Monday, January 29, 2018

Penerawangan Politik 2018

Sambil nyeruput teh panas malem ini, izinkan saya menerawang jagat politik 2018. Bagaimana serunya permainan tahta tahun ini? Yuk kita bagi dalam beberapa poin:

1. Jokowi
Presiden selalu jadi aktor utama politik Indonesia. Tahun 2018 ini dia akan memastikan jalannya lapang menuju Pilpres 2019.

3 tahun pertama sudah dia habiskan untuk menguasai Indonesia dari ujung, diakhiri dengan cuci muka di Rote. Dia biarkan musuhnya bergumul di Jakarta, sementara dia bikin orang pedalaman jatuh cinta sama dia lewat aneka proyek pembangunan yang dia resmikan.

Dari desa mengepung kota. Itulah strategi Jokowi 2018. Dari ujung Indonesia, menyerbu Jawa. Pilkada 2018 akan jadi pertarungan Jokowi menguasai Jawa, karena Djawa adalah koentji!

Tahun ini Jokowi akan buka cabang ke partai lain. Menguasai dari balik layar, menaruh orang, atau melakukan deal tingkat tinggi dengan para ketum parpol. Ini untuk memastikan mesin partainya saat Pilpres 2019 bukan cuma PDIP. Jokowi juga akan menambah koleksi jenderal di sekelilingnya
Jokowi ini juga sudah menggarap pemilih milenial lewat setidaknya 3 orang KOL. Tinggal jentik jari, berubah jadi dukungan politik. Siapa KOL ini, tunggu aja tanggal mainnya. Sekitar 6 bulan dari sekarang, Jokowi untuk pertama kalinya akan mengungkap kekuatan politik yang disembunyikannya selama ini lewat imej lemah yang dia lempar dengan sengaja, seperti muka planga-plongo atau petugas partai.

2. Pilkada

Pilkada diamati banyak akademisi ilmu politik untuk melihat konsistensi koalisi politik di Jakarta berhadapan dengan kondisi politik di Jawa dan provinsi utama di Sumatera dan Sulawesi. Analis dan pengamat sama-sama menunggu hasil eksperimen pencalonan pasangan cagub yang bisa berubah sampai detik terakhir.

Pilkada Jabar sebagai penyangga Jakarta, adalah duel mesin parpol-parpol. Semua tampak imbang di sini demi pemanasan bertarung di Pemilu 2019. Pilkada Jateng adalah duel Jokowi VS JK. Ganjar adalah jago Jokowi, Sudirman Said adalah orangnya JK. Pilkada Jatim adalah all Jokowi Finals. Ipul didukung PDIP, Khofifah adalah orang Jokowi yang disokong PD, hasil deal Jokowi-SBY yang sudah tukeran warna baju batik dan luput dari perhatian oposisi.

Dari sini kita bisa melihat pola bahwa kekuatan oposisi makin jauh dari Jakarta, makin lemah dia. Gerindra dan PKS bahkan berkongsi dengan partai pendukung penista agama di Jawa Timur. Koalisi maut oposisi di Jakarta menggusur Ahok, tidak bisa dilanjutkan di daerah.

3. Tokoh alternatif

2017 dan 2018 adalah tahun lahirnya tokoh alternatif. Tokoh tua selain incumbent, tidak pernah laku di negeri ini. JK, Mega dan SBY sudah pasti jadi King Maker. Panggung tokoh alternatif menjadi milik Gatot Nurmayanto dan Anies Baswedan.

Gatot punya daya tawar tinggi. Tapi JK dan Prabowo sudah berinvestasi politik dalam sosok Anies. Itu sebabnya Anies jaim sementara Sandi dimagangkan sebagai gubernur, terutama untuk ngomongin kebijakan kontroversial.

Satu masalah adalah Gatot berebut kue pasar pemilih yang sama dengan Prabowo. Bisa saja dipasangkan Gatot-Anies atau Prabowo-Anies. Tapi ini belum mengakuisisi pasar pemilih nasionalis abangan. Justru Gatot adalah pasangan yang sempurna untuk Jokowi, pasar nasionalis abangan dan pasar religius. Kepada siapa Gatot akan berlabuh?

Sementara itu bursa Wapres lebih ramai lagi untuk calon pasangan Jokowi. Menteri aktif, ketum parpol, alumni kepala daerah, sampai tokoh nasional bersaing ketat. Jokowi akan mengungkapnya 6 bulan lagi.

4. Xenophobic populism

Xenophobic = isu SARA, populism = bualan angin surga. Saya waktu kuliah ngabisin waktu 8 bulan tahun 2004, buat meneliti gaya politik unik ini dengan studi kasus Australia. Nggak nyangka kalau gaya politik ini bisa tumbuh di Indonesia 10 tahun kemudian. Dalam kajian ilmu politik, Xenophobic Populism muncul ketika incumbent penguasa, susah dilawan di level pikiran, ide, gagasan dan kebijakan, karena sedang bagus dan stabil.

Jadi, incumbent dilawan di level emosi, mengagregasi kemarahan dan rasa frustasi karena kalah, lewat isu SARA dan omongan berbusa-busa menawarkan mimpi. Xenophobic populism muncul ketika Amerika sedang punya Obama, Prancis sedang punya Hollande dan Indonesia sedang punya Jokowi. Di Amerika dia menang lewat Trump, di Prancis dia kalah terhadap Macron, di Indonesia kita tunggu 2019.

