Sunday, April 21, 2013

Yang Janggal dari Video Bom Boston (di Mata Seorang Wartawan)

Sebelum baca tulisan saya, yuk tonton dulu detik-detik awal liputan eksklusif The Boston Globe saat ledakan bom di Boston Marathon. Seiring itu kita sampaikan duka cita kepada seluruh para korban.



Sudah? Oke, dalam perkembangan berita terakhir kita tahu warga Boston bersorak sorai karena pelakunya yang kakak beradik orang Chechnya itu sudah tertangkap dan satu lagi tewas. Case closed? Nanti dulu.

Sekitar Selasa sore kemarin, anak buah gue Afif kasih lihat video Youtube ini dari The Boston Globe. Detik-detik awal ledakan bom di acara Boston Marathon. Wajar nggak? Buat saya ada beberapa hal yang janggal saja sih di video itu. Mungkin hanya sekadar ketidaktahuan saya, silakan mengkritik saya untuk itu. Saya mau bahas detik demi detik.

1. Detik 0:07
Kameramen bernama Steve Silva ini berdiri di garis Finish merekam para pelari masuk ke garis finish dan bomnya meledak. Reaksi dia? Nggak kaget-kaget amat. Kok bisa?

Entah kenapa saya merasa reaksi dia nggak manusiawi. Menghadap ke arah ledakan, tapi dia nggak punya refleks apa-apa. Kalau dia kaget dan refleks, arah kameranya bisa berubah angle drastis karena misalnya dia menunduk, jongkok, dan aneka reaksi manusiawi lain untuk mencari posisi aman karena kaget. Tapi si kameramen seperti bertugas merekam ledakannya sebaik mungkin. Kameranya cuma 'shaken' sedikit saja.

Di Youtube juga banyak contohnya kameramen yang refleks ketika kaget dan rekaman gambarnya jadi kacau. Tapi rupanya tidak demikian dengan kameramen kita ini.

2. Detik 0:14
Seorang pelari tergeletak setelah ledakan bom. Itu berita banget secara gambar. Saya pikir semua wartawan dan fotografer sepakat. Silakan tanya para kameramen TV One atau Metro TV. Tapi si kameramen Boston Globe ini malah asyik merekam asap yang mengepul, bukannya segera mengambil gambar korban.

Kenapa yah? Saya juga nggak mengerti kenapa si kameramen menahan ketinggian kameranya di bawah dada. Kameramen lain saya pikir akan mengangkat kameranya tinggi-tinggi untuk angle yang lebih luas. Setidaknya sejajar kepala. Menahan kamera setinggi dada kan akibatnya angle gambarnya terbatas.

3. Detik 0:53, 1:04 dan 1:12
Apa reaksi wartawan ketika ada bom meledak? Mencari sumber ledakan. Itu yang dilakukan fotografer lain, mulai dari detik 0:53, 1:04 dan 1:12. Sumber ledakan punya nilai berita lebih dari pada si Silva ini yang merekam situasi di sekitarnya. Lihatlah beberapa fotografer mendekati trotoar untuk mengambil gambar. Tapi tidak dengan kameramen Boston Globe. Why?

4. Detik 1:30
Si kameramen mendapat angle untuk mengambil gambar korban yang belum didatangi paramedis. Si kameramen tidak melakukannya. Tapi dia malah menyorot banner '2013 Boston Marathon'.

Saya nggak paham kenapa kameramen ini tidak mau merekam gambar para korban di detik-detik awal setelah ledakan dan malah mengambil jarak. Nggak wartawan banget, nggak kameramen banget gayanya.

5. Detik 1:44
Ada tentara? Sampai sini saya nggak tahu mau bilang apa. Apakah AS punya kebiasaan melibatkan tentara aktif di dalam sebuah acara sipil? AS itu bukan Indonesia yang melibatkan Korem dan Koramil untuk acara-acara rakyat jelata.

AS itu mengaku punya civil society kuat, pengamanan mereka dilakukan polisi, kalau genting ada SWAT. Tentara mereka ada di barak. Mereka tidak serta merta muncul membantu polisi dalam...... 1 menit 44 detik?!?! CMIIW, tapi saya benar-benar tidak tahu kenapa tiba-tiba ada tentara di acara Boston Marathon.

Itu sih 5 hal yang mengganggu dari video ledakan Bom Boston. Masalahnya, video inilah yang dipakai seluruh media di AS untuk menggambarkan ledakan bom tersebut. Yang mau analisa lebih konspiratif, silakan baca laman-laman tetangga ya. Saya hanya menganalisa sebatas data yang saya punya.

