Monday, March 31, 2008

Macau: Menyusuri Masa Silam

Macau yang terkenal sebagai kota judi, juga memiliki kota tua sisa penjajahan Portugis. Kota tua yang terawat mampu membuat kita merasa kembali ke abad 16.

Perjalanan menuju kota tua saya mulai dari Igreja de Santo Paulo, Rabu (16/7/2007). Saya memilihnya karena kota tua Macau secara geografis merupakan sebuah bukit. Jadi saya pikir akan lebih baik jika dimulai dari atas lalu turun ke bawah.

Dengan menggunakan taksi dari Jalan Avenida Dr Rodrigo Rodrigues, saya tiba dalam hitungan menit di jalan Rua Horta da Companhia. Gereja Santo Paulo sudah menunggu pengunjungnya.

Gereja Santo Paulo yang bisa dinikmati ini hanya puing-puingnya. Gereja yang dibangun antara 1602-1640 ini ludes dilalap api pada 1835. Hanya bagian depannya yang bertahan. Masih tersisa gaya arsitektur kolonial berupa tiang-tiang yang menjulang dari tembok putih pudar ini.

Dari depan gereja, jalanan langsung menuruni bukit. Batu-batu yang didatangkan langsung dari prtugal digunakan sebagai paving blok. Pada masa silam, batu-batu ini dibawa untuk menjaga keseimbangan kapal dagang portugis.

Di Macau, batu-batu ini diturunkan dan muatan kapal diisi rempah-rempah, keramik dan barang dagang lain dari Cina. Batu-batu ini kemudian dipakai untuk membuat jalan. Lorong-lorong panjang dengan jalan berbatu, dan bangunan 2 lantai di kanan-kirinya sungguh membuatnya mirip seperti negara asal para penjajah ini.

Apalagi suasana malam yang semakin sepi. Lorong kota tua ini tidak ubahnya seperti lorong waktu yang melempar saya kembali ke abad 16. Lorong kota kemudian menjadi jalan batu yang lebih lebar.

Akhirnya saya tiba di alun alun Largo de Senado. Inilah pusat kota Macau di masa lalu. Alun-alun lebar ini memiliki ubin batu putih dan hitam yang diatur seperti gelombang. Di tengahnya ada air mancur yang digunakan masyarakat untuk duduk-duduk.

Seluruh bangunan yang mengelilinya memiliki nilai sejarah. Salah satunya adalah Santa Casa da Misericordia atau Holy House of Mercy. Bangunan yang didirikan oleh uskup pertama di Macau tahun 1569.

Bangunan bergaya neo klasik ini sejatinya adalah rumah sakit bangsa Eropa pertama di Macau. Bangunan ini pada masanya juga mejalankan berbagai fungsi untuk kantor-kantor yang membidangi kesejahteraan masyarakat.

Mobil yang lewat di seberang jalan akhirnya menyadarkan saya bahwa ini adalah tahun 2007 bukan abad 16. Jakarta harus belajar dari Macau. Bukan judinya, tapi bagaimana mereka menyelamatkan kota tua.

Macau: Membuang Uang di Sands Casino

Di Indonesia, membuka kasino harus dilakukan sembunyi-sembunyi. Pengunjungnya pun masuk diam-diam. Tapi di Macau, inilah Las Vegas Asia. Penasaran dengan isinya, kami memilih yang paling megah, Sands Casino.

Saat itu waktu sudah menunjukan Kamis (16/8/2007) dini hari, namun suasana di depan Sands dan casino-casino lainnya tetap ramai. Mengklaim sebagai casino pertama yang didukung penuh investasi asing di Macau, Sands casino dibuka pada 2004. Luasnya tidak tanggung-tanggung, 90.100 meter persegi. Saya serasa masuk Grand Indonesia di Bundaran HI.

Bangunannya sih hanya 4 lantai tidak termasuk parkir bawah tanah, namun jarak tinggi dari satu lantai ke lantai lain saya taksir mencapai belasan meter. Kesan pertama saya adalah sekuriti gila-gilaan.

Pintu masuknya menggunakan detektor logam. Biasa saja pikir saya, di Indonesia sudah lazim. Namun tongkat detektor logamnya yang canggih. Saya membawa laptop dan kamera. Saya yakin terdeteksi, tapi saya berpikir tas saya akan dipindai dengan tongkat hitam bermerek dan akan berbunyi jika mendeteksi barang-barang tertentu.

Tongkatnya ternyata sebuah batang berbentuk tabung berdiameter 2cm dengan panjang 40 cm. Tongkat ini bening transparan, seperti bahan acrilic untuk membuat plakat atau piala. Tidak ada kabel yang tampak dari batang transparan ini. Tapi ini detektor logam lho. Si petugas kemanan lalu meminta saya membuka tas.

"Sorry, laptop is not allowed," ujar petugas itu sopan meminta saya menuju tempat penitipan barang dan mengulang masuk lewat pintu detektor. Tanpa Laptop dan kamera saya.

Saya pun masuk ke lobi. Di sini terdapat Pearl Room, arena judi seluas 1.580 meter persegi. Ini ruangan khusus untuk penjudi yang tidak merokok. Permainan yang disediakan di sini adalah poker, blackjack, roulette, baccarat, fan tan, dan 180 mesin jackpot.

Tapi ini baru permulaan. Kami naik ke lantai 2, Main Gaming Level. Nah ini dia pusat hiruk pikuknya Sands Casino. Dengan langit-langit setinggi sekitar 20 meter, saya seperti berada di hanggar pesawat terbang atau galangan kapal.

Meja-meja judi yang sama seperti pearl room, berjumlah ratusan. Semua dipadati penjudi. Hingar-bingar dan asap rokok ribuan orang memnuhi ruang raksasa ini. Begitu berada di lantai ini, ada jejeran loket penukaran uang dengan chip. Koin judi warna-warni tergantung nilainya.

Ratusan meja diatur dalam deret-deret memanjang. Setiap meja memiliki lampu tinggi dengan tiang menyerupai cendawan. Namun perhatikan, tidak semua bulatan kaca di tiang itu merupakan lampu. Dari 5 bola kaca di setiap tiang cendawan ada 3 kamera keamanan yang disamarkan mirip lampu, namun merupakan kamera yang bisa berputar 360 derajat.

Artinya, satu meja diawasi 3 kamera keamanan. Silakan hitung, berapa kamera yang mereka sediakan untuk ribuan meja di seluruh kasino ini. Mantap! Tapi tenang, masih ada lagi pengamanan lainnya.

Saya menunggu sebuah permainan baccarat hingga persediaan kartu sang bandar habis. Kartu yang sudah digunakan tidak boleh dipakai lagi. Kartu ini akan dipindahkan ke kotak plastik transparan seperti tupperware. Agar aman, selain berita acara permainan ada pula chip khusus seukuran SIM card berwarna hijau yang dimasukkan ke kotak, lalu kotak itu disegel.

