Thursday, December 25, 2008

Papa, Mama, Zahra Minta Maaf......

Meminta maaf menjadi sebuah pelajaran penting untuk kami sekeluarga. Pada suatu malam, Zahra sudah sedemikian nakalnya. Zahra mencakar pipi Papanya sampai berdarah.

Kami pun memutuskan memberi hukuman untuk dia. Tapi kita tidak suka dengan konsep hukuman fisik. Jadi kami memberikan hukuman yang ringan untuk kita tapi berat untuk Zahra.

Zahra boleh bermain dimana pun di apartemen kami, tapi..... dia tidak boleh bermain di kasur bersama Mama dan Papanya. Zahra boleh bermain di kasur dengan syarat, dia meminta maaf kepada Papanya.

Kami merasa itu akan menjadi pembelajaran yang baik, karena selama ini kami memperhatikan, dia tidak pernah meminta maaf dan selalu merasa benar. Saat merebut mainan sepupunya Saskia, atau saat mencubit tantenya Bi Aina. Zahra tidak pernah mau meminta maaf.

Benar saja, Zahra memaksa main di kasur. Tapi tentu saja kami halangi karena dia belum meminta maaf. Semakin kami halangi, Zahra semakin marah dan mulai menangis bahkan berteriak-teriak. Tapi sayangnya dia tetap tidak mau meminta maaf.

"Zahra nggak mau minta maaf, kayak orang bodoh!" teriaknya yang juga membuat kami kaget. Inikah yang ada dipikirannya selama ini tentang meminta maaf.

"Zahra, kan Zahra sering lihat Papa minta maaf kalau punya salah sama Mama, juga sebaliknya. Meminta maaf itu tidak bodoh Zahra. Itu berarti Zahra anak shalihah kalau meminta maaf," kata Desti.

Dua jam lebih berlalu, Zahra tetap berteriak-teriak dan tidak mau minta maaf. Wajahnya terlihat lelah dengan air mata bercucuran. Kami sungguh tidak tega melihatnya. Padahal asal dia bilang maaf, dan semua ini berakhir. Sayang Zahra begitu keras kepala hingga dia kelelahan.

Desti pun memeluk dia sampai Zahra tertidur. Setelah Zahra ditidurkan, kami berpelukan. "Ma, kita coba lain kali ya," kata gue. Apa kami terlalu keras terhadap dia? Kami juga tidak mau menjadi orang tua yang kejam.

Pada pagi harinya, Desti sedang menyiapkan sarapan dan gue membereskan kamar tidur. Zahra tiba-tiba berlari dari arah ruang makan dan memeluk gue.

"Papa, Zahra minta maaf," ujarnya dan gue bengong. Lalu dia pun lari ke dapur sambil gue susul dari belakang.
"Ma, Zahra udah minta maaf sama Papa," kata gue. Zahra pun lalu memeluk mama.
"Mama, Zahra minta maaf,"

Orang tua mana yang tidak luluh kalau anaknya meminta maaf dengan tulus. Kami pun memeluk Zahra erat-erat. Pelajaran meminta maaf kami ternyata berhasil. Dan Zahra pun duduk senang menikmati yoghurt strawberry kesukaannya sebagai hadiah.

Sejak saat itu meminta maaf menjadi lebih mudah untuk Zahra. Maaf saat dia menumpahkan jus jeruk. Maaf saat dia ribut waktu mamanya main gamelan di KBRI. Dan maaf-maaf yang lain.

Di sisi lain, kami pun selalu berusaha memberi contoh di depan dia saat kita saling meminta maaf. Meminta maaf adalah cara terbaik untuk menyelesaikan masalah. Meminta maaf tidak hanya menjadi pelajaran penting buat Zahra, tapi juga buat gue dan Desti.

Zahra dan Snow White

Akhirnya kami menemukan tontonan yang pas untuk Zahra. Pertama-tama kita memang tidak punya televisi di Berlin. Jadi hiburan kita adalah Youtube yang kita tonton dari internet di laptop Desti.

Zahra sudah mulai bosan dengan beberapa lagu anak-anak berbahasa Indonesia, Inggris atau Jerman, juga Baby Einstein. Kita coba browsing film-film klasik Disney dan kita nemu... Snow White.

Kami sekeluarga sangat menikmati film itu. Zahra senang dengan banyaknya hewan yang lucu di film itu. Juga kurcaci-kurcaci sahabat Snow White. Filmnya jadi mengharukan saat Snow White makan apel beracun. Zahra membuat analisa sendiri.

"Pah, Puteri Saljunya sakit perut makan apel ya???"

Akhirnya sang pangeran datang mencium sang puteri untuk membebaskan kutukannya. Snow White pun pergi dengan sang pangeran...... The End.....

Tapi... kok tiba-tiba Zahra mukanya mau nangis gitu. Bibirnya pun menyan menyon menahan nangis.

"Zahra kenapa?" kata Desti....
"Kok puterinya pergi? Kurcacinya ditinggalin ya Ma??" kata dia dengan mata berkaca-kaca. Lalu dia nangis tersedu-sedu.

Aduuuuuuh Zahra kami yang lucu, rupanya dia mudah terharu gitu hehehehehehe. Dia rupanya terbawa perasaan menonton film Snow White. Dia pikir filmnya sad ending dengan adegan puteri meninggalkan sahabat-sahabatnya... Zahra absolutely dislike the farewell scene.

Jadilah kami menjelaskan, "Zahra, mereka tidak berpisah. Puterinya pulang dulu ke istana dengan pangeran. Kan nanti puterinya bisa maen lagi ke hutan kalau mau bertemu kurcaci". Zahra seemed to understand.

Next time, kita nonton Cinderella. Adegan penutupnya, Cinderella dijemput pangeran setelah dia terbukti sebagai puteri bersepatu kaca. Cinderella meninggalkan semua teman-teman hewannya yang lucu.

Walah....alamatan nangis lagi nih anak. Eh bener kan mulutnya menyan menyen lagi dengan mata berkaca-kaca. Jadilah buru-buru Desti memeluk dia sambil membuat klarifikasi sebelum dia salah paham lagi hehehehehe.

"Zahra, Cinderellanya cuma pergi sebentar kok ama pangeran. Kan nanti bisa balik lagi," kata Desti.

Zahra kami itu, dibalik sifatnya yang super aktif, banyak akal cenderung bandel, jago ngeles, plus galak, ternyata...... perasaaannya halus..... We love you Zahra....!

Leunca!!!!

Ini sebenernya cerita yang ditunggu-tunggu keluarga di Indonesia, maaf baru dimasukin blog sekarang. Jadi November kemaren akhirnya gue bisa balik lagi ke Istana Sanssouci, Postdam. Dulu tahun 2003 kesini bareng temen-temen kampus waktu studi banding DAAD.

Yang paling membahagiakan adalah sekarang bisa balik lagi ke istana saingan Versailles ini bareng Desti dan Zahra. Ini salah satu dari sekian banyak doa yang dikabulkan Allah. Alhamdulillah.

Istana ini masih tetap romantis seperti dulu. Alhamdulillah dari sekian banyak hari di musim gugur yang mendung atau hujan, hari itu matahari bersinar cerah. Kami sangat-sangat menikmati berkeliling di istana kerajaan Prussia ini.

Zahra bisa liat bebek-bebek yang bulunya cantik-cantik. Dan sama-sama menikmati sandwich yang Desti bikin untuk bekal.

Akhirnya kita sampai di kebun anggur istana yang disusun indah berundak-undak. Kalau dilihat dari kolam ke arah istana, bentuknya bagus banget. Seperti foto yang di atas itu. Sayang sudah mau masuk winter, jadi sudah tidak berbuah.

Kita pikir ini pengalaman bagus buat Zahra melihat langsung pohon anggur. Jadi Desti mencari-cari dan ternyata masih ada sisa-sisa buah anggur yang kacingkalang alias gagal matang. Ukurannya pun lebih kecil dari anggur biasa.

"Zahra ini buah anggur...," kata Desti. Zahra berpikir sebentar dan lalu spontan menyahut.
"Ini leunca ya ma!!!"

HAHAHHAHAHAHA ya ampun Zahra, kok ada leunca alias lalapan orang Sunda di Istana raja Jerman. Wah ini sih pasti gara-gara Zahra suka bantuin Nin Ratti dan Uu di Cirebon metik leunca. Zahra pikir itu buah yang sama karena bentuknya sama-sama kecil dan sudah menghitam.

Friday, November 21, 2008

The First Snow

Jumat, 21 November 2008, menjadi suatu hari yang istimewa. Ketika di pagi hari sambil gue belajar masak opor ayam....... salju turun.....

Zahra pun sangat-sangat-sangat excited. Dengan mata yang berbinar menatap jendela melihat bunga-bunga es berguguran. Melayang pelan sambil bercampur dengan hujan gerimis yang memang sudah turun sejak subuh.

Salju turun cuma setengah jam. Rupanya, sang awan masih belajar bikin salju tahun ini. Padahal dengan global warming, gue pikir ngga akan lihat salju di Berlin, kudu ke Swiss hehe. Tapi dari situs cuaca Jerman 'Wetter.de' suhu hari ini cuma mentok 3 derajat Celcius, dan nanti malem 0 derajat. Brrrrrrrrr!

Balik salat Jumat, jam 4-an menjelang magrib, salju turun lagi. Lebih banyak dari pada tadi pagi. Gue buka jendela apartemen karena Zahra penasaran mau megang salju. Gue yang menjulurkan tangan jauh jauh ke luar jendela.

"Mana Pah saljunya?" seru Zahra girang melihat bunga es yang mendarat di telapak tangan gue dan dengan cepat mencair.

Ini juga pertama kali gue lihat salju (ndeso mode ON). Secara setahun di Australia, gue tinggal di Rockhampton yang sama panasnya kaya di NTT. Desti waktu di Korea malah udah duluan maen salju .

Yang jelas, tadi pagi gue, Desti dan Zahra di ruang makan bisa menikmati salju yang turun di luar jendela. Hadiah yang romantis dari Allah di hari ulang tahun pernikahan kita yang keempat......

Friday, November 7, 2008

Ersten Wochen

Minggu-minggu pertama kami (gue dan Zahra) di Berlin adalah......adaptasi. Melanjutkan hidup dan kembali mengejar mimpi-mimpi.

Tapi hari-hari pertama jelas milik Zahra, yang kembali utuh mendapatkan kedua orang tuanya. Dia bahagia banget, dan kebahagiaannya jadi semangat buat kami.

Kita tinggal di Sparrstrasse 27, Wedding, Berlin, di sebuah wohnung (apartemen) di lantai 4 dari total 5 lantai. Di depannya ada taman dan lapangan bola. Tentu saja di tengah musim gugur, semuanya daun serba merah dan kuning. Favorit Zahra duduk di bingkai jendela besar (yang dikunci sangat-sangat rapat dan aman). Soalnya dia bisa lihat taman di depan wohnung.


Akhirnya pas hari libur, Desti bisa ngajak kita keliling rumah. Kita punya trolly baru lungsuran Teh Fifi dan Kang Dany. Makasih ya........ Di Jerman ngga ada ceritanya anak kecil digendong hehehe. Semua naek kereta roda walau udah 5 tahun. So... jadilah kita bisa melakukan aktivitas favorit kita.....ke pasar. Walau pasarnya lebih seperti toko, tepatnya Toko Turki gitu. Cuaca dingin juga ngga masalah lah.