Xenophobic populism akan terus mewarnai politik Indonesia sampai 2019. Meskipun di daerah, tidak sekuat di Jakarta atau Jawa. Karena Pilpres ini berpusat di Jakarta, maka Xenophobic populism akan tetap mendapat panggung. Sabar-sabar ya ama isu SARA dan bualan-bualan kejayaan. Hoax adalah materi propaganda paling umum dari Xenophobic populism, jadi atur sedikit Facebook Anda supaya algoritmanya bersih dari materi Hoax.

5. Broker Politik

Tahun 2018 juga bakal ramai dengan yang namanya broker politik. Teman saya yang ikut aksi 212 bilang, perjuangan mereka selesai setelah Ahok dipenjara. Saya setuju. Lantas apa itu yang masih kasak kusuk kesana kemari bawa-bawa nama umat Islam sampai sekarang? Itulah para Middle Men, yang punya agenda tersembunyi. Mereka lebih berkuasa dari grass root, tapi lebih lemah di hadapan partai dan elit politik.

Parpol dan elit butuh middle men buat menggerakan massa akar rumput dan menampung uang bancakan untuk nanti dipakai lagi buat Pemilu 2019. Jadi tahun 2018 ini, jangan heran bakal banyak proyek baru dengan harga yang bombastis, impor a sampe z atau suntikan dana ini itu. Semuanya modus aja buat nabung duit menyambut pemilu. Middle men ini ada pengusaha, avonturir politik, aktivis, pentolan ormas dan LSM.

Kita melihat middle men tarik ulur kepentingan dengan majikan mereka. Minta jatah kepala daerah, nggak dikasih terus ngambek. Ada lagi yang bikin proyek supermahal, atau disuntik duit melebihi kebutuhan. Middle men mengabdikan diri kepada siapa yang sanggup bayar. Mereka bermain di dua kaki, kubu penguasa dan oposisi. Jadi jangan pernah percaya dengan mulut mereka, jangan pernah. Rakyat mereka jual sebagai posisi tawar di hadapan para majikan. Tujuan mereka cuma dua: cari duit dan naik kelas jadi kelompok elit.

5 Hal itu aja dulu yah yang diterawang. Ntar ditambahin lagi deh, kalau ada pertanyaan dari kawan-kawan sekalian. Tehnya udah habis nih...

Tuesday, November 29, 2016

Obrolan Taksi Tentang Nasib Pilkada DKI

Landing dari Jerman, hape saya yang punya aplikasi taksi online mati. Jadilah saya pulang naik taksi dari bandara. Si bapak ini rupanya adalah orang yang doyan ngobrol.

"Pulang liburan, Mas?"
"Bukan, liputan seminggu,"
"Oh Mas-nya wartawan yah. Seminggu ditinggal pergi Jakarta rame lho, Mas,"
"Iya nih saya baca di hape juga gitu ya,"
"Islam itu kan rahmatan lil alamin ya Mas. Tapi kok ulamanya nggak rahmatan lil alamin..."
"Kenapa gitu Pak?"
"Masa khotbah Jumat kemarin khotibnya bilang siap-siap Jakarta menghadapi Perang Badar. Yaelah Pilkada DKI kok disama-samain ama Perang Badar,"

Saya terkekeh dengan ucapannya yang ceplas-ceplos. "Kan Ahok menista agama, Pak..."

"Tapi Ahok bisa batal maju nggak, Mas?"
"Nggak sih, penistaan agama nggak masuk UU Pilkada. Kalau Bapak emang ngeliat Jakarta sekarang gimana?" saya iseng bertanya...

"Saya mah orang kecil, Mas. Nggak ngerti politik-politik gitu. Saya cuma ngerasa sekarang hidup saya di Jakarta lebih rileks..."
"Rileks gimana maksudnya?"
"Ibu mertua saya kemaren operasi jantung, pasang ring, biayanya Rp 150 juta..... Saya nggak keluar duit apa-apa,"
"Kok bisa?"
"Kan saya punya KJS.... Orang kaya bayar, orang miskin gratis...."

Ooooh kata yang dia maksud sebenarnya Secured bukan Rileks... "Gara-gara Ahok ya, Pak? Ahok kasar lho pak, emosional, emang enak punya gubernur begitu?"

"Mulutnya emang masalah sih, Mas. Tapi kan Ahok udah minta maaf, udah dibawa ke polisi, udah jadi tersangka. Kok masih dikerjain ya, Mas? Orang mah yang tadinya sebel, lama-lama malah bisa jadi kasian lho ama dia, bener lho. Kenapa sih ini orang digituin terus..."
"Orang yang mana, Pak?"
"Yaaaa kayak saya ama temen-temen saya, kalo sopir ngumpul kan ngobrolin beginian juga,"

"Eh, Mas," celetuk dia tiba-tiba... "Saya ngomong gini bisa jadi berita buat Mas, nggak?"
Dalam hati saya menjawab tidak. Tapi mulut ini berucap, "Kenapa gitu, Pak?"

"Siapa yang mau dengerin suara rakyat kecil kayak saya? Saya mau bicara tapi ke siapa? Saya pengen bilang Islam itu damai dong, Jakarta itu damai dong," kata dia...

Saya menghela nafas..... "Bapak nggak sendirian, suara bapak mungkin mewakili ribuan orang Jakarta lain. Semua juga pengen damai, Pak."
"Mas nyoblos?"
"Saya KTP Depok kan, Gubernur saya Aher," saya kasih cengiran buat si bapak.
Saya menyahut lagi, "Pilkada DKI sekarang enak lho Pak. Ada Agus yang tentara, ada Ahok yang tegas, ada Anies yang pemerhati pendidikan."