Petugas kasino membawa troli dorong berkeliling membawa kartu-kartu yang bekas digunakan untuk diganti dengan stok kartu baru. Petugas sangar asal Asia Utara menjaga troli-troli ini. Ramesh, itu nama yang saya baca di dadanya.
"Orang Nepal," ujar seorang pengunjung kepada saya.

Semua dilakukan cepat dan rapi. Saya jadi ingat ini model troli yang digunakan Danny Ocean dalam film Ocean Eleven untuk menyelundupkan rekannya yang lentur masuk ke ruangan brankas besi.

Gaya berjudi pun seru-seru, apalagi mereka yang masih muda-muda. Jika bandar membagi kartu, jangan langsung dibuka, tapi diintip. Miringkan kepala, picingkan mata, angkat sudut kartu dengan kuku jempol. Buka sedikit-sedikit. Belasan penonton di belakang si pemain bisa ikutan memiringkan kepala.

Kalau Kartunya bagus, banting ke depan bandar dengan penuh gaya dan penonton bertepuk tangan. Kartunya jelek, dibanting juga namun dengan wajah kecewa. Saya tersenyum geli. Rasanya seperti lagi menonton syuting film Gods of Gambler (Dewa Judi) yang diperankan Chow Yun Fat, Andy Lau, dan Stephen Chow.

Mereka yang sudah tua lebih banyak memilih bermain jackpot. Santai, duduk tenang, tidak ada ketegangan khusus seperti bermain di meja arena. Bosan bermain judi, ada Xanadu. Panggung hiburan di tengah ruangan yang menampilkan sexy dancers atau musik-musik top 40.

Ingin suasana yang lebih sepi, silakan lanjut ke lantai 3, Fortune Level, yang luasnya 920 meter persegi, atau ke lantai 4 Treasure level yang luasnya 2.260 meter persegi. Luas sisa bangunan Sands Casino dihabiskan untuk restoran, klub eksekutif dan teater.

Kehidupan di Sands Casino dan casino-casino lain di Macau berlangung tanpa henti. Semua terpulang pada individu yang bermain dengan nasibnya sendiri. Bisa berhenti atau membiarkan nafsu menguasai.

Di pintu keluar kasino, saya melihat 2-3 orang yang tiduran di lantai. Wajah mereka kusut. Seorang nenek mencoba tidur mendekap tasnya erat-erat. Saya tidak berani bertanya, berapa uang yang mereka habiskan di malam tadi.

Macau: Surga Kaum Penjudi

Judi dinyatakan ilegal di Hong Kong. Lalu ke mana para penggemar adu nasib ini harus pergi? Macau dengan luas 29 km persegi pun menjelma menjadi surga dunia bagi mereka. Usai bikin berita soal aktivitas Muslim di Hongkong, kami mengumpulkan tenaga di Konjen RI Hongkong, untuk perjalanan malam hari itu.

Macau adalah pelafalan Portugis dari dialek lokal A Ma Gao yang berarti kuil A Ma. Ini adalah tempat sembahyang masyarakat setempat sebelum kemudian penjajah Portugis datang pada 1550-an. Masyarakat sendiri menyebut daerah ini Ou Mun.

Sejak diserahkan kembali ke Cina pada akhir 1999, Macau disulap menjadi lokasi perjudian untuk menyaingi Las Vegas. Dengan 29 kasino raksasa dan ratusan tempat hiburan malam, Macau menjadi magnet bagi mereka yang ingin mencoba peruntungan dari Hong Kong, Cina daratan dan berbagai belahan dunia.

Macau memiliki bandara internasional, namun warga Hong Kong biasa pergi ke Macau menggunakan Ferry cepat Turbo Jet dari Hong Kong Ferry Terminal di Sheung Wan. Harga tiketnya HK$ 172. Ferry berangkat setiap 15 menit selama 24 jam. Namun antara pukul 00.00-06.00, ferry berangkat 1 jam sekali.

Pada saat kami membeli tiket, Rabu (16/8/2007), ternyata banyak orang yang memberi kode tangan. Rupanya banyak calo yang berdiri di sekitar loket. Mereka menawarkan tiket dengan harga miring, HK$ 150, namun siapa berani menjamin, kami pun tidak mempedulikannya.

Setelah perjalanan satu jam, kami pun tiba di Macau pukul 20.00 waktu setempat. Gemerlap kasino-kasino raksasa membuat langit malam di Macau menyemburat merah. Bangunan kasino bermacam-macam bentuknya untuk menarik para penjudi. Ada yang mirip istana kaisar, bola lampu raksasa, istana Tibet, atau mulut naga.

Baru saja turun dari ferry, beberapa orang membagi-bagikan brosur. Isinya adalah tawaran paket hiburan plus-plus, mulai dari striptease yang dibandrol HK$ 300 sampai iklan layanan jasa seks komersial mulai harga HK$ 800. Jangan heran, selain perjudian, bisnis prostitusi juga legal di Macau.

Sepertinya, aktor Chow Yun Fat memiliki tempat tersendiri bagi Macau. Wajah aktor yang terkenal dengan film Gods of Gambler (Dewa Judi) ini muncul di pintu-pintu taksi dengan gaya sedang berjudi.

Semua papan petunjuk informasi dibuat dalam dua bahasa, Portugis dan Mandarin. Usai kami mengisi perut, kami memutuskan pergi ke ujung Jalan Avenida, Dr Rodrigo Rodrigues. Di sini ada ruang terbuka yang cukup luas dan kami bisa memandang ke banyak Casino besar di sekiling kami.

Malam kian larut, namun justru kota ini tidak menunjukan tanda-tanda akan tidur. Ratusan orang hilir mudik keluar masuk Kasino. Masuk kasino dengan penuh semangat, dan banyak yang keluar dengan wajah lemas.

Saya tidak bisa membayangkan berapa banyak orang yang datang ke sini pada akhir pekan. Lelah dengan hiruk pikuk dunia judi, kami menyingkir ke kota tua Macau. Suasananya sungguh kontras dengan jarak kurang dari 2 km, kami seolah-olah terlempar ke abad 16.

Bangunan-bangunan kolonial yang masih terawat, jalanan dengan ubin batu, langsung dibawa dari Portual, tetap awet sampai kini. Kami menuju ke perbukitan untuk melihat reruntuhan gereja Santo Paulo. Igreja de Santo Paulo, itu namanya.

Terletak di perbukitan, gereja ini menjadi kenangan akan kekuasaan Portugis di masa silam. Dibangun antara tahun 1602-1640, gereja ini habis terbakar pada 1835. hanya bagian depannya saja yang tersisa hingga kini. Sisa sisa reruntuhan gereja ini menjadi ikon Macau.