Sunday, April 14, 2013

2 Pria yang Mengubah Briptu Norman... Selamanya

Berita pertama Norman Kamaru di Indonesia
Wow! Sebulan nggak nge-blog gara-gara pulang malem terus dan backpackeran hehehe. Okay, what I'm gonna tell you is some kind of secret....... I'm kidding.... Here we go:

Minggu, 3 April 2011 adalah hari yang akan saya kenang, dan juga teman saya Anwar Khumaini. Pada masa itu saya masih di detikNews, Anwar juga belum pindah ke merdeka.com. Saya piket Minggu menjadi kordinator liputan dan Anwar sebagai penulis kantor. Di lapangan ada 2-3 wartawan liputan.

Ini adalah hari Minggu yang landai dan membosankan.Tidak ada kejadian dominan. Sampai pada sore hari... Redpel detikNews, Indra Subagja tiba-tiba memberi link video Youtube 'Polisi Gorontalo Menggila'. Saya tonton, dan busyet! Keren sekali polisi Brimob ini joget India. Ngakak menontonnya.

Tiba-tiba, insting wartawan saya menyala (kayak Spider Sense-nyaSpiderman gitu). Kayaknya menarik ini untuk diberitakan, soalnya hari Minggu itu nggak ada yang seru seharian. Dan si Brimob ini bisa jadi Shinta dan Jojo baru yang waktu itu lagi ngetop banget.

"War, harus ente yang bikin, kan ente penggemar film India. Lebih menghayati. Entar gue edit, gue bumbuin deh," kata saya mengoper link Youtube itu ke Anwar.

Ini pasti lagu Shahrukh Khan, tapi yang mana? Anwar tampak berpikir keras, memutar semua film Shahrukh Khan... di kepalanya. Kata kunci kami cuma bagian reff, sesuatu yang terdengar 'chaiyya chaiyya' begitu. Browsinglah dan kami menemukan video klip dari film Dil Se, film jadulnya Shahrukh Khan.

Wah mirip gaya jogetnya! Memang meniru video klip aslinya! Nambah ngakak kami menontonnya. Hup hup, Anwar lantas mulai ketak-ketik memberi deskripsi cerita. Sementara saya bikin prints creen video klip dengan gaya si polisi yang paling maksimal.

Informasi kami sangat terbatas. Mendeskripsikan total apa yang kami lihat dari video klip. Kami cuma tahu pangkatnya Briptu. Artikel beres, giliran saya yang mengedit.

Pertama adalah membuat lead. Polisi nyeleneh ini pasti bakal dihantam sama atasannya. Jadi kita harus membuat lead yang agak membela si Brimob ini. Jadilah saya menambahkan lead, "Brimob juga manusia." Humanis toh, semua orang punya hak untuk berjoget. Biar lebih kuat, kami tambahkan komentar para pengguna Youtube yang menyukai aksi si polisi.

Lantas judulnya, harus eye catching banget nih di hari Minggu santai ini. "Kudu pake bahasa India, War," kata saya. Jadilah saya ganti judulnya Anwar menjadi Chaiyya! Anggota Brimob Nyanyi Lagu India.

Sumpah, kami menulis berita ini sambil ngakak-ngakak. Untuk penutupnya, kita bilang "Akankah sang Brimob ini bisa setenar Shinta dan Jojo? Kita tunggu saja"

Artikel ditutup dengan kode nama kami (Anw/Fay). Artinya Anwar yang menulis, Faya yang mengedit. Berita ini naik pada Minggu, 03/04/2011 pukul 16:32 WIB. Yang pertama di Indonesia, silakan cek.

Kami pulang dengan senyum-senyum. Kami yakin beritanya pasti menarik dan dibaca orang. Hanya saja, kami tidak menduga beritanya bakal meledak, SANGAT MELEDAK, BLAAARRRR!!!!!!!

Pada hari Senin, Indra bilang berita kita menggelinding liar seperti bola salju. Semua media nasional melahapnya habis-habisan. Seperti saya duga, bolanya mengarah kepada kemungkinan sanksi untuk si Brimob yang belakangan saya tahu namanya Briptu Norman.

Lantas Mabes Polri dengan cerdik melihatnya sebagai peluang untuk membersihkan muka Korps Bhayangkara yang lagi dihantam masalah Cicak VS Buaya. Jadilah Briptu Norman Kamaru sebagai bintang.

"Gara-gara ente berdua tuh," kata beberapa kawan.