"Tapi masa sih kita mesti takluk ama O*** A***," tukasnya.
Waduh... "Pak, nggak semua ulama begitu kan. Masih banyak yang ulama benar dan jujur,"
"Lah tapi dia kan dulu kemana-mana naek ojek, sekarang beuuuh mewah bener hidupnya,"
"Kok Bapak tahu?"
"Kan temen saya tetangganya," jawabnya cepat

"Eh, Mas.... Saya pernah lihat habib turun dari mobil mewahnya.... Pas depan taksi saya,"
"Yang Hummer?"
"Bukan, yang Pajero,"
"Saya sempet kepikiran. Apa saya tabrak aja ya, Mas biar mati. Jakarta mungkin lebih damai kali ya. Saya nggak mewakili siapa-siapa, Mas. Biarin saya ditangkap. Saya malu lihat Islam dirusak..." nada suaranya bergetar.

"Astagfirullah, jangan Pak. Hmmm..." agak bingung juga saya jawab dia.
"Kalau ditabrak, terus dia mati. Terus dinyatakan syahid, terus pendukungnya bergejolak, bapak dipenjara. Kan nambah runyam urusannya.."
"Oh iya ya, Mas. Saya nggak mikir sampe ke sana...."

"Kalau Bapak gelisah melihat situasi, itulah suara hati Bapak, itulah nurani Bapak. Orang bisa ngaku yang paling bener, tapi Bapak yang bisa menilai pake hati nurani Bapak. Hati nurani itu barang langka Pak di Jakarta sekarang. Bapak jaga aja baik-baik hati nurani Bapak..." kata saya.

Dan kami berdua diam......
"Eh Pak, saya keluar di Cilandak ya...."
"Mmmm. Wah ini udah bablas sampai Pasar Minggu, Mas!"

Laaaaahhh.........

Thursday, October 27, 2016

The Last Sanctuary of Islam

Alkisah ada seorang pria, keturunan Nabi Muhammad SAW. Buyut canggahnya dianggap imam oleh orang Syiah, padahal mereka Sunni. Namun sejarah keluarga pria itu agak kelam. Banyak anggota keluarga yang diburu seolah tanpa penghormatan bahwa mereka melanjutkan darah daging Kekasih Allah. Dari Arab mereka terus terpinggir dan menyingkir, menjauh dari Masjidil Haram.

Pria itu seperti lelah didera konflik politik, dia yakin itu bukan konflik agama. Meski sudah menjadi gubernur di kerajaan India, rasa resahnya tidak hilang. Di kepalanya cuma satu saja yang dipikirkan: menyelamatkan Islam ke tempat yang aman.

Dia berpikir dengan kondisi umat yang saling bertarung tanpa akhir, akan seperti apa Islam nanti di masa depan. Akan muncul Islam perang, bukan Islam damai. Islam yang memecah, bukan mempersatukan.

Pria ini lantas mundur dari jabatannya, menjadi seorang pengembara. Dia ingin pergi ke ujung dunia, dimana tidak ada yang namanya konflik di antara umat Islam. Dia lari ke Maroko, tapi hatinya kurang sreg, namun anaknya ditinggal di sana. Dia pergi ke Uzbekistan, tapi hatinya kurang sreg, namun anaknya ditinggal di sana.

Dia lantas ke ujung tenggara Jalur Sutera, sebuah semenanjung seindah surga, dengan penduduk yang ternyata menyimpan kebijaksanaan kuno bernama ilmu budi, ketika nama ajaran itu belum disebut sebagai Islam. Warganya pecinta kedamaian. Dia panggil anaknya yang di Maroko dan Uzbekistan, berkumpul dalam suka cita.

Di tempat itu mereka menyemai Islam yang damai, di tempat yang begitu jauh dari konflik umat Muhammad SAW. Dalam pikiran mereka, butuh waktu sampai akhir zaman, untuk Islam bohongan -yang penuh ide-ide perang dan merusak ini- sampai ke tempat mereka.

Harapannya, tempat itu menjadi The Last Sanctuary of Islam, yang dijaga keluarga besar mereka, penerus garis keturunan Rasulullah, di titik perjalanan terjauh yang tidak dibayangkan oleh mereka sendiri. Mereka mengelilingi hampir separuh Bumi.

Suatu hari keluarga mereka didatangi seorang perdana menteri di negeri itu, datang dari ibukota kerajaan naik kapal laut. Dia adalah seorang penakluk beragama kafir. Namun, bukannya mereka diberangus, anak mereka yang muda diangkat sebagai care taker wilayah yang bertanggung jawab langsung kepada dia. Silakan kalian beragama Islam, kata dia. Si perdana menteri itu bernama Gajah Mada dan pria yang saya sebut pertama kali itu, namanya Syekh Jumadil Kubro.... Keturunannya ada 9 orang yang menjadi legenda

Saturday, October 22, 2016

Bulan Roller Coaster

Seperti seorang teman baik bilang, perpisahan memang menyebalkan.
Tapi itu adalah bukti, kalau kita semua butuh ruang untuk tumbuh.

Hidup adalah perjalanan, ia bagai babak cerita
Orang-orang datang dan pergi.
Ada mimpi, ada ambisi dan sebuah persimpangan jalan.
Kita semua membuat pilihan.

