Wednesday, October 10, 2007

Lumpuhkan Godzilla, TNI Kerahkan Sukhoi

Ujang Jajang - bohongcom

Jakarta - Kemunculan mendadak monster Godzilla terus menimbulkan kekacauan di Jakarta. Setelah pemerintah mengumumkan darurat perang, TNI langsung mengirimkan armada pesawat Sukhoi.

Hal ini dijelaskan Panglima TNI Marsekal Djoko Tingkir di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta, Kamis (23/9/2008). "Kita kerahkan skuadron Sukhoi kita sekarang!" ujarnya geram.

4 Pesawat Sukhoi hingga berita diturunkan, sudah berada di langit Bandung menuju Jakarta. Pesawat ini masing-masing dilengkapi rudal Stinger dan Sidewinder. Sementara seluruh unit Polda Metro Jaya dan TNI Kodam Jaya dikerahkan di Bandar Kemayoran dimana monster ini berada setelah memporakporandakan Pelabuhan Tanjung Priok.

Namun aksi militeristik ini ditentang kelompok pecinta satwa. Aktivis lingkungan Australia Steve Irving mengatakan monster ini hanya binatang yang tersasar.

"Dont kill this beautiful animal," ujar pawang buaya ini beberapa saat sebelum dilahap Godzilla.

Sementara Presiden dan Wapres telah diungsikan dari Istana ke Yogyakarta. Hingga kini, Godzilla masih mendapatkan perlawanan aparat dibantu milisi lokal FPI dan FBR.

bohongcom - benar benar tidak benar

Penutup Pantat Lepas, Patung Bikin Heboh Senayan

Yayat Dayat - bohongcom

Siapa yang tidak tahu patung pria menjunjung api di Bundaran Senayan? Pagi ini, kain yang menutupi pantatnya lepas dan memperlihatkan bagian paling pribadi dari patung tersebut. Pengguna jalan pun dibuat heboh.

Pantauan bohongcom, Rabu (10/10/2007), kemacetan terjadi di Bundaran Senayan sejak pukul 8.30 WIB. Semua orang tahu patung logam ini memang hanya berbalut kain yang juga berbahan logam untuk menutupi pantatnya saja. Namun pada pukul 7.15 WIB pagi ini, 'kain' ini lepas dan jatuh.

"Jatuh aja gituh gedubrak," ujar Bripka Chips yang mengatur lalu lintas pagi itu.

Kondisi patung yang kini telanjang bulat pun menjadi perhatian pengguna jalan raya. Mereka melambatkan laju kendaraan untuk melihat patung. Beberapa karyawati malah tersenyum geli.

"Iya, jadi malu," ujar Fifi (27) karyawati yang bekerja di Ratu Plaza.

Kadis Pertamanan Pemprov DKI, Taman Park, mengatakan korosi menjadi penyebab lepasnya penutup pantat patung tersebut. "Kondisinya kan memang sudah lama," ujar pejabat berdarah Korea ini.

Menurut Park, petugas bertindak cepat dengan memasang kain putih untuk menutupi pantat patung sambil menunggu perbaikan. Hingga pukul 10.30 WIB, petugas masih berusaha memasang kain tersebut.

bohongcom - benar benar bohong

Tuesday, October 9, 2007

Keluh Kesah Itu

Datang dalam pelukku, Cinta
Dan biarkan tumpah air mata
Biar sesak di dadamu hilang
Dalam desah nafas panjang

Terkadang...............
Hari memang susah ditaklukan
Meski dunia tidak peduli
Cukup aku yang mengerti
Kalau kamu pantang menyerah
Apalagi surut selangkah

Terima Kasih.........

Motorku menderu membelah malam, ketika senandung KKEB melintas dalam pikiranku. Dan anganku pun terlembar ke 7-8 tahun lalu. Aku teringat kalian, teman-teman.

Lagu ini yang kau putar saat aku bersembunyi, dari kenyataan yang belum siap aku hadapi. Bahwa keluargaku tidak akan utuh lagi. Dalam hari-hari tersulitku, aku bertemu kalian.

Terima kasih telah menemaniku dalam pelarian. Aku sungguh menikmati petualangan-petualangan itu. Dalam canda tawa, kalian membasuh lukaku.

Dan air wudhu terasa sangat menyejukan hati. Saat aku larut dalam sujud, aku belajar menerima kenyataan. Kususun lagi keping-keping jiwaku yang berserakan, dibantu kalian. Terima kasih untuk persahabatan erat itu hingga kini. Aku bisa bertahan, bangkit dan kembali berlari.

Teman, hidupku kini memang tidak pernah sama lagi. Ada keping jiwa yang tidak akan pernah kembali. Ternyata, hidup memang tidak selalu seperti yang kita rencanakan. Tapi yakinlah Allah menyiapkan sesuatu yang indah. Karena dia tidak pernah menguji manusia melebihi batas kemampuannya.

Ketika kita sabar, Allah akan menunjukkan jalan. Ketika kita percaya, Allah akan memperlihatkan keajaiban. Dalam cara yang tidak pernah kita bayangkan.

Aku hentikan motorku dalam sepinya jalanan. Betapa jauh sudah jejak yang kutinggalkan. Aku kini menapaki hidup baru yang penuh harapan. Dengan istri yang menjadi separuh nafas dan putri lucu yang menjadi separuh jiwa.

Teman, aku sudah membuktikan keadilan-Nya. Terima kasih.........

Sunday, October 7, 2007

Hongkong Lesbian: The First Encounter

Aaaaargh gue melakukan hal yang pantangan, meralat berita. Berita kucing garong gue salah. Tentu versi salahnya nggak bakal dibaca, soalnya cuma ada di dapur redaksi, hehe.

Gue bikin paragraf soal seorang cowok yang joget sawer dalam liputan Minggu (12/8/2007). Damn ternyata itu cewek tomboi!!

"Disini mana ada TKI laki-laki. TKW semua......," kata Pak Nugie.

Hah, ketipu gue. Tiba-tiba mata gue dibukakan... Iya ya... Banyak TKI tomboi. Banyak banget. Tapi kok gesture-nya gimana gitu. Ganjil banget. Pelukannya kok mesra amat ya. Kesannya bukan akrab tetapi intim....

Otak gue mikir terus, apa yang salah? Dan gue pun bertanya, jawabannya asyik.
"Iya Fay, banyak yang lesbian. Lihat saja, jelas kok," kata seorang pegawai kedutaan.

Gue bikin kamera Canon gue stand by. Gue mencari obyek yang lagi 'hot'. Akhirnya dapat nih, ada satu pasangan yang lagi pelukan. Yang bajunya feminin menggelayut ama si tomboi. Mukanya udah deket banget...... Kalau jadi ciuman, cakep banget foto gue.

Gue angkat kamera gue, fokus disetel. Eh mereka nengok, dengan cepat mereka pun menutupi wajah mereka dengan payung. Jepreeet, foto gue ambil. Malah jadi bagus, kan kita jadi bertanya-tanya apa yang mereka lakukan di balik payung hehehe.

Acara lomba 17 Agustusan jalan terus. Gue membatin. Gue harus dapat nih cerita fenomena lesbian. Orang Konjen dah bilang, "Nggak usah ditulis deh". Tapi gue pikir orang harus tahu fenomena ini.

Gue harus dapat nih berita. Kalau perlu masuk ke komunitasnya. Waktu gue nggak banyak, dan harus gue mulai sekarang.........

Hongkong: TKW Banjir Libur, Gaji Besar

TKI tidak selalu berada dalam posisi lemah di negara tempat mereka bekerja. Di Hongkong, mereka punya posisi tawar yang lebih manusiawi.

Hal ini dituturkan Naryati (35) dan Cahyati (35), dua TKI asal Cilacap. Gue bertemu mereka di sela-sela perayaan 17 Agutus di Victoria Park, Minggu (12/8/2007). Ceritanya gue cari hotspot buat kirim berita dari laptop yang harus gue bawa kemana-mana. Jadi kaya kura-kura dengan beban di punggung gue. Terus ketemu mereka di cafetaria di taman itu.

Naryati sudah bekerja selama 6 tahun di Hongkong dan Cahyati sudah bekerja 7 tahun. Menurut mereka, kondisi kerja di Hongkong jauh lebih baik. Di Singapura, mereka hanya mendapatkan libur sebulan 2 kali, dengan catatan majikannya baik. Namun ada majikan yang tega hanya memberi libur satu kali atau tidak ada libur sama sekali.

Di Hongkong, mereka setiap minggu mendapat 1 hari libur dan itu sudah diatur dalam regulasi setempat. Mereka pun mendapat libur setiap tanggal merah di Hongkong seperti tahun baru, tahun baru Cina, dan Natal. Mereka pun masih mendapat libur pada Hari Buruh Internasional dan lebaran.

"Di sini kita bisa lebih mendapatkan kebebasan daripada Singapura," kata Cahyati.

Gaji pun memiliki perbandingan signifikan. Di Singapura, mereka hanya mendapatkan gaji Rp 1,5 juta perbulan. Namun di Hong Kong mereka bisa mengantongi Rp 3,5-4 juta.

"Lebih enak kerja di Hongkong. Singapura dan Malaysia nggak deh. Kalau ke Arab sih masih bisa mengharapkan umroh," kata Naryati.

Meski demikian, mereka mengaku beban kerja mereka sama baik di Hong Kong maupun di Singapura. Mereka bangun pukul 6 pagi, ke pasar, memasak membersihkan rumah, mengantar jemput anak majikan, dan baru tidur pukul 22.00 atau 23.00. Namun secara keseluruhan, Hong Kong menawarkan pekerjaan yang lebih mendukung mereka. Menurut Cahyati, pada saat dirinya mulai menjalani profesi sebagai TKI, program pengiriman TKI ke Hongkong belum seramai sekarang.