Waktu sudah masuk dini hari. Kami pun kembali turun ke pusat kota Macau. Kota judi yang tidak pernah tidur.

Behave Dangerously

Sebagai biker yang pulang pergi Jakarta-Bogor, safety riding itu harga mati. Ngga usah banyak tingkah kalau bawa motor. Gue masih inget anak istri di rumah.

Tapi sepanjang jalan, udah banyak kelakuan biker yang macem-macem. Apalagi kalau judulnya luar Jakarta (Ciputat kesono deh ampe Bogor).

Ngga pake helm, biasa banget itu mah. Ngebut kaya kesetanan, biasa juga. Naek motor bertiga biasa juga. Malem-malem, semua lampu motornya mati, beberapa demikian. Yang dipretelin dari lampu, spion, plat nomor, speedometer, dll, ada lah yang kaya gitu.

Yang gawat yang gimana? Yang gawat itu adalah kombinasi dari 3 unsur diatas. Contoh:
A. Ngebut, ga pake helm, bertiga
B. Ngebut, ga pake helm, lampu mati malem-malem
C. Ngebut, ga pake helm, motor dipretelin

Yang gue belum nemu adalah kombinasi semua unsur di atas. Udah ngebut kesetanan, ngga pake helm, naek motor bertiga, malem-malem lampunya mati, atau lebih tepatnya dipretelin semua. Kalau sampai tabrakan, itu matinya buru-buru amat. Mati dalam kecepatan 90 km/jam, malaikat maut juga dilewat, wuuuuussssh.

Ada juga yang nyetirnya santai, tapi gayanya gawat. Orang mau belok, lampu sign-nya mati, pake tangan dong kasih tanda. Tapi gue beberapa kali lihat kasih tandanya ngga pake tangan. Pake kaki! Dia rentangin kaki dia jauh-jauh ngasih tau kalau dia mau belok. Kalau kesamber mobil apa ngga putus tuh kaki? Males banget angkat tangan...

Tapi ada juga yang begini: Gue lewat di Monas, Merdeka Barat, baru pulang liputan di Istana. Biker di depan gue tiba-tiba nengok kanan. Gue refleks ikut nengok kanan ke arah Departemen Perhubungan. Ada apa pikir gue, demo? Lumayan gue beritain. Tapi ga ada apa-apa.

Depan Museum Nasional, itu biker nengok kanan lagi tiba-tiba. Gue nengok lagi. Ga ada apa-apa.... Depan Indosat nengok kanan lagi, ngga ada apa-apa.....

Ternyata...... Itu biker ada masalah dengan syaraf lehernya, man... Di depan BI, Sarinah, Kedubes Jerman dan berkali-kali setiap menit nengok kanan. Gimana kalau dia nengok kanan ada mobil atau motor ngerem di depan dia? Gue ngga mau ketawa, gue kasian......

Wednesday, March 19, 2008

Hongkong: Masjid dan Geliat Umat Muslim

Gelombang kedatangan TKI mendorong meningkatnya jumlah umat Islam di Hong Kong secara signifikan. Perlahan namun pasti, mereka menunjukkan eksistensinya. Ini adalah tulisan dari beberapa wawancara sekaligus.

Umat Islam sudah hadir di Hong Kong sejak akhir abad ke 19, dimulai dari pedagang-pedagang Cina yang diislamkan pedagang-pedagang Arab. Pemerintah Hong Kong kini mencatat ada 80.000 orang Islam di Hong Kong. Namun jumlah ini belum termasuk gelombang terakhir kedatangan TKI ke Hong Kong yang sebagian besar mereka muslim.

Diperkirakan kini ada sekitar 120 ribu umat Islam di Hong Kong. Sebagian besar merupakan TKI, kemudian diikuti umat muslim Malaysia dan Pakistan.

Hong Kong memiliki 5 masjid yaitu Jamia Mosque, Stanley Mosque, Kowloon Mosque, Cape Collinson Mosque dan Ammar Mosque Wanchai. Umat muslim asal Indonesia paling banyak berkumpul di Masjid Ammar di Oi Kwan Road, Wanchai. Masjid ini memang paling dekat dengan lokasi tinggal mereka di sekitar Causeway Bay, Hong Kong.

"Aktivitas kami meningkat dengan pesat, malah banyak TKI yang mendapatkan hidayah di Hong Kong," ujar Abdul Muhaemin Karim, seorang ulama Indonesia dari Islamic Union of Hong Kong, saat ditemui detikcom di Victoria Park, Rabu 15 Agustus 2007 lalu.

Menurut pria kelahiran Cirebon, 43 tahun silam ini, peristiwa 11 September justru malah membangkitkan minat masyarakat Hong Kong untuk mengenal Islam. Berbagai kelompok agama, masyarakat, universitas dan organisasi meminta Union menjelaskan Islam kepada mereka. "Kita sampai kewalahan memenuhi undangan mereka, termasuk dari Gereja, umat Buddha dan Hindu," lanjutnya.

Kesadaran beragama di kalangan TKI pun meningkat pesat. Kegiatan pengajian mingguan yang disebut Halaqah, selalu kebanjiran peminat di hari Minggu yang merupakan hari libur TKI.

Halaqah kemudian berkembang menjadi hari Sabtu, kemudian diikuti pengajian-pengajian tengah minggu yang lebih kecil. Union kini menaungi dua organisasi induk yaitu Persatuan Dakwah Victoria (PDV) dan Gabungan Buruh Migran Muslim Hong Kong (Gammi).

"Ini organisasi yang lahir dari bawah dan kita memfasilitasi," jelas pria yang manyandang gelar Master of Comparative Religion dari International Islamic University of Islamabad.

Muhaemin mencontohkan PDV memiliki sejumlah anak organisasi yang menggelar sejumlah pelatihan komputer, menjahit dan berwira usaha untuk para TKI. "Pelatihan ini selalu penuh peminat, karena para TKI menyadari mereka memerlukan bekal untuk hidup mandiri," kata Muhaemin bersemangat.

Umat muslim di Hong Kong selalu menekankan di kalangan mereka perlunya menunjukkan wajah Islam yang ramah. Para TKI pun berperan sebagai role model muslim di rumah majikannya.

Pekerjaan sebagai pembantu tidak menjadi halangan mereka untuk menunaikan salat. Mereka sudah biasa salat menggunakan celana training sebagai pengganti mukena, atau meringkas salat dengan metode jamak dan qashar.

"Sekarang banyak majikan yang mencari TKI berjilbab karena dinilai kerja dan perilakunya baik. Bahkan ada majikan yang masuk Islam karena pembantunya yang berjilbab," jelas Muhaemin.

