Sunday, February 17, 2013

Menjadi Wartawan Detektif - Part 3: Menyamar

Kalau menonton film Sherlock Holmes yang diperankan Robert Downey Jr, keren banget nggak sih pas dia menyamar jadi gembel, jadi perempuan, bahkan jadi tembok. Detektif memang identik dengan kegiatan 'undercover'.

Wartawan sih nggak segitunya. Tapi..... siapa bilang itu tidak dilakukan. Dalam kondisi tertentu, wartawan juga menyamar. Saya.... pernah menyamar beberapa kali hehehe.

Ada prinsip utamanya yang harus dipegang. Narasumber harus tahu kalau Anda wartawan. Tidak boleh seseorang diwawancarai diam-diam, lalu ucapannya muncul di media. Itu melanggar etika jurnalistik. Oleh karena itu menurut saya, menyamar tidak dalam kapasitas untuk menulis berita secara langsung.

Saat melakukan investigasi, menyamar hanya dalam kapasitas untuk mencari informasi yang akurat, kisah orang dalam, informasi A1, kisah-kisah tersembunyi, dongeng di balik layar. Hanya itu saja. Nah, nanti konfirmasi tetap dilakukan dengan wawancara sungguhan kepada pihak-pihak yang berwenang. Menjebak narasumber adalah tindakan yang tidak patut.

Pun demikian untuk saya. Menyamar hanya untuk mendapatkan pengetahuan mendalam mengenai suatu kasus atau kejadian. Tapi saya tidak pernah menulis itu menjadi berita, tanpa seizin nara sumber. Teknisnya macam-macam, bisa dengan melindungi identitas nara sumber. Atau, ada pihak-pihak yang menjamin kalau penulisan identitas ini sudah aman bagi yang bersangkutan.

Nah, kalau menyamar harus fokus ya. Jangan seperti intel polisi, terlalu memikirkan target buruan, tapi jadi nggak fokus dengan penyamarannya. Misalnya menyamar jadi tukang sayur, terus daging ayamnya ditawar sadis oleh ibu-ibu, pasrah saja. Atau, menyamar jadi tukang sapu, tapi menyapu asal-asalan.

Jangan bayangkan saya pakai kumis palsu atau jadi pohon ya, itu mah film banget. Saya pernah menyamar menjadi mahasiswa di Ujung Kulon agar bisa bertemu petani perambah yang berkonflik dengan pengelola Taman Nasional Ujung Kulong. Tapi menyamar yang paling asyik adalah yang ini:

Suatu ketika, Ariel Peterpan ditahan gara-gara video bokep-nya dengan dua artis perempuan. Pasti tahu dong kasus ini. Nah, seorang narasumber, menawarkan masuk ke tahanan Ariel di Bareskrim Mabes Polri, dengan cara menyamar. Pilihan jatuh kepada saya yang belum lama pulang dari Jerman. Pertimbangannya, sudah tidak akan ada orang yang mengenal saya di Mabes Polri.

"Benar ya, sudah nggak ada wartawan seangkatan gue yang liputan di Mabes Polri sekarang?" tanya saya.
"Bener Fay, sudah pada ganti kok anak-anaknya. Paling tinggal satu dua doang yang sezaman ama elo liputan di Mabes Polri," ujar kawan saya.

Soalnya percuma kalau saya menyusup, terus tiba-tiba ada yang memanggil, "Fay! Gimana Jerman? Kapan pulang?" Hehehehe.

Skenarionya simpel. Saya menjadi ajudan narasumber saya. Saya diberikan kemeja baru, bawa kamera, semua tas dan identitas saya ditinggalkan di kantor si nara sumber. Saya menjadi tipikal ajudan yang mengikut di belakang pejabat, bawa-bawain tas begitu. Penyamaran yang sederhana, bukan?

Tapi tetap saja.... "Fay, ngapain?" Tiba-tiba, ada suara memanggil saya di pelataran Bareskrim Mabes Polri. Rupanya teman lama wartawan juga. "Gue pindah kerja," sambar saya sebelum buru-buru masuk mengikuti 'atasan' saya.

Kami tidak mendatangi Ariel ke tahanan, melainkan Ariel yang dikeluarkan dari tahanan untuk menjumpai kami di sebuah ruangan. Jreng.... jreng, Ariel pun muncul!