"Sekarang TKI banyak yang kerja ke Singapura cuma untuk batu lompatan belajar bahasa Inggris. Kalau sudah pintar, mereka akan mencari kerja ke luar Singapura," pungkas Cahyati.

Hongkong: Kucing Garong di Victoria Park

Perayaan HUT Kemerdekaan RI juga menjadi milik para TKI di Hongkong. Berbagai lomba khas 17-an dan panggung musik dangdut pun digelar. Lagu favorit? Apalagi kalau bukan Kucing Garong. Goyang maaaang!

Konsulat Jenderal RI memang baru pada 2007 menggelar peringatan hari kemerdekaan dengan menggandeng 8 organisasi TKI di Hongkong. Tujuannya adalah melibatkan para TKI dalam selebrasi tahunan ini.

Untuk menampung ribuan TKI, Konjen menggunakan lapangan rumput di Victoria Park, Causeway Bay, Hongkong, Minggu (12/8/2007). Namun sayang, hujan gerimis membuat target kehadiran ribuan TKI menjadi hanya 1.000 orang saja.

Sejak pukul 09.00 waktu Hongkong, mereka sudah mulai berdatangan. Padahal, acara baru dimulai pukul 11.00. Sudah jauh-jauh hari mereka meminta izin majikan agar bisa libur di hari spesial ini.

Sebuah panggung dan sejumlah stand pendaftaran lomba serta lapangan yang berhias banner segitiga berwarna Merah Putih, sudah menyambut mereka di lapangan.

"Ada 108 ribu TKI di Hongkong. Kita gelar acara semacam ini untuk mengobati kerinduan mereka dengan tanah air selain memupuk rasa nasionalisme dalam perayaan hari kemerdekaan," ujar Konsul Bidang Sosial, Budaya dan Pariwisata Konjen RI Hongkong Nugroho Aribhimo alias Pak Nugie.

Para TKI di Hongkong memang kebanyakan perempuan (TKW). Acara pun diatur agar banyak perempuan bisa dilibatkan, antara lain suguhan tari-tari tradisional seperti Jaipong, lomba rias, atau menyanyi dangdut.

Nah lagu dangdut inilah yang paling ditunggu. Penyanyinya adalah teman-teman mereka sendiri. Namun gayanya tidak kalah dengan idola mereka. Apalagi lagunya 'Kucing Garong', jogetnya harus heboh.

Penyanyi yang lincah menggoda penonton untuk ikut ke atas panggung. Dengan pengeras suara yang menggelegar, hujan pun tidak membuat mereka surut untuk menonton sambil berpayung ria.

Peringatan hari kemerdekaan yang digelar seminggu lebih awal ini lebih lengkap lagi dengan beraneka lomba khas. Stand pendaftaran penuh TKI yang antusias ikut berlomba. Bahkan Konjen RI untuk Hongkong Ferry Adamhar dan para stafnya ikut beradu balap karung.

Sorak sorai bersahut-sahutan. Apalagi saat balap karung, karena pesertanya harus memakai wig warna-warni selain karung tentunya. Penonton tergelak melihat wig berjatuhan atau karung yang kesempitan.

"Seru Mas, banyak teman-teman. Jadi ingat di kampung," ujar Mariyati (32) seorang TKI asal Cilacap.

Beraneka lomba unik ini juga menarik perhatian warga Hongkong. Sepasang bule bahkan rela menonton lomba balap karung hingga usai. Merdeka!

Hongkong: TKW, Harajuku, dan Tank Top

Akhirnya datanglah hari Minggu, waktunya acara perayaan 17 Agustus di Victoria Park, Hongkong. Ini momen penting buat bertemu dengan TKI.

Kalau kita membicarakan TKI yang bekerja di luar negeri, imejnya selalu orang lugu di negeri orang, gagap teknologi, pokoknya ndeso. Jangan salah, di Hong Kong, gaya harajuku pun mereka tahu.

Gelar lomba 17 Agustus yang diadakan Konjen RI di Hong Kong, Minggu (12/8/2007) menjadi ajang berkumpulnya ratusan TKI. Bertempat di Victoria Park, beraneka lomba dan panggung hiburan digelar. Para TKI pun datang membanjir dan menjadi kesempatan saya membandingkan mereka.

Harus diakui kalau para TKW asal Indonesia punya gaya yang lain dibanding dengan TKW-TKW yang bekerja di negara-negara lain. Penampilan mereka tidak kumuh.

Di Hong Kong, para TKW ini bergaji cukup tinggi. Minimal, mereka bergaji sekitar Rp 3,5 juta per bulan. Karena itu, tidak heran bila telepon seluler (ponsel) menjadi barang wajib bagi mereka. Ponsel yang mereka punya pun berharga mahal. Seringkali ponsel ini dikalungkan di leher mereka.

Gaya busana itu tergantung selera. Namun pasti sudah jauh berbeda saat mereka berangkat dari tanah air. Kentara sekali mereka dipengaruhi gaya busana anak muda Hong Kong dan mungkin sekali ditiru dari anak majikan mereka.

Ada yang berbusana terbuka, dengan rok mini, tank top, celana hipster, atau berdandan ala skater boy dengan kalung rapper. Untuk rambut, dicat itu sudah biasa. Gaya rambut harajuku itu baru seru, apalagi memakai celana loreng army look. Jangan lupa, sepatu-sepatu olahraga yang mereka pakai juga model terbaru.

Namun tidak semuanya terpengaruh busana barat ini. Masih banyak juga lho TKI yang tetap dalam balutan anggun jilbab. Kalau sudah begini, apa masih mereka dibilang ndeso?

Monday, September 24, 2007

Those Bloody Directors.....

Kadang-kadang kita nonton film karena ceritanya atau aktornya. Tapi untuk yang satu ini, gue nonton film karena sutradaranya.

Quentin Tarantino dan Robert Rodriguez. Sebenarnya memang masih banyak sutradara hebat model Steven Spielberg. Tapi gue nonton Tarantino dan Rodriguez untuk karya mereka yang nggak biasa.

Di luar mainstream Hollywood, film-film mereka adalah eksperimen terhadap seni visual itu sendiri. Mereka mengembalikan seni pada dasar sebuah film: gambar.

Filmnya pasti action, brutal, sadis, gangster, gelap. Tapi cara bertuturnya, visualisasi gambarnya, edan.... Yang gue nikmati adalah gambarnya. Skill yang mungkin membuat mereka selalu bisa dapat aktor berkelas model Bruce Willis, Uma Thurman, Antonio Banderas, sampai John Travolta.

Pertama kali tahu waktu nonton Kill Bill Volume 1. Gue pikir ini hanya sebuah film action belaka. Tapi gue bengong waktu si Tarantino bisa mencampur Hollywood, Harajuku ama Anime. Ada adegan animasi Jepang apik di tengah film action. Busyet.....

Kill Bill Volume 2 juga maut. Dia campur tuh film gangster Hollywood ama film silat cina klasik tahun 1970-an. Mantap. Terus, baru gue tahu Pulp Fiction juga edan, tapi gue belum nemu barangnya di tukang DVD langganan gue hehe.

Tarantino filmnya nggak banyak selain dua seri Kill Bill ama Pulp Fiction. Rodriguez lebih banyak lagi filmnya seperti trilogi El Mariachi, Desperado, Once Upon Time in Mexico, ama trilogi film anak-anak Spy Kids.

Tapi gue dapet Sin City, kolaborasi dua orang ini untuk mengadaptasi novel grafik Frank Miller. 3 Maestro kerja bareng. Hasilnya, eksperimen gambar hitam putih selama 2 jam dan cerita noir yang ciamik. Buat yang nggak tahu dua orang gila ini pasti kaget.

Di Sin City, mereka berasyik masyuk bermain dengan angle, tata cahaya, bayangan, dialog, efek visual. Bayangin, mereka cuma main di 5 warna. Hitam, putih, sedikit merah, biru dan kuning. Seperti nonton teater. Tapi ceritanya tetep brutal dan khusus dewasa.

Makanya gue nungguin DVD Grindhouse. Dua orang gila ini kerja bareng lagi dan nggak tahu mereka mau bikin eksperimen apa. Yang jelas Grindhouse mengoplos dua cerita terpisah dalam satu film berdurasi 3 jam. Semacam beli 1 dapat 2. Hmmmm.......

Friday, September 21, 2007

Hongkong: Malam Minggu di Causeway Bay

Kenyang makan di Under Bridge Spicy Crab, kami pulang ke Causeway Bay. Guest house yang kami sewa ada di Paterson Building di kawasan tersebut.

Tapi, malam minggu sungguh malam yang panjang. Tidak hanya di Indonesia, masyarakat Hong Kong pun menggunakan kesempatan ini untuk berjalan-jalan. Salah satu tempat yang ramai adalah Causeway Bay, Hong Kong.

Daerah yang penuh tempat belanja dan hiburan ini dibanjiri ribuan orang pada malam minggu. Seperti pada Sabtu (11/8/2007) malam, saking ramainya, sudah menjadi kebiasaan jika kawasan ini dibuat steril dari kendaraan pada malam Minggu.

Masyarakat pun bebas berlalu lalang di jalan raya. Suasana yang membuatnya sepintas mirip dengan Kesawan Square di Medan, namun tanpa restoran yang digelar di jalanan.