Aku melihat kawan-kawan pergi.
Aku melihat kawan-kawan tetap di sini dan di kejauhan ada kawan-kawan yang datang.
Suatu hari nanti aku adalah orang yang pergi dan aku adalah orang yang datang.
Tapi bukan saat ini.

Semua kenangan indah bersama teman adalah hadiah yang mengisi ruang hati.
Dan semua kisah sedih akan membentuk kita seutuhnya.
Semua tersimpan dalam istana memori.

Dimana aku?
Saat ini aku hanya ingin berdiri pagi ini.
Membiarkan sinar matahari menghangatkan jiwa.
Embun pagi menyapa lembut di ujung-ujung jari yang membelai ilalang.
Dan udara sejuk mendinginkan hati.

Ketika membuka mata, aku tahu akan melihat melihat sebuah jalan.
Aku akan berlari lebih cepat lagi dan terbang lebih tinggi lagi.
Menjadi elang.....


-sebuah sabtu pagi, untuk teman yang pergi-

Sunday, July 24, 2016

Pilkada DKI, Marketing Politik dan Cara Mengalahkan Ahok (Kalau Mau)

Pilkada seperti halnya pilpres, bukanlah pemilihan legislatif. Banyak politisi dan juga pakar (atau pembual) membuat perhitungan kekuatan suara berdasar perolehan suara legislatif atau prosentasi kekuatan parpol di DPRD.

Matematika politik, tidak begitu. Dalam berbagai kajian ilmu politik tentang pemilu, popular vote berbeda jauh, jauuuh sekali dengan electoral vote. Memilih orang, tidak pernah sama dengan memilih partai, karena sebagian pemilih tidak punya loyalitas kepada partai.

Masalahnya, apakah ini sebagian kecil, atau sebagian besar? Kalau sebagian besar, matilah semua partai politik menghadapi pilkada, karena dia sungguh berada di dimensi yang lain.

Dalam kaca mata political marketing ada beberapa hal yang mesti diperhatikan. Pertama adalah Produk, pilkada DKI dan pilkada lainnya menjual produk berupa tokoh. Percuma partai politik punya pemilih besar, tapi tidak punya tokoh yang dimajukan. Nyatanya, di DKI saja parpol besar banyak yang ragu majuin calon kan?

Kedua adalah Brand Awareness. Berapa tokoh yang sudah dijual kepada masyarakat menjelang pilkada DKI ini? Ahok, Yusril, Sandiaga Uno dan calon peserta lain, mereka adalah Brand. Seberapa besar mereka menciptakan Awareness.

Yang pasti luput dari perhatian kita adalah, Awareness tidak bicara kabar baik atau kabar buruk. Keduanya sama-sama menciptakan Awareness. Positive atau negative campaign keduanya menciptakan Awareness.

Makanya, jangan gembira dulu dengan banyaknya serangan untuk Ahok di medsos. Popularitasnya memang bisa terpengaruhi, tapi Awareness-nya naik. Semakin kontroversial, semakin tinggi Awareness yang dihasilkan. Nama tokohnya dulu yang nempel di kepala orang, bukan beritanya.

Ketiga adalah Brand Image, bahasa gampangnya pencitraan. Di titik ini duelnya lebih fair. Tapi sayang menurut saya imej yang dijual hanya sebatas 'Another version of Ahok'. Misalnya Ahok versi Muslim, Ahok versi pribumi atau Ahok versi santun. Belum ada yang bikin brand, 'Bukan Ahok'. Sementara di level akar rumput fans memuja setengah mati, hatersnya menghina setengah mati. Media massa dan media sosial punya peran vital memoles imej kandidat. Hal ini termasuk media abal-abal, dan pasukan cyber. Masalahnya adalah, publik bisa memilih mau percaya yang mana, sumber informasi yang valid banyak kok. Sedangkan, awareness-nya tidak bisa dicegah masuk ke kepala mereka.

Keempat, Market. Siapa pasar yang mau disasar oleh kandidat? Seberapa besar kandidat memahami pemilih. Umur mereka berapa, prosentase tua mudanya bagaimana? Tingkat pendidikan, gender, latar belakang etnis dan agama. Pemahaman terhadap voting behavior akan menentukan strategi kampanyenya.

Pernah nggak ada studi, black campaign anti-China terhadap Ahok itu efektif untuk pemilih yang mana, dan tidak efektif untuk pemilih yang mana? Berapa besar perbandingannya? Kalau saya sih melihat strategi mempengaruhi pasar ini dipukul rata begitu saja. Jangan heran, beberapa materi kampanye anti-Ahok jadi bahan tertawaan sebagian orang di media sosial. Pun beberapa materi kampanye pro-Ahok bernasib sama. Kalau pun berhasil menyulut emosi, itu malah orang yang nggak punya KTP Jakarta. Percuma lah, ini Pilkada DKI bray.

Kelima dan terakhir ialah Statistika Politik. Poin satu sampai empat tadi pada ujungnya hitung-hitungan statistik, naik turun angka perolehan suara. Jelang pilkada pasti banyak riset-riset tuh, walau sebagian bayaran dari para kandidat (sudah rahasia umum bukan?) Tapi pasti hitungan asli dipegang oleh masing-masing kubu.

Kalau terbiasa mengkonsumsi data fiktif, black campaign, broadcast fitnah dll, saran saya hentikan! Nggak mungkin dong maju ke medan perang pilkada dengan data palsu. Siap-siap kejang saja. Kita butuh data riil, kemungkinan perolehan suara itu berapa.