Hah? Ariel kok sependek saya? Sumpah, saya pikir Ariel tinggi. Luna Maya dan Cut Tari suka apanya ya? Begitu yang terpikir di kepala waktu pertama kali melihat Ariel. Wajah Ariel sangat pucat dan kusut, Ariel tampak stress. Pengacaranya sempat curiga pada saya, tapi narasumber saya menegaskan kalau saya adalah ajudannya.

Kami pun mengobrol panjang. Narasumber saya meminta Ariel mengakui perbuatannya dan memikirkan dampak tindakannya terhadap para penggemarnya yang masih belia. Namun, Ariel bebal dan keukeuh tidak mau mengakui video-nya itu. Ya sudahlah, kami pulang.

Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Ariel yang saya beritakan. Namun, informasi langsung dari mulut Ariel saya share di redaksi, agar mereka dapat gambaran bagaimana kondisi Ariel. Berita soal Ariel, saya kemudian mewawancarai lagi pihak berwenang.

Menyamar dan bertemu Ariel yang pucat, orang lain saya hitamkan yaaa hehehe
Namun sekarang, saya sudah mendapat gambaran soal kondisi Ariel karena saya juga sudah bertemu langsung. Dan....... foto-foto sama Ariel hehehehe. Kapan lagi foto bareng Ariel di dalam masa penahanan. Namun, orang-orang lain terpaksa saya hitamkan ya, untuk melindungi identitas mereka.

Saturday, February 9, 2013

Menjadi Wartawan Detektif - Part 2: Liputan Kriminal

Ini adalah lanjutan dari tulisan pertama, Menjadi Wartawan Detektif. Dalam tulisan kedua ini, saya tidak bicara soal jurnalisme investigasi, tapi bicara wartawan yang berpikir seperti detektif, hehehe.

Sebelum saya menjadi redaktur pelaksana detikTravel, saya malang melintang di detikNews. Walaupun akhirnya pos liputan saya lebih banyak berkaitan dengan berita internasional dan politik, saya mencicipi juga liputan di wilayah (sebutan wartawan untuk kawasan kerja polisi di Jakarta). Mulai dari Polsek sampai Mabes Polri.

Untuk kawan-kawan yang lebih lama liputan di kantor polisi, mereka lambat laun mengembangkan cara berpikir yang sama dengan polisinya. Ini saya bicara soal polisi Reserse, bukan polisi cantik yang biasa cuap-cuap di TV soal macet Jakarta. Unit Reserse Kriminal ini beneran polisi yang tiap hari bekerja membuat Jakarta menjadi lebih aman. Anda baru melihat mereka di acara berita-berita kriminal.

Di Amerika, mereka inilah yang disebut detektif polisi. Biasanya, sore atau malam hari menjadi momen ngobrol antara para wartawan dan para reserse ini. Bukan untuk konsumsi berita, tapi ini obrolan untuk sama-sama meng-update kondisi sebuah kasus. Mulut resmi nantinya tetap memakai ucapan Kepala Unit Reskrim, Direskrimum dst.

Kalau polisi punya 'Cepu' alias informan di jalanan, maka wartawan juga punya 'Cepu' yaitu para polisi detektif ini. Ini hubungan yang dibangun dengan relasi yang bagus antara si wartawan dan polisi. Kenapa ini perlu? Dalam sesi ngobrol itu polisi bisa cerita bagaimana kasus berkembang, wartawan bisa memberi masukan dan tanya jawab langsung. Ini ada manfaat langsungnya loh. Di sini wartawan bisa belajar berpikir ala detektif.

Rupanya, kasus kriminal itu bisa dibaca polanya, dari modus, locus delicti alias tempat kejadian perkara, sampai para pelakunya. NYPD atau FBI di luar negeri sana,  menyebut ini Profiler. Kasus-kasus kriminal, karena sering terjadi, bisa terpolakan untuk memudahkan polisi menangkap pelaku.