Jalan-jalan kurang pas kalo ngga jajan. Tapi yang murmer aja, kaya pfankuchen ini. 2 Euro dapat 5 biji, dan rasanya jauh lebih enak dari Dunkin Donuts. Aduuuuuuh Jerman itu, toko-toko rotinya semua mengeluarkan aroma yang bikin ngiler..............

Komunikasi dengan Indonesia juga ngga masalah. Di hari terakhir di Indonesia masih sempat ngajarin mama chatting pake Yahoo Massenger. Jadi neneknya Zahra ini tinggal kirim sms kapan mau chatting terus kita online bareng. Paling yang punya warnet bingung liat ada ibu-ibu nyelip di antara anak-anak yang lagi ngenet ato maen game online hehehe.


Coba lihat gaya Zahra lagi VOIP ama neneknya hehehehe keren..........

Willkommen...

3 minggu sudah kami reuni di Berlin. Kalau mengingat perjalanannya, gampang-gampang susah. Soalnya gue sendirian bawa Zahra yang baru 2 tahun 9 bulan. Kita berangkat 19 Oktober 2008 jam 23.35 nyaris tengah malam pake Qatar Airways.

Yang anter ada mama, Cupit (ade ipar), Usep dan Kokom (sepupu Desti). Sebenernya kita bawa barang overload 4 kilo, tapi karena kita mau pergi lama akhirnya dibolehin selain juga bawa anak kecil. Bawa botol air juga dibolehin karena buat susu Zahra. Pas cek in Zahra bilang ke petugasnya.

"Zahra mau ke Berlin, om jangan ikut ya......" Petugasnya ketawa-tawa.

Alhamdulillah Zahra ngga bayar fiskal karena dibawah 12 tahun. Karena fiskal dibayar sekali seumur hidup, kuitansi fiskal juga gue simpen. Cuma pas mau berangkat Zahra nangis-nangis. Selain ngantuk dia juga ngga mau berpisah ama tantenya (adeknya Desti). Dia nangis ga mau pake safety belt padahal biasanya dia hobi pake safety blt.

Sebelumnya pas cek in di loket Qatar, gue minta makanan khusus anak-anak buat ama mainan buat Zahra. Jadi dia udah dikasih boneka bentuknya pesawat tapi tetap nangis. Akhirnya kita take off sambil Zahra gue pegangin.

Kita terbang Jakarta-Singapura (naek turunin penumpang doang) terus langsung ke Doha. Zahra mau makan dan ngemil-ngemil udah gitu tidur. Pelayanan Qatar bagus banget, makanannya enak dan semua penumpang punya remote di bangkunya jadi bisa milih film sendiri-sendiri. Bukan film yang diputerin ama crewnya. Lebih bagus dari Emirates, apalagi Gulf Air.

Udah tidur 8 jam sejak jam 12 malem. Tapi karena terbang ke bumi sebelah barat, kita dapetnya malam terus. Walhasil, zahra udah kenyang tidur, tapi pesawat masih gelap. sejam sebelum landing semua penumpang sarapan. Zahra dapat pure kentang diperkedel ama daging burger, tapi karena gue makan nasi goreng dia pilih makanan gue hehehe.

Kita landing di Doha jam 6 pagi waktu setempat. Zahra yang selalu membawa boneka ulat hijau yang sama panjang ama badannya, selalu jadi perhatian orang yang senyum-senyum gemes. Apalagi waktu turun dari pesawat, naek bis ke bandaranya.

"Dadah pesawat....." kata Zahra.
"Can I take your doll?" berkali-kali orang godain Zahra.

Doha bandaranya kecil cuma segede Grage Mall kalo di Cirebon, cuma dua lantai. Kalau di Depok mungkin sebesar Plaza Depok doang. Kita ke toilet pria karena Zahra belum pipis. Tapi buset dah toiletnya. Udah flushnya rusak, pake acara ada tokai-tokai yang udah kering gitu hoooeeeek.

Akhirnya kita cari toilet yang jauh yang rada lumayanan. Sekalian aja gue cari ruangan bayi buat Zahra sikat gigi ama cuci muka. Doha sebenarnya selain punya mesjid juga ada ruangan tidur pria dan wanita. Bentuknya kaya kursi dokter gigi ato kursi pijet gitu. Ada juga ruangan bermain anak2 kaya di McD ato KFC gitu. Tapi Zahra ogah maen. Kita sengaja ngga bawa troli bayi Zahra karena dia juga senengnya naek di troli koper.

Zahra rupanya masih laper. Jadi kita brunch pake KFC yg beli di Cengkareng. Nasinya..... timbel dua batang ama beli piring plastik. Thanks Mom!. Kenyang makan Zahra tidur soalnya di Indonesia itu udah waktu tidur siang. Gue juga ngantuk tapi susah tidur. Untungnya kita transit 7 jam jadi santai.

Zahra kenyang tidur, gue ke tempat internet gratis yang antrenya panjang. Chatting ama Desti sebelum take off lagi. Zahra terus salin baju dengan baju yang lebih tebel biar siap di Berlin. Kita berangkat ke Berlin dengan pesawat airbus yang lebih kecil yang sederet cuma 3 - 3. Pdhl dr Indonesia kita pake airbus yang besar yang 2 - 4 - 2.

Zahra dpt lagi tas ransel isinya botol minum, buku mewarnai, dan camilan. Sebelumnya dia dapat lunch box isinya camilan anak-anak dari permen ampe coklat. Gimana dia nggak girang hehehe.

Udah kerasa banget kalao Zahra jetlag, secara di Indonesia ini udah jam tidur malam dia. Walhasil setengah jalan ke Berlin, dia tidur lelap. Sampai landing di Berlin dia masih tidur di kursinya meluk boneka ulat dan berbalut safety belt. Gue bangunin malah marah-marah.

Sambil ngantuk dia mau dituntun. Diluar perkiraan gue, kita ngga pake belalai. Tapi dijemput lagi pake bis bandara. Zahra langsung melek begitu kena angin malam musim gugur yang dingin 11 derajat Celcius. Sebelum check out di imigrasi, gue pakein jaket winter yang kegedean buat dia.

Walau Desti kuatir, alhamdulilah petugas imigrasinya ngga rese dan ngga banyak tanya. Padahal sebelum gue ada orang Nepal yang dipaksa bongkar ransel buat ngebuktiin kalau dia punya surat bukti diterima kuliah S2 di Leipzig.

Soal troli barang di Berlin, untung Desti ngingetin gue bawa koin 1 Euro. Troli barangnya harus masukin koin 1 euro ke lobang kuncinya kalo mau dipake. Uangnya bisa keluar lagi kl trolinya dimasukin ke parkiran.

Di luar Desti dan 2 temennya udah nunggu. Tawa Zahra lah yang paling bahagia. Setelah jumpa pisah sejak Januari, Zahra hampir ngga percaya sekarang mama papanya lengkap berdua.

Kita sampe Berlin hari Senin 20 Oktober 2008 jam 19.35 waktu setempat atau jam 24.35 WIB. Kita lalu pulang ke apartemen naek bis dari bandara, dan Zahra terpesona melihat ke jendela kalau dia sudah ada di negeri orang.

"Zahra ada di mana sekarang?"
"Di Berlin......" kata dia mantap....

Iya sayang, ini jawaban dari doa dan penantian kita selama ini..... Semoga kami didaratkan di tempat terbaik pilihan-Mu, ya Rabb

Friday, October 24, 2008

Hongkong: Menjelajah Pasar Bowrington

Menjelajah pasar tradisional bersama istri tercinta selalu menyenangkan. Makanya sewaktu liputan ke Hongkong, Agustus 2007 lalu saya sempatkan mampir ke pasar setempat. Ini tulisan yang tidak saya pasang di Detikcom.

Tempat itu adalah Bowrington Road Market di kawasan Wanchai, Hongkong. 2 Bangunan masing-masing 2 lantai yang saling berhadapan. Mirip dengan model pasar-pasar punya pemerintah kota di Indonesia. Termasuk lantai ubinnya yang agak becek-becek.

Saya penasaran dengan apa saja yang dijual di pasar ini. Bermacam sayur beraneka warna sungguh menarik mata. Namun sebenarnya hampir semua sama dengan yang dijual di Indonesia. Bayam, kangkung, tomat, kentang. Tapi tentunya sayur-sayur khas Cina lebih banyak dijual seperti Cay Sim atau Bok Choy.

Sampai ke bagian daging, apalagi kalau bukan para penjual daging Babi. Banyak banget kaki babi bergantungan dan juga irisan daging berwarna pink ini dijual. Agak-agak geli saya segera beralih ke penjual ayam.

Wabah Flu Burung juga menjadi ancaman serius di Hongkong. Beraneka poster himbauan pemerintah menempel di tembok pasar. Para pembeli tidak diperkenankan menyentuh ayam hidup yang dijual. Mereka tinggal menunjuk nanti sang penjual akan menjagal ayam itu untuk anda.

Los daging ikan juga menarik untuk dikunjungi. Meja-meja bertaburan es serut dipenuhi ikan-ikan yang berjejer rapi. Orang Hongkong suka juga menyantap ikan terutama Kerapu (Grouper Fish). Namun Hongkong bukanlah daerah penghasil ikan yang banyak. Ikan-ikan diambil dari daerah lain seperti..... Indonesia. Mungkin dengan illegal fishing hehehe.

Kemana umat Islam mencari daging halal? Tidak usah bingung, Bowrington juga memiliki daging halal yang dijual orang-orang Pakistan.

Pasar yang merupakan tempat berinteraksi penjual dan pembeli menjadi potret keseharian masyarakat setempat. Ini selalu menjadi resep jitu memahami kebudayaan setempat. Datangi saja pasar tradisionalnya, seperti di Bowrington.

Thursday, October 23, 2008

Hongkong: Campursari di Pennington


Jauh dari kampung halaman, tentu membuat para TKI di Hongkong rindu. Rindu makanannya sampai rindu lagu campursari Didi Kempot. Ada satu tempat yang bisa mengobati rindu mereka.

Di Pennington Street, Causeway Bay, Hongkong, ada tempat bernama Warung Malang yang menjadi tempat para TKI mengobati kangen kampung halaman. Tidak hanya menjual masakan Indonesia, Warung Malang juga menjual lagu-lagu Indonesia terutama lagu-lagu Jawa.

Pemiliknya adalah pasangan Mochamad Nurali dan Katinem. Nurali yang pensiunan staf Konjen RI di Hongkong, merintis usaha kuliner bersama sang istri. Katinem memang memiliki bakat memasak dan usaha rumah makan dari orangtuanya.

"Tahun 1998, Bapak pensiun, terus buka warung Malang," ujar Katinem yang ditemui saya di sela kesibukannya melayani pelanggan, Kamis (20/8/2007) lalu.

Nama Warung Malang dipilih wanita yang dipanggil Bu Kat ini karena banyak pelanggannya merupakan TKI asal Malang. Di restoran berukuran 90 meter persegi ini, dia menjual masakan khas Indonesia antara lain gado-gado, sayur asem dan bakwan. Warung Malang juga menjual kaset-kaset lagu Indonesia.

Kaset-kaset ini dipajang di dekat kassa. Ada lagu Campursari Didi Kempot, lagu berirama gambus, Jathilan khas Jawa Timur, dangdut atau kaset-kaset pengajian. Lagu-lagu penyanyi pop idola TKI juga ada seperti Siti Nurhaliza atau grup nasyid Malaysia Raihan. Kaset-kaset ini dihargai HK$ 20-30. "Lumayan, Mas. Banyak yang beli," kata dia.