Sejumlah jalan yang ditutup antara lain Lockhart Road dan Great George Street. Masyarakat keluar masuk satu toko dan pindah ke toko lain. Muda-mudi dengan berbagai dandanan modis bersenda gurau dengan sebayanya. Orang tua menggendong anak-anak mereka yang sudah lelah berjalan kaki.

Banyak juga turis asing yang berbaur dengan mereka. Butik-butik sekelas Sogo, memajang etalase sebaik-baiknya untuk menarik konsumen. Supermarket pun penuh antrean orang membayar belanjaan.

Tidak ketinggalan tentunya para TKW asal Indonesia yang sedang mendapatkan libur dari majikannya. Gaya mereka pun tidak kalah. Dengan ponsel yang dikalungkan, mereka pun asyik bercengkerama dengan teman-temannya. Tapi teteup, bahasanya Jawa......

BTW, di versi berita online, cerita ini disatuin ama 'menjajal taksi bengal'

Hongkong: Mak Nyuuus di Kolong Jembatan

Kawasan Wanchai, Hong Kong pada malam hari ramai dengan restoran yang menawarkan berbagai cita rasa mulai dari kuliner Asia sampai Eropa. Namun yang layak diburu di sini adalah sea food-nya.

Di Marsh Road, masih di kawasan Wanchai, ada sejumlah restoran sea food yang layak dicoba, salah satunya adalah Under Bridge Spicy Crab. Tapi Anda jangan bayangkan restoran ini berada di kolong jembatan dan di pinggir sungai.

Dinamakan demikian karena restoran ini hampir bersebelahan dekat dengan sebuah fly over yang melintasi Marsh Road. Dari namanya, langsung ketahuan sajian andalannya adalah kepiting. Restoran ini tidak terlalu besar, agak sempit malah.

Mereka hanya memiliki 6 meja bundar masing-masing 8 tempat duduk. Namun restoran ini sangat ramai. Saya saat berkunjung ke restoran ini, Sabtu (11/8/2007) malam bersama rombongan, beruntung masih mendapatkan meja untuk bertujuh.

Tidak lama kemudian, orang membanjir karena sudah jam makan malam dan mereka harus mengantre di luar restoran. Karena buta bahasa Canton, kami menyerahkan sepenuhnya kepada staf Konjen RI yang mendampingi kami.

"Kalau tidak mengerti bahasanya, tunjukin saja gambarnya," ujar Konsul Konjen RI, Odhie, memberi saran.

Kepiting dan hewan laut segar sengaja mereka pajang di depan restoran. Untuk memastikan sea food mereka segar, sang pelayan dengan sengaja akan membawa kepiting mereka yang masih hidup ke hadapan konsumen untuk mendapatkan "restu".

"This is good," ujar si pelayan kepada kami lalu menuliskan sesuatu di kertas pesanan, namun ternyata dalam huruf Cina. Kami pun mengangguk dengan bingung.

Kami pun langsung disuguhi teh jasmine panas yang klop untuk mengusir dingin dan angin malam. Sambil menunggu makanan matang, pembeli disuguhi kacang goreng yang bagi saya terlalu asin. Para pelayan restoran kemudian menyuguhkan mangkuk berisi teh dan potongan jeruk limau. Tapi, teh ini bukan untuk diminum, tapi hanya untuk cuci tangan.

Kami memesan tahu goreng, sayur chinesse chives atau sejenis kucai, clams with chili and black bean sause atau kerang dengan saus kacang hitam dan cabe, lidah bebek goreng tepung, dan tentu saja makanan spesial Under Bridge Spice Crab.

Rasa kerangnya sungguh menyatu dengan saus kacang hitam dan cabe yang ternyata tidak pedas. Tumis chives-nya mirip-miriplah dengan tumis buncis atau kacang panjang kita. Nah, lidah bebek goreng tepung barulah seru, sedikit kenyal seperti ampela, namun ada tulang lunaknya yang bisa dimakan. Lidah bebek ini disajikan dengan saus tiram. Hmmm lezat....!

Akhirnya kami menyantap makanan utama, kepiting yang digoreng dengan minyak panas bersama daun bawang yang menambah keharuman. Tidak hanya itu, kepiting ini ditaburi keremes yang berasal dari sejumlah bumbu antara lain bawang putih, ketumbar dan cabe. Kami menyantapnya dengan nasi atau bubur. Keremes ini pun sangat lezat ditaburi di atasnya.

"Keremesnya yang bikin enak," ujar Oddhie. Tanpa kata-kata lagi, saya menyetujuinya. Maknyuuuussss!

Wednesday, September 19, 2007

Hongkong: Menjajal Taksi Bengal

Lolos dari badai, kita diantar ke guest house. Apartemen yang disewa per kamar. Malamnya lapar, baru diajak jalan keluar.

Taksi menjadi salah satu pilihan transportasi jika ingin praktis berkendaraan di Hong Kong. Namun, tidak disangka, sopir di sana bisa bengal juga.

Saya berkesempatan menjajal taksi Hong Kong ini saat hendak menuju daerah Wanchai, untuk mencari restoran sea food, Sabtu (11/8/2007). Dengan didampingi dua staf Konjen RI dan tiga wartawan lain dari Indonesia, saya memakai dua taksi.

Taksi di Hong Kong dibedakan berdasarkan warna. Di pulau Hong Kong, seluruh taksi berwarna merah dengan tarif tutup pintu HK$ 15. Di daerah Teritori Baru (New Territories), taksinya berwarna hijau dengan tarif tutup pintu HK$ 12,5. Tarif taksi paling miring ada di Pulau Lantau dengan taksi birunya yang dibandrol HK$ 12.

Taksi yang kali ini kami gunakan adalah taksi merah. Para sopirnya tidak berseragam khusus, namun mereka memajang ID Card di dashboard mobil seperti taksi Indonesia. Sabuk pengaman wajib dikenakan dan ada denda HK$ 5.000 untuk mereka yang nekat merokok di dalam taksi.

Mereka senang memutar radio lokal untuk mengusir bosan. Bagian tempat duduk penumpang penuh dengan berbagai penjelasan menumpang taksi dalam bahasa Canton dan Inggris.

Nah, komunikasi yang agak bermasalah. Tidak semua sopir taksi Hong Kong pandai cas cis cus bahasa Inggris. Contohnya sopir kami, Lui Chun Sai. Pria paruh baya ini hanya memahami intruksi arah "Marsh Road!" dari staf Konjen.

Kami tiba di daerah Wanchai, namun jalan yang dimaksud belum ditemukan. Jadi kami berusaha meminta petunjuk dengan staf konjen yang sudah tiba lebih dulu untuk memesan tempat. Walhasil kami berputar-putar di blok yang sama, dan bahasa Inggris sudah sulit untuk digunakan untuk memandu si sopir.

Terlebih lagi cara dia membawa mobilnya melompat-lompat dan sering mengerem mendadak, atau berbelok tanpa mengurangi kecepatan. Dia pun berdebat dengan kami ke mana hendak berbelok di sebuah perempatan dengan bahasa Canton, dan kami menimpali dengan bahasa Inggris.

Akhirnya tiba juga kami di Marsh Road. Argo menunjukan angka HK$ 26. Komentar kami, "Kasar banget." Namun ternyata pengalaman teman kami lebih parah. Sopir taksi mereka yang mengikuti taksi kami, malah marah-marah karena berputar-putar. Bahkan saat tiba di tujuan, dia meminta uang dan lalu mengusir penumpangnya keluar. "Now you get out!" ujar teman saya menirukan marahnya si sopir.

Hongkong: Turbulence

Gue berangkat ke Hongkong, Sabtu 11 Agustus subuh pake Garuda. Di Airport kenalan ama wartawan Republika Mas Priyanto yang juga satu misi ama gue.

Kita diundang Konjen RI untuk Hongkong Ferry Adamhar, mantan Dirjen Perlindungan WNI. Langganan wawancara kalo ada TKI mati, disiksa, dll. Dia diangkat jadi Konjen, jadi dia ngundang Detikcom, Republika ama RCTI eklusif buat lihat kehidupan TKW Hongkong.

Perjalanan 4 jam awalnya lancar dan asyik-asyik aja. Gue dapet tempat duduk window pula, walaupun pas di sayap. Sampai sekitar 30 menit ETA (estimated time of arrival) alias setengah jam sebelum mendarat, pilotnya bilang. "We will have big rain ahead in 10 minutes".

Pemandangan cerah tiba-tiba jadi awan gelap. Kaca jendela gue diterpa hujan dalam kecepatan tinggi. I saw nothing but dark cloud. Busyet ini bukan hujan, badai kali..... Lalu tiba-tiba nyesss, pesawat anjlok beberapa meter ke bawah.

Rasanya 'nikmat', kaya naik Halilintar Dufan. Penumpang jejeritan "Aaaaaargh!" Sekali, dua kali tiga kali anjlok. Nyawa gue kerasa ketinggalan di atas awan. Gue babacaan, istighfar, soalnya sayap pesawat udah menggelepar. Gue kan taunya pesawat terbang dalam badai di film doang.

Pesawat turun terus, tapi nggak keliatan apa-apa di jendela. Mana Hongkongnya? Baru sekitar 100 meter dari tanah baru keliatan laut hijau dan kota Hongkong. "All crew prepare to landing," kata pilot. Ya ampun, laut semua... Landing di Hongkong?? (Tapi emang mau landing di Hongkong hehe).

Tiba-tiba ada landasan dari mana gitu, terus pesawatnya landing.... Selamet..Selamet... Ternyata model bandaranya kayak Ngurah Rai, yang menjorok ke laut. Pas turun dari pesawat gue lihat awan tebel banget dan masih hujan.

