Sunday, July 24, 2016

Pilkada DKI, Marketing Politik dan Cara Mengalahkan Ahok (Kalau Mau)

Pilkada seperti halnya pilpres, bukanlah pemilihan legislatif. Banyak politisi dan juga pakar (atau pembual) membuat perhitungan kekuatan suara berdasar perolehan suara legislatif atau prosentasi kekuatan parpol di DPRD.

Matematika politik, tidak begitu. Dalam berbagai kajian ilmu politik tentang pemilu, popular vote berbeda jauh, jauuuh sekali dengan electoral vote. Memilih orang, tidak pernah sama dengan memilih partai, karena sebagian pemilih tidak punya loyalitas kepada partai.

Masalahnya, apakah ini sebagian kecil, atau sebagian besar? Kalau sebagian besar, matilah semua partai politik menghadapi pilkada, karena dia sungguh berada di dimensi yang lain.

Dalam kaca mata political marketing ada beberapa hal yang mesti diperhatikan. Pertama adalah Produk, pilkada DKI dan pilkada lainnya menjual produk berupa tokoh. Percuma partai politik punya pemilih besar, tapi tidak punya tokoh yang dimajukan. Nyatanya, di DKI saja parpol besar banyak yang ragu majuin calon kan?

Kedua adalah Brand Awareness. Berapa tokoh yang sudah dijual kepada masyarakat menjelang pilkada DKI ini? Ahok, Yusril, Sandiaga Uno dan calon peserta lain, mereka adalah Brand. Seberapa besar mereka menciptakan Awareness.

Yang pasti luput dari perhatian kita adalah, Awareness tidak bicara kabar baik atau kabar buruk. Keduanya sama-sama menciptakan Awareness. Positive atau negative campaign keduanya menciptakan Awareness.

Makanya, jangan gembira dulu dengan banyaknya serangan untuk Ahok di medsos. Popularitasnya memang bisa terpengaruhi, tapi Awareness-nya naik. Semakin kontroversial, semakin tinggi Awareness yang dihasilkan. Nama tokohnya dulu yang nempel di kepala orang, bukan beritanya.

Ketiga adalah Brand Image, bahasa gampangnya pencitraan. Di titik ini duelnya lebih fair. Tapi sayang menurut saya imej yang dijual hanya sebatas 'Another version of Ahok'. Misalnya Ahok versi Muslim, Ahok versi pribumi atau Ahok versi santun. Belum ada yang bikin brand, 'Bukan Ahok'. Sementara di level akar rumput fans memuja setengah mati, hatersnya menghina setengah mati. Media massa dan media sosial punya peran vital memoles imej kandidat. Hal ini termasuk media abal-abal, dan pasukan cyber. Masalahnya adalah, publik bisa memilih mau percaya yang mana, sumber informasi yang valid banyak kok. Sedangkan, awareness-nya tidak bisa dicegah masuk ke kepala mereka.

Keempat, Market. Siapa pasar yang mau disasar oleh kandidat? Seberapa besar kandidat memahami pemilih. Umur mereka berapa, prosentase tua mudanya bagaimana? Tingkat pendidikan, gender, latar belakang etnis dan agama. Pemahaman terhadap voting behavior akan menentukan strategi kampanyenya.

Pernah nggak ada studi, black campaign anti-China terhadap Ahok itu efektif untuk pemilih yang mana, dan tidak efektif untuk pemilih yang mana? Berapa besar perbandingannya? Kalau saya sih melihat strategi mempengaruhi pasar ini dipukul rata begitu saja. Jangan heran, beberapa materi kampanye anti-Ahok jadi bahan tertawaan sebagian orang di media sosial. Pun beberapa materi kampanye pro-Ahok bernasib sama. Kalau pun berhasil menyulut emosi, itu malah orang yang nggak punya KTP Jakarta. Percuma lah, ini Pilkada DKI bray.

Kelima dan terakhir ialah Statistika Politik. Poin satu sampai empat tadi pada ujungnya hitung-hitungan statistik, naik turun angka perolehan suara. Jelang pilkada pasti banyak riset-riset tuh, walau sebagian bayaran dari para kandidat (sudah rahasia umum bukan?) Tapi pasti hitungan asli dipegang oleh masing-masing kubu.

Kalau terbiasa mengkonsumsi data fiktif, black campaign, broadcast fitnah dll, saran saya hentikan! Nggak mungkin dong maju ke medan perang pilkada dengan data palsu. Siap-siap kejang saja. Kita butuh data riil, kemungkinan perolehan suara itu berapa.