Menurut Bu Kat, pelanggannya terus meningkat seiring bertambahnya jumlah TKI di Hong Kong. Tidak hanya TKI, pegawai Konjen RI pun menjadi langganannya. Warga Hongkong dan bule-bule pun kerap mendatangi Warung Malang.

"Makanan saya dijamin halal. Pernah ada orang Malaysia, cuma mau makan di sini. Dia dapat nama Warung Malang dari internet. Saya nggak tahu siapa yang masang," Katinem tersenyum.

Rupanya Katinem tidak menyadari, kalau Warung Malang termasuk dalam daftar restoran halal yang dimuat di situs resmi The Islamic Union of Hongkong. Bagi dia, yang penting, usahanya banjir pembeli setiap hari. Memang berapa sih omset Bu Kat dalam sehari?


"Jangan ah, itu rahasia. Hahaha...," Katinem pun tertawa penuh arti.

Hongkong: Dahsyatnya Tarif Parkir Mobil


Hongkong hanya memiliki wilayah terbatas untuk 7 juta penduduknya. Lahan parkir mobil pun menjadi barang mewah. Tarif parkir dipatok tinggi dan bisa membuat dahi berkerut.

Secara umum, mobil dilarang parkir di pinggir jalan, untuk di seluruh wilayah Hongkong. Mobil hanya boleh berhenti untuk menunggu dan menaikturunkan penumpang atau barang. Taksi pun,
jika tidak distop di pinggir jalan oleh penumpang, hanya boleh mencari penumpang di pinggir jalan bertanda khusus saja.

Jangan coba-coba memarkirkan kendaraan Anda di tepi jalan. Aparat tidak segan-segan menilang atau bahkan menderek mobil Anda tanpa pemberitahuan. Mobil-mobil di Hongkong hanya boleh parkir di tempat khusus.

Hal itu yang menyebabkan kebutuhan akan gedung parkir amat tinggi. Gedung parkir memang dengan mudah ditemukan, karena sering menyatu dengan apartemen, pertokoan dan perkantoran.

Namun yang membuat sakit hati adalah tarifnya yang tinggi. Tempat parkir di Causeway Bay memasang tarif HK$ 16 untuk satu jam atau sekitar Rp 19.200. Sekadar perbandingan, sebuah burger lezat di McDonald Hongkong hanya HK $ 11.

Parkir di kawasan Central yang merupakan Sudirman-nya Hongkong, tarifnya lebih mahal lagi. Parkir pada jam kerja di Mack Parking dibandrol HK$ 150 atau Rp 180.000 untuk 12 jam parkir.

Agar lebih murah, sejumlah tempat parkir juga menawarkan parkir bulanan. Harganya pun dahsyat. Sebuah tempat parkir di Causeway Bay, tepat di sebelah kantor Konjen RI, memasang tarif bulanan HK$ 2.800 atau Rp 3.360.000. Gaji PNS Indonesia dijamin ludes hanya untuk membayar parkir di Hongkong.

"Makanya kita nggak beli mobil di sini. Parkirnya gila," celetuk Konsul Sosial Budaya Nugroho Aribhimo kepada saya, Kamis (16/8/2007).

Namun untung saja tarif parkir mahal ini diimbangi dengan layanan transportasi publik yang terpadu. Jika Anda tidak memiliki mobil pun, ada bus kota, kereta bawah tanah, tram, dan taksi yang siap mengantar anda ke mana saja.

Hongkong: Seabad Tram di Jalanan

Dengan usia 100 tahun lebih, tram masih bertahan di jalanan kota Hong Kong. Tram melayani penumpang mulai dari Kennedy Town di sisi barat Pulau Hong Kong hingga Shau Kei Wan di sebelah timur. Di tengah-tengah trayek ini, ada juga jalur yang membelok ke selatan menuju Happy Valley.

Saya berkesempatan menggunakan tram sepulang dari Masjid Ammar di daerah Wanchai, menuju Kantor Konsulat Jenderal RI di Causeway Bay, Kamis (16/8/2007). Saya memilih naik dari Hennessy Road yang paling dekat dengan masjid.


Jalur tram yang berada di tengah-tengah jalan raya hanya memiliki stasiun-stasiun sederhana yang lebih mirip halte bus. Penumpang tinggal langsung naik dan membayar sebelum turun. Jauh dekat tarifnya sama, HK$ 2 untuk dewasa, HK$ 1 untuk anak-anak dan manula.

Kereta tram yang memiliki 2 tingkat ini sungguh antik. Mesti tubuh gerbongnya penuh berbalut iklan, desainnya masih sama dengan saat kendaraan bertenaga listrik ini beroperasi pertama kali pada 1904.

Gerbong tram hanya memiliki lebar 2 meter. Langit-langit kabin penumpangnya pun setinggi 2 meter kurang, nyaris setinggi kepala penumpang. Para pemain basket yang naik tram pasti terpaksa menunduk-nunduk.

Gerbong berbahan besi ini pada bagian dalamnya masih menggunakan kayu-kayu yang tampak tua untuk membingkai kabin penumpang. Tempat duduk penumpang yang saling berhadapan pun dibuat sederhana, hanya dipan kayu. Tidak ada AC, penumpang cukup mendapatkan angin dari jendela yang dibuka lebar.

Tidak usah berharap tram berlari kencang seperti KRL Jabotabek. Tram melaju santai-santai saja. Bus kota masih melaju lebih cepat daripada tram. Tram pun tidak memiliki hak istimewa selain jalur khusus di tengah jalan raya. Jika berhadapan dengan lampu merah, tram harus ikut berhenti bersama bus kota, taksi dan mobil pribadi.

Pada abad ke 21 ini, tram harus bersaing dengan transportasi publik lain yang lebih moderen, termasuk kereta bawah tanah. Namun tram tetap bertahan sebagai warisan sejarah, selain harga tiketnya yang paling murah.

Hongkong: Menikmati Pagi di Victoria Park

Pulang dari Macau itu sudah nyaris subuh. Hari ini pun tidak ada agenda liputan. Dengan memaksakan badan, gue pun bergerak mencari sejumlah obyek liputan feature. Gue memulai dari Victoria Park. Hutan kota di tengah hutan beton Hong Kong.

Victoria Park merupakan taman kota multi fungsi. Selain berfungsi sebagai paru-paru kota, di sinilah tempat masyarakat berolah raga atau piknik bersama keluarga. Konsulat Jenderal RI di Hongkong juga pernah menggelar lomba 17 Agustus untuk TKI di taman ini.

Gue berkeliling taman ini pada Kamis (16/8/2007). Banyak kaum manula datang ke taman ini pada pagi hari. Di berbagai sudut taman, mereka berlatih Tai Chi. Praktik ratusan tahun yang menjadi rahasia kesehatan bangsa Cina.

Ada juga yang berlatih Wushu dengan alat bantu pedang, tongkat, atau kipas. Sejumlah TKI tampak mendampingi para manula ini yang merupakan majikan mereka. Sementara kaum mudanya memilih senam aerobik yang lebih enerjik.

Jogging track juga diramaikan oleh kaum muda yang berlari mengelilingi lapangan rumput seluas 200x100 meter. 6 Lapangan sepakbola berlantai semen juga diramaikan anak-anak SD bermain sepakbola.

Selain itu, Victoria Park masih dilengkapi dengan 12 lapangan tenis, kolam renang, lapangan handball, restoran, dan kolam air mancur. Di Pulau Hongkong yang terlalu banyak gedung beton, ruang terbuka hijau di Victoria Park sungguh melegakan. Hmmm... segaaar.

Tuesday, October 21, 2008

Manusia Hanya Berencana........

Hari Jumat 12 September 2008 menjadi hari yang mengejutkan. Desti memforward email DAAD yang bilang kalau visa gue dan Zahra tidak bisa diloloskan kantor Imigrasi Berlin dengan alasan masa studi Desti cuma 1,5 tahun. Gue merasa menubruk tembok besar.

Segala usaha satu tahun terakhir berhenti detik itu juga. Kami berhadapan dengan kenyataan pahit kalau semua akan terpisah, Desti di Berlin, gue di Jakarta, Zahra di Cirebon sampai tahun depan. Chatting sore hari itu penuh dengan rasa sesak di dada dan air mata.

Life must go on. Kita sangat percaya Allah menyiapkan yang terbaik ketika kita berdoa meminta yang terbaik. Manusia hanya berencana, tapi kita tidak tahu rencana-Nya. Sabar dan ikhlas kembali menjadi dua kata yang sangat berat untuk dijalankan.

Malamnya Ikhsan, Abie, dan Nyoman menghibur gue dengan berkaleng-kaleng soda dan batang coklat sampai waktu sahur tiba (thanks guys!). Gue dan Desti pun kembali menyusun kepingan optimisme kami. Ya udah, Desti kuliah, gue tetap jadi wartawan Detikcom. We tried the best and will keep doing so. Tapi ternyata, kejutan belum berakhir.

Jumat 19 September 2008, sebuah telepon dari Kedubes Jerman di Jakarta, masuk saat kaki sedang melangkah ke mesjid untuk Jumatan. Visa kami diterima......... Semua orang dan keluarga bilang ini ajaib. Gue bilang ini berkah Ramadhan.

Komentar gue...... jangan berprasangka buruk kepada-Nya. Dia punya janji untuk orang-orang yang mau bersabar. Seberapa jauh kita mau percaya kalau Allah menyiapkan yang terbaik untuk mereka yang mau berusaha.

Wahai Engkau yang maha membolak balik perasaan, terima kasih sudah mengingatkan kami yang lemah ini akan arti sabar, ikhlas dan penyerahan total dalam ketawakalan.

Dan sejak 20 Oktober 2008, kami kini berkumpul di Berlin........

Sunday, July 6, 2008

World Citizen

Bermimpi menjadi Tintin, gue pun memulai mewujudkan upaya gue mengunjungi berbagai tempat di planet ini. Kalau bisa dibayarin. Terima kasih untuk para sponsor. Petualangan masih panjang.



Australia 1998-1999 (Rotary Youth Exchange Program)



Abu Dhabi 2003 (transit doang)



Jerman 2003 (Study visit DAAD)



Hongkong 2007 (Detikcom)

Petualangan berikutnya: Jerman

Destination Berlin

The plan was set. I'm going abroad again. Berlin, for the second time. Cuma masalah waktu aja sebelum gue berangkat. Tapi persiapannya yang membuat gue terasing dari kegiatan nge-blog.

Kursus Jerman, tes di Goethe, bikin visa dengan syarat seabrek. Termasuk surat pernyataan bukan teroris dan bersedia diperiksa kesehatannya. Gue seperti gabungan Noordin M Top dan korban selamat dari kota zombie.

Good point: everything is on the plan. Dalam cetak biru rencana hidup gue dan Desti, kita harus kejar gelar master. Yang dapat beasiswa duluan harus didukung yang lain.

Desti dapat DAAD ke Berlin dan gue harus nyusul agar Zahra tetap bisa dibesarkan oleh kedua orang tuanya.

Gue pikir kalo kita ke luar negeri lagi buat kuliah, itu adalah Australia. Secara gue punya mimpi kembali ke Down Under setelah 10 tahun lalu meninggalkan Rockhampton.