Orang Konjen yang jemput kita bilang, "Kemarin barusan ada Topan Pabuk, udah warning banget. Untung nggak terbang kemarin,". Gue pun mengucap syukur. Alhamdulillah.............

BTW ini foto satelit Topan Pabuk di atas Hongkong......

Hongkong: Prolog

"Fay, sini Fay!" kata Wapemred gue Mas Asydhad suatu hari menjelang 17 Agustus.
"Siap tugas liputan nggak?"
"Siap Mas," (secara gue juga jenuh suasana Jakarta)
"Tapi lama nih... Seminggu,"
"Siap aja Mas. Kemana?"
"Hongkong....."

Kalau difilm adegannya setelah ini langsung view Hongkong pake latar musik film-film action tahun 80-an model The A Team, hehehe.
Misi: meliput kehidupan buruh migran Hongkong dan potret keseharian orang Hongkong sebanyak-banyaknya.

Gue pun melupakan persiapan meliput 17 Agustus di Istana Negara. Rencana sudah berubah total. Ini tulisan pertama dari rangkaian tulisan soal Hongkong. Semua dipajang di Detikcom pada 13-20 Agustus 2007.

Liputannya sih dari 11-17 Agustus 2007. Yang gue kasih disini tulisan mentah versi gue dan sejumlah tulisan serta foto yang tidak ada di Detikcom. 100 persen full version.

Enjoy......

Monday, September 10, 2007

Maaf.......

Kok lama banget nggak nulis lagi?
Iya nih, maaf. Ritme liputan di Istana Negara mengagetkan. Jadi susah curi-curi waktu. Gue juga udah nggak masuk tim penulis malam. Nambah susah lagi deh cari-cari waktu.

Maaf semua.....

Wednesday, March 21, 2007

Still Sleeping Jakarta

Motorku meraung 90 km/jam membelah Sudirman. Jam tangan saat itu menunjuk ke angka lima.

Ufuk merah bahkan belum muncul di langit Jakarta yang masih gelap. Tapi aku sungguh dikejar waktu secepatnya tiba di Istana Negara. Bisa gawat, kalau ketinggalan rombongan wartawan untuk acara SBY di Subang.

Baru kali ini pergi kerja bahkan sebelum shubuh. Jam belum menunjuk angka 4 waktu aku meninggalkan rumahdi Parung. Dalam hati, aku memecahkan rekor kecepatan menuju Istana Negara.

Cuma ada badan ini, dan motorku di jalanan. Aku cuma lihat petugas dinas pertamanan yang menyapu aspal. Jam 5 shubuh! Menyapu jalan dari sampah yang kita buang.

Di puncak kesunyian aku hentikan motorku. Posisinya di Bundaran HI. Masih ada waktu, pikirku saat melirik arloji. Kuambil Creative Divicam 525D dari tas. Jepret, kuabadikan sunyinya landmark Ibukota dengan kamera ber-zoom mentok ini.

Nyaris tidak ada siapa-siapa. Kecuali sekelompok pekerja bangunan Grand Indonesia bermain air kolam, di titik yang menjadi saksi bisu hiruk pikuk manusia di siang hari. Aku nyaris tidak percaya, Jakarta bisa tertidur......

Monday, March 12, 2007

U R What U Read

Ada pepatah bilang "you are what you read". Apa yang kita baca membentuk karakter kita.

Hari ini gue jadi wartawan, terus gue mikir gue dulu baca apa? Ya ampun.... Buku yang pertama diperkenalkan ibu gue tuh ternyata Tintin, itu waktu gue masih balita. Dan gue nggak pernah menyangka, 20 tahun kemudian gue jadi wartawan kaya Tintin.

Ibu gue dulu ikut pertukaran pelajar mahasiswa Sastra UI ke Perancis. Gue belum lahir lah. Yang jelas, ibu gue demen banget ama Tintin.

Pas Tintin keluar edisi Indonesianya, ibu gue beli, gue ngga tahu kapan. Yang jelas waktu gue belum bisa baca, masuk TK pun belum, gue dibacain komik Tintin sebelum tidur siang. Gue kagak pernah diceritain Si Kancil, gue tahu dongeng itu malah dari nenek gue.

Gue cuma mengerti gambarnya, ibu gue yang bercerita. Setelah gue pikir-pikir, dari Tintin gue belajar membedakan tanda seru ama tanda tanya. Gue juga diajarin moralitas dari komik Tintin.

"Faya, tahu nggak kenapa Tintin selamet terus? Karena dia sering menolong orang," gitu kata ibu gue.

Pas gue bisa baca setelah SD, ibu gue beli lebih banyak komik Tintin. Gue sih ngaku terinspirasi bertualang dari si jambul ini, makanya gue ikut pecinta alam waktu masuk SMA. Demikian seterusnya sampai hari ini gue jadi wartawan dan menikmati setiap petualangan mencari berita.

Gue baru ngeh pas kemarin-kemarin, dan gue tanya Desti apa gue jadi wartawan karena dulu baca komik Tintin?
"Bisa jadi....." kata Desti sambil menaikan alisnya.

Friday, March 9, 2007

Onizuka Sensei

Pada suka dorama Jepang? Udah pada nonton Great Teacher Onizuka, anime atau dorama-nya?
Daripada dorama cinta gitu, gue lebih seneng yang ini sih. Gue nonton waktu masih kuliah dulu, yang versi doramanya.

Buat yang belum tahu, ini drama tentang mantan ketua geng motor yang punya cita-cita luhur jadi guru seriously. Jadilah Eikichi Onizuka guru wali kelas yang seluruh muridnya bermasalah dari preman sampai yang depresi. In the end (spoiler allert!) dia berhasil merangkul murid-muridnya dan mencuri hati Azusa Fuyutsuki, gebetannya sesama guru. Serial lucu tapi tetap romantis.

Dorama ini sebenernya menggambarkan bingungnya remaja mencari jati diri, tapi guru-guru tidak pernah menempatkan dirinya sebagai teman di saat kritis ini. Guru cuma bilang kamu adalah winner kalau bukan loser, untuk jadi winner kamu harus belajar keras. Tahu kan stress-nya anak-anak sekolah Jepang...

Konsep winner dan loser dikritik film ini karena mematikan potensi sesungguhnya dari seorang murid. Iya juga sih, Indonesia juga ngga beda jauh. Otak kiri yang berurusan dengan logika diforsir sedangkan otak kanan yang berurusan dengan kreativitas tidak disentuh. Anak yang otak kanannya bagus dan pandai melukis atau bernyanyi tetap dianggap bodoh karena matematikanya dapat 5.

Onizuka sensei yang slengean menempatkan dirinya sebagai teman yang sejajar tanpa kehilangan respek. Sementara guru lain menuntut respek dan memposisikan diri mereka terlalu di langit. Gue jadi inget Pak Taufik, guru tata negara gue waktu SMU. Dia juga menempatkan diri dia sebagai teman dan jadi populer banget. Nggak ada yang kabur, kalau dia ngajar.

Jangankan Jepang, negara ini juga perlu lebih banyak Onizuka......

BTW, beli juga DVD Detective Conan The Movie yang versi orang bukan kartun. Judulnya Challenge Letter to Shinichi Kodou. Ini edisi peringatan 10 tahun komiknya. Ceritanya adalah kasus terakhir Kudou sebelum dipaksa telan pil yang bikin dia jadi anak kecil. Jadi kaya prequel gitu ke komiknya. Halah, jadi promosi gini gue...........

Kembali ke Laptop !

Maaf, ini bukan soal Tukul Arwana.

Beberapa hari lalu, gue jemput Desti ke FE UI. Kebetulan gue bisa pulang cepet karena acara di Istana sudah habis. Gue sampai di sana selepas Magrib.

Gue menyusuri koridor kampus menuju gedung Departemen Akuntansi. Yang gue lihat mahasiswa-mahasiswa duduk berjejer di lantai, masing-masing membuka laptop dan asyik dengan tugas-tugas kuliahnya.

Pemandangan yang belum ada waktu gue kuliah di UI 2000-2004. Laptop sekarang murah atau mahasiswa UI sekarang tajir-tajir ya? Semoga jawabannya yang pertama.

Jawaban kedua adalah kekhawatiran gue dan temen-temen angkatan, waktu Rektor memutuskan menaikan SPP secara drastis tahun 1999. Kritik kita adalah akan adanya seleksi alam di UI, cuma mahasiswa kaya aja yang bisa kuliah di sini. Semoga ini tidak terbukti.

BTW, Rektor juga membabat sebagian hutan untuk dibuat parkir mobil, karena mungkin makin banyak mahasiswa UI yang bawa mobil. Gue hanya menghela nafas panjang mengenang pergi ke kampus jalan kaki dengan temen-temen kontrakan gue..........

Wednesday, March 7, 2007

Jauhnya...........

"Rumah loe dimana, Fay?"
"Parung,"
"Jauh bener......."

Paling sering deh temen-temen wartawan ngomong gitu kalau nanya rumah gue. Gue, Desti dan Zahra emang tinggal di rumah mungil di Cluster Griya Ganesha, Telaga Kahuripan, Parung-BOGOR.

Kalau dirasa-rasa memang jauh sih rumah gue. Dengan patokan Monas yang jadi titik utama liputan gue (Istana, Deplu, Depag, Depdagri), itu jaraknya pas 50 km dari aspal depan rumah gue sampai parkiran Depdagri.

Kalau pake kendaraan umum bisa 3 jam, tapi kalau pake motor 2 jam perjalanan. Perjuangannya lumayan lah kalau berangkat kerja. Gue harus melewati 4 kota di 3 provinsi. Kebayang nggak...?