Muhaemin menatap optimistis masa depan umat Islam di Hong Kong. Selain respons pemerintah Hong Kong yang positif, umat Islam di Hong Kong juga punya tekad untuk maju dan menunjukkan eksistensinya di tengah masyarakat.

"Union berencana untuk menambah lagi da'i-da'i di Hong Kong dengan cara open recruitment untuk memperkuat dakwah di masa depan," pungkas Muhaemin.

Thursday, March 13, 2008

Simply, It's Islam

Islam itu sederhana dan menyederhanakan. Pelajaran mengenai mengenal Allah dan berhubungan dengan sesama manusia diajarkan dengan bahasa, konsep dan logika-logika sederhana.

Saking sederhananya, kita sering menganggapnya remeh. Soalnya kita sering mendengar tiap hari, ayat-ayatnya kita hapal, diulang-ulang setiap khotbah.

Kita anggap itu gampang dan biasa. Tapi ujung-ujungnya kita malah lupa. Itulah manusia.

Kita diberi yang mudah malah mencari yang sulit. Kita menghindari jalan lurus nan lapang dan mencari jalan sempit berliku untuk meraih Allah.

Padahal kita tahu Allah tidak suka sesuatu yang berlebih-lebihan. Karena, dalam kesederhanaan itu tersimpan makna sedalam lautan.

Friday, March 7, 2008

Hongkong: Melihat Kota dari Bus Tingkat

Habis sudah tenaga kami hari ini. Sambil meluruskan kami di sebuah kedai teh di Pasar Mongkok, kami memutuskan pulang. Jam tangan menunjukan kalau hari baru saja berganti.

"Naik bus yuk," kata staff Konjen Pak Nugie kepada kami. Ide bagus, demen banget deh gue nyobain segala jenis angkutan umum di Hongkong.

Bus tingkat adalah pilihan transportasi menarik untuk berkeliling Hong Kong. Menikmati jalanan Hongkong dari atas bus, memiliki keasyikan tersendiri.

Kami berkesempatan menggunakan bus tingkat untuk pulang ke Causeway Bay dari Kowloon, Rabu 15 Agustus 2007 dini hari. Jangan menyetop sembarangan! Bus tingkat hanya berhenti di halte saja.

Tapi jangan salah berdiri di halte juga. Di halte yang panjang, bus berhenti sesuai rambu nomor jurusan yang dipajang di ujung, di tengah, atau di pangkal halte. Jika menunggu bis nomor 112 jurusan Causeway Bay, jangan berdiri di dekat rambu untuk bus 102. Bus anda tidak berhenti di situ.

Tarif bus juga tergantung jarak, semakin jauh semakin mahal. Penumpang juga bisa memakai kartu Octopus. Kartu Octopus adalah tiket untuk hampir seluruh alat transportasi di Hongkong.

Kami pun langsung naik ke lantai atas. Dari atas sini pemandangan jauh lebih leluasa melihat jalanan Hongkong. Untuk menghibur penumpang, ada TV layar datar kecil di bagian depan bus. Sejumlah klip iklan dan video klip boyband Hongkong cukuplah menghibur penumpang.

30 Menit kami berkendaraan, kami tiba di Causeway Bay. Untuk jarak dekat, warga Hong Kong memilih Light Bus yang berukuran kecil dengan belasan tempat duduk saja.

Tenang saja, sopir di Hongkong sangat tertib. Tidak ada aksi saling susul, saling pepet apalagi oper penumpang ala metromini.

Hongkong: Adu Mulut di Mongkok

Lihat lampu sudah, ketemu Bruce Lee sudah. Belanja oleh-oleh belum. Tempatnya nggak jauh dari Avenue of The Stars. Ingin belanja oleh-oleh murah khas Hong Kong? Cuma ada satu yang cocok, Pasar Mongkok, Kowloon.

Pasar ini memanjang 4 blok di Tung Choi Street. Sering disebut Ladies Market karena para pedagang menjual pernak- pernik perempuan. Barang-barang untuk pria ada di Pasar Yau Ma Tei di Temple Street.

Namun sepertinya nama tinggal lah nama. Di Mongkok, barang-barang pria dan anak-anak juga ada. Pokoknya lengkap. Pasar Mongkok buka pukul 14.00 sampai 24.00 waktu setempat.

Sayangnya sudah banyak barang di pasar Mongkok yang juga dijual di Indonesia seperti di Mangga Dua. Misalnya saja hiasan koin atau baju chong sam.

Jadi sebaiknya Anda membeli oleh-oleh yang khas Hong Kong saja dan cari yang tidak ada di Indonesia. Misalnya T-Shirt bertema Hong Kong atau gantungan kunci.

Banyak turis yang berburu barang di Pasar Mongkok. Modalnya cuma satu, sekuat-kuatnya menawar. Jangan khawatir soal adu mulut, para pedagang bisa berbahasa Inggris, jika Anda tidak bisa berbahasa Canton.

Resepnya sama seperti berbelanja di Mangga Dua atau Glodok. Langsung minta setengah harga dari yang ditawarkan penjual. Setelah adu urat mempertahankan harga masing-masing, Anda baru bisa mendapatkan barangnya dengan harga yang pas. Nah, selamat berjuang!

Dapat apa sajakah saya dari Mongkok? 2 Tas untuk Desti, borong selusin t shirt, selusin gantungan kunci, magnet, selusin sarung ponsel, hehehe.

Hongkong: Bertemu Bruce Lee di Kowloon

Tampangnya sangar, ototnya kencang, kuda-kudanya kokoh, Jet Kune Do itu jurusnya. Semua harus tahu, Bruce Lee siap bertarung. Whaatttaaaaa!

Tapi Bruce Lee tidak bisa menendang, karena cuma patung 2 meter yang didirikan warga Hong Kong untuk menghormatinya. Patung almarhum jago kungfu ini bisa ditemui di Avenue of Stars, Kowloon.

Idenya diambil dari Walk of Fame, AS. Sebuah trotoar pejalan kaki lebar di mana cetak tangan, kaki, atau tanda tangan artis dalam plat semen dipasang di trotoar. Kalau di Hong Kong, yang dipajang tentu saja artis Mandarin.

Lokasi Avenue of Stars ada di Salisbury Road, di tepi laut menghadap Pulau Hong Kong. Avenue of Stars memanjang 300 meter dari Hong Kong Museum of Arts sampai melewati Hotel Inter Continental.

Kami berkesempatan ke sana, Selasa 15 Agustus 2007 malam. Jika mulai berjalan dari museum ke arah hotel, kita akan menemui artis-artis jadul terlebih dulu. "Saya kenal nih, ini pemain film silat waktu saya kecil," ujar Konsul Konsuler Ayodhia Kalake. Saya hanya menggeleng. "Wah, nggak kenal".