Tapi Allah selalu punya rencana lebih keren: Jerman. Jadilah gue akan kembali ke sana. Terakhir 2003, studi banding multikulturalisme disponsorin DAAD ke Berlin juga, plus Bonn dan Frankfurt. So... here I come.

Friday, May 2, 2008

Ngabrangbrangkeun Hate

Being alone is suck, so weekend ini emang enaknya jalan. Sialnya, temen-temen gue masih pada sibuk. Buat menghibur diri yang mendadak 'jomblo' ini, gue cuci mata.

Ke Mall??? Nggak, gue nggak menghibur diri dengan hingar bingar. Gue ke toko buku Gramedia Depok. Di depan pintu masuknya, gue baru sadar..... Udah lama gue ngga ke toko buku. Terakhir kesana bareng Desti beli buku anak-anak buat Zahra dan buku soal Ahmadinejad.

Gue hampir lupa rasanya larut di tengah lautan buku. Asyik lah. Gue hampir lupa juga betapa hari ini, kita punya banyak pilihan buku apa yang mau kita baca. Buku-buku pesantren klasik kini dicetak hard cover, buku-buku sejarah kuno sejenis babad dicetak ulang dengan gramar yang modern tentunya.

Mein Kampf berjejer dengan Mao. Di rak best seller ada Detikcom Files Jejak-jejak Obama (best seller bow!), dua tulisan gue ada di sana. Di rak komik, Naruto tahu-tahu udah jilid 39, hampir secepat edisi Jepangnya neh. Buku-buku arsitektur penuh dengan desain rumah minimalis terbaru yang keren. Bahkan.... Ada komik anak-anak tentang Presiden SBY!

And I went out buy.......nothing. Hehehehe. Bingung gue mau beli apa. Minggu depan lah gue beli Obama buat ibu gue, secara ada tulisan anaknya juga. Sebenernya gue nyari Asbabun Nuzul, itu tuh, behind the scenes turunnya ayat-ayat Al Quran. Buat bahan debat ama babe gue. Tapi di dalam katalog elektronik hanya ada angka nol besar. Habis.

Yo wis, gue pulang. Tapi dengan hati senang. Dalam hati ada sedikit ucap. Ya Allah, si bodoh ini masih haus ilmu-Mu.

Monday, April 28, 2008

Protes Seorang Dokter Lugu

Jumpa pers di Kedubes AS hari itu agak berbeda. Gue lihat nggak pakai podium, melainkan meja panel dengan 5 bangku, serius banget neh. Untuk Dubes, Wakil Dubes, Direktur NAMRU dan 2 ilmuwan NAMRU.

Hari itu mereka melakukan pembantahan habis soal tudingan intelejen, mandegnya MoU serta berondongan pertanyaan soal kekebalan diplomatik yang aneh. Tensi sempat naik dari Dubes Cameron Hume yang dicecar soal kekebalan diplomatik ilmuwan NAMRU.

Di luar itu, diskursus NAMRU berkembang melebihi soal flu burungnya sendiri. Menkes Siti Fadilah Supari mengkritik dominasi perusahaan farmasi kapitalis di belakang riset flu burung. Bisnis milyaran dollar yang menanti pada detik pertama vaksin H5N1 terbaru telah siap.

Orang banyak yang bilang itu menteri ngga ada kerjaan, lugu banget, polos, kaya nggak tahu kapitalis, cari ribut, kaya ngga ada tugas laen, masih banyak masalah kesehatan lain, dst.

Terlepas dari gayanya yang ceplas ceplos seperti ibu arisan hehehe, gue memahami pikirannya. Menkes kita itu dokter, babe gue juga dokter. Mereka punya pola pikir sama sebagai individu yang mendedikasikan diri untuk keselamatan manusia.

Mereka hanya berpikir sederhana, kenapa orang yang paling sakit justru kesulitan mendapatkan obat. Indonesia dan Vietnam kehilangan ratusan penduduknya akibat flu burung. Namun vaksin sudah diborong habis negara-negara besar. Negara berkembang harus membeli sangat-sangat mahal sebuah vaksin yang virusnya diambil dari dalam rumah mereka sendiri.

Seorang dokter tidak bisa menerima logika ini. Dia akan protes, walaupun dia berhadapan dengan kekuatan kapitalis yang berlindung di belakang tekanan politik negara-negara besar.

Menkes masih juga dikritik berteori konspiratif. Munarman mungkin iya konspiratif, tapi Menkes adalah orang yang pernah menaruh harapan pada WHO, dan WHO lebih memilih negara-negara maju yang memberi suntikan dana.

Maju terus Bu Menkes! Rakyat Indonesia bersama anda!

Monday, April 21, 2008

Cinta Kupu-kupu

Cinta itu seperti kupu-kupu

Aku melihat mereka banyak dan terbang di sekitarku

Dan aku hanya duduk di sebuah bangku taman

Memperhatikan kemana kupu-kupu hinggap

Sedangkan aku….

Aku ditemani satu kupu-kupu paling cantik yang hinggap di jari telunjukku

Cukup satu yang tidak bosan kupandangi sepanjang hari itu

Besok, lusa dan selamanya

Kupu-kupu itu

Kamu………

Monday, April 14, 2008

Disturbing Behaviour

Dengan tagline 'Buat gue jalan raya', mobil Willys 4x4 itu dengan giras menerobos belukar dalam sebuah iklan rokok.

Kesannya macho, gagah, penakluk alam, tapi senyumku getir. Yang aku ingat adalah pulang mendaki Kawah Ratu, Gunung Salak dan melihat kerusakan di hutan pinggir desa.

"Abis dipake balapan off road," ujar teman kami yang orang Bogor.

Dahan patah, akar tercerabut, tunas tergilas. Apa yang macho dari pemerkosaan alam seperti itu? Mereka bukan jalan raya, mereka ratusan organisme yang rusak dilindas.

Alam bukan untuk ditaklukan Bung! Kita datang ke rumah besar yang bernama alam bebas untuk bertamu. Dan tamu harus tahu aturan. Buat yang pernah dan masih naek gunung pasti ingat. Karena ini perjanjian internasional kita dengan planet bumi. Yang diamini dari puncak Everest sampai dasar Laut Bunaken.

Kill nothing but time
Take nothing but picture
Leave nothing but footprint

Kita datang ke alam bebas untuk menegaskan diri kita adalah satu keping dari puzzle besar bernama ekosistem. Kita sama aja dengan penghuni alam lain. Satu kelebihan manusia hanya karena Allah menunjuk kita jadi khalifah. Khalifah adalah manajer yang boleh memanfaatkan isi alam tapi harus memastikan ekosistem tetap berjalan dengan baik.

Kita tidak berdiri tegak menantang gunung. Tapi kita ikut duduk bertasbih bersama tupai, elang, anggrek, eidelweiss, air dan batu.

Thursday, April 10, 2008

Selamet......selamet....

Bener-bener kalo kita dalam perjalanan tuh kudu berdoa minta selamet.

Kemaren malem baru balik dari kantor jam 21. Makan malem dulu di kantor sambil nunggu ujan berhenti.

Badan kerasa udah cape banget dan mata gue meredup. Bahaya juga nih nyetir motor begini sampe Parung.

Berhentilah gue di Pasar Parung, safety first man. Sambil rehat, makan gorengan, minum, ngelurusin kaki, geber motor lagi.

Baru aja tikungan pom bensin Lebak Wangi, motor-motor ama mobil berhenti. Bingung gue, emangnya ada macet bubaran pabrik? Pabriknya kan masih jauh. Tapi banyak orang pada lari-lari ke depan gue.

Mana gelap gulita pula. Motor gue geber ke depan baru keliatan ada pohon gede depan Sekolah Alam Parung tumbang, kena kabel listrik ama telepon juga makanya gelap.

"Baru banget tumbangnya," kata warga saat gue tanya. Ngga ada polisi satu pun, namanya juga baru tumbang.

5 menit kemudian mulai macet deh, padahal jam 22. Itu gara-gara jalan raya ketutup total. Warga aja ama biker berjibaku patahin kayu pake golok, tangan atau kaki.

Gue laporin deh kejadiannya ke kantor. Sambil Arfi menerima laporan gue, gue mikir….. Kalau gue memaksakan diri dan nggak berhenti buat rehat…. gue yang ketimpa pohonnya……

Wednesday, April 9, 2008

Lonely Journey

Kereta yang membawa gue membelah pagi meninggalkan Cirebon, Selasa itu. Suasana gerbong sepi, sama sepinya dengan hati gue.

Zahra gue titipkan (again) di neneknya. Si pipi baso ini bahkan belum bangun waktu papanya harus ke Jakarta lagi. Email Desti yang terakhir bilang, dia nggak betah sendirian di Berlin.

Gue memaksakan diri untuk tidur. Namun telepon dan SMS bergantian terus masuk ke ponsel gue menjejalkan agenda liputan.

Istana, Wapres, kantor, semua sama saja sekarang. Tidak ada yang menyambut gue pulang.... Gue sungguh menunggu waktu dimana nanti kami bertiga berkumpul lagi, dan waktu berjalan sangat-sangat lambat.

Dalam desah nafas panjang, gue memejamkan mata....

Wednesday, April 2, 2008

Baru, Lama, Ori, Nggak Ori

Sejak umat manusia menemukan DVD dan menyebarluaskannya, gue berhenti nonton bioskop. Mending nonton di rumah, bisa berkali-kali, sambil guling-guling. Kualitas gambar dan suara, sudah ciamik (kecuali elo beli DVD bajakan hari-hari pertama yang gambarnya miring-miring).

Gue nyari DVD kalau ngga di Stasiun Pasar Minggu, di Jembatan Merah Bogor deket stasiun Bogor. Soalnya harganya semurah Glodok, Pasar Minggu deket kantor, Bogor deket rumah. Rusak boleh tuker.

Cuma para pedagang di Pasar Minggu nggak ngerti barang. Mereka cuma tahu DVD baru, lama, ori (original) dan nggak ori. DVD dilapak mereka hanya diatur beberapa kolom, barat, komedi, horor, asia, kartun. Jangan sengaja cari judul apa gitu, mereka cuma bisa jawab 4 kategori sederhana itu.

Contoh
Gue: Bang, ada Fifty First Date?
Penjual: Pipty apaan mas?
Gue: Fifty First Dates, Adam Sandler....
Penjual: (diam 5 detik) Oooo, kayanya ngga ada mas..
Gue: Music and Lyrics, Drew Barrymore!
Penjual: Mmmmmmm.....
Gue: Ya udah, Kamen Rider Blade... (kesel mode ON)
Penjual: (blank....tatapannya kosong...)
Gue: Yang kaya Satria Baja Hitam tapi film baru...
Penjual: Mmmmm cari yang laen aja ya mas.... Yang ori ini, yang belum ori itu...
Gue: AAAAAAAARGH!

Situasinya beda banget kalau gue ke Bogor. Ketegori film lebih detil, ada horor, drama, perang, kolosal, korea, jepang, misteri, action, komedi dll jadi lebih gampang nyarinya. Penjualnya juga pinter.

Gue: Bang ada Die Hard 4?
Penjual: Ada.. Mau koleksi Harrison Ford nggak yang Clear and Present Danger? atau Air Force One? Udah ori loh... Denzel Washington juga banyak nih yang ori..
Gue: Cari Kamen Rider Blade juga...
Penjual: Wah Blade habis mas, belum pesen lagi. Ada Kamen Rider Kiva nih paling baru di Jepang, yang Kamen Rider Deno udah ada koleksinya tapi baru setengah season...
Gue: (nyengir bahagia...)