Dari Parung (Kabupaten Bogor) gue lempeng sampai Sawangan (Depok) - JAWA BARAT. Terus lempeng lagi masuk Ciputat (Tanggerang) - BANTEN. Terus lempeng lagi masuk Lebak Bulus (Jakarta). Emang sih jalannya lurus aja gitu, kagak ada belok-belok sampai arteri.

Gue emang sangat terbantu dengan motor Shogun biru dari kantor gue. Motor peninggalan Atqa, anak Detik yang kuliah ke Malaysia, ini cukup handal buat gue bawa bolak-balik Bogor-Jakarta. Dua jam perjalanan ke kawasan Monas bisa gue tempuh karena menghapal banyak jalan tikus.

Tapi gue emang nggak mau cari rumah di Bekasi atau Tanggerang. Harus Depok atau Bogor, karena Desti kerja di FE UI. Mending gue yang jauh daripada Desti. Meskipun jauh, gue harus bersyukur untuk banyak hal.

Pertama, hawanya fresh banget. O2 sudah jadi barang langka di Koja, Jakarta Utara. Kedua, bebas banjir. Ketiga, airnya PDAM dan air yang sama yang dikirim ke Cendana (ini kata orang PDAM-nya, pantes adem). Keempat, kompleks gue ada danaunya, minggu pagi gue bisa ajak Zahra jalan-jalan dan dia bisa belajar jalan sepuasnya sambil lihat pemandangan.

Kelima, sejumlah barang kebutuhan harganya murah, beli aja langsung dari kampung. Keenam, gue nggak sendirian, tetangga gue Sukmo Radio Trijaya. Wapemred detikcom, Mas Asydhad satu kompleks ama gue walaupun beda cluster. Sepupu gue juga tinggal depan rumah gue. Ketujuh, harga rumahnya lebih murah daripada Depok. Masih banyak lagi deh yang lain.

Rumah gue emang jauh, tapi gue kerasan. Gue cuma minta Allah mendaratkan kami di tempat yang baik. Di Parunglah kini kami berada, dan gue yakin itu tempat yang Allah tetapkan untuk doa kami.

Friday, March 2, 2007

Watch Out Mr President!




Nge-pos di Istana Negara meletakan gue di pusat pemerintahan republik ini. Tempat dengan pemeriksaan keamanan dua lapis, tiga lapis kalau ada tamu negara. No jeans, shirt, and sandals area. Gue sempat berpikir tempat ini bener-bener aman. Apa iya?

Tapi pas hari Jumat 2/3/07 gue bengong di depan Kantor Presiden karena SBY tidak ada kegiatan khusus. Gue jadi mikir, amankah Presiden? Istana menurut gue terlalu banyak ruang terbuka.

Misi assasination lewat penyusupan sepertinya sulit. Tapi, kalau SBY di-sniper musuh negara ini, kata gue sih bisa aja. Salahkan Pemda DKI Jakarta dalam mengatur tata ruang. Ada dua gedung yang menjulang secara mencolok dan terlihat jelas dari tengah kawasan Istana. Gedung itu adalah Apartemen Istana Harmoni dan Bank BTN. Dari gedung ini sniper bisa melihat ke tengah Istana.

Kalau SBY pergi dari Istana Negara ke Kantor Presiden yang jaraknya sekitar 100 meter, jalan kaki atau naik mobil golf, pasti kelihatan dari dua gedung ini. Soalnya itu tempat terbuka yang tengahnya taman seluas lapangan bola.

Nembak dari Bank BTN agak susah, tapi kalau dari Apartemen Istana Harmoni lebih gampang. Tinggal sewa satu di antara ratusan apartemen di bangunan itu yang mayoritas memang punya balkon yang menghadap istana.

Pas gue lihat di peta, jaraknya ternyata cuma 600 meter dari daerah terbuka itu. Tepatnya 5 cm dalam skala 1:12.000.

Gue buka-buka Wikipedia, ternyata jarak 600 meter bisa dijangkau dengan senapan sniper. Pelurunya cukup dengan kaliber 7,62x51 mm standar NATO atau lebih dikenal dengan nama kaliber .308 Winchester. Jarak jangkauan pelurunya 800-1.000 m. Cukuplah buat sasaran berjarak 600 meter.

Pilihan senjatanya, ternyata....lumayan banyak. Eksekutor bisa memilih FRF2, M24, M40A1, M40A3, atau M25. Eksekutornya tinggal bikin kopi panas, gelar karpet tebel di teras balkonnya, berbaring, pasang snipernya. Dengan bantuan alat sadap atau info dari agen yang masuk ke Istana, dia dapat jadwal kapan SBY keluar dari Istana Negara ke Kantor Presiden.

Dor!

Tapi setelah gue pikir-pikir lagi, negara mana yang perlu membunuh pemimpin republik ini? Gue mungkin kebanyakan nonton film-film dari novelnya Tom Clancy ; )

Soal foto: paling atas itu M40A1 terus bawahnya FRF2, dan terakhir M24

Tuesday, February 27, 2007

Sweet Child of Mine

Ini foto waktu Zahra ultah 6 Februari kemarin. Dia seneng narik gantungan koin Cina kalau lagi digendong gue. Fotonya diambil Teh Fanny. Oh iya, ini baju princess yang Desti beliin buat dia di ITC Depok, cantik banget.

Gue yang baru setahun belajar jadi ayah masih sering amaze dengan malaikat kecil ini. Ada gitu, manusia kecil yang mukanya mirip gue.

Semua orang juga bilang gitu. Mirip gue kecuali bibirnya dari Desti. Alis tebel, muka bulat, pipi tembem, mata belo, jari panjang, termasuk mimik muka manyunnya yang nggak pernah gue ajarin tapi menurun secara genetis. Sumpah mirip banget ama gue waktu kecil yang difoto ibu gue.

Desti suka manggil dia Fitraya Kecil, gue lebih suka nyebut Mini Me.

Amazing menyaksikan dia tumbuh setiap hari. Berguling, merangkak, berdiri dan sekarang berjalan. Gue berdoa semoga Allah selalu memberikan gue waktu untuk melihat Zahra tumbuh.

Weekend sempurna adalah hari di mana gue dan Desti sepenuhnya milik Zahra. Terserah dia mau minta apa. Jalan-jalan di Danau Cilala, Telaga Kahuripan atau makan di Pizza Hut walau dia baru bisa makan garlic bread doang.

Ah....... tidak ada habisnya mengagumi nikmat Allah yang ini....

Duh Levina!

Gue baru selesai belanja bulanan bareng Desti dan Zahra saat kami terjebak hujan di McDonald Plaza Bogor Indah. Kami duduk di teras McD sambil makan kentang goreng dan di sebelah kita ada stand elektronik.

TV-nya masang breaking news Metro TV, KM Levina I tenggelam wartawan jadi korban. Gue kaget tapi belum mudeng. Hujan berhenti, kita pulang dan di rumah gue tonton berita sore. Wartawan Lativi meninggal, 3 hilang, beberapa luka.

Gue spontan sms Melly yang piket di kantor. Anak Detik ada yang celaka? Alhamdulillah nggak ada. Nala yang semestinya naek ke kapal ternyata salah informasi dan menunggu di tempat yang salah. Tempat yang justru menyelamatkan dia.

Besok paginya, Hatta Radjasa dan Wakapolri Komjen Pol Makbul Padmanegara menyalahkan wartawan. Kenapa naik ke kapal yang sudah diberi police line? Perdebatannya berlanjut dengan siapa yang mempersilakan wartawan naik ke kapal.

Pak, ada hal-hal yang mungkin sulit dipahami orang lain. Kami selalu berupaya menyajikan berita terbaik, gambar terbaik, suara terbaik, tulisan terbaik. Kami akan mencari informasi itu dengan mempertahankan kualitas terbaik. Walau itu artinya meloncat naik ke KM Levina I yang tenggelam dalam 3 menit.

Ada kepuasan tersendiri Pak, bagi kami. Sepuas tegukan air pertama di hari yang panas. Kepuasan yang bernama "memanfaatkan kesempatan dengan baik". Tidak fair jika kesalahan ditimpakan kepada wartawan, karena pada akhirnya kita ingin memberikan informasi terbaik bagi masyarakat.

Kami memang sering menerabas police line dan masuk ke TKP bermodalkan kartu pers. Tapi bukan artinya kami tidak bisa dilarang. Kami masih tahu aturan.

Levina menyadarkan gue, bahwa profesi ini memiliki resiko kematian. Teman-teman juga mungkin lupa memikirkan pelampung yang tidak dipakai.

Sambil menonton berita itu, gue peluk Desti erat-erat, sementara Zahra tidur-tiduran di pangkuan gue. Gue bersyukur tidak berada di kapal itu. Dalam hati gue tegaskan diri gue sendiri untuk totally aware and be careful.

"Jangan polos-polos pisan ya, Pah," pinta Desti yang kujawab dengan anggukan dalam.

Kuberikan penghormatan tertinggi gue buat Suherman dari Lativi, selamat jalan dan semoga Guntur dari SCTV diberikan keselamatan. Buat semua teman-teman di atas kapal Levina, kalian mendapatkan teguk air itu.

UPDATE: Guntur akhirnya ditemukan meninggal dunia dalam pencarian keesokan harinya.

Saturday, February 17, 2007

Death

Meliput berita kematian itu gampang-gampang susah. Menyelami profesi jurnalis, pasti kita pernah mencicipi yang namanya kasus (baca: liputan) orang mati dibunuh, bunuh diri, mati sebab alami dll.