Setelah menyusuri puluhan cetak semen, akhirnya saya menemukan cetak semen Bruce Lee. Beberapa puluh meter kemudian ada Jackie Chan dan Jet Lee hanya terpisah beberapa meter.

Pengunjung sepertinya tidak terlalu memperhatikan. Setelah saya sibuk mengambil foto, barulah mereka mendekat. "Jackie Chan! Jet Lee!" ujar mereka girang memanggil teman-temannya.

Di ujung Avenue of Stars barulah patung logam Bruce Lee tegak berdiri membelakangi Pulau Hong Kong. Masyarakat berfoto sambil meniru-niru gayanya.

Jika Anda ingin souvenir, ada toko pernak-pernik namun khusus hanya bertema Bruce lee dan Jackie Chan. Namun memang anda harus merogoh kocek agak dalam.

Thursday, March 6, 2008

Hongkong: Menikmati Gemerlap Lampu

Kami selesai mewawancara Konjen RI Hongkong Ferry Adamhar, saat hari semakin senja. Usai mengisi perut, tawaran pun datang dari staf konjen yang tidak bisa kami tolak. Menyeberang ke Kowloon dan melihat gemerlap lampu Hongkong.

Pulau Hongkong sungguh sumpek di siang hari. Tapi cobalah menyeberang ke Kowloon pada malam hari. Dari sini, Hongkong justru tampil indah dengan lampu gemerlapnya.

Di Salisbury Road, ada tempat pejalan kaki lebar di tepi laut yang menghadap Pulau Hongkong. Tempatnya di belakang Pusat Kebudayaan Hongkong dan memanjang sampai Meseum Seni Hongkong.

Pada malam hari, masyarakat dan turis dapat menikmati indahnya gemerlap lampu gedung pencakar langit di Hongkong. Lampu gedung beraneka warna, lampu billboard raksasa dan pencakar langit yang menjulang, membuat Hongkong tampak megah.

Untung saja malam itu, Selasa 15 Agustus 2007 cerah dan tidak berkabut sehingga seluruh lampu tampak jelas. Kita seolah dilupakan hiruk pikuknya pulau itu di siang hari.

Mereka yang datang menikmati malam wajib membawa kamera untuk mengabadikan gambar. Lampu-lampu yang indah dan angin malam yang mengigit membuat suasana semakin romantis.

Pasangan yang sedang dimabuk cinta larut dalam ciuman mesra. Jarang-jarang orang datang ke sini sendirian apalagi sedang jomblo. Sebagian besar mereka berpasangan.

Sebenarnya kami tidak beruntung karena melewatkan Symphony of Light tepat pukul 20.00 setiap malam. Symphony of Light merupakan pertunjukan lampu dan sinar laser terpadu yang berasal lebih dari 30 gedung di Kowloon dan Hongkong.

Tapi, tidak apa-apa, kami masih bisa melihat perahu tradisional Cina, Junk, dengan layar khasnya yang berwarna merah, mampir untuk membawa wisatawan. Pemandangan indah ini dimanfaatkan belasan lapak foto instant.

"Coba yuk!" kata Konsul Sosial Budaya Konjen RI Nugroho Aribhimo menunjuk harga HK$ 10 untuk foto berukuran 10R. Murah juga pikir kami. Setelah sepakat bertransaksi, tiba-tiba si tukang foto menunjuk sebuah foto kecil berukuran 2R di atas angka HK$ 10 pada papan harga fotonya.

"Sialan! Yang HK$ 10 yang kecil. Yang besar HK$ 40. Nipu nih!" gerutu kami.

Setelah bertransaksi ulang, harga pun disepakati HK$ 25 untuk foto berukuran 4R. Jepret! Kami pun melanjutkan perjalanan.

Kami Ingin Jadi Agen Perubahan

Siang itu, Selasa 14 Agustus 2007, jadilah kami berkumpul di Konjen RI, Hongkong di Leighton Road, buat wawancara Konjen RI Hongkong Ferry Adamhar. Begini nih beritanya:

Pemerintah setempat yang mendukung buruh migran dan TKI yang mengorganisir diri dengan rapi membedakan Hong Kong dengan negara-negara lain penerima TKI. Konjen RI berkewajiban untuk dapat memanfaatkan secara maksimal kesempatan emas ini.

"Kami ingin menjadi agen perubahan untuk TKI. Mereka tidak hanya mendapat uang, tapi juga memiliki nilai tambah," ujar Konjen RI untuk Hong Kong Ferry Adamhar di kantornya, Causeway Bay, Hong Kong.

Menurut Ferry, kepentingan Konjen RI, pemerintah Hong Kong, dan TKI sudah mengarah kepada titik temu. Konjen berkewajiban melindungi warganya, pemerintah Hong Kong sebagai negara jasa harus menunjukkan citra positif dari kehidupan buruh migrannya, dan TKI yang bertekad mengubah nasibnya.

"Di sini satu-satunya negara di mana TKI tidak bisa dikirim kalau kontrak kerja tidak disetujui oleh Konsulat Jenderal," imbuh dia.

Sifat TKI yang cenderung penurut di satu sisi merupakan kelemahan mereka dibandingkan buruh migran Filipina yang keras terhadap kontrak kerja. Namun Ferry justru melihat ini sebagai peluang untuk memperkuat posisi tawar TKI.

"Kalau TKI kita pulang, anak majikan mereka bisa nangis. TKI pula yang justru mendatangkan uang untuk Hong Kong, karena mereka belanja, beli ponsel, ke salon, dan lain-lain," cetusnya.

Menurut Ferry, fakta-fakta ini yang menunjukkan perlunya sebuah program terpadu menyiapkan TKI menjadi mandiri dan diperlakukan lebih layak oleh majikannya. Pada saat mereka datang, ada program penerimaan dan pendataan hingga TKI tidak merasa terasing.

Selama mereka di Hong Kong, ada program dari Konjen atau swadaya TKI untuk mengembangkan diri lewat berbagai pelatihan, organisasi seni, budaya, agama dan olahraga, pengelolaan gaji. Tujuannya agar mereka bisa mempersiapkan masa depan.

"Kalau mereka tahu dan membekali diri, mereka bisa pulang dan memulai usaha untuk hidup mandiri. Mereka tidak usah selamanya jadi TKI," jelas mantan Dirjen Perlindungan WNI Deplu ini.

Tambahan:

Pak Ferry ini dulunya emang narasumber ketiga di Deplu setelah Menlu, dan Juru Bicara Deplu. Jabatannya kan dulu Dirjen Perlindungan WNI. Teleponnya pasti panas berdering-dering dari wartawan kalau ada kabar TKI mati, disiksa, atau WNI celaka di luar negeri.