Wartawan bisa ikut mempelajari profiler ini untuk berpikir ala detektif. Pada akhirnya nanti, si wartawan juga bisa mengira-ngira ini siapa pelakunya. Ada banyak profiler, tapi ada dua yang selalu saya ingat-ingat:

1. Kalau ada cowok mukanya agak ganteng atau lumayan, dan dia dibunuh dengan sadis, pelakunya homo
2. Kalau ada anak kecil diperkosa bahkan dibunuh, pelakunya keluarga atau tetangga fedofil

Saya kasih ilustrasi. Ini adalah sebuah kasus kriminal paling besar tahun 2008 di Indonesia, dan saya adalah wartawan pertama yang datang ke lokasi (boleh dong bangga sedikit, please....). Mana saya tahu ini bakal jadi kasus paling heboh tahun 2008 hehehe.

Saat itu adalah Sabtu 12 Juli 2008, pagi hari pukul 09.30 WIB. Saatnya saya pulang setelah menjalani tugas piket malam di markas detikcom. Saat motor saya melintas di perempatan Ragunan, ponsel saya berdering.

"Fay, ada mayat di belakang Ragunan, elo liputan lagi dong. Posisi ente paling deket tuh. Ntar Ari nyusul ente ke sono. Baru deh ente balik," kata Mas Djoko, korlip saya dari ujung sambungan telepon.

Walaupun habis begadang semalaman, tapi wartawan detikcom harus siap tempur. Walaupun badan lelah, tapi kalau kondisi genting dan belum ada wartawan yang siap, dan posisi sayang paling memungkinkan, saya siap liputan lagi! (Pasang baterai cadangan di jantung hehehe).

TKP-nya di Jl Kebagusan, dekat kantor IM2 dan SDN 14 Ragunan. Warga berkerumun di luar Police Line, dengan menunjukkan kartu wartawan, saya minta izin mendekat. Ada beberapa lembaran koran menutupi potongan tubuh yang tersebar di beberapa tempat. Wah, dimutilasi nih!

Kok santai aja Fay, lihat mayat dipotong-potong gitu? Hmmm, ada proses pembelajarannya. Kalau saya wartawan newbie, mungkin muntah-muntah juga.

Usai mengambil gambar, ada polisi nyeletuk, "Korban ganteng nih." Voilla! Itu adalah kode profiler nomor 1 yang saya sebut di atas. Pelakunya diduga gay. Penemuan mayat pagi itu menjadi awal dari terungkapnya kasus pembunuh berantai paling sadis di Indonesia: Ryan si Jagal Jombang, seorang gay.

Kasus kedua: Bocah kelas V SD di Jakarta Timur mengalami peradangan dan meninggal. Polisi menemukan tanda korban pernah diperkosa. Pelaku? Berdasarkan profiler nomor 2, pelakunya kalau bukan keluarga, ya tetangga. Belakangan diketahui, pelaku adalah ayahnya sendiri.

Dengan belajar mempelajari profiler dari kasus-kasus kriminal, wartawan terbantu membayangkan bagaimana suatu berita kriminal yang akan ditulisnya bergulir ke arah mana. Menjadi wartawan, artinya kita juga belajar berpikir seperti detektif!

Friday, February 1, 2013

Ketika PKS Tersandung Daging

Semoga judul blog kali ini belum dipakai jadi judul Tempo atau media lain hehehe. Tapi begini ceritanya.... Hari Kamis 31 Januari kemarin, saya nggak ngantor dan meninggalkan Shafa sendirian mengatur detikTravel, karena teman-temannya liputan semua.

Saya seharian berobat ke RS Karya Bhakti Bogor karena sesak nafas. "Bapak kerja apa sampai sakit begini?" kata dokter penyakit dalam yang saya datangi, sebelum meminta saya berbaring di ranjang periksa. Saya menjawab kalau saya wartawan dan dia langsung menyambar, berita apa yang menarik untuk saya ceritakan.

Sambil berbaring dan terhalang tirai, sementara Pak Dokter memeriksa data medis saya di meja, berceritalah saya tentang berita seru: Presiden PKS jadi tersangka KPK. Puas rasanya saya cerita panjang lebar, dan baru sadar, Pak Dokter ini tidak kunjung menghampiri saya dan membela Presiden PKS Luthfi Hassan Ishaaq dari tempat duduknya itu.

"Luthfi pasti difitnah, ada yang nggak suka sama PKS, terus KPK diumpanin untuk membidik PKS. Pasti Demokrat karena kemarin Andi Mallaranggeng sudah kena sama KPK," kata Pak Dokter.