Waktu gue pertama jadi wartawan, belum kebayang gimana rasanya meliput mayat. Mual nggak ya gue lihat korban pembunuhan? But in fact, ketika akhirnya berhadapan langsung, nggak sempat berpikir untuk mual dsb.

Caranya, gue selalu langsung berkonsentrasi menyiapkan beritanya, karena kecepatan laporan setiap detiknya berarti. Seseram apapun situasinya jadi lupa sendiri, ..... berceceran, ..... bengkak mati tenggelam, ..... pecah, atau ..... terburai . (Cukup segini aja ya detilnya).

My biggest story ever sampai saat ini adalah kasus jatuhnya Mandala Air di Medan, 5 September 2005. Gue yang lagi liput demo di Kedubes AS, langsung bergeser ke Dephub untuk jumpa pers. Ujungnya, Menhub Hatta Radjasa menyediakan 10 kursi untuk wartawan. Gue sign in, nggak masalah siapa yang berangkat, detikcom harus ikut.

Akhirnya emang gue yang dikirim dengan baju yang cuma nempel di badan, dan duit 300 rb dari atm bandara. Gue berangkat bareng keluarga korban dengan Boeing 737-200, model pesawat yang sama dengan yang kecelakaan. Gue berdoa dalam-dalam dan selamat sampai Medan malam hari.

Kamar jenazah RS Adam Malik sebenarnya hanya sedikit lebih kecil dari RSCM, tapi 100 lebih jenazah ditaruh di situ. Nggak muat pastinya. Pihak rumah sakit pasang tenda besar, 100-an jenazah yang kebanyakan hangus dalam posisi duduk, dijejer rapi dan diberi nomer.

Bau? jelas bau hangus. Jijik? nggak sama sekali. Gue malah kasihan ama keluarga korban yang udah histeris. Gue cuma minta masker ama tim forensik, dan mulai berburu ratusan calon berita di hadapan gue. Malam pertama situasi sangat kacau, plus hujan. Gue masih ingat injak jaringan kulit entah siapa yang terjatuh di lantai. Gue cuma minta maaf dalam hati.

Yang nyebelin, pusat data ditaruh paling ujung dari kamar jenazah. Untuk memeriksa update korban teridentifikasi, kita harus lewat selasar kamar jenazah, dua ruang otopsi dan baru posko data. Hiruk pikuk dan bau menyengat bikin pusing.

Menjelang hari ketiga atau 7 September 2005, situasi lebih buruk lagi. Keluarga mulai stress dan frustasi. Gue lihat ratusan kisah manusia ditentukan di situ. Tentara tegap yang jatuh berlutut dengan menggenggam cincin tunangannya. Dua keluarga yang berantem berebut satu mayat. Ada yang kesurupan arwah korban dan menunjukan sendiri yang mana mayatnya. Berdoa dalam lingkaran meminta Tuhan memberi petunjuk yang mana mayat kerabat mereka, atau bakar dupa, atau baca Yassin.

Pada 7 September jam 12.00 WIB jadi batas terakhir diidentifikasi. Kondisi jenazah sudah tidak bisa diotopsi lagi karena mulai membusuk. Itupun sudah ditahan dengan balok es. 33 jenazah yang gagal diidentifikasi dimakamkan massal. Gue mengakhiri liputan di Medan dengan nyewa hotel berbintang, mandi air panas, dan jalan-jalan ke Kesawan Square. Masih ada kehidupan di Medan.....

Susahnya liputan kematian adalah: Elo ditelpon kantor, segera meluncur ke kamar jenazah RSCM, ada kasus. Begitu sampai di sana, elo harus mikir, yang mana dari sekian banyak orang berwajah sedih adalah keluarga korban?

Nggak mungkin elo naik ke kursi terus teriak: Keluarga Mr/Mrs X yang mana? Informasi didapat dengan bertanya pelan-pelan atau berbagi info dengan wartawan lain. Kalau dapat, Kemudian wawancara keluarga korban.

Ada pantangan bagi gue untuk satu pertanyaan yang suka diajukan wartawan lain (belajar dari pengalaman kasus Mandala). Wartawan kadang suka refleks nanya: Apakah anda sedih ditinggal almarhum?

Please deh. Nara sumber anda sudah berurai air mata, teriak histeris, syok, dan anda masih tanya apa dia sedih?

Pertanyaan kedua masih OK: Apa sebelumnya anda mendapat firasat? (Indonesia banget). Pertanyaan ini suka mendapat jawaban tidak terduga, dan lagi pula pembaca suka dengan kabar gaib-gaib dari firasat apaan gitu. So, yang ini masih gue tanya asalkan semua pertanyaan penting gue udah dijawab.

Tapi meliput berita kematian hati-hati juga, jangan sampai kayak temen gue anak radio (nama dan media tidak disebutkan) :

Ketua DPD II Golkar dari Donggala, Adham Ardjad meninggal di Hotel Mulia, usai Rakernas, November 2006. Temen gue segera meluncur ke kamar jenazah RSCM. Di selasar utama, sesosok mayat sudah ditempatkan di keranda dan bungkus kain putih. Seorang pemuda khusuk mengaji Yassin sambil menangis. Hanya ada mereka di selasar utama itu.

"Pak, bisa wawancara sebentar," tanya temen gue pelan-pelan.
"Bi bi bisa..," ujar pemuda itu menutup buku Yassin-nya.
"Bapak apanya almarhum?" lanjut temen gue.
"Putranya..." matanya berkaca-kaca.
"Bapak sakit, Pak?"
"Iya.. bapak sakit...," pemuda itu mulai menangis lagi.
"Keluarga belum kesini, Pak?"
"Masih di jalan.....," dia menangis dengan sesenggukan
"Kalau dari Partai Golkar udah melayat, Pak?"
"Partai Golkar?" pemuda ini heran dan tangisnya berhenti
"Iya, Pak Jusuf Kalla kan mau melayat...," temen gue jadi hopeless
"Oh..., yang orang Golkar bukan yang ini mayatnya, di ruang sebelah," pemuda itu hilang ekspresi.
"Bilang kek dari tadi!" gerutu temen gue, dalam hati tentunya.

Dia ke ruang sebelah dan ketemu gue yang baru laporan kalau Jusuf Kalla barusan melayat jenazah.
"Telat loe Bos,"
"Elo nggak tahu aja Fay.." cetus temen gue manyun.

Friday, February 16, 2007

Belantara Jakarta

Bete abis kalo pulang liputan kena macet. Gue pun menghapal semua jalan tikus yang gue butuhkan untuk bisa pulang dari seputaran Monas menuju Parung.

Tapi ada dua jalan tikus yang gue belum tahu. Bagaimana caranya dari Dukuh Atas bisa ke Atmajaya tanpa lewat Sudirman, kedua bagaimana caranya dari Setiabudi bisa ke Mampang tanpa lewat Kuningan. Akhirnya kemarin ama hari ini dua-duanya gue jajal.

Kemarin balik dari liputan di Istana, kena hujan padahal jarum jam udah ke angka 20.00 WIB. Jam segini, Thamrin-Sudirman macet lagi. Bis-bis jalan lebih pelan dan sabar cari penumpang, maklum, putaran terakhir soalnya. Akibatnya baru lewat Dukuh Atas udah macet sampe Semanggi.

Gue pun memutuskan cari jalan tikus, gue belokin Shogun biru gue ke jalan yang tembus ke Hotel Four Seasons. Terus gue ambil jalan tikus yang kira-kira masuk ke belakang Setiabudi. Gue di tengah pemukiman padat dan nggak tahu mesti kemana.

Yang gue cari adalah gedung pencakar langit manapun yang keliatan mata gue. Gue liat JW Marriot artinya gue terlalu deket ke Casablanca, gue belok kanan. Gue liat HSBC gue pilih lurus. Nekat aja, kalo nyasar tidak akan lebih lama dari terjebak macetnya.

Gue akhirnya keluar di Jl Dr Satrio, gue masuk lagi ke belakang Danamon Square dan keluar sebelum Atmajaya. Sukses!

Hari ini pun gue coba lagi. Kuningan macet ampun-ampunan. Pas sampe Casablanca, gue belok kiri dan cari jalan masuk dari kuburan Kober ke Menteng Dalam. Acuan gue lagi-lagi tower. Gue tembus ke Patra Kuningan dengan patokan Gran Melia. Sukses lagi keluar di samping Gran Melia

Sambil meninggalkan kemacetan di belakang gue, gue cuma mikir apa bedanya ini dengan mountaineering waktu gue masih jadi pecinta alam di SMU. Cari jejak jalan juga patokannya menghapal bukit di sekitar kita selain peta ama kompas. Bukit yang bentuknya begini dibelakangnya ada sungai, bukit yang begitu di belakangnya ada desa, dst.

Bedanya, belukarnya sekarang aspal, pohonnya sekarang tiang beton, dan gunungnya sekarang pencakar langit. Dalam hela napas, gue tidak habis berpikir sudah jadi apa Jakarta hari ini.........

Tuesday, February 13, 2007

Inspiration 1

Ada beberapa orang yang inspiring hidup gue, dan itu bisa siapa aja. Tapi kisah hidup dia keren banget.

Mang Kohar itu tukang becak. Waktu gue sekolah di SD Cendrawasih I Cirebon dekade 80-an, dia tukang becak langganan anak-anak. Sistemnya sebenarnya jemputan. Tuyul-tuyul kecil anak SD ini berjejalan di becak dia, terus dia anter pulang satu-satu. Orang tua kita akan bayar dia bulanan. Namanya juga becak buat keroyokan, dari tempat duduk, sandaran tangan ampe lantai becak diisi bocah-bocah.