Hongkong: Meluncur Mulus dengan MTR

Jika Jakarta masih membangun monorail yang entah kapan selesai, warga Hongkong sudah menikmati Mass Transit Railway (MTR) sejak 1979. MTR menjadi pilihan favorit masyarakat karena memudahkan mereka bepergian.

MTR melayani 2,4 juta penumpang setiap hari atau 30 persen dari penduduk Hong Kong yang hanya 6,8 juta jiwa. Kereta bawah tanah ini menyediakan 6 jalur trayek yang menjangkau seluruh Hongkong.

6 Jalur itu adalah bandara, Tsuen Wan, Kwun Ton, Tseung Kwan O, Tung Chung, dan Island. Saya pada Selasa (14/8/2007) mencoba MTR untuk mencari warnet di kawasan North Point. Apalagi kalau bukan warnetnya Mbak Wiwik Lo, TKI sukses jadi bos itu. Maklum, berita numpuk, laptop nggak dapat akses wi fi, mau nebeng internet Konjen males.

Lagi pula pagi itu memang agak santai. Agenda liputan kita bersama adalah wawancara Konjen RI Hongkong Ferry Adamhar nanti siang. Bang Reyhan RCTI dan patnernya memilih bikin visual hiruk pikuk Hongkong, Mas Rachmat memilih nongkrong di Konjen.

BTW, Stasiun MTR tersebar di seluruh Hongkong. Akses ke stasiun ditandai dengan logo MTR yang mirip logo ASEAN dengan warna dasar merah. Pintu masuk ke stasiun bisa muncul di perempatan atau menyembul di lantai dasar sebuah pertokoan. Jadi, buka mata Anda, satu stasiun bisa memiliki sampai 6 pintu masuk.

Saya memilih stasiun Causeway Bay Station yang hanya satu belokan dari tempat menginap. Membeli tiketnya pun sungguh praktis, tidak ada petugas loket, semua dilayani secara elektronik.

Dengan turun ke bawah tanah pakai tangga jalan, penumpang akan melihat belasan mesin tiket seukuran mesin ATM yang berjajar rapi. Intruksinya sangat user friendly dengan panduan bahasa Inggris dan Canton. Ada layar sentuh menggambarkan peta seluruh trayek MTR, mirip peta jalur busway karena tiap jurusan punya warna berbeda antara lain hijau, ungu, merah, atau kuning. Penumpang tinggal memencet gambar stasiun tujuan.

Komputer akan menghitung harga tiket dari stasiun asal, masukan uang koin atau kertas. Beberapa detik kemudian tiket akan keluar, termasuk uang kembalian jika memang ada.

Setelah itu penumpang menuju peron, baca papan petunjuk jika tidak mau salah peron. Apalagi jika Anda di stasiun transit antar jalur, jangan sampai salah jurusan karena jumlah peron yang banyak.

Peron dan rel kereta dibatasi dinding kaca untuk menjaga keamanan. Tidak perlu menunggu lama, untuk menunggu kereta datang. Hampir setiap 2 menit kereta akan lewat.

Jika Anda tidak terburu-buru, Anda bisa melihat toko-toko atau mencari koran di agen koran, atau membeli makanan ringan. Jangan bayangkan stasiun yang pengap, bahkan orang buta pun diberikan ubin lantai khusus untuk memandu mereka.

Wush... kereta pun melaju kencang. Suasana di dalam kereta sungguh nyaman. Walaupun penumpang padat, sistem pendingin berjalan dengan baik.

Penumpang sungguh tertib. Tidak ada pengamen apalagi pengemis. Suara elektronik kereta selalu mengingatkan untuk mendahulukan penumpang turun dan jangan di dekat pintu jika kereta mau berangkat.

Tidak ada pemandangan di jendela tentu saja. Namun Anda bisa tahu sudah sampai d imana dengan melihat panel elektronik bergambar jalur kereta di atas pintu. Suara elektronik pun memberi tahu anda nama stasiun berikutnya.

Tidak sampai 15 menit, saya pun tiba di North Point. Jika ingin lebih praktis, masyarakat bisa membeli tiket elektronik Octopus Card di stasiun. Kartu sakti seharga HK$ 150 (sekitar Rp 160.000) untuk segala jenis alat transportasi di Hongkong termasuk trem dan bis kota. Gunakan sepuasnya tanpa batas waktu sampai saldo di tiket elektronik Anda habis.

Hongkong: Pengap.....

Selasa, 14 Agustus 2007, hari keempat gue ada di Hongkong. Suasananya selalu sama setiap pagi. Hiruk pikuk manusia bergegas dalam hujan rintik-rintik.

Dari Paterson Street, Causeway Bay, dan sebenarnya sama dimanapun di Pulau Hongkong, gue setiap kali mendongak ke atas melihat gedung puluhan lantai dalam jarak yang amat dekat satu sama lain.

Hawa Hongkong buat gue jauh dari segar. Lembab itu sudah pasti. Tapi yang paling nggak enak, pengap....... Nafas aja berat. Gerah minta ampun padahal hujan.

Kenapa ya? Lagi-lagi gue nanyanya orang Konjen RI Pak Nugie. Jawabannya dahsyat.

"Gedungnya kan tinggi-tinggi tuh apartemen semua. Nah semua orang Hongkong pasang AC, exhaustnya ngarah ke jalan......" kata dia.

Ya iyalah gerahnya setengah mampus. Ada dinding puluhan meter dan saling berhadapan sangat dekat dan semua masang exhaust AC.

Dan gue pun melongok lagi ke arah langit, AC berbagai model nangkring di semua jendela warga Hongkong. Ratusan, bahkan ribuan. Semua berbarengan menghembuskan angin panas ke jalanan......... Uugggggggggghhhhh!

Monday, March 3, 2008

Hongkong: Drama-drama Jendela

Pulang dari Restoran Jin Yuen, Hongkong, Senin (13/8/2007), kami tidak langsung tidur. Beres-beres buat persiapan liputan besok. Guest house yang kami sewa itu ada 4 kamar tidur. Gue sekamar dengan Mas Rachmat dari Republika.

Gue pilih tempat tidur dekat jendela. Pemandangannya lumayan serem buat yang takut ketinggian. Gue ada di lantai 14 dari deretan rapat apartemen di Paterson Street, Causeway Bay, Hongkong.

Dari jendela kamar gue ada ratusan jendela yang bisa gue lihat. Apartemen di Hongkong bisa menjulang belasan lantai dengan jarak yang rapat-rapat. Dari sejak awal gue nyampe di Hongkong, gue paling suka lihat-lihat pemandangan dari jendela. Bukan ngintip lho... Tapi gue seolah melihat ratusan drama dari setiap jendela.

