinya, saya bisa mendapatkan sebuah bala bantuan dari belahan Planet Bumi yang lain. Tapi... dia bukanlah orang yang disangka-sangka.

Saya tetap percaya kalau setiap manusia bisa menjadi pencerita yang baik mengenai sebuah destinasi. Setiap manusia! Bahkan seorang kakek tua atau ibu-ibu rumahan sekalipun. Namun, apakah kemudian cerita mereka mau didengar oleh para pegiat travelling? Saya berharap bukan gengsi yang bermain di sini.

Bagaimana kalau ada orang biasa, sama sekali bukan Traveler, tapi dia bisa menulis sangat komprehensif soal destinasi. Anda mau baca tulisannya? Tidakkah Anda tergelitik untuk bertanya: Anda siapa? Sudah pernah traveling kemana? Ikut komunitas apa?

Kalau dia bilang TIDAK untuk semua pertanyaan itu, Anda mau apa? Faktanya orang-orang kayak begitu banyak kok. Saya pernah jumpai beberapa. Mereka antara lain tipe The Local Guy dan The Clever Guy. Orang-orang yang memang mengenal seutuhnya sebuah destinasi dan orang-orang yang misalnya dengan kompetensi akademik dia atau hal lain, menjadi memahami pula sebuah destinasi.

Travelling dan Travel Writer buat saya sekarang artinya begini:
Travelling is beyond everything, and beyond the Traveller themselves. Random person can write about travelling when he/she has the Information.

Mereka menulis benar-benar apa yang mereka ketahui, dan yang penting tidak menjadi sok tahu atas hal lain yang tidak mereka pahami. Buat saya itu cukup.

Kalau mereka kita pandang sebelah mata hanya karena mereka bukan Traveler, what a waste.......