Kesimpulan saya dirangkum dalam tiga analisa prediksi:

1. Figur yang bisa menyaingi Ahok dalam produk, brand awareness, brand image dan market sampai saat ini cuma Ridwan Kamil dan Risma. Risma adalah produk dengan brand image yang lebih baik dari Ahok, Risma adalah 'bukan Ahok' sementara yang lain cuma punya brand images 'another version of Ahok' Masalahnya Risma jadi maju atau nggak? Kalau maju, barulah seru Pilkada DKI ini.

2. Kalau ada banyak calon yang akhirnya mendaftar, Ahok kemungkinan besar menang Pilkada DKI. Awareness Ahok paling tinggi. Kompetitor Ahok harus berbagi awareness, sedangkan Ahok tidak berbagi awareness dengan siapa-siapa karena ini pilkada melawan incumbent. Vote untuk kelompok anti Ahok akan pecah ke banyak kandidat. Pun, kalau sampai dua putaran, pemilih terlanjur tahu kekuatan riil semua kandidat. Nanti tuh bakal ada komentar, "Oh si anu yang dipuja-puja di medsos itu cuma segitu kemampuannya lawan Ahok."

3. Saya nggak tahu para pesaing Ahok mikir sampe sini nggak. Tapi kalau mau mengalahkan Ahok, nggak sulit kok, cukup kirim SATU kandidat saja buat menantang Ahok. Ada dua cara untuk ini yaitu dari awal majuin 1 kandidat, atau merger jadi 1 kekuatan seandainya Pilkada DKI 2 putaran. Ini akan menaikan probabilitas kemenangan, pemenangnya sudah pasti 50%+1 suara sesuai UU. 50 persen kemenangan sudah di tangan, karena mereka yang anti Ahok di berbagai kelompok politik, akan terkumpul di dalam satu kotak saja. Peluang 1:2 lebih baiklah dari pada 1:3 atau 1:4. Cagub lain mikir sampai sini nggak? Kalau nggak ya selamat bertugas kembali untuk Ahok, hehehe.

Tuesday, July 19, 2016

Erdogan Oh Erdogan

Lucu sekali melihat orang Indonesia mengomentari percobaan kudeta terhadap Erdogan di Turki. Fans Erdogan di Indonesia cukup garis keras juga ya. Tapi haters Erdogan juga lumayan keras. Saya tidak tertarik ikutan kubu-kubuan macam suporter bola begini.

Saya tidak tergoda untuk pasang aneka status. Bagi saya, cukuplah berbincang dengan orang yang saya percayai, yang berada langsung di Istanbul bertahun-tahun dan memahami betul seluk beluk kondisi politik riil di sana, bukan hasil polesan propaganda para fans atau haters Erdogan di Tanah Air.

Nggak usah saya ceritakan juga, nanti fans Erdogan sakit hati, dan hatersnya juga kecewa sekaligus. Kenapa saya selalu menyebut fans dan haters berbarengan. Karena, jauh di lubuk hati kita, Erdogan hanya diambil simbolnya saja. Jujur saja deh, bagi orang Indonesia Erdogan cuma sekadar simbol untuk ego kalian yang terluka (fans) dan arogansi kalian yang di atas angin untuk membully (haters).

10 tahun lalu, simbol untuk ego kalian yang terluka itu bernama Ahmadinejad. Oh iya, saya tidak akan lupa sebuah fakta sejarah kalau orang-orang Indonesia pernah menggilai Ahmadinejad. 10 tahun dari sekarang, simbol untuk ego kalian yang terluka itu akan berganti nama lagi. Yang abadi ya cuma ego yang terluka itu.

Ahmadinejad, Erdogan dan entah siapa lagi yang akan dijadikan idola adalah candu. Fans dan hater akan bertukar posisi sesuai zaman, dan kelakuannya saya jamin sama. Itu sebabnya fans dan haters itu di mata saya nggak penting.

Ego kalian pernah terluka oleh SBY, makanya kalian menggilai Ahmadinejad. Presiden yang tidak mungkin memimpin kalian. Sekarang ego kalian terluka oleh Jokowi, lalu kalian mencari Erdogan. Figur lain yang tidak mungkin memimpin Indonesia. Kalian mencari pelarian yang tidak ada dan baru berduka ketika pemimpin sendiri sudah lengser.

Cuma segelintir dari kalian yang peduli dengan kudetanya. Bahkan tidak ada yang membahas Fethullah Gullen bukan? Satu saja broadcast soal Gullen, please share to me hehehehe.

Diskursus kudeta di Turki cuma pertarungan Erdogan itu pemimpin hebat VS Erdogan itu pemimpin bangsat. Sungguh sia-sia. Itu bisa diperdebatkan tanpa harus menunggu kudeta di Turki toh?

Bahas dong, kenapa pemimpin seagung dan semulia Erdogan dikudeta? Apa kira-kira yang salah? Bahas juga kenapa langsung ada ribuan orang yang ditangkap, itu daftarnya dari mana? Coba hitung, berapa berita media Turki yang mewawancarai mereka yang ditangkap? Siapa itu Fethullah Gulen yang dibenci Erdogan? Ulama loh dia dan kalian memuja Erdogan membangun kejayaan Islam kan.

Diskusi soal tema-tema di atas jauh lebih bermanfaat dari pada broadcast daftar jasa-jasa Erdogan oleh yang ngakunya doktor ilmu politik yang ternyata politisi kubu oposisi dan tidak netral. Atau menyebar daftar dosa-dosa Erdogan, itu juga nggak ada manfaatnya.