Apalagi kalau sudah malam, dimana para warga Hongkong kembali ke rumah mereka. Ada keluarga yang berkumpul menikmati makan malam penuh dengan gelak tawa. Ada juga sepasang manula yang sepertinya hanya hidup berdua.

Ada pemuda yang asyik dalam gelap. Satu-satunya cahaya adalah layar komputer yang menyorot wajahnya. Mungkin dari orang ini gue dapat tebengan hotspot hehehehe. Nggak tahu deh lagi lihat apaan.

Ada juga keluarga yang modelnya menikmati tontonan TV menjelang tidur, lalu satu persatu anak mereka pamit tidur. Ortunya juga ngantuk, lalu terakhir seluruh lampu apartemen itu gelap. Tapi ada juga yang baru datang ke rumah langsung tutup tirai, penuh rahasia hehehe.

Setiap jendela punya cerita sendiri..... Cerita keseharian warga Hongkong yang apa adanya....

Hongkong: Bebek Peking? Mmm.. Crunchy

Liputan soal profil Wiwik Lo TKI sukses makan waktu juga. Teman RCTI bikin rekaman juga sih, jadinya lebih makan waktu, setting adegan dll. Nggak kerasa, hari mulai gelap saat liputan selesai.

Udah gitu, kita nggak langsung pulang. Pasangan David dan Wiwik Lo mau mentraktir kita Bebek Peking. Bebek Peking adalah makanan oriental yang tersohor. Seperti apa sih rasanya? Jadi penasaran.

Pada Senin (13/8/2007) malam, kami mendatangi Jin Yuen Restaurant di samping City Garden, North Point Hong Kong. Restoran yang lebih elit dari dari restoran Spicy Crab di Wan Chai. Kami makan bersama dengan David dan Wiwik Lo, bekas TKW yang kini sukses berbisnis di Hongkong, serta staf Konjen RI.

Dengan pelayan berjas, restoran bernuansa warna merah ini berukuran besar dengan belasan meja, atau meja-meja privat yang dilengkapi televisi. Kami berdelapan termasuk staf Konjen RI Viktor memilih satu meja agak depan.

Seafood memang bukan menu utama di sini, melainkan unggas. Meski demikian, restoran ini menyediakan banyak pilihan termasuk seafood segar juga.

Kami memilih makanan yang bukan seafood, setidaknya seafood yang belum kami coba di Spicy Crab. David dan Wiwik Lo yang memiliki perusahaan jasa paket khusus TKI ini, sepertinya memang hobi makan. 8 Menu pun dipilihkan untuk kami.

Kami memesan Peking Duck with Lemon Sauce (bebek panggang), Roasted Pigeon (burung dara bakar), Baked Crispy Chicken (ayam panggang), Steam Prawn (udang rebus), Dried Fried Squid With Chili and Salt (cumi goreng tepung), Garoupa with Pickle Sauce (ikan kerapu), cah kangkung, dan bubur kacang hijau dan kacang merah.

Makan malam dimulai dengan udang rebus segar yang ditemani kecap asin. Udang ini benar-benar hanya direbus tanpa bumbu dan baru mendapat rasa dari kecap asinnya, daging udangnya terasa sangat segar.

Kemudian datanglah burung dara bakar yang ternyata dagingnya sangat lembut. "Wah di Indonesia dagingnya liat," ujar kawan wartawan yang memang gemar burung dara. Ayam panggangnya pun bercita rasa sama.

Belum kami tuntas dengan burung dara, cumi goreng tepung sudah datang. Kecap dan irisan cabe atau garam, menjadi pilihan bumbu pelengkapnya. Rasanya sungguh renyah. Kalau cah kangkung mirip-miriplah dengan yang biasa kita dapatkan di Indonesia.

Akhinya yang ditunggu-tunggu datang. Pelayan restoran membawa meja dorong dengan bebek panggang tersaji matang. Warna coklat keemasan sungguh mengundang selera.

Bebek peking panggang dimakan kulitnya karena renyah. Sang pelayan mengiris kulitnya dengan cekatan dan menyajikannya dengan kulit lumpia basah bertabur wijen.

Irisan kulit bebek dioleskan ke saus tiram, ditemani potongan panjang ketimun dan lalu dibungkus kulit lumpia. Mmmmmm.... maknyussss! Lidah kami pun bergoyang.

Bebek yang sudah dikuliti kemudian dipotong-potong, lantas dimasak lagi dengan sup berkuah kaldu dan ditemani sayur bhok coy. Sup panas ini sungguh gurih, apalagi jika Anda memang pencinta sayur kerabat cay sim ini.

Menjelang perut kenyang, ternyata masih ada lagi ikan kerapu yang direbus dan disajikan dengan kecap asin. Ikan ini hanya dimasak sesaat agar dagingnya tidak menggumpal. Kerapu di Hong Kong dan banyak makanan laut lain, ternyata diimpor dari Indonesia.

"Kepala dan buntutnya harus dihabiskan, ini kebiasaan di sini," ujar Wiwik Lo memaksa kami mengisi ruang perut yang hampir tidak tersisa.

Hidangan penutup pun akhirnya disajikan. Bubur kacang hijau dan kacang merah. Saya pilih kacang merah, karena kacang hijau sudah biasa saya makan. Saya tadi membayangkan kacang merah berukuran besar. Namun ternyata ukurannya seperti kacang hijau, namun warnanya merah dan rasanya sama.

Kami pun meninggalkan Jin Yuen Restaurant dengan perut kenyang dan lidah yang dimanjakan. Nikmat renyahnya kulit bebek peking terus terbayang hingga kami kembali ke Causeway Bay.

Hongkong: TKI Juga Bisa Jadi Bos

Selesai liputan soal aktivitas Konjen RI Hongkong, agenda sore adalah membuat profil TKI sukses. "Ada loh, TKI jadi bos...," pernyataan itu menggelitik kuping kami. Jadilah kami sore itu diantar ke North Point. Hasil tulisannya ini nih:

Nasib TKI tidak selamanya berada di bawah. Di North Point, Hong Kong, ada TKW yang menjadi bos jasa pengiriman paket.

Wiwik Nurbaiti Lo (34) adalah pemilik perusahaan paket JIL yang melayani jasa pengiriman paket untuk TKI. Kantornya di City Garden Shopping Centre, North Point, Hongkong selalu kebanjiran TKI terutama di akhir pekan.

Namun kesuksesan ini bukan diraih dalam semalam. Wiwik merintis bisnis paket dari nol dan harus menelan banyak pil pahit pada tahun-tahun pertama.