Yup! Kami berdua yang bertanggung jawab atas perubahan nasib Briptu Norman hahahahahaha. Bahkan semestinya Norman berterima kasih kepada Anwar, tapi pas Norman tempo hari main ke kantor detikcom, Anwar malu-malu menemui dia.

Bagaimana rasanya menjadi pihak yang pertama kali mengangkat sebuah berita yang fenomenal? Feel like orgasm hehehe. Bagaimana rasanya kalau berita itu menjadi perhatian nasional, meledak luar biasa, diikuti semua media nasional? Multiple orgasm..... hahahaha.

Tapi beneran, menjadi wartawan paling puas itu kalau berita yang kita bikin disukai pembaca. Saya tidak ada urusan dengan si Briptu Norman ini. Urusan saya adalah memberikan berita terbaik kepada pembaca detikcom. Ketika pembaca suka, itu sudah jauh lebih dari cukup bagi saya sebagai seorang wartawan.

Monday, March 18, 2013

Bungker Misterius!

Terowongan rahasia
Bayangkanlah adegan dalam novel masa depan yang akan saya tulis, hehehe..... Cita-cita belum kesampaian. Sumpah ini cerita fiktif. Begini ceritanya....

----------------

Suatu pagi di Jakarta....

Mobil Rama meluncur kencang membelah jalanan sepi pagi itu. Namun menjelang bangunan Belanda itu mobilnya melambat. Mestinya di sini, pikir dia. Rama memarkirkan mobil dan menyapa ramah sang penjaga, dia pikir Rama hanya tamu biasa.

"Bapak datang terlalu pagi, yang biasa menemani tamu belum datang," kata bapak itu.

Rama berlagak seperti turis saja dan melongok-longok rumah Belanda itu. "Masih asli ya, Pak. Kalau di halaman belakang ada apa?" pancing Rama.
"Ada bungker," ujar si penjaga terpancing. Ini dia! Jantung Rama berdegup kencang tapi mencoba tenang.

Ingatan ini terlempar beberapa waktu lalu ketika Farhat mengucapkan kata yang sama, "Ada bungker". Bungker sih tidak masalah, tapi yang menarik perhatian Rama karena letak bungker ini berada dalam garis legendaris bernama Terowongan Rahasia Jakarta.

Legenda itu menyebutkan VOC membangun terowongan rahasia membelah Kota Jakarta. Ada yang percaya itu terkait dengan emas harta karun, ada yang percaya itu terkait dengan kelompok rahasia macam Freemason dan Illuminati

Apapun itu, Rama harus membuktikannya sendiri. Si penjaga pun dengan lugu mengantar saya ke halaman belakang rumah Belanda ini. Rama si petualang muda hanya berdua saja dengan penjaga yang menunjuk ke lubang kotak yang sempat diduga Rama sebagai lubang drainase.

Damn! Ini memang bungker kata Rama dalam hati. Lubang itu dipasangi tangga panjat alumunium, karena....
"Pak, anak tangganya salah ya?" tanya Rama.
"Memang nggak pas, Mas. Kalau mau turun pakai tangga ini," kata si penjaga memegang tangga alumunium itu.

Otak Rama berpikir keras. Naluri detektifnya bermain. Tangga turun ke bungker ini diubah! Anak tangganya tiba-tiba bertemu dinding sebelum sampai ke permukaan tanah.
"Pak, saya loncat saja cuma semeter ini," kata Rama.

Satu-satunya lubang cahaya
Sambil memegang kamera SLR-nya Rama melompat. Hup! Dia lalu menuruni tangga sampai tiba di belokan. Tangga itu membawanya ke sebuah ruangan bungker. Tingginya hanya 2 meter di bagian tengah dan lebih rendah di bagian kiri dan kanan. Sepatunya menginjak lantai lembab dan agak basah.

Rama berjalan ke tengah bungker yang agak gelap itu. Sumber cahaya hanyalah sebuah lubang angin di atas kepalanya. Berapa meter aku di dalam tanah? Pikir Rama. Lubang angin ini pasti disangka warga Jakarta yang tidak peduli sejarah sebagai lubang gorong-gorong.

Rama pun tiba di ujung bungker. Ada lubang! Tembok jebol itulah tepatnya. "Sial, aku bukan orang yang pertama kemari. Aku bukanlah orang pertama yang menduga ada terowongan rahasia di sini," pikir Rama.