Monday, March 31, 2008

Macau: Menyusuri Masa Silam

Macau yang terkenal sebagai kota judi, juga memiliki kota tua sisa penjajahan Portugis. Kota tua yang terawat mampu membuat kita merasa kembali ke abad 16.

Perjalanan menuju kota tua saya mulai dari Igreja de Santo Paulo, Rabu (16/7/2007). Saya memilihnya karena kota tua Macau secara geografis merupakan sebuah bukit. Jadi saya pikir akan lebih baik jika dimulai dari atas lalu turun ke bawah.

Dengan menggunakan taksi dari Jalan Avenida Dr Rodrigo Rodrigues, saya tiba dalam hitungan menit di jalan Rua Horta da Companhia. Gereja Santo Paulo sudah menunggu pengunjungnya.

Gereja Santo Paulo yang bisa dinikmati ini hanya puing-puingnya. Gereja yang dibangun antara 1602-1640 ini ludes dilalap api pada 1835. Hanya bagian depannya yang bertahan. Masih tersisa gaya arsitektur kolonial berupa tiang-tiang yang menjulang dari tembok putih pudar ini.

Dari depan gereja, jalanan langsung menuruni bukit. Batu-batu yang didatangkan langsung dari prtugal digunakan sebagai paving blok. Pada masa silam, batu-batu ini dibawa untuk menjaga keseimbangan kapal dagang portugis.

Di Macau, batu-batu ini diturunkan dan muatan kapal diisi rempah-rempah, keramik dan barang dagang lain dari Cina. Batu-batu ini kemudian dipakai untuk membuat jalan. Lorong-lorong panjang dengan jalan berbatu, dan bangunan 2 lantai di kanan-kirinya sungguh membuatnya mirip seperti negara asal para penjajah ini.

Apalagi suasana malam yang semakin sepi. Lorong kota tua ini tidak ubahnya seperti lorong waktu yang melempar saya kembali ke abad 16. Lorong kota kemudian menjadi jalan batu yang lebih lebar.

Akhirnya saya tiba di alun alun Largo de Senado. Inilah pusat kota Macau di masa lalu. Alun-alun lebar ini memiliki ubin batu putih dan hitam yang diatur seperti gelombang. Di tengahnya ada air mancur yang digunakan masyarakat untuk duduk-duduk.

Seluruh bangunan yang mengelilinya memiliki nilai sejarah. Salah satunya adalah Santa Casa da Misericordia atau Holy House of Mercy. Bangunan yang didirikan oleh uskup pertama di Macau tahun 1569.

Bangunan bergaya neo klasik ini sejatinya adalah rumah sakit bangsa Eropa pertama di Macau. Bangunan ini pada masanya juga mejalankan berbagai fungsi untuk kantor-kantor yang membidangi kesejahteraan masyarakat.

Mobil yang lewat di seberang jalan akhirnya menyadarkan saya bahwa ini adalah tahun 2007 bukan abad 16. Jakarta harus belajar dari Macau. Bukan judinya, tapi bagaimana mereka menyelamatkan kota tua.

Macau: Membuang Uang di Sands Casino

Di Indonesia, membuka kasino harus dilakukan sembunyi-sembunyi. Pengunjungnya pun masuk diam-diam. Tapi di Macau, inilah Las Vegas Asia. Penasaran dengan isinya, kami memilih yang paling megah, Sands Casino.

Saat itu waktu sudah menunjukan Kamis (16/8/2007) dini hari, namun suasana di depan Sands dan casino-casino lainnya tetap ramai. Mengklaim sebagai casino pertama yang didukung penuh investasi asing di Macau, Sands casino dibuka pada 2004. Luasnya tidak tanggung-tanggung, 90.100 meter persegi. Saya serasa masuk Grand Indonesia di Bundaran HI.

Bangunannya sih hanya 4 lantai tidak termasuk parkir bawah tanah, namun jarak tinggi dari satu lantai ke lantai lain saya taksir mencapai belasan meter. Kesan pertama saya adalah sekuriti gila-gilaan.

Pintu masuknya menggunakan detektor logam. Biasa saja pikir saya, di Indonesia sudah lazim. Namun tongkat detektor logamnya yang canggih. Saya membawa laptop dan kamera. Saya yakin terdeteksi, tapi saya berpikir tas saya akan dipindai dengan tongkat hitam bermerek dan akan berbunyi jika mendeteksi barang-barang tertentu.

Tongkatnya ternyata sebuah batang berbentuk tabung berdiameter 2cm dengan panjang 40 cm. Tongkat ini bening transparan, seperti bahan acrilic untuk membuat plakat atau piala. Tidak ada kabel yang tampak dari batang transparan ini. Tapi ini detektor logam lho. Si petugas kemanan lalu meminta saya membuka tas.

"Sorry, laptop is not allowed," ujar petugas itu sopan meminta saya menuju tempat penitipan barang dan mengulang masuk lewat pintu detektor. Tanpa Laptop dan kamera saya.

Saya pun masuk ke lobi. Di sini terdapat Pearl Room, arena judi seluas 1.580 meter persegi. Ini ruangan khusus untuk penjudi yang tidak merokok. Permainan yang disediakan di sini adalah poker, blackjack, roulette, baccarat, fan tan, dan 180 mesin jackpot.

Tapi ini baru permulaan. Kami naik ke lantai 2, Main Gaming Level. Nah ini dia pusat hiruk pikuknya Sands Casino. Dengan langit-langit setinggi sekitar 20 meter, saya seperti berada di hanggar pesawat terbang atau galangan kapal.

Meja-meja judi yang sama seperti pearl room, berjumlah ratusan. Semua dipadati penjudi. Hingar-bingar dan asap rokok ribuan orang memnuhi ruang raksasa ini. Begitu berada di lantai ini, ada jejeran loket penukaran uang dengan chip. Koin judi warna-warni tergantung nilainya.

Ratusan meja diatur dalam deret-deret memanjang. Setiap meja memiliki lampu tinggi dengan tiang menyerupai cendawan. Namun perhatikan, tidak semua bulatan kaca di tiang itu merupakan lampu. Dari 5 bola kaca di setiap tiang cendawan ada 3 kamera keamanan yang disamarkan mirip lampu, namun merupakan kamera yang bisa berputar 360 derajat.

Artinya, satu meja diawasi 3 kamera keamanan. Silakan hitung, berapa kamera yang mereka sediakan untuk ribuan meja di seluruh kasino ini. Mantap! Tapi tenang, masih ada lagi pengamanan lainnya.

Saya menunggu sebuah permainan baccarat hingga persediaan kartu sang bandar habis. Kartu yang sudah digunakan tidak boleh dipakai lagi. Kartu ini akan dipindahkan ke kotak plastik transparan seperti tupperware. Agar aman, selain berita acara permainan ada pula chip khusus seukuran SIM card berwarna hijau yang dimasukkan ke kotak, lalu kotak itu disegel.

Petugas kasino membawa troli dorong berkeliling membawa kartu-kartu yang bekas digunakan untuk diganti dengan stok kartu baru. Petugas sangar asal Asia Utara menjaga troli-troli ini. Ramesh, itu nama yang saya baca di dadanya.
"Orang Nepal," ujar seorang pengunjung kepada saya.

Semua dilakukan cepat dan rapi. Saya jadi ingat ini model troli yang digunakan Danny Ocean dalam film Ocean Eleven untuk menyelundupkan rekannya yang lentur masuk ke ruangan brankas besi.

Gaya berjudi pun seru-seru, apalagi mereka yang masih muda-muda. Jika bandar membagi kartu, jangan langsung dibuka, tapi diintip. Miringkan kepala, picingkan mata, angkat sudut kartu dengan kuku jempol. Buka sedikit-sedikit. Belasan penonton di belakang si pemain bisa ikutan memiringkan kepala.

Kalau Kartunya bagus, banting ke depan bandar dengan penuh gaya dan penonton bertepuk tangan. Kartunya jelek, dibanting juga namun dengan wajah kecewa. Saya tersenyum geli. Rasanya seperti lagi menonton syuting film Gods of Gambler (Dewa Judi) yang diperankan Chow Yun Fat, Andy Lau, dan Stephen Chow.

Mereka yang sudah tua lebih banyak memilih bermain jackpot. Santai, duduk tenang, tidak ada ketegangan khusus seperti bermain di meja arena. Bosan bermain judi, ada Xanadu. Panggung hiburan di tengah ruangan yang menampilkan sexy dancers atau musik-musik top 40.

Ingin suasana yang lebih sepi, silakan lanjut ke lantai 3, Fortune Level, yang luasnya 920 meter persegi, atau ke lantai 4 Treasure level yang luasnya 2.260 meter persegi. Luas sisa bangunan Sands Casino dihabiskan untuk restoran, klub eksekutif dan teater.

Kehidupan di Sands Casino dan casino-casino lain di Macau berlangung tanpa henti. Semua terpulang pada individu yang bermain dengan nasibnya sendiri. Bisa berhenti atau membiarkan nafsu menguasai.

Di pintu keluar kasino, saya melihat 2-3 orang yang tiduran di lantai. Wajah mereka kusut. Seorang nenek mencoba tidur mendekap tasnya erat-erat. Saya tidak berani bertanya, berapa uang yang mereka habiskan di malam tadi.

Macau: Surga Kaum Penjudi

Judi dinyatakan ilegal di Hong Kong. Lalu ke mana para penggemar adu nasib ini harus pergi? Macau dengan luas 29 km persegi pun menjelma menjadi surga dunia bagi mereka. Usai bikin berita soal aktivitas Muslim di Hongkong, kami mengumpulkan tenaga di Konjen RI Hongkong, untuk perjalanan malam hari itu.

Macau adalah pelafalan Portugis dari dialek lokal A Ma Gao yang berarti kuil A Ma. Ini adalah tempat sembahyang masyarakat setempat sebelum kemudian penjajah Portugis datang pada 1550-an. Masyarakat sendiri menyebut daerah ini Ou Mun.

Sejak diserahkan kembali ke Cina pada akhir 1999, Macau disulap menjadi lokasi perjudian untuk menyaingi Las Vegas. Dengan 29 kasino raksasa dan ratusan tempat hiburan malam, Macau menjadi magnet bagi mereka yang ingin mencoba peruntungan dari Hong Kong, Cina daratan dan berbagai belahan dunia.

Macau memiliki bandara internasional, namun warga Hong Kong biasa pergi ke Macau menggunakan Ferry cepat Turbo Jet dari Hong Kong Ferry Terminal di Sheung Wan. Harga tiketnya HK$ 172. Ferry berangkat setiap 15 menit selama 24 jam. Namun antara pukul 00.00-06.00, ferry berangkat 1 jam sekali.

Pada saat kami membeli tiket, Rabu (16/8/2007), ternyata banyak orang yang memberi kode tangan. Rupanya banyak calo yang berdiri di sekitar loket. Mereka menawarkan tiket dengan harga miring, HK$ 150, namun siapa berani menjamin, kami pun tidak mempedulikannya.

Setelah perjalanan satu jam, kami pun tiba di Macau pukul 20.00 waktu setempat. Gemerlap kasino-kasino raksasa membuat langit malam di Macau menyemburat merah. Bangunan kasino bermacam-macam bentuknya untuk menarik para penjudi. Ada yang mirip istana kaisar, bola lampu raksasa, istana Tibet, atau mulut naga.