Di sela-sela kesibukannya Senin (13/8/2007), Wiwik menyempatkan memenuhi permintaan detikcom dan dua media lain dari Indonesia untuk menceritakan pengalamannya. Semua dimulai di Blitar tahun 1992. Wiwik yang baru lulus SMA memutuskan untuk mengadu nasib di Hongkong sebagai TKI pada usia 19 tahun.

Di Hongkong, dia bertemu pria bernama David Lo yang masih merupakan kerabat majikannya. Ternyata Wiwik mengenal David yang pernah beberapa kali ke Blitar untuk berbisnis.

Keduanya pun jatuh cinta dan menikah dua tahun kemudian pada 1994. Karena menikahi pria Hongkong, Wiwik mendapatkan status residen. Gelombang TKI pun mulai mengalir ke Hongkong dan David melihat peluang bisnis jasa pengiriman paket.

Wiwik yang mengenal dunia TKI sangat membantu David merintis bisnisnya. Sebaliknya Wiwik berguru kepada David. "Apa yang dia ajarkan saya teruskan, modifikasi dan perbaiki," kata Wiwik.

Tahun-tahun awal bisnisnya sangatlah sulit. Apalagi menjadi jasa khusus TKI. Jangankan rekanan di Indonesia, TKI pun tega menipunya. "Barang kiriman saya ada yang dihilangkan rekanan. TKI pun tega menipu saya, berpura-pura barangnya hilang dan menuntut ganti rugi," kenangnya.

Pengalaman ini tidak membuat Wiwik dan suaminya surut. Berbagai kesalahan dijadikan Wiwik sebagai masukan untuk kemudian menyusun standar operasi. JIL kini memastikan keselamatan barang dengan bukti kuitansi, tanda tangan dan bukti identitas penerima, sampai bukti foto kalau barang sampai dengan selamat. Sopir pengantar pun diharamkan menerima uang tips.

"Kalau ada TKI yang coba bohong, saya sudah punya buktinya. Kalau masih ngotot, saya panggil polisi," tegasnya.

Dari toko berukuran 10x15 meter, Wiwik kini menyewa hampir 2 lantai gedung yang sama (sumpah tokonya gede banget). 6 Pegawai kini berkembang lebih dari 120 orang termasuk di Indonesia.

8 Mobil boks yang disewa dari orang lain kini menjadi 23 truk dan mobil boks di Hongkong dan Indonesia. Wiwik bahkan mengembangkan bisnis warnet, mini market, tempat karaoke, jasa paspor dan kredit elektronik dan motor Cina. Pada Juli 2007 saja, Wiwik mengirimkan 19 kontainer paket ke seluruh wilayah Indonesia.

"Buat saya yang penting adalah menjaga kepercayaan. Kita harus berani bertanggung jawab kalau mau sukses. Mending hilang uang daripada dapat nama jelek, Mas," kata dia.

Hongkong: Hiruk Pikuk Pengurusan Paspor

Hari kerja di Konsulat Jenderal (Konjen) RI di Hongkong adalah hiruk pikuknya pelayanan keimigrasian. Dengan kantor yang berdiri menjulang 21 lantai, Konjen RI harus melayani 110 ribu TKI di Hongkong.

"Konjen RI setiap harinya mengurus 150 paspor. Proses pengurusan paspor diselesaikan dalam 10 hari kerja," ujar Konsul Imigrasi Konjen RI Djoni Muhammad di kantornya di Leighton Road No 127-129, Causeway Bay, Hongkong, Senin (13/8/2007).

Para TKI datang pagi hari pukul 09.30 untuk menyerahkan berkas berupa paspor lama, KTP Hongkong, slip pembayaran dari bank dan kontrak kerja. Penyerahan berkas dilakukan hingga pukul 12.30 waktu setempat.

Para TKI akan menerima tanda bukti permohonan sekaligus pemberitahuan tanggal pengambilan paspor 10 hari kemudian. Pada hari yang ditentukan, mereka akan kembali ke Konjen.

Waktu pengambilan paspor adalah pukul 14.30-16.30. Namun seringya mereka sudah antre menunggu sebelum loket dibuka. Begitu dibuka, mereka pun membanjir masuk.

Agar tertib, mereka diminta mengambil nomor panggil. Sambil menunggu panggilan, mereka asyik mengobrol dengan teman-temannya.

Jika nomor dipanggil, mereka mengambil paspor baru dan kemudian pulang. Biasanya memang tidak berlama-lama, karena pada hari kerja sebenarnya mereka memanfaatkan sedikit waktu dari padatnya tugas membersihkan rumah.

Tidak hanya jasa paspor, Konjen pun mengurusi permohonan visa bagi warga Hong Kong yang ingin berkunjung ke Indonesia. Para agen TKI pun berurusan dengan konjen, inilah tugas Konsul Konsuler. "Kami menjalankan fungsi pelayanan, perlindungan, dan pembinaan TKI," ujar Konsul Konsuler Konjen RI Ayodhia Kalake.

Menurut pria yang akrab dipanggil Odhie ini, proses pengiriman TKI dimulai dari job order atau perjanjian antar agen pemilik lisensi Konjen RI dan Depnaker Hongkong dan PJTKI pemilik surat izin pengiriman TKI. Agen lalu menawarkan data TKI ke calon majikan.

Jika majikan berminat, dibuatlah kontrak kerja yang harus dilegalisir KJRI lalu dikirim ke Indonesia. Kantor imigrasi Hongkong kemudian memverifikasi apakah sang majikan layak menerima TKI atau tidak.

Mereka akan memerika penghasilan si majikan dan kondisi rumah mereka. Jika Kantor imigrasi Hongkong memberikan lampu hijau, visa pun dikirimkan ke Indoensia dan TKI pun berangkat ke Hongkong.

"Total kebutuhan pembantu di rumah tangga di Hongkong adalah 250 ribu orang. Pada Juli 2007 sudah ada 239.470 pembantu. 110.510 di antaranya dari Indonesia," pungkas Odhie.

Hongkong: Rain....

Selesai liputan lomba 17 Agustus di Victoria Park, gue pulang dengan sepatu berlumpur. Jadilah malam itu gue nyuci sepatu.

Sambil kirim-kirim berita lewat email. Gue nyuri hotspot entah punya siapa hehehe, ke-detect ama laptop gue.

Pagi harinya alias Senin (13/8/2007), cuacanya hujan sejak awal pagi. Padahal agenda kita lumayan padat. Kita mau ke kantor Konjen RI melihat suasana pengurusan paspor oleh para TKI.

Jadilah kita berpayung menuju lokasi yang hanya beberapa blok. Suasananya gitu deh, hujan dan semua orang berpayung.

Pak Nugie, orang Konjen bilang, setelah topan, pasti hujan 2-3 hari. Dan kemarin ada Topan Pabuk, jadi mungkin kita masih akan berhujan-hujan sampai besok atau lusa.