Rama memeriksa bekas galian tembok itu. Gelap dan Rama tidak membawa senter. Lubang itu belum menuju kemana-mana. Penggalinya sepertinya menyerah. Tapi setidaknya dia berpikiran sama dengan Rama, bungker ini adalah terowongan yang sengaja diputus. Si penggali menduga akan ada ruang lain di balik ujung tembok bungker ini.

Rama pun sebenarnya agak ragu. Bungker ini memanjang dengan poros utara-selatan, bukan barat-timur sebagaimana legenda terowongan itu dikisahkan sesuai jalurnya di kawasan tersebut. Meski demikian, sejarah kepemilikan rumah ini yang menyebabkan Rama mau menguji teorinya.

Pemuda ganteng ini memperhatikan besi-besi berkarat yang mencuat akibat tembok yang dijebol paksa itu. Tiba-tiba, Rama memalingkan pandangannya ke bagian lain bungker ini. Dirabanya tekstur temboknya dan dibandingkan dengan tekstur di sekitar tembok yang dijebol.

Tembok itu membentuk pola-pola teratur dan Rama tahu betul itu apa, anyaman bambu bilik. Otak cerdasnya berkalkulasi walaupun ilmu arsitektur dan teknik sipilnya hanya modal membaca buku di perpustakaan. Besi, bambu, triplek.... Dan senyum Rama tersungging.... Dia berhasil memecahkan teka-teki bungker itu.

Rama pun bergegas naik keluar dari bungker. Sepi..... Si penjaga menghilang! Tiba-tiba rumah Belanda itu sepi dan tinggal Rama sendirian. Bahkan sampai Rama kembali ke mobilnya tidak ada siapa-siapa. Namun Rama tahu, ada beberapa pasang mata yang menatapnya dari kejauhan.

Tembok yang dijebol
Rama tak peduli. Satu hal yang pasti, dugaannya selama ini masuk akal. Kenapa terowongan itu diubah bentuknya, mungkin karena untuk menutupi rahasianya selama ratusan tahun ini. Toh, manusia Jakarta yang hidup di atasnya pun tidak peduli....

--------------

Teka-teki apa yang dipecahkan oleh Rama? Tunggu edisi lengkapnya di toko-toko buku terdekat langganan Anda :) Amiiiiiiiiin!

Sunday, February 17, 2013

Menjadi Wartawan Detektif - Part 3: Menyamar

Kalau menonton film Sherlock Holmes yang diperankan Robert Downey Jr, keren banget nggak sih pas dia menyamar jadi gembel, jadi perempuan, bahkan jadi tembok. Detektif memang identik dengan kegiatan 'undercover'.

Wartawan sih nggak segitunya. Tapi..... siapa bilang itu tidak dilakukan. Dalam kondisi tertentu, wartawan juga menyamar. Saya.... pernah menyamar beberapa kali hehehe.

Ada prinsip utamanya yang harus dipegang. Narasumber harus tahu kalau Anda wartawan. Tidak boleh seseorang diwawancarai diam-diam, lalu ucapannya muncul di media. Itu melanggar etika jurnalistik. Oleh karena itu menurut saya, menyamar tidak dalam kapasitas untuk menulis berita secara langsung.

Saat melakukan investigasi, menyamar hanya dalam kapasitas untuk mencari informasi yang akurat, kisah orang dalam, informasi A1, kisah-kisah tersembunyi, dongeng di balik layar. Hanya itu saja. Nah, nanti konfirmasi tetap dilakukan dengan wawancara sungguhan kepada pihak-pihak yang berwenang. Menjebak narasumber adalah tindakan yang tidak patut.

Pun demikian untuk saya. Menyamar hanya untuk mendapatkan pengetahuan mendalam mengenai suatu kasus atau kejadian. Tapi saya tidak pernah menulis itu menjadi berita, tanpa seizin nara sumber. Teknisnya macam-macam, bisa dengan melindungi identitas nara sumber. Atau, ada pihak-pihak yang menjamin kalau penulisan identitas ini sudah aman bagi yang bersangkutan.

Nah, kalau menyamar harus fokus ya. Jangan seperti intel polisi, terlalu memikirkan target buruan, tapi jadi nggak fokus dengan penyamarannya. Misalnya menyamar jadi tukang sayur, terus daging ayamnya ditawar sadis oleh ibu-ibu, pasrah saja. Atau, menyamar jadi tukang sapu, tapi menyapu asal-asalan.