Tapi dia nggak pernah mengeluh. Mang Kohar tipikal orang kecil yang nggak ngerti represifnya rezim Soeharto atau cengkraman multi national coorporation pasca oil boom. Rumah dia pun sangat sederhana. Buat dia yang penting dia memberi senyum buat anak-anak nakal yang naik di becaknya.

Gue pernah bikin dosa ama dia. Karena becaknya penuh (8 anak SD bisa muat di becaknya, sumpah), gue minta duduk dibonceng. Yoi, gue duduk di belakang tukang becaknya. Baru jalan 50 meter gue meringis, kaki gue masuk jeruji becak. Wadaw, darahnya kemana-mana, Mang Kohar panik bukan kepalang. Gue pun sukses dilarikan ke rumah sakit dan meninggalkan luka jahit di belakang mata kaki kiri gue.

Gue lulus SD and times goes by, tahu-tahu gue denger Mang Kohar naik haji. Gue dalam hati cuma bilang, subhanallah, tukang becak bisa naik haji. Wajarlah, dia pekerja keras, gue pikir dia rajin nabung jadi bisa naik haji.

Belasan tahun gue ngga ketemu dia, sampai Ramadhan 2004. Gue mau nikah ama Desti, dan gue pengen banget undang dia. Gue dateng ke rumahnya.

Dalam ruang tamu yang sangat sederhana ada karpet bergambar Ka'bah, oleh-oleh haji yang dulu, begitu gue pikir. Mang Kohar pun masuk ke ruang tamu. Senyumnya masih sama, namun tubuh kurus itu makin renta.

Dari cuma ngasih undangan, obrolan pun akhirnya jadi bermenit-menit. Gue minta dia cerita soal naik hajinya. Dan ternyata dia naik haji bukan karena menabung.

"Alhamdulillah, ada yang bayarin Mang Kohar naik haji, Fay," ujarnya menangis. "Alhamdulillah," lanjutnya kembali tersenyum.

Gue ikut bersyukur Allah memberinya nikmat yang luar biasa. "Mang Kohar mana kebayang naik haji, Mang kan cuma tukang becak," kata dia.

Beberapa belas menit lagi obrolan berlalu, dan gue pamit pulang. Ini orang mungkin masih takjub dengan rencana Allah untuknya. Tapi gue pikir semua bukan keberuntungan atau kebetulan.

Kok bisa Allah mengundang dia ke Tanah Suci?
Jawabannya sederhana, dia nggak pernah berhenti bersyukur, sesulit apapun hidup dia.

Yang tidak pernah berubah dari dia adalah nyebut alhamdulillah setiap beberapa kalimat yang dia ucapkan dan senyum yang dia bagi untuk orang-orang.

"Alhamdulilah kamu mau nikah, alhamdulillah bapa ibumu sehat, alhamdulillah tetehmu kerja di Bandung, alhamdulillah Mang Kohar juga sehat, alhamdulillah kamu udah sarjana, alhamdulillah temen kamu dulu si Yayan yang bapaknya bandar kerupuk itu sekarang sudah di....alhamdulillah." Dan jutaan alhamdulillah lain yang dia ucapkan sepanjang sore itu dan sejak hari-hari lampau waktu gue jadi pelanggan becaknya.

Dan sungguh Allah akan menambah nikmat bagi mereka yang mau bersyukur... Allah mengundangnya karena dia kaya hati dalam kebersahajaan materi.

Gue belum pernah ketemu dia lagi setelah hari pernikahan gue. Tapi yang penting buat gue sekarang, gue harus bisa bersyukur dalam kondisi hidup gue yang paling sulit. Karena, Mang Kohar bisa mensyukuri lebih banyak hal daripada gue.

Syukurin Banjir....!

Bukan nyumpahin, tapi ini untuk semua orang termasuk diri gue sendiri. Capek banget deh kita diguyur hujan dan direndam banjir. Alhamdulillah rumah mungil gue di Parung aman dari genangan.

Dapat hujannya, nggak dapat banjirnya, alhamdulillah.
Tahu nggak bedanya tsunami, gunung meletus, gempa bumi dengan banjir?

Yang terakhir itu sebenarnya bukan bencana alam, tapi bencana manusia. Bencana alam adalah aktifitas bumi yang menimbulkan kerusakan (menurut manusia), namun hanya bisa diprediksi tanpa bisa dicegah.

Bencana manusia adalah bencana akibat ulah tangan kita sendiri dan sebenarnya tidak perlu terjadi. Kayak banjir itu.

Percayalah Allah menciptakan alam dengan mekanisme untuk menyeimbangkan diri sesuai sifat Allah sendiri yang Maha Adil. Karena gunung meletus, memberi alam sumber kesuburan baru dari sisa lava dan material lain.

Alam akan selalu imbang dengan catatan, kita manusia ini tidak berbuat kerusakan. Masalahnya adalah kita tenggelam dengan keserakahan dan melihat pohon, air, batu dan lain-lain sebagai alat produksi, bahan baku, dan sumber uang.

Mensos Bachtiar Chamsyah dalam sebuah wawancara (bukan gue sih yang ngeliput), dia bilang jelas aja Kelapa Gading banjir, itu kan dulu situ diurug jadi perumahan.

Persis..... Elo bayangin Kelapa Gading, Kapuk, Angke, Daan Mogot jaman Si Pitung dulu apaan. Empang, situ, rawa, muara. Buat developer, itu lahan tidur yang bisa jadi uang kalau diurug. Tapi hakikinya itu adalah mekanisme alam bumi Jakarta ini mengalirkan air untuk diserap.

Developer dengan masterplan brilian menurut mereka tapi bodoh menurut pakar ekologi bikin pemukiman besar-besaran. AMDAL mereka gue definisikan sebagai cara para insiyur menghajar babak belurkan hukum alam dan menjejalkan logika teknik dan arsitektur untuk kepentingan apalagi kalau bukan bisnis.

Give such a good name. You name it: kepala naga, buntut naga, badan naga, kumis naga dll. Orang pun berduyun-duyun datang membeli properti anda.

Uang kita bisa membeli istana, tapi kita nggak akan pernah bisa membeli hukum alam......

Planet ini tetap berjalan dengan mekanisme hidupnya, dan Angke, Daan Mogot, Kapuk, Kelapa Gading, serta daerah-daerah lain yang dari dulunya adalah tempat air berkumpul, akan tetap seperti itu.

Sampai hari ini, sampai di atas tanah tersebut ada rumah, mal, sekolah, pasar, dll. Air tetap datang menunggu diserap ke dalam tanah yang kini tertutup beton dan aspal.

Berhenti melihat ekosistem di sekitar kita sebagai alat produksi, atau obyek eksploitasi semata-mata. Kita sama-sama mahluk hidup ciptaan-Nya. Bedanya cuma satu, manusia Adam mengangkat jarinya saat Allah bertanya siapa yang mau menjadi khalifah di planet Bumi.

Khalifah dalam prinsip manajerial bertugas to organize and manage. Dua tugas yang sering tertukar dengan to search and destroy.

Saturday, February 10, 2007

Baby Punk

Zahra kalau abis mandi kan dikasih hair lotion bayi gitu. Rambutnya suka gue bikin mohawk sebelum disisir. Lucu aja gitu hehe

Biasanya kalau ibunya liat, Desti ngomel-ngomel
"Astagfirullah, Zahra diapain itu rambutnya!"

Gue juga ngga pengen malaikat kecil gue jadi anak punk, hehe. Tapi lucu banget. Zahra tuh bisa diapa-apain rambutnya. Anaknya juga fotogenik banget, sadar kamera.

So, ketika ibunya tidur siang. Zahra mandi ama si bibi, udah gitu kepalanya gue kasih hair lotion dan gue bikin mohawk. Teteh Fanny yang lagi liburan di rumah gue, ambil kamera digital. Thanks Sis.

Jepret! Jadilah foto ini. WE ROCKS! Ibunya bangun beberapa menit kemudian dan liat foto ini dah ada komputer. Dengan mata masih ngantuk, istriku tercinta cuma bilang:

"Ya ampun papa, Zahra diapain......" dan pergi ke kamar mandi.

Saturday, February 3, 2007

Ada Doa Dibalik Nama

Waktu malaikat kecil ini akan hadir antara gue dan Desti, pertanyaannya, mau dikasih apa ya namanya?

Akhirnya terpilih Zahra Rizky Ramadhanny. Nenek dan Uwa-nya (Nyokap ama Kakak gue) pengen ada nama Zahra. Biar seperti putri Rasulullah SAW: Fatimah az-Zahra.

Zahra juga artinya ceria alias cheerful, cerdas dan juga berarti wewangian. Kita ingin dia jadi anak yang periang, pintar dan memberi manfaat bagi lingkungannya.

Gue pengen ada nama Rizky. Soalnya sejak Desti positif hamil, kehidupan kami jadi jauh-jauh lebih ringan dan dimudahkan. Gue masuk ke Detik.com, Desti banyak proyek, dst.

Desti pengen ada nama Ramadhanny. Biar nerusin nama bapaknya, walaupun ngga lahir bulan Ramadhan. Jadilah nama itu: Zahra Rizky Ramadhanny.

Amazingly, she grows somehow as reflections of her name. Subhanallah, anaknya periang banget. Suka ngajakin kita ketawa dengan ketawa duluan, pasang muka manis untuk mancing kita senyum.

Alhamdulillah sabar dan tahan banting. Nggak rewel, kecuali sakit, itu pun tidak serewel anak lain. Pernah dibawa naik KRL gerah bener hawanya, dia masih bisa ketawa-ketawa sama ibunya. Anak-anak lain mah nangis jejeritan. Akhirnya dia jadi hiburan orang segerbong kereta. Gue sampai terharu......