Kesimpulan saya dirangkum dalam tiga analisa prediksi:

1. Figur yang bisa menyaingi Ahok dalam produk, brand awareness, brand image dan market sampai saat ini cuma Ridwan Kamil dan Risma. Risma adalah produk dengan brand image yang lebih baik dari Ahok, Risma adalah 'bukan Ahok' sementara yang lain cuma punya brand images 'another version of Ahok' Masalahnya Risma jadi maju atau nggak? Kalau maju, barulah seru Pilkada DKI ini.

2. Kalau ada banyak calon yang akhirnya mendaftar, Ahok kemungkinan besar menang Pilkada DKI. Awareness Ahok paling tinggi. Kompetitor Ahok harus berbagi awareness, sedangkan Ahok tidak berbagi awareness dengan siapa-siapa karena ini pilkada melawan incumbent. Vote untuk kelompok anti Ahok akan pecah ke banyak kandidat. Pun, kalau sampai dua putaran, pemilih terlanjur tahu kekuatan riil semua kandidat. Nanti tuh bakal ada komentar, "Oh si anu yang dipuja-puja di medsos itu cuma segitu kemampuannya lawan Ahok."

3. Saya nggak tahu para pesaing Ahok mikir sampe sini nggak. Tapi kalau mau mengalahkan Ahok, nggak sulit kok, cukup kirim SATU kandidat saja buat menantang Ahok. Ada dua cara untuk ini yaitu dari awal majuin 1 kandidat, atau merger jadi 1 kekuatan seandainya Pilkada DKI 2 putaran. Ini akan menaikan probabilitas kemenangan, pemenangnya sudah pasti 50%+1 suara sesuai UU. 50 persen kemenangan sudah di tangan, karena mereka yang anti Ahok di berbagai kelompok politik, akan terkumpul di dalam satu kotak saja. Peluang 1:2 lebih baiklah dari pada 1:3 atau 1:4. Cagub lain mikir sampai sini nggak? Kalau nggak ya selamat bertugas kembali untuk Ahok, hehehe.

Tuesday, July 19, 2016

Erdogan Oh Erdogan

Lucu sekali melihat orang Indonesia mengomentari percobaan kudeta terhadap Erdogan di Turki. Fans Erdogan di Indonesia cukup garis keras juga ya. Tapi haters Erdogan juga lumayan keras. Saya tidak tertarik ikutan kubu-kubuan macam suporter bola begini.

Saya tidak tergoda untuk pasang aneka status. Bagi saya, cukuplah berbincang dengan orang yang saya percayai, yang berada langsung di Istanbul bertahun-tahun dan memahami betul seluk beluk kondisi politik riil di sana, bukan hasil polesan propaganda para fans atau haters Erdogan di Tanah Air.

Nggak usah saya ceritakan juga, nanti fans Erdogan sakit hati, dan hatersnya juga kecewa sekaligus. Kenapa saya selalu menyebut fans dan haters berbarengan. Karena, jauh di lubuk hati kita, Erdogan hanya diambil simbolnya saja. Jujur saja deh, bagi orang Indonesia Erdogan cuma sekadar simbol untuk ego kalian yang terluka (fans) dan arogansi kalian yang di atas angin untuk membully (haters).

10 tahun lalu, simbol untuk ego kalian yang terluka itu bernama Ahmadinejad. Oh iya, saya tidak akan lupa sebuah fakta sejarah kalau orang-orang Indonesia pernah menggilai Ahmadinejad. 10 tahun dari sekarang, simbol untuk ego kalian yang terluka itu akan berganti nama lagi. Yang abadi ya cuma ego yang terluka itu.

Ahmadinejad, Erdogan dan entah siapa lagi yang akan dijadikan idola adalah candu. Fans dan hater akan bertukar posisi sesuai zaman, dan kelakuannya saya jamin sama. Itu sebabnya fans dan haters itu di mata saya nggak penting.

Ego kalian pernah terluka oleh SBY, makanya kalian menggilai Ahmadinejad. Presiden yang tidak mungkin memimpin kalian. Sekarang ego kalian terluka oleh Jokowi, lalu kalian mencari Erdogan. Figur lain yang tidak mungkin memimpin Indonesia. Kalian mencari pelarian yang tidak ada dan baru berduka ketika pemimpin sendiri sudah lengser.

Cuma segelintir dari kalian yang peduli dengan kudetanya. Bahkan tidak ada yang membahas Fethullah Gullen bukan? Satu saja broadcast soal Gullen, please share to me hehehehe.

Diskursus kudeta di Turki cuma pertarungan Erdogan itu pemimpin hebat VS Erdogan itu pemimpin bangsat. Sungguh sia-sia. Itu bisa diperdebatkan tanpa harus menunggu kudeta di Turki toh?

Bahas dong, kenapa pemimpin seagung dan semulia Erdogan dikudeta? Apa kira-kira yang salah? Bahas juga kenapa langsung ada ribuan orang yang ditangkap, itu daftarnya dari mana? Coba hitung, berapa berita media Turki yang mewawancarai mereka yang ditangkap? Siapa itu Fethullah Gulen yang dibenci Erdogan? Ulama loh dia dan kalian memuja Erdogan membangun kejayaan Islam kan.