Saya bangkit dari ranjang periksa. Ini dokter lagi ngapain sih? Wah dia sedang membaca BBM.

"Nih Luthfi Hassan bilang ini adalah fitnah...." kata dia.

Oaaalaaaaaah, Pak Dokter ini kader PKS toh dan dia dapat BBM internal para kader PKS. Pantesaaaaaaaan. Semua kenalan saya yang kader PKS di BB, statusnya dua. Kalau bukan hadits 'fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan', statusnya 'Hasbunallah wa ni'mal wakil....'

Untung saya nggak diapa-apain sama Pak Dokter ini setelah saya mengkritik PKS hehehe. Tapi akhirnya kita jadi mengobrol seru. Dia yakin PKS diobok-obok menjelang Pemilu 2014, saya mengiyakan. Dia yakin kalau PKS bisa bersikap tepat, PKS justru mendapat simpati karena dizalimi, saya lebih mengiyakan.

Tapi saya luruskan pandangan dia sedikit. Kalau KPK sengaja membidik PKS, kan Demokrat sudah lebih dulu menjadi korban KPK. Kalau Luthfi dan PKS yakin tidak bersalah, tidak usah takut dengan KPK toh. Logikanya sesederhana itu.

Saya memahami kegeraman Pak Dokter sebagai kader PKS di akar rumput. Ini kegeraman yang sama dengan jutaan kader PKS di seluruh Indonesia. Masalahnya adalah, apa yang sesungguhnya terjadi hanya Luthfi dan Allah saja yang tahu.

Kalau yakin tidak bersalah, lebih baik Luthfi dan tim hukum dari PKS menyiapkan pembelaan terbaik untuk berhadapan di Pengadilan Tipikor. Itu lebih baik daripada PKS bersikap reaktif. Concern saya cuma satu dan itu agaknya kurang dibahas juga dalam diskursus PKS dan daging impor ini.

Begini, ketika KPK mengatakan dua alat bukti sudah cukup untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka. Salah satu alat bukti itu, sepanjang pengetahuan saya sebagai wartawan, adalah rekaman sadapan. Alat bukti kedua bisa tangkap tangan, dokumen penting, dll. Rekaman sadapan ini bukan main-main. Terukur dengan perbandingan serius bahwa ini adalah suara asli orang yang bersangkutan. Rekaman sadapan KPK selama ini mengungkap sisi gelap para tersangka yang selama ini terbalut oleh pencitraan.

Terserah PKS mau bilang ini fitnah atau apa. Saya hanya khawatir, hanya khawatir...... Ketika rekaman itu diperdengarkan KPK di Pengadilan Tipikor, ucapan Luthfi yang direkam itu akan mengungkapkan sisi lain Luthfi yang kita tidak tahu. Saya membayangkan hal itu akan menghancurkan hati jutaan kader PKS di akar rumput, yang masih lurus, idealis, ghirohnya luar biasa untuk umat, seperti Pak Dokter saya ini.

Semoga tidak ada yang disembunyikan Luthfi dan PKS bisa membuktikan ini fitnah belaka. Tapi jika memang KPK berhasil mengungkapkan hal yang selama ini tersembunyi, ya sudah. Hancurlah PKS tersandung daging. PKS harus legowo kalau benar demikian.

Kalau Presiden baru PKS Anis Matta menyerukan tobat nasional dan para kader PKS lantang berujar 'Hasbunallah wa ni'mal wakil', saya akan berkata lain. 'Allahumma arinal-haqqa haqqan warzuqnat-tiba'ah, wa arinal-batila batilan warzuqnaj-tinabah'. Ya Allah, tunjukan kalau benar, tunjukan kalau batil. Sederhana!

Kalau PKS nyaman berada di posisi yang dianggap benar, apakah PKS juga siap menerima kenyataan kalau seandainya mereka salah? Sekarang kita bicara sisi spiritual sedikit sebagai penutup. Kalau PKS merasa selalu membela Allah, lantas Allah malah memberikan kejadian ini untuk PKS. Bisakah mereka berpikir jernih mengenai apa yang ingin disampaikan Allah? Berpikirlah...