Ngomongin kudeta nih. Kalau buat saya, kudeta Turki belum mengalahkan rekor kisah kudeta paling keren dan berhasil. Sama-sama dilakukan malam hari, tapi yang disikat adalah faksi militer yang anti kudeta dulu. Jadi tidak ada faksi militer kuat yang bisa dipegang presiden macam Erdogan ini. Kemudian media dibungkam erat, cuma satu koran yang menyuarakan kubu militer pendukung kudeta. Presiden mau langsung disikat, tapi ternyata tidak ada di tempat.

Besokannya, tuduhan kudeta dilemparkan ke partai politik pendukung presiden. Ribuan orang ditangkapi dan dibantai dengan daftar yang ternyata sudah ada, dari guru, pegawai pemerintah, petani, militer, tokoh perempuan dll (miriplah dengan pasca kudeta di Turki). Presiden pun akhirnya tetap bisa di-skak mat.

Kalau Anda cukup piknik dan baca buku tentunya, pasti tahu kudeta yang saya maksud...

Wednesday, July 13, 2016

Balada Negeri Suporter Bola dan Negeri Warung Kopi

Jangan bingung melihat kelakuan anak bangsa berpolitik di negeri ini ya. Apalagi di dunia maya. Dari paradigma behavioralisme, cukup sederhana menyimpulkan perilaku mereka. Saya bikin nama sendiri yang kayaknya sesuai:

1. Negeri Suporter Bola

Tahu supporter bola kan? Kalau tim jagoannya kalah, marah-marah. Menurut mereka, kalau tim jagoannya kalah, itu karena salah tim lawan, salah wasit, dan kalau perlu salah rumput stadionnya. Tim jagoan dia nggak pernah salah, pokoknya nggak pernah. Nggak pernah....

2. Negeri Warung Kopi

Pernah ke warung kopi tradisional di Indonesia? Orang-orang ngumpul, ngobrol, ngomentarin sesuatu, paling asyik sambil nonton TV buat dikomentarin. Komentarnya jago-jago, analisanya dahsyat, mereka paling tahu solusi terbaik. Tapi apakah mereka lantas membuat perubahan? Ya nggak lah, kan cuma minum kopi doang.

Sekarang bagaimana kita mau menjadi oposisi yang kuat, pengkritik yang menakutkan pemerintah kalau mentalnya cuma sekelas suporter bola dan pengunjung warung kopi?

Manusia politik sekelas suporter bola hanya mengandalkan amarah dan benci kepada tim lawan, sambil mengagungkan tim sendiri. Padahal amarah dan benci itu temporer, kalau sudah reda maka hilanglah ikatan mereka, malah nobar ama tim lawan. Akibatnya tenaga mereka habis untuk memelihara kebencian, karena itu satu-satunya ikatan mereka.

Manusia politik sekelas pengunjung warung kopi ya kayak anjing menggonggong saja. Tenaga mereka habis untuk sumpah serapah, tapi tidak bisa digulirkan menjadi sebuah gerakan politik yang menggelinding keluar dari warung kopinya.

Mereka cuma terpana melihat mimpi politik mereka makin jauh dari realita. Manusia politik jenis suporter bola dan pengunjung warung kopi, hidup dalam ilusi mayoritas dan terbiasa mengkonsumsi informasi fiktif yang memabukan. Lah, kalau tim bolanya jelek mau bagaimana lagi? Kalau cuma teriak-teriak di warung kopi, bagaimana mau bikin perubahan?

Bagaimana berpolitik yang baik? Gampang. Berhentilah jadi supporter bola, tapi jadilah pemain bola yang turun ke lapangan. Menjadi sparring partner dari tim lawan yang kalian benci itu. Jadi kalian bisa ukur diri dan ukur lawan dengan data dan fakta yang sungguhan.

Kedua, keluarlah dari warung kopi. Realisasikan omongan, analisa atau bualan yang canggih-canggih itu ke dalam sebuah gerakan dari akar rumput. Jadilah solusi tandingan terhadap pemerintah yang kalian kritik itu. Jangan cuma ribut doang di medsos.

Marah dan teriak-teriak tidak akan membuat kita menjadi lebih terdengar. Karena, di dalam bilik TPS tetap saja kita cuma diberikan 1 kertas suara...

Saturday, June 18, 2016

Media Disuruh Netral, Eh Malah Pembacanya yang Partisan

Yaaa judul tulisannya sudah menjelaskan apa yang mau saya tulis kan? Semua berawal dari obrolan panjang dengan kawan-kawan SMA di group Whatsapp ketika untuk ke sekian kalinya berbagi link berita media online abal-abal.

Ternyata banyak yang belum tahu juga ngebedain media abal-abal sama media beneran. Jadilah saya jelasin, sesuai UU patokannya 3: mencantumkan alamat, mencantumkan susunan redaksi dan mencantumkan pedoman media cyber‎.

Terus ada pertanyaan, apakah 3 patokan ini menjamin media itu nulis berita yang benar? Ya saya balik lagi omongannya, media yang nulis berita bener itu banyak, pertanyaannya apakah sekarang pembaca butuh berita bener?

Kami sudah capek-capek liputan sampe malam, nulis berita sesuai fakta, cover both side. Tapi apa yang di-share orang? Pelintiran berita yang bahkan wartawannya saja nggak ada di lokasi, Wong cuma media online abal-abal.‎ Kan kezzeeeelll. Udah jelas datanya palsu, kita pegang data asli. Tetap aja orang percaya yang data palsu itu.