Baru saja turun dari ferry, beberapa orang membagi-bagikan brosur. Isinya adalah tawaran paket hiburan plus-plus, mulai dari striptease yang dibandrol HK$ 300 sampai iklan layanan jasa seks komersial mulai harga HK$ 800. Jangan heran, selain perjudian, bisnis prostitusi juga legal di Macau.

Sepertinya, aktor Chow Yun Fat memiliki tempat tersendiri bagi Macau. Wajah aktor yang terkenal dengan film Gods of Gambler (Dewa Judi) ini muncul di pintu-pintu taksi dengan gaya sedang berjudi.

Semua papan petunjuk informasi dibuat dalam dua bahasa, Portugis dan Mandarin. Usai kami mengisi perut, kami memutuskan pergi ke ujung Jalan Avenida, Dr Rodrigo Rodrigues. Di sini ada ruang terbuka yang cukup luas dan kami bisa memandang ke banyak Casino besar di sekiling kami.

Malam kian larut, namun justru kota ini tidak menunjukan tanda-tanda akan tidur. Ratusan orang hilir mudik keluar masuk Kasino. Masuk kasino dengan penuh semangat, dan banyak yang keluar dengan wajah lemas.

Saya tidak bisa membayangkan berapa banyak orang yang datang ke sini pada akhir pekan. Lelah dengan hiruk pikuk dunia judi, kami menyingkir ke kota tua Macau. Suasananya sungguh kontras dengan jarak kurang dari 2 km, kami seolah-olah terlempar ke abad 16.

Bangunan-bangunan kolonial yang masih terawat, jalanan dengan ubin batu, langsung dibawa dari Portual, tetap awet sampai kini. Kami menuju ke perbukitan untuk melihat reruntuhan gereja Santo Paulo. Igreja de Santo Paulo, itu namanya.

Terletak di perbukitan, gereja ini menjadi kenangan akan kekuasaan Portugis di masa silam. Dibangun antara tahun 1602-1640, gereja ini habis terbakar pada 1835. hanya bagian depannya saja yang tersisa hingga kini. Sisa sisa reruntuhan gereja ini menjadi ikon Macau.

Waktu sudah masuk dini hari. Kami pun kembali turun ke pusat kota Macau. Kota judi yang tidak pernah tidur.

Behave Dangerously

Sebagai biker yang pulang pergi Jakarta-Bogor, safety riding itu harga mati. Ngga usah banyak tingkah kalau bawa motor. Gue masih inget anak istri di rumah.

Tapi sepanjang jalan, udah banyak kelakuan biker yang macem-macem. Apalagi kalau judulnya luar Jakarta (Ciputat kesono deh ampe Bogor).

Ngga pake helm, biasa banget itu mah. Ngebut kaya kesetanan, biasa juga. Naek motor bertiga biasa juga. Malem-malem, semua lampu motornya mati, beberapa demikian. Yang dipretelin dari lampu, spion, plat nomor, speedometer, dll, ada lah yang kaya gitu.

Yang gawat yang gimana? Yang gawat itu adalah kombinasi dari 3 unsur diatas. Contoh:
A. Ngebut, ga pake helm, bertiga
B. Ngebut, ga pake helm, lampu mati malem-malem
C. Ngebut, ga pake helm, motor dipretelin

Yang gue belum nemu adalah kombinasi semua unsur di atas. Udah ngebut kesetanan, ngga pake helm, naek motor bertiga, malem-malem lampunya mati, atau lebih tepatnya dipretelin semua. Kalau sampai tabrakan, itu matinya buru-buru amat. Mati dalam kecepatan 90 km/jam, malaikat maut juga dilewat, wuuuuussssh.

Ada juga yang nyetirnya santai, tapi gayanya gawat. Orang mau belok, lampu sign-nya mati, pake tangan dong kasih tanda. Tapi gue beberapa kali lihat kasih tandanya ngga pake tangan. Pake kaki! Dia rentangin kaki dia jauh-jauh ngasih tau kalau dia mau belok. Kalau kesamber mobil apa ngga putus tuh kaki? Males banget angkat tangan...

Tapi ada juga yang begini: Gue lewat di Monas, Merdeka Barat, baru pulang liputan di Istana. Biker di depan gue tiba-tiba nengok kanan. Gue refleks ikut nengok kanan ke arah Departemen Perhubungan. Ada apa pikir gue, demo? Lumayan gue beritain. Tapi ga ada apa-apa.

Depan Museum Nasional, itu biker nengok kanan lagi tiba-tiba. Gue nengok lagi. Ga ada apa-apa.... Depan Indosat nengok kanan lagi, ngga ada apa-apa.....

Ternyata...... Itu biker ada masalah dengan syaraf lehernya, man... Di depan BI, Sarinah, Kedubes Jerman dan berkali-kali setiap menit nengok kanan. Gimana kalau dia nengok kanan ada mobil atau motor ngerem di depan dia? Gue ngga mau ketawa, gue kasian......

Wednesday, March 19, 2008

Hongkong: Masjid dan Geliat Umat Muslim

Gelombang kedatangan TKI mendorong meningkatnya jumlah umat Islam di Hong Kong secara signifikan. Perlahan namun pasti, mereka menunjukkan eksistensinya. Ini adalah tulisan dari beberapa wawancara sekaligus.

Umat Islam sudah hadir di Hong Kong sejak akhir abad ke 19, dimulai dari pedagang-pedagang Cina yang diislamkan pedagang-pedagang Arab. Pemerintah Hong Kong kini mencatat ada 80.000 orang Islam di Hong Kong. Namun jumlah ini belum termasuk gelombang terakhir kedatangan TKI ke Hong Kong yang sebagian besar mereka muslim.

Diperkirakan kini ada sekitar 120 ribu umat Islam di Hong Kong. Sebagian besar merupakan TKI, kemudian diikuti umat muslim Malaysia dan Pakistan.

Hong Kong memiliki 5 masjid yaitu Jamia Mosque, Stanley Mosque, Kowloon Mosque, Cape Collinson Mosque dan Ammar Mosque Wanchai. Umat muslim asal Indonesia paling banyak berkumpul di Masjid Ammar di Oi Kwan Road, Wanchai. Masjid ini memang paling dekat dengan lokasi tinggal mereka di sekitar Causeway Bay, Hong Kong.

"Aktivitas kami meningkat dengan pesat, malah banyak TKI yang mendapatkan hidayah di Hong Kong," ujar Abdul Muhaemin Karim, seorang ulama Indonesia dari Islamic Union of Hong Kong, saat ditemui detikcom di Victoria Park, Rabu 15 Agustus 2007 lalu.

Menurut pria kelahiran Cirebon, 43 tahun silam ini, peristiwa 11 September justru malah membangkitkan minat masyarakat Hong Kong untuk mengenal Islam. Berbagai kelompok agama, masyarakat, universitas dan organisasi meminta Union menjelaskan Islam kepada mereka. "Kita sampai kewalahan memenuhi undangan mereka, termasuk dari Gereja, umat Buddha dan Hindu," lanjutnya.

Kesadaran beragama di kalangan TKI pun meningkat pesat. Kegiatan pengajian mingguan yang disebut Halaqah, selalu kebanjiran peminat di hari Minggu yang merupakan hari libur TKI.

Halaqah kemudian berkembang menjadi hari Sabtu, kemudian diikuti pengajian-pengajian tengah minggu yang lebih kecil. Union kini menaungi dua organisasi induk yaitu Persatuan Dakwah Victoria (PDV) dan Gabungan Buruh Migran Muslim Hong Kong (Gammi).

"Ini organisasi yang lahir dari bawah dan kita memfasilitasi," jelas pria yang manyandang gelar Master of Comparative Religion dari International Islamic University of Islamabad.

Muhaemin mencontohkan PDV memiliki sejumlah anak organisasi yang menggelar sejumlah pelatihan komputer, menjahit dan berwira usaha untuk para TKI. "Pelatihan ini selalu penuh peminat, karena para TKI menyadari mereka memerlukan bekal untuk hidup mandiri," kata Muhaemin bersemangat.

Umat muslim di Hong Kong selalu menekankan di kalangan mereka perlunya menunjukkan wajah Islam yang ramah. Para TKI pun berperan sebagai role model muslim di rumah majikannya.

Pekerjaan sebagai pembantu tidak menjadi halangan mereka untuk menunaikan salat. Mereka sudah biasa salat menggunakan celana training sebagai pengganti mukena, atau meringkas salat dengan metode jamak dan qashar.

"Sekarang banyak majikan yang mencari TKI berjilbab karena dinilai kerja dan perilakunya baik. Bahkan ada majikan yang masuk Islam karena pembantunya yang berjilbab," jelas Muhaemin.

Muhaemin menatap optimistis masa depan umat Islam di Hong Kong. Selain respons pemerintah Hong Kong yang positif, umat Islam di Hong Kong juga punya tekad untuk maju dan menunjukkan eksistensinya di tengah masyarakat.

"Union berencana untuk menambah lagi da'i-da'i di Hong Kong dengan cara open recruitment untuk memperkuat dakwah di masa depan," pungkas Muhaemin.

Thursday, March 13, 2008

Simply, It's Islam

Islam itu sederhana dan menyederhanakan. Pelajaran mengenai mengenal Allah dan berhubungan dengan sesama manusia diajarkan dengan bahasa, konsep dan logika-logika sederhana.

Saking sederhananya, kita sering menganggapnya remeh. Soalnya kita sering mendengar tiap hari, ayat-ayatnya kita hapal, diulang-ulang setiap khotbah.

Kita anggap itu gampang dan biasa. Tapi ujung-ujungnya kita malah lupa. Itulah manusia.

Kita diberi yang mudah malah mencari yang sulit. Kita menghindari jalan lurus nan lapang dan mencari jalan sempit berliku untuk meraih Allah.

Padahal kita tahu Allah tidak suka sesuatu yang berlebih-lebihan. Karena, dalam kesederhanaan itu tersimpan makna sedalam lautan.

Friday, March 7, 2008

Hongkong: Melihat Kota dari Bus Tingkat

Habis sudah tenaga kami hari ini. Sambil meluruskan kami di sebuah kedai teh di Pasar Mongkok, kami memutuskan pulang. Jam tangan menunjukan kalau hari baru saja berganti.

"Naik bus yuk," kata staff Konjen Pak Nugie kepada kami. Ide bagus, demen banget deh gue nyobain segala jenis angkutan umum di Hongkong.

Bus tingkat adalah pilihan transportasi menarik untuk berkeliling Hong Kong. Menikmati jalanan Hongkong dari atas bus, memiliki keasyikan tersendiri.

Kami berkesempatan menggunakan bus tingkat untuk pulang ke Causeway Bay dari Kowloon, Rabu 15 Agustus 2007 dini hari. Jangan menyetop sembarangan! Bus tingkat hanya berhenti di halte saja.

Tapi jangan salah berdiri di halte juga. Di halte yang panjang, bus berhenti sesuai rambu nomor jurusan yang dipajang di ujung, di tengah, atau di pangkal halte. Jika menunggu bis nomor 112 jurusan Causeway Bay, jangan berdiri di dekat rambu untuk bus 102. Bus anda tidak berhenti di situ.

Tarif bus juga tergantung jarak, semakin jauh semakin mahal. Penumpang juga bisa memakai kartu Octopus. Kartu Octopus adalah tiket untuk hampir seluruh alat transportasi di Hongkong.