Jangan bayangkan saya pakai kumis palsu atau jadi pohon ya, itu mah film banget. Saya pernah menyamar menjadi mahasiswa di Ujung Kulon agar bisa bertemu petani perambah yang berkonflik dengan pengelola Taman Nasional Ujung Kulong. Tapi menyamar yang paling asyik adalah yang ini:

Suatu ketika, Ariel Peterpan ditahan gara-gara video bokep-nya dengan dua artis perempuan. Pasti tahu dong kasus ini. Nah, seorang narasumber, menawarkan masuk ke tahanan Ariel di Bareskrim Mabes Polri, dengan cara menyamar. Pilihan jatuh kepada saya yang belum lama pulang dari Jerman. Pertimbangannya, sudah tidak akan ada orang yang mengenal saya di Mabes Polri.

"Benar ya, sudah nggak ada wartawan seangkatan gue yang liputan di Mabes Polri sekarang?" tanya saya.
"Bener Fay, sudah pada ganti kok anak-anaknya. Paling tinggal satu dua doang yang sezaman ama elo liputan di Mabes Polri," ujar kawan saya.

Soalnya percuma kalau saya menyusup, terus tiba-tiba ada yang memanggil, "Fay! Gimana Jerman? Kapan pulang?" Hehehehe.

Skenarionya simpel. Saya menjadi ajudan narasumber saya. Saya diberikan kemeja baru, bawa kamera, semua tas dan identitas saya ditinggalkan di kantor si nara sumber. Saya menjadi tipikal ajudan yang mengikut di belakang pejabat, bawa-bawain tas begitu. Penyamaran yang sederhana, bukan?

Tapi tetap saja.... "Fay, ngapain?" Tiba-tiba, ada suara memanggil saya di pelataran Bareskrim Mabes Polri. Rupanya teman lama wartawan juga. "Gue pindah kerja," sambar saya sebelum buru-buru masuk mengikuti 'atasan' saya.

Kami tidak mendatangi Ariel ke tahanan, melainkan Ariel yang dikeluarkan dari tahanan untuk menjumpai kami di sebuah ruangan. Jreng.... jreng, Ariel pun muncul!

Hah? Ariel kok sependek saya? Sumpah, saya pikir Ariel tinggi. Luna Maya dan Cut Tari suka apanya ya? Begitu yang terpikir di kepala waktu pertama kali melihat Ariel. Wajah Ariel sangat pucat dan kusut, Ariel tampak stress. Pengacaranya sempat curiga pada saya, tapi narasumber saya menegaskan kalau saya adalah ajudannya.

Kami pun mengobrol panjang. Narasumber saya meminta Ariel mengakui perbuatannya dan memikirkan dampak tindakannya terhadap para penggemarnya yang masih belia. Namun, Ariel bebal dan keukeuh tidak mau mengakui video-nya itu. Ya sudahlah, kami pulang.

Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Ariel yang saya beritakan. Namun, informasi langsung dari mulut Ariel saya share di redaksi, agar mereka dapat gambaran bagaimana kondisi Ariel. Berita soal Ariel, saya kemudian mewawancarai lagi pihak berwenang.

Menyamar dan bertemu Ariel yang pucat, orang lain saya hitamkan yaaa hehehe
Namun sekarang, saya sudah mendapat gambaran soal kondisi Ariel karena saya juga sudah bertemu langsung. Dan....... foto-foto sama Ariel hehehehe. Kapan lagi foto bareng Ariel di dalam masa penahanan. Namun, orang-orang lain terpaksa saya hitamkan ya, untuk melindungi identitas mereka.

Saturday, February 9, 2013

Menjadi Wartawan Detektif - Part 2: Liputan Kriminal

Ini adalah lanjutan dari tulisan pertama, Menjadi Wartawan Detektif. Dalam tulisan kedua ini, saya tidak bicara soal jurnalisme investigasi, tapi bicara wartawan yang berpikir seperti detektif, hehehe.

Sebelum saya menjadi redaktur pelaksana detikTravel, saya malang melintang di detikNews. Walaupun akhirnya pos liputan saya lebih banyak berkaitan dengan berita internasional dan politik, saya mencicipi juga liputan di wilayah (sebutan wartawan untuk kawasan kerja polisi di Jakarta). Mulai dari Polsek sampai Mabes Polri.

Untuk kawan-kawan yang lebih lama liputan di kantor polisi, mereka lambat laun mengembangkan cara berpikir yang sama dengan polisinya. Ini saya bicara soal polisi Reserse, bukan polisi cantik yang biasa cuap-cuap di TV soal macet Jakarta. Unit Reserse Kriminal ini beneran polisi yang tiap hari bekerja membuat Jakarta menjadi lebih aman. Anda baru melihat mereka di acara berita-berita kriminal.