Bener-bener jangan asalan ngasih nama ke anak kita. Kalau bisa, jangan deh kasih nama anak kita Nrimo atau Prihatini. Maaf kalau ada yang namanya ini. Tapi maksud gue give hope in her/his name. Beneran jadi doa soalnya.

So, think best for your children name. Kalau perlu shalat istikharah dulu biar mantap. Good Luck

PS: Per 2 Februari 2007 pukul 10.00 WIB, Zahra sudah bisa jalan sendiri. Horee..!

Thursday, February 1, 2007

Old Stuff Named Nationalism

Rabu kemarin, di tengah hujan deras pagi-pagi, gue meluncur liputan ke Padepokan Pencak Silat TMII. Acaranya sewindu Keluarga Besar Marhaen.

Gue udah bayangin bakal ketemu generasi oldies. Tuh kan, ngga salah. Acara ini jadi perkumpulan opa-opa dan oma-oma. Ada anak mudanya juga, tapi keliatan yang jadi orang pentingnya yang udah pada ubanan tadi. Penggembiranya tetap anggota-anggota ormas bertampang sangar tapi bajunya nasionalis.

Pembicara utamanya, wedeh.....
Prof Dr dia-yang-namanya-tidak-kuperhatikan-karena-terkesima- dengan-penampilan.

Jalannya pakai tongkat, dipapah naik panggung ke podium. Di situ......... DIA KEPALKAN TANGAN KANAN KE ATAS....

MeRrDeeKAaAaAaAaAa..............................!!!!!! Lirih bener.....
Gila bow, semangat juang 45 dalam artian sesungguhnya, means that was 61 years old!!

Acaranya selanjutnya pidato berganti-ganti soal semangat kebangsaan. Please deh.... Sampai hari ini pesan-pesan nasionalisme tarnyata masih disampaikan dengan cara klasik. Pekik merdeka dan cerita-cerita indah masa lalu.

Nggak akan nyampe sama generasi muda, berani jamin. Hari ini orang lagi ngomong borderless society dan global village, mau bicara nasionalisme bagaimana? Gue sih nggak bakalan nyalahin anak gue kalau nggak ngerti arti upacara bendera, hormat grak, teriak merdeka dan seremoni lain. Karena......percuma........

Paham kebangsaan ngga ada disitu. Nationalism itu pemikiran politik negara-negara berkembang yang lahir saat melawan kolonialisme. Ada konteks bertahan hidup secara kolektif terhadap ancaman yang datang, maka dipilihlah identitas bersama yang disebut sebagai bangsa.

Sedangkan hari ini, bangsa ini asyik berantem sendiri, suku x lawan suku y, etnis a hajar etnis b, buruh lawan kapitalis, rakyat lawan pejabat, mahasiswa lawan aparat. Identitas bersama sebagai bangsa tidak bisa dipahami. Tidak ada kebutuhan untuk berbagi identitas.

Ok Ok langsung solusi nih:
Pikir dong, kenapa orang Italia nyanyi lagu kebangsaan mereka tanpa disuruh waktu menang piala dunia 2006 kemarin? Kenapa orang Libanon pesta waktu Israel mundur dari perbatasan?

Bangga. Bangga sebagai komunitas yang bisa mengatasi sebuah ancaman yang mengancam semua anggota komunitas tersebut. Walaupun bentuknya final piala dunia ataupun perang beneran.

Apa kita punya sesuatu untuk kita banggakan bersama? Adakah kita merasakan ancaman terhadap satu hal yang sama?

Ngga ada. Padahal tanpa itu kita nggak akan merasa perlu punya sense of belonging, need to survive dan will to reach the dreams. Tanpa keperluan ini kita ngga merasa perlu menjadi bangsa. Tanpa itu pula selamat tinggal nasionalisme.

Nasionalisme adalah empty signifier, penanda kosong. Dia diberi makna baru dia bermakna. Siapa yang memberi makna, yang jelas sudah bukan generasi oldies itu. Mereka sudah melakukan tugas mereka.

Bagaimana generasi kita memberi makna ke dalam nasionalisme? Yang jelas bukan dari upacara, hormat grak dll. Usul gue dua (2), just two.

Indonesia menang piala dunia atau kita perang dengan negara lain. Serius bo. Menang piala dunia bukan main bangganya. Soal perang, jalan terakhir emang Tapi inget waktu Malaysia mau nyikat blok Ambalat, orang Madura ama orang Dayak yang biasa berantem, bisa sama-sama bawa bendera merah putih terus teriak: Ganyang Malaysia. Padahal ngga usah segitunya sih. Hari gini ganyang Malaysia..... Mending dengar mp3 Too Phat atawa Raihan

So either win the world cup or make a war, that's the way we define our nationalism. I prefer the first, because George 'War' Bush choose the second one.

Monday, January 29, 2007

Cloudy Morning: Prequel to Outback Stories

Tadi pagi gue geber motor gue kenceng-kenceng. Mood gue lagi enak padahal monday morning, cuma sedih mikirin anak ama istri gue doang lagi demam.

It was a cludy morning and chilly wind. Gue mikir matahari ngga akan bikin sepatu gue kering di rumah. Pas sampe lapangan udara Pondok Cabe, gue baru bisa lihat langit dengan bebas.

Abu-abu dan berawan sejauh mata gue menerawang dan anginnya dingin. Gue tiba-tiba jadi inget lagi Rockhampton, Australia 1998-1999. Gue pengen nulis semua memorinya di blog sebelum gue lupa. Per tema aja ah, gue dah rada lupa kalau harus detil day per day.

Semua Sakit

Buat yang belum tau, I have a little cute cheerful daughter Zahra Rizky Ramadhanny, umur nyaris satu tahun, ntar tanggal 6 Februari.

Tapi weekend ini sedih banget lihat malaikat kecil gue muyung. Zahra demam lagi, again. Awalnya dari Idul Adha kemarin di Cirebon, dia main ama sepupunya Saskia yang emang lagi pilek. Pulang dari Cirebon ikut pilek.

Dari situ rantai penyakitnya menjalar. Zahra nularin flu ke pembantu gue, Zahra sembuh. Pembantu gue balik nularin flu ke Zahra. Zahra nularin flu ke gue ama Desti in the same day, Sunday.

Dia cuma bisa nangis seharian waktu Sabtu, serba salah, hidungnya mampet. Kalau tidur berbaring kayanya kesiksa banget, akhirnya cuma mau tidur sambil gue gendong gantian ama Desti. Jadi kami tidur sambil duduk di sofa, yang penting Zahra bisa tidur lebih tegak, kepalanya dia taro di bahu kita.

Minggu kita bawa ke dokter minta antibiotik, we have already prepared the other medicines anyway tinggal tambah antibiotik. Untung sore adek ipar gue datang buat liburan semester. Fitri itu aunty favorit anak gue.

Senin pagi Zahra udah bisa ketawa2 ama aunty-nya. Alhamdulillah. Pilek gue dan Desti mendingan setelah dibawa tidur nyenyak.

Satu hal, ada perubahan iklim yang nggak kita sadarin. Waktu gue upload laporan soal Menkes Siti Fadilah Supari, dia bilang peak buat DBD yang seharusnya Januari ternyata tidak terjadi. Artinya musim penyakit juga geser. Pakar geofisika ITB juga bilang suhu Indonesia naik 0,3 derajat Celcius dan curah hujan nambah 3 persen, dua-duanya per tahun.

Damn global warming...............

Thursday, January 25, 2007

A big empty room

Hehe, ini Blog gue. Rasanya kaya.........
Punya kamar baru yang luas banget.
Mau gue isi apa ya......

Sepasang Bukan 2 Hal Yang Sama

Gue masih SMU waktu ketemu ini orang. Dia ngajarin gue sesuatu yang penting buat gue tentang memilih pasangan hidup.

Dia bilang gini:
"Fay, bagaimana kamu menyebut 2 gelas kaca yang identik? Kamu nyebutnya 2 gelas kan?". Gue manggut-manggut.

"Tapi bagaimana kamu menyebut satu sendal kiri dan satu sendal kanan? Kamu menyebutnya sepasang sendal, bener nggak?". Gue manggut-manggut lagi.

"2 gelas yang tadi tidak akan pernah disebut sepasang, Fay. Tapi sendal yang saling berkebalikan rupa ini yang disebut sepasang,". Terus kaya ada cahaya nyorot gue dari atas gitu. What a bloody wise oldman....

Istri, suami, pacar kita. Sebenarnya bukan kesamaan di antara pasangan itu yang membuat mereka bertahan. Tapi justru perbedaannya yang menyebabkan yang satu membutuhkan yang lain. Pasti ada kesamaan di antara dua manusia untuk saling tertarik, tapi perbedaan yang membuat mereka jatuh cinta.

Perbedaan apaan? Simply to say, You have what I don't. That's why I need you. Because you complete me. Pujangga bilang belahan jiwa. Orang Cina bilang Yin Yang.

Differences sometimes make the fights, deal with them. PR nya adalah mencari bagaimana perbedaan yang ada bisa mengisi kekosongan masing-masing.

Kita udah sering banget dengar atau alami sendiri, berhenti mencintai karena tidak ada kecocokan. Ingat-ingat aja sendal jepit. Sandal kiri diapa-apain ngga bakal sama ama sendal kanan, kecuali bahannya sama-sama karet. Tapi sandal kiri butuh sendal kanan buat melangkah bareng-bareng.

Ini bukan tentang perbedaan yang memisahkan satu sama lain, tapi perbedaan yang merekatkan satu sama lain.

Think big....