Kami pun langsung naik ke lantai atas. Dari atas sini pemandangan jauh lebih leluasa melihat jalanan Hongkong. Untuk menghibur penumpang, ada TV layar datar kecil di bagian depan bus. Sejumlah klip iklan dan video klip boyband Hongkong cukuplah menghibur penumpang.

30 Menit kami berkendaraan, kami tiba di Causeway Bay. Untuk jarak dekat, warga Hong Kong memilih Light Bus yang berukuran kecil dengan belasan tempat duduk saja.

Tenang saja, sopir di Hongkong sangat tertib. Tidak ada aksi saling susul, saling pepet apalagi oper penumpang ala metromini.

Hongkong: Adu Mulut di Mongkok

Lihat lampu sudah, ketemu Bruce Lee sudah. Belanja oleh-oleh belum. Tempatnya nggak jauh dari Avenue of The Stars. Ingin belanja oleh-oleh murah khas Hong Kong? Cuma ada satu yang cocok, Pasar Mongkok, Kowloon.

Pasar ini memanjang 4 blok di Tung Choi Street. Sering disebut Ladies Market karena para pedagang menjual pernak- pernik perempuan. Barang-barang untuk pria ada di Pasar Yau Ma Tei di Temple Street.

Namun sepertinya nama tinggal lah nama. Di Mongkok, barang-barang pria dan anak-anak juga ada. Pokoknya lengkap. Pasar Mongkok buka pukul 14.00 sampai 24.00 waktu setempat.

Sayangnya sudah banyak barang di pasar Mongkok yang juga dijual di Indonesia seperti di Mangga Dua. Misalnya saja hiasan koin atau baju chong sam.

Jadi sebaiknya Anda membeli oleh-oleh yang khas Hong Kong saja dan cari yang tidak ada di Indonesia. Misalnya T-Shirt bertema Hong Kong atau gantungan kunci.

Banyak turis yang berburu barang di Pasar Mongkok. Modalnya cuma satu, sekuat-kuatnya menawar. Jangan khawatir soal adu mulut, para pedagang bisa berbahasa Inggris, jika Anda tidak bisa berbahasa Canton.

Resepnya sama seperti berbelanja di Mangga Dua atau Glodok. Langsung minta setengah harga dari yang ditawarkan penjual. Setelah adu urat mempertahankan harga masing-masing, Anda baru bisa mendapatkan barangnya dengan harga yang pas. Nah, selamat berjuang!

Dapat apa sajakah saya dari Mongkok? 2 Tas untuk Desti, borong selusin t shirt, selusin gantungan kunci, magnet, selusin sarung ponsel, hehehe.

Hongkong: Bertemu Bruce Lee di Kowloon

Tampangnya sangar, ototnya kencang, kuda-kudanya kokoh, Jet Kune Do itu jurusnya. Semua harus tahu, Bruce Lee siap bertarung. Whaatttaaaaa!

Tapi Bruce Lee tidak bisa menendang, karena cuma patung 2 meter yang didirikan warga Hong Kong untuk menghormatinya. Patung almarhum jago kungfu ini bisa ditemui di Avenue of Stars, Kowloon.

Idenya diambil dari Walk of Fame, AS. Sebuah trotoar pejalan kaki lebar di mana cetak tangan, kaki, atau tanda tangan artis dalam plat semen dipasang di trotoar. Kalau di Hong Kong, yang dipajang tentu saja artis Mandarin.

Lokasi Avenue of Stars ada di Salisbury Road, di tepi laut menghadap Pulau Hong Kong. Avenue of Stars memanjang 300 meter dari Hong Kong Museum of Arts sampai melewati Hotel Inter Continental.

Kami berkesempatan ke sana, Selasa 15 Agustus 2007 malam. Jika mulai berjalan dari museum ke arah hotel, kita akan menemui artis-artis jadul terlebih dulu. "Saya kenal nih, ini pemain film silat waktu saya kecil," ujar Konsul Konsuler Ayodhia Kalake. Saya hanya menggeleng. "Wah, nggak kenal".

Setelah menyusuri puluhan cetak semen, akhirnya saya menemukan cetak semen Bruce Lee. Beberapa puluh meter kemudian ada Jackie Chan dan Jet Lee hanya terpisah beberapa meter.

Pengunjung sepertinya tidak terlalu memperhatikan. Setelah saya sibuk mengambil foto, barulah mereka mendekat. "Jackie Chan! Jet Lee!" ujar mereka girang memanggil teman-temannya.

Di ujung Avenue of Stars barulah patung logam Bruce Lee tegak berdiri membelakangi Pulau Hong Kong. Masyarakat berfoto sambil meniru-niru gayanya.

Jika Anda ingin souvenir, ada toko pernak-pernik namun khusus hanya bertema Bruce lee dan Jackie Chan. Namun memang anda harus merogoh kocek agak dalam.

Thursday, March 6, 2008

Hongkong: Menikmati Gemerlap Lampu

Kami selesai mewawancara Konjen RI Hongkong Ferry Adamhar, saat hari semakin senja. Usai mengisi perut, tawaran pun datang dari staf konjen yang tidak bisa kami tolak. Menyeberang ke Kowloon dan melihat gemerlap lampu Hongkong.

Pulau Hongkong sungguh sumpek di siang hari. Tapi cobalah menyeberang ke Kowloon pada malam hari. Dari sini, Hongkong justru tampil indah dengan lampu gemerlapnya.

Di Salisbury Road, ada tempat pejalan kaki lebar di tepi laut yang menghadap Pulau Hongkong. Tempatnya di belakang Pusat Kebudayaan Hongkong dan memanjang sampai Meseum Seni Hongkong.

Pada malam hari, masyarakat dan turis dapat menikmati indahnya gemerlap lampu gedung pencakar langit di Hongkong. Lampu gedung beraneka warna, lampu billboard raksasa dan pencakar langit yang menjulang, membuat Hongkong tampak megah.

Untung saja malam itu, Selasa 15 Agustus 2007 cerah dan tidak berkabut sehingga seluruh lampu tampak jelas. Kita seolah dilupakan hiruk pikuknya pulau itu di siang hari.

Mereka yang datang menikmati malam wajib membawa kamera untuk mengabadikan gambar. Lampu-lampu yang indah dan angin malam yang mengigit membuat suasana semakin romantis.

Pasangan yang sedang dimabuk cinta larut dalam ciuman mesra. Jarang-jarang orang datang ke sini sendirian apalagi sedang jomblo. Sebagian besar mereka berpasangan.

Sebenarnya kami tidak beruntung karena melewatkan Symphony of Light tepat pukul 20.00 setiap malam. Symphony of Light merupakan pertunjukan lampu dan sinar laser terpadu yang berasal lebih dari 30 gedung di Kowloon dan Hongkong.

Tapi, tidak apa-apa, kami masih bisa melihat perahu tradisional Cina, Junk, dengan layar khasnya yang berwarna merah, mampir untuk membawa wisatawan. Pemandangan indah ini dimanfaatkan belasan lapak foto instant.

"Coba yuk!" kata Konsul Sosial Budaya Konjen RI Nugroho Aribhimo menunjuk harga HK$ 10 untuk foto berukuran 10R. Murah juga pikir kami. Setelah sepakat bertransaksi, tiba-tiba si tukang foto menunjuk sebuah foto kecil berukuran 2R di atas angka HK$ 10 pada papan harga fotonya.

"Sialan! Yang HK$ 10 yang kecil. Yang besar HK$ 40. Nipu nih!" gerutu kami.

Setelah bertransaksi ulang, harga pun disepakati HK$ 25 untuk foto berukuran 4R. Jepret! Kami pun melanjutkan perjalanan.

Kami Ingin Jadi Agen Perubahan

Siang itu, Selasa 14 Agustus 2007, jadilah kami berkumpul di Konjen RI, Hongkong di Leighton Road, buat wawancara Konjen RI Hongkong Ferry Adamhar. Begini nih beritanya:

Pemerintah setempat yang mendukung buruh migran dan TKI yang mengorganisir diri dengan rapi membedakan Hong Kong dengan negara-negara lain penerima TKI. Konjen RI berkewajiban untuk dapat memanfaatkan secara maksimal kesempatan emas ini.

"Kami ingin menjadi agen perubahan untuk TKI. Mereka tidak hanya mendapat uang, tapi juga memiliki nilai tambah," ujar Konjen RI untuk Hong Kong Ferry Adamhar di kantornya, Causeway Bay, Hong Kong.

Menurut Ferry, kepentingan Konjen RI, pemerintah Hong Kong, dan TKI sudah mengarah kepada titik temu. Konjen berkewajiban melindungi warganya, pemerintah Hong Kong sebagai negara jasa harus menunjukkan citra positif dari kehidupan buruh migrannya, dan TKI yang bertekad mengubah nasibnya.

"Di sini satu-satunya negara di mana TKI tidak bisa dikirim kalau kontrak kerja tidak disetujui oleh Konsulat Jenderal," imbuh dia.

Sifat TKI yang cenderung penurut di satu sisi merupakan kelemahan mereka dibandingkan buruh migran Filipina yang keras terhadap kontrak kerja. Namun Ferry justru melihat ini sebagai peluang untuk memperkuat posisi tawar TKI.

"Kalau TKI kita pulang, anak majikan mereka bisa nangis. TKI pula yang justru mendatangkan uang untuk Hong Kong, karena mereka belanja, beli ponsel, ke salon, dan lain-lain," cetusnya.

Menurut Ferry, fakta-fakta ini yang menunjukkan perlunya sebuah program terpadu menyiapkan TKI menjadi mandiri dan diperlakukan lebih layak oleh majikannya. Pada saat mereka datang, ada program penerimaan dan pendataan hingga TKI tidak merasa terasing.

Selama mereka di Hong Kong, ada program dari Konjen atau swadaya TKI untuk mengembangkan diri lewat berbagai pelatihan, organisasi seni, budaya, agama dan olahraga, pengelolaan gaji. Tujuannya agar mereka bisa mempersiapkan masa depan.

"Kalau mereka tahu dan membekali diri, mereka bisa pulang dan memulai usaha untuk hidup mandiri. Mereka tidak usah selamanya jadi TKI," jelas mantan Dirjen Perlindungan WNI Deplu ini.

Tambahan:

Pak Ferry ini dulunya emang narasumber ketiga di Deplu setelah Menlu, dan Juru Bicara Deplu. Jabatannya kan dulu Dirjen Perlindungan WNI. Teleponnya pasti panas berdering-dering dari wartawan kalau ada kabar TKI mati, disiksa, atau WNI celaka di luar negeri.

Hongkong: Meluncur Mulus dengan MTR

Jika Jakarta masih membangun monorail yang entah kapan selesai, warga Hongkong sudah menikmati Mass Transit Railway (MTR) sejak 1979. MTR menjadi pilihan favorit masyarakat karena memudahkan mereka bepergian.

MTR melayani 2,4 juta penumpang setiap hari atau 30 persen dari penduduk Hong Kong yang hanya 6,8 juta jiwa. Kereta bawah tanah ini menyediakan 6 jalur trayek yang menjangkau seluruh Hongkong.