Diskusi soal tema-tema di atas jauh lebih bermanfaat dari pada broadcast daftar jasa-jasa Erdogan oleh yang ngakunya doktor ilmu politik yang ternyata politisi kubu oposisi dan tidak netral. Atau menyebar daftar dosa-dosa Erdogan, itu juga nggak ada manfaatnya.

Ngomongin kudeta nih. Kalau buat saya, kudeta Turki belum mengalahkan rekor kisah kudeta paling keren dan berhasil. Sama-sama dilakukan malam hari, tapi yang disikat adalah faksi militer yang anti kudeta dulu. Jadi tidak ada faksi militer kuat yang bisa dipegang presiden macam Erdogan ini. Kemudian media dibungkam erat, cuma satu koran yang menyuarakan kubu militer pendukung kudeta. Presiden mau langsung disikat, tapi ternyata tidak ada di tempat.

Besokannya, tuduhan kudeta dilemparkan ke partai politik pendukung presiden. Ribuan orang ditangkapi dan dibantai dengan daftar yang ternyata sudah ada, dari guru, pegawai pemerintah, petani, militer, tokoh perempuan dll (miriplah dengan pasca kudeta di Turki). Presiden pun akhirnya tetap bisa di-skak mat.

Kalau Anda cukup piknik dan baca buku tentunya, pasti tahu kudeta yang saya maksud...

Wednesday, July 13, 2016

Balada Negeri Suporter Bola dan Negeri Warung Kopi

Jangan bingung melihat kelakuan anak bangsa berpolitik di negeri ini ya. Apalagi di dunia maya. Dari paradigma behavioralisme, cukup sederhana menyimpulkan perilaku mereka. Saya bikin nama sendiri yang kayaknya sesuai:

1. Negeri Suporter Bola

Tahu supporter bola kan? Kalau tim jagoannya kalah, marah-marah. Menurut mereka, kalau tim jagoannya kalah, itu karena salah tim lawan, salah wasit, dan kalau perlu salah rumput stadionnya. Tim jagoan dia nggak pernah salah, pokoknya nggak pernah. Nggak pernah....

2. Negeri Warung Kopi

Pernah ke warung kopi tradisional di Indonesia? Orang-orang ngumpul, ngobrol, ngomentarin sesuatu, paling asyik sambil nonton TV buat dikomentarin. Komentarnya jago-jago, analisanya dahsyat, mereka paling tahu solusi terbaik. Tapi apakah mereka lantas membuat perubahan? Ya nggak lah, kan cuma minum kopi doang.

Sekarang bagaimana kita mau menjadi oposisi yang kuat, pengkritik yang menakutkan pemerintah kalau mentalnya cuma sekelas suporter bola dan pengunjung warung kopi?

Manusia politik sekelas suporter bola hanya mengandalkan amarah dan benci kepada tim lawan, sambil mengagungkan tim sendiri. Padahal amarah dan benci itu temporer, kalau sudah reda maka hilanglah ikatan mereka, malah nobar ama tim lawan. Akibatnya tenaga mereka habis untuk memelihara kebencian, karena itu satu-satunya ikatan mereka.

Manusia politik sekelas pengunjung warung kopi ya kayak anjing menggonggong saja. Tenaga mereka habis untuk sumpah serapah, tapi tidak bisa digulirkan menjadi sebuah gerakan politik yang menggelinding keluar dari warung kopinya.

Mereka cuma terpana melihat mimpi politik mereka makin jauh dari realita. Manusia politik jenis suporter bola dan pengunjung warung kopi, hidup dalam ilusi mayoritas dan terbiasa mengkonsumsi informasi fiktif yang memabukan. Lah, kalau tim bolanya jelek mau bagaimana lagi? Kalau cuma teriak-teriak di warung kopi, bagaimana mau bikin perubahan?

Bagaimana berpolitik yang baik? Gampang. Berhentilah jadi supporter bola, tapi jadilah pemain bola yang turun ke lapangan. Menjadi sparring partner dari tim lawan yang kalian benci itu. Jadi kalian bisa ukur diri dan ukur lawan dengan data dan fakta yang sungguhan.

Kedua, keluarlah dari warung kopi. Realisasikan omongan, analisa atau bualan yang canggih-canggih itu ke dalam sebuah gerakan dari akar rumput. Jadilah solusi tandingan terhadap pemerintah yang kalian kritik itu. Jangan cuma ribut doang di medsos.

Marah dan teriak-teriak tidak akan membuat kita menjadi lebih terdengar. Karena, di dalam bilik TPS tetap saja kita cuma diberikan 1 kertas suara...