Faktanya pembaca sudah membentuk persepsi politik di otaknya. Media dia pakai untuk pembenaran atas persepsinya bukan untuk mencari kebenaran, yang parah sumbernya adalah media abal-abal atau blog yang menyerupai media, yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Itulah yang terjadi sekarang.

Padahal, aturan yang ada itu untuk melindungi hak pembaca. Manakala dirugikan oleh berita, ada hak jawab bahkan somasi. Sekarang kalau kamu difitnah sama media abal-abal, mau protes sama siapa?

Pembaca menuntut media untuk selalu netral. Tapi pembacanya malah partisan. Kalau beritanya enak buat kuping mereka, keluar puja puji. Kalau nggak enak, keluar caci maki. Media yang legal saja sulit menjaga netralitas, lantas netralitas apa yang bisa dijamin oleh media abal-abal. Tapi tidak akan ada protes selama itu memuaskan ego politik pembaca.

Situasi ini adalah pembelajaran baru di Indonesia. Masyarakat kita akan menjadi seperti di Inggris atau Amerika. Media dan pembacanya sama-sama partisan. Di Inggris kalau kamu dukung Uni Eropa, kamu bacanya Guardian. Kalau anti Uni Eropa, kamu bacanya Daily Mail. Di USA kalau kamu benci Islam kamu bacanya New York Post, tapi kalau belain Islam kamu bacanya New York Daily News.

Di Indonesia sudah mulai begini. Dukung Jokowi nontonnya Metro Mini, anti Jokowi nontonnya TV Satu. Tapi setidaknya partisan ini dijaga dalam koridor media yang resmi, jangan kasih tempat untuk media abal-abal yang cuma jadi sumber fitnah dan adu domba dari kedua kubu.

Lantas, bagaimana cara menjadi pembaca berita yang cerdas? Eh tapi yakin mau jadi pembaca berita yang cerdas? Sudah siap mental? Baik, begini caranya: Bacalah berita dari kedua kubu. Berani nggak? Udah siap sakit hati belum?

Kalau nonton TV Satu, nonton juga dong Metro Mini. Kalau baca Media Nusantara, baca juga dong Rakyat Freedom. Pun demikian dengan media sosial, kalau dengerin Jonru, dengerin juga dong Abu Janda. Percayalah, mereka saling melengkapi informasi dan kamu dijamin jadi pembaca yang cerdas.

Mau yang netral? Masih ada detikcom kok tenang aja. Kita punya parameter sederhana untuk menjaga netralitas kita. Bos gue bilang, kalau kita dimusuhin kedua kubu, artinya kita netral. Biarin aja ada pembaca bilang detik pro Jokowi, toh mereka nggak tahu kalau wartawan kita ada yang di-black list PDIP (true story). Zaman pilpres redaktur politik kita dimarahin parpol pendukung Jokowi, sekaligus dimarahin parpol pendukung Prabowo.

Apakah detikcom punya keberpihakan? Oh jelas kita punya, bos gue bilang kita berpihak kepada kebenaran. Aiih sedaaaap.....

Thursday, June 9, 2016

Ilusi Mayoritas

Bismillah, nge-blog lagi ah, drpd isi otak terbuang sayang...

Ilusi Mayoritas

Menganalisa kondisi politik terkini negeri ini, secara sederhana adalah berkembangnya xenophobic populism (skripsi kuliah saya). Ini nggak cuma di Indonesia kok, santai aja bro. Inti masalah pada awalnya ada kesenjangan ekonomi dan politik, lalu ada sebagian kecil yang frustasi karena terancam dalam kompetisi.

Kenapa? Karena mereka hidup dalam ilusi mayoritas. Mereka merasa jumlah mereka banyak, lantas berhak terhadap akses politik dan ekonomi. Masalahnya, mayoritas bukan artinya serta merta bisa meminta begitu saja akses politik dan ekonomi itu. Macam preman pulak kau.... beraninya keroyokan.

Cuma ya ilusi udah jd makanan mereka sehari-hari, untuk mengobati sakit hati. Jadi gagap bgt dengan realitas. Dari Prancis, Amerika, Australia, sampai Indonesia hal ini terjadi. Kebencian mereka mengambil simbol apapun yang dianggap berbeda, tapi mewakili lawan politik mereka.

Di Prancis yang dihajar umat Islam, di Australia yang dihajar adalah imigran, di Amerika yang dihajar imigran Amerika Latin, di Indonesia yang dihajar adalah China dan kaum kafir. Xenophobic populism melakukan agregasi politik dengan cara yang paling mudah dalam sistem politik di negara tersebut. Di Australia, pasti bikin parpol, karena gampang banget. Kalo di Indonesia, pasti bikin ormas dan berharap uang dari parpol tertentu.

Ilusi apa sih maksudnya? Australia contoh paling gampang, banyak parpol gurem mengusung isu anti imigran. Buat mereka, sebagai true blue Australian (pribumi), mereka terjajah kaum imigran. Pdhl itu ilusi, mereka doang kali. Mayoritas pribumi Australian tdk merasa terjajah imigran, karena secara politik dan ekonomi lebih aman posisinya.

Kalau di Indonesia, isi kepala mereka begini: Saya kan pribumi, pribumi kan banyak, masa org China lbh kaya dari saya. Atau, saya kan Islam, Islam kan banyak, kok orang kafir yang jd penguasa. Pdhl realitanya, banyak kok pribumi kaya dan muslim penguasa.