6 Jalur itu adalah bandara, Tsuen Wan, Kwun Ton, Tseung Kwan O, Tung Chung, dan Island. Saya pada Selasa (14/8/2007) mencoba MTR untuk mencari warnet di kawasan North Point. Apalagi kalau bukan warnetnya Mbak Wiwik Lo, TKI sukses jadi bos itu. Maklum, berita numpuk, laptop nggak dapat akses wi fi, mau nebeng internet Konjen males.

Lagi pula pagi itu memang agak santai. Agenda liputan kita bersama adalah wawancara Konjen RI Hongkong Ferry Adamhar nanti siang. Bang Reyhan RCTI dan patnernya memilih bikin visual hiruk pikuk Hongkong, Mas Rachmat memilih nongkrong di Konjen.

BTW, Stasiun MTR tersebar di seluruh Hongkong. Akses ke stasiun ditandai dengan logo MTR yang mirip logo ASEAN dengan warna dasar merah. Pintu masuk ke stasiun bisa muncul di perempatan atau menyembul di lantai dasar sebuah pertokoan. Jadi, buka mata Anda, satu stasiun bisa memiliki sampai 6 pintu masuk.

Saya memilih stasiun Causeway Bay Station yang hanya satu belokan dari tempat menginap. Membeli tiketnya pun sungguh praktis, tidak ada petugas loket, semua dilayani secara elektronik.

Dengan turun ke bawah tanah pakai tangga jalan, penumpang akan melihat belasan mesin tiket seukuran mesin ATM yang berjajar rapi. Intruksinya sangat user friendly dengan panduan bahasa Inggris dan Canton. Ada layar sentuh menggambarkan peta seluruh trayek MTR, mirip peta jalur busway karena tiap jurusan punya warna berbeda antara lain hijau, ungu, merah, atau kuning. Penumpang tinggal memencet gambar stasiun tujuan.

Komputer akan menghitung harga tiket dari stasiun asal, masukan uang koin atau kertas. Beberapa detik kemudian tiket akan keluar, termasuk uang kembalian jika memang ada.

Setelah itu penumpang menuju peron, baca papan petunjuk jika tidak mau salah peron. Apalagi jika Anda di stasiun transit antar jalur, jangan sampai salah jurusan karena jumlah peron yang banyak.

Peron dan rel kereta dibatasi dinding kaca untuk menjaga keamanan. Tidak perlu menunggu lama, untuk menunggu kereta datang. Hampir setiap 2 menit kereta akan lewat.

Jika Anda tidak terburu-buru, Anda bisa melihat toko-toko atau mencari koran di agen koran, atau membeli makanan ringan. Jangan bayangkan stasiun yang pengap, bahkan orang buta pun diberikan ubin lantai khusus untuk memandu mereka.

Wush... kereta pun melaju kencang. Suasana di dalam kereta sungguh nyaman. Walaupun penumpang padat, sistem pendingin berjalan dengan baik.

Penumpang sungguh tertib. Tidak ada pengamen apalagi pengemis. Suara elektronik kereta selalu mengingatkan untuk mendahulukan penumpang turun dan jangan di dekat pintu jika kereta mau berangkat.

Tidak ada pemandangan di jendela tentu saja. Namun Anda bisa tahu sudah sampai d imana dengan melihat panel elektronik bergambar jalur kereta di atas pintu. Suara elektronik pun memberi tahu anda nama stasiun berikutnya.

Tidak sampai 15 menit, saya pun tiba di North Point. Jika ingin lebih praktis, masyarakat bisa membeli tiket elektronik Octopus Card di stasiun. Kartu sakti seharga HK$ 150 (sekitar Rp 160.000) untuk segala jenis alat transportasi di Hongkong termasuk trem dan bis kota. Gunakan sepuasnya tanpa batas waktu sampai saldo di tiket elektronik Anda habis.

Hongkong: Pengap.....

Selasa, 14 Agustus 2007, hari keempat gue ada di Hongkong. Suasananya selalu sama setiap pagi. Hiruk pikuk manusia bergegas dalam hujan rintik-rintik.

Dari Paterson Street, Causeway Bay, dan sebenarnya sama dimanapun di Pulau Hongkong, gue setiap kali mendongak ke atas melihat gedung puluhan lantai dalam jarak yang amat dekat satu sama lain.

Hawa Hongkong buat gue jauh dari segar. Lembab itu sudah pasti. Tapi yang paling nggak enak, pengap....... Nafas aja berat. Gerah minta ampun padahal hujan.

Kenapa ya? Lagi-lagi gue nanyanya orang Konjen RI Pak Nugie. Jawabannya dahsyat.

"Gedungnya kan tinggi-tinggi tuh apartemen semua. Nah semua orang Hongkong pasang AC, exhaustnya ngarah ke jalan......" kata dia.

Ya iyalah gerahnya setengah mampus. Ada dinding puluhan meter dan saling berhadapan sangat dekat dan semua masang exhaust AC.

Dan gue pun melongok lagi ke arah langit, AC berbagai model nangkring di semua jendela warga Hongkong. Ratusan, bahkan ribuan. Semua berbarengan menghembuskan angin panas ke jalanan......... Uugggggggggghhhhh!

Monday, March 3, 2008

Hongkong: Drama-drama Jendela

Pulang dari Restoran Jin Yuen, Hongkong, Senin (13/8/2007), kami tidak langsung tidur. Beres-beres buat persiapan liputan besok. Guest house yang kami sewa itu ada 4 kamar tidur. Gue sekamar dengan Mas Rachmat dari Republika.

Gue pilih tempat tidur dekat jendela. Pemandangannya lumayan serem buat yang takut ketinggian. Gue ada di lantai 14 dari deretan rapat apartemen di Paterson Street, Causeway Bay, Hongkong.

Dari jendela kamar gue ada ratusan jendela yang bisa gue lihat. Apartemen di Hongkong bisa menjulang belasan lantai dengan jarak yang rapat-rapat. Dari sejak awal gue nyampe di Hongkong, gue paling suka lihat-lihat pemandangan dari jendela. Bukan ngintip lho... Tapi gue seolah melihat ratusan drama dari setiap jendela.

Apalagi kalau sudah malam, dimana para warga Hongkong kembali ke rumah mereka. Ada keluarga yang berkumpul menikmati makan malam penuh dengan gelak tawa. Ada juga sepasang manula yang sepertinya hanya hidup berdua.

Ada pemuda yang asyik dalam gelap. Satu-satunya cahaya adalah layar komputer yang menyorot wajahnya. Mungkin dari orang ini gue dapat tebengan hotspot hehehehe. Nggak tahu deh lagi lihat apaan.

Ada juga keluarga yang modelnya menikmati tontonan TV menjelang tidur, lalu satu persatu anak mereka pamit tidur. Ortunya juga ngantuk, lalu terakhir seluruh lampu apartemen itu gelap. Tapi ada juga yang baru datang ke rumah langsung tutup tirai, penuh rahasia hehehe.

Setiap jendela punya cerita sendiri..... Cerita keseharian warga Hongkong yang apa adanya....

Hongkong: Bebek Peking? Mmm.. Crunchy

Liputan soal profil Wiwik Lo TKI sukses makan waktu juga. Teman RCTI bikin rekaman juga sih, jadinya lebih makan waktu, setting adegan dll. Nggak kerasa, hari mulai gelap saat liputan selesai.

Udah gitu, kita nggak langsung pulang. Pasangan David dan Wiwik Lo mau mentraktir kita Bebek Peking. Bebek Peking adalah makanan oriental yang tersohor. Seperti apa sih rasanya? Jadi penasaran.

Pada Senin (13/8/2007) malam, kami mendatangi Jin Yuen Restaurant di samping City Garden, North Point Hong Kong. Restoran yang lebih elit dari dari restoran Spicy Crab di Wan Chai. Kami makan bersama dengan David dan Wiwik Lo, bekas TKW yang kini sukses berbisnis di Hongkong, serta staf Konjen RI.

Dengan pelayan berjas, restoran bernuansa warna merah ini berukuran besar dengan belasan meja, atau meja-meja privat yang dilengkapi televisi. Kami berdelapan termasuk staf Konjen RI Viktor memilih satu meja agak depan.

Seafood memang bukan menu utama di sini, melainkan unggas. Meski demikian, restoran ini menyediakan banyak pilihan termasuk seafood segar juga.

Kami memilih makanan yang bukan seafood, setidaknya seafood yang belum kami coba di Spicy Crab. David dan Wiwik Lo yang memiliki perusahaan jasa paket khusus TKI ini, sepertinya memang hobi makan. 8 Menu pun dipilihkan untuk kami.

Kami memesan Peking Duck with Lemon Sauce (bebek panggang), Roasted Pigeon (burung dara bakar), Baked Crispy Chicken (ayam panggang), Steam Prawn (udang rebus), Dried Fried Squid With Chili and Salt (cumi goreng tepung), Garoupa with Pickle Sauce (ikan kerapu), cah kangkung, dan bubur kacang hijau dan kacang merah.

Makan malam dimulai dengan udang rebus segar yang ditemani kecap asin. Udang ini benar-benar hanya direbus tanpa bumbu dan baru mendapat rasa dari kecap asinnya, daging udangnya terasa sangat segar.

Kemudian datanglah burung dara bakar yang ternyata dagingnya sangat lembut. "Wah di Indonesia dagingnya liat," ujar kawan wartawan yang memang gemar burung dara. Ayam panggangnya pun bercita rasa sama.

Belum kami tuntas dengan burung dara, cumi goreng tepung sudah datang. Kecap dan irisan cabe atau garam, menjadi pilihan bumbu pelengkapnya. Rasanya sungguh renyah. Kalau cah kangkung mirip-miriplah dengan yang biasa kita dapatkan di Indonesia.

Akhinya yang ditunggu-tunggu datang. Pelayan restoran membawa meja dorong dengan bebek panggang tersaji matang. Warna coklat keemasan sungguh mengundang selera.

Bebek peking panggang dimakan kulitnya karena renyah. Sang pelayan mengiris kulitnya dengan cekatan dan menyajikannya dengan kulit lumpia basah bertabur wijen.

Irisan kulit bebek dioleskan ke saus tiram, ditemani potongan panjang ketimun dan lalu dibungkus kulit lumpia. Mmmmmm.... maknyussss! Lidah kami pun bergoyang.

Bebek yang sudah dikuliti kemudian dipotong-potong, lantas dimasak lagi dengan sup berkuah kaldu dan ditemani sayur bhok coy. Sup panas ini sungguh gurih, apalagi jika Anda memang pencinta sayur kerabat cay sim ini.

Menjelang perut kenyang, ternyata masih ada lagi ikan kerapu yang direbus dan disajikan dengan kecap asin. Ikan ini hanya dimasak sesaat agar dagingnya tidak menggumpal. Kerapu di Hong Kong dan banyak makanan laut lain, ternyata diimpor dari Indonesia.

"Kepala dan buntutnya harus dihabiskan, ini kebiasaan di sini," ujar Wiwik Lo memaksa kami mengisi ruang perut yang hampir tidak tersisa.

Hidangan penutup pun akhirnya disajikan. Bubur kacang hijau dan kacang merah. Saya pilih kacang merah, karena kacang hijau sudah biasa saya makan. Saya tadi membayangkan kacang merah berukuran besar. Namun ternyata ukurannya seperti kacang hijau, namun warnanya merah dan rasanya sama.

Kami pun meninggalkan Jin Yuen Restaurant dengan perut kenyang dan lidah yang dimanjakan. Nikmat renyahnya kulit bebek peking terus terbayang hingga kami kembali ke Causeway Bay.