Ciri-ciri mereka: kecil tapi berisik. Tapi jangan takut, kekuatan mereka cuma mengandalkan kebencian semata, ketika benci itu hilang, hilang juga dukungan terhadap kelompok ini, pindah ke spektrum tengah. Solusinya adalah membuat sistem yang lebih menjamin akses politik dan ekonomi yang lebih merata untuk rakyat. Negara yang melakukan itu, terhindar dari gejala xenophobic populism. Negara-negara Skandinavia baek-baek aja tuh.

Btw soal spektrum, xenophobic populism ada di ekstrem kanan, sementara communism ada di ujung paling kiri. Xenophobic populism itu satu famili tapi lebih jinak dari fasism, racism, ultra nationalism, far right, ultra right, right wing. Disebut lebih jinak, karena ada embel-embel populism, mereka gampang terbuai oleh tokoh yang menjual janji-janji surga macam Donald Trump. Intinya mereka cuma anak-anak kecil yang manja dan merengek-rengek, karena anak baru di komplek punya mainan lebih bagus.

Sunday, April 21, 2013

Yang Janggal dari Video Bom Boston (di Mata Seorang Wartawan)

Sebelum baca tulisan saya, yuk tonton dulu detik-detik awal liputan eksklusif The Boston Globe saat ledakan bom di Boston Marathon. Seiring itu kita sampaikan duka cita kepada seluruh para korban.



Sudah? Oke, dalam perkembangan berita terakhir kita tahu warga Boston bersorak sorai karena pelakunya yang kakak beradik orang Chechnya itu sudah tertangkap dan satu lagi tewas. Case closed? Nanti dulu.

Sekitar Selasa sore kemarin, anak buah gue Afif kasih lihat video Youtube ini dari The Boston Globe. Detik-detik awal ledakan bom di acara Boston Marathon. Wajar nggak? Buat saya ada beberapa hal yang janggal saja sih di video itu. Mungkin hanya sekadar ketidaktahuan saya, silakan mengkritik saya untuk itu. Saya mau bahas detik demi detik.

1. Detik 0:07
Kameramen bernama Steve Silva ini berdiri di garis Finish merekam para pelari masuk ke garis finish dan bomnya meledak. Reaksi dia? Nggak kaget-kaget amat. Kok bisa?

Entah kenapa saya merasa reaksi dia nggak manusiawi. Menghadap ke arah ledakan, tapi dia nggak punya refleks apa-apa. Kalau dia kaget dan refleks, arah kameranya bisa berubah angle drastis karena misalnya dia menunduk, jongkok, dan aneka reaksi manusiawi lain untuk mencari posisi aman karena kaget. Tapi si kameramen seperti bertugas merekam ledakannya sebaik mungkin. Kameranya cuma 'shaken' sedikit saja.

Di Youtube juga banyak contohnya kameramen yang refleks ketika kaget dan rekaman gambarnya jadi kacau. Tapi rupanya tidak demikian dengan kameramen kita ini.

2. Detik 0:14
Seorang pelari tergeletak setelah ledakan bom. Itu berita banget secara gambar. Saya pikir semua wartawan dan fotografer sepakat. Silakan tanya para kameramen TV One atau Metro TV. Tapi si kameramen Boston Globe ini malah asyik merekam asap yang mengepul, bukannya segera mengambil gambar korban.

Kenapa yah? Saya juga nggak mengerti kenapa si kameramen menahan ketinggian kameranya di bawah dada. Kameramen lain saya pikir akan mengangkat kameranya tinggi-tinggi untuk angle yang lebih luas. Setidaknya sejajar kepala. Menahan kamera setinggi dada kan akibatnya angle gambarnya terbatas.

3. Detik 0:53, 1:04 dan 1:12
Apa reaksi wartawan ketika ada bom meledak? Mencari sumber ledakan. Itu yang dilakukan fotografer lain, mulai dari detik 0:53, 1:04 dan 1:12. Sumber ledakan punya nilai berita lebih dari pada si Silva ini yang merekam situasi di sekitarnya. Lihatlah beberapa fotografer mendekati trotoar untuk mengambil gambar. Tapi tidak dengan kameramen Boston Globe. Why?

4. Detik 1:30
Si kameramen mendapat angle untuk mengambil gambar korban yang belum didatangi paramedis. Si kameramen tidak melakukannya. Tapi dia malah menyorot banner '2013 Boston Marathon'.

Saya nggak paham kenapa kameramen ini tidak mau merekam gambar para korban di detik-detik awal setelah ledakan dan malah mengambil jarak. Nggak wartawan banget, nggak kameramen banget gayanya.

5. Detik 1:44
Ada tentara? Sampai sini saya nggak tahu mau bilang apa. Apakah AS punya kebiasaan melibatkan tentara aktif di dalam sebuah acara sipil? AS itu bukan Indonesia yang melibatkan Korem dan Koramil untuk acara-acara rakyat jelata.

AS itu mengaku punya civil society kuat, pengamanan mereka dilakukan polisi, kalau genting ada SWAT. Tentara mereka ada di barak. Mereka tidak serta merta muncul membantu polisi dalam...... 1 menit 44 detik?!?! CMIIW, tapi saya benar-benar tidak tahu kenapa tiba-tiba ada tentara di acara Boston Marathon.

Itu sih 5 hal yang mengganggu dari video ledakan Bom Boston. Masalahnya, video inilah yang dipakai seluruh media di AS untuk menggambarkan ledakan bom tersebut. Yang mau analisa lebih konspiratif, silakan baca laman-laman tetangga ya. Saya hanya menganalisa sebatas data yang saya punya.