Di Amerika, mereka inilah yang disebut detektif polisi. Biasanya, sore atau malam hari menjadi momen ngobrol antara para wartawan dan para reserse ini. Bukan untuk konsumsi berita, tapi ini obrolan untuk sama-sama meng-update kondisi sebuah kasus. Mulut resmi nantinya tetap memakai ucapan Kepala Unit Reskrim, Direskrimum dst.

Kalau polisi punya 'Cepu' alias informan di jalanan, maka wartawan juga punya 'Cepu' yaitu para polisi detektif ini. Ini hubungan yang dibangun dengan relasi yang bagus antara si wartawan dan polisi. Kenapa ini perlu? Dalam sesi ngobrol itu polisi bisa cerita bagaimana kasus berkembang, wartawan bisa memberi masukan dan tanya jawab langsung. Ini ada manfaat langsungnya loh. Di sini wartawan bisa belajar berpikir ala detektif.

Rupanya, kasus kriminal itu bisa dibaca polanya, dari modus, locus delicti alias tempat kejadian perkara, sampai para pelakunya. NYPD atau FBI di luar negeri sana,  menyebut ini Profiler. Kasus-kasus kriminal, karena sering terjadi, bisa terpolakan untuk memudahkan polisi menangkap pelaku.

Wartawan bisa ikut mempelajari profiler ini untuk berpikir ala detektif. Pada akhirnya nanti, si wartawan juga bisa mengira-ngira ini siapa pelakunya. Ada banyak profiler, tapi ada dua yang selalu saya ingat-ingat:

1. Kalau ada cowok mukanya agak ganteng atau lumayan, dan dia dibunuh dengan sadis, pelakunya homo
2. Kalau ada anak kecil diperkosa bahkan dibunuh, pelakunya keluarga atau tetangga fedofil

Saya kasih ilustrasi. Ini adalah sebuah kasus kriminal paling besar tahun 2008 di Indonesia, dan saya adalah wartawan pertama yang datang ke lokasi (boleh dong bangga sedikit, please....). Mana saya tahu ini bakal jadi kasus paling heboh tahun 2008 hehehe.

Saat itu adalah Sabtu 12 Juli 2008, pagi hari pukul 09.30 WIB. Saatnya saya pulang setelah menjalani tugas piket malam di markas detikcom. Saat motor saya melintas di perempatan Ragunan, ponsel saya berdering.

"Fay, ada mayat di belakang Ragunan, elo liputan lagi dong. Posisi ente paling deket tuh. Ntar Ari nyusul ente ke sono. Baru deh ente balik," kata Mas Djoko, korlip saya dari ujung sambungan telepon.

Walaupun habis begadang semalaman, tapi wartawan detikcom harus siap tempur. Walaupun badan lelah, tapi kalau kondisi genting dan belum ada wartawan yang siap, dan posisi sayang paling memungkinkan, saya siap liputan lagi! (Pasang baterai cadangan di jantung hehehe).

TKP-nya di Jl Kebagusan, dekat kantor IM2 dan SDN 14 Ragunan. Warga berkerumun di luar Police Line, dengan menunjukkan kartu wartawan, saya minta izin mendekat. Ada beberapa lembaran koran menutupi potongan tubuh yang tersebar di beberapa tempat. Wah, dimutilasi nih!

Kok santai aja Fay, lihat mayat dipotong-potong gitu? Hmmm, ada proses pembelajarannya. Kalau saya wartawan newbie, mungkin muntah-muntah juga.

Usai mengambil gambar, ada polisi nyeletuk, "Korban ganteng nih." Voilla! Itu adalah kode profiler nomor 1 yang saya sebut di atas. Pelakunya diduga gay. Penemuan mayat pagi itu menjadi awal dari terungkapnya kasus pembunuh berantai paling sadis di Indonesia: Ryan si Jagal Jombang, seorang gay.

Kasus kedua: Bocah kelas V SD di Jakarta Timur mengalami peradangan dan meninggal. Polisi menemukan tanda korban pernah diperkosa. Pelaku? Berdasarkan profiler nomor 2, pelakunya kalau bukan keluarga, ya tetangga. Belakangan diketahui, pelaku adalah ayahnya sendiri.

Dengan belajar mempelajari profiler dari kasus-kasus kriminal, wartawan terbantu membayangkan bagaimana suatu berita kriminal yang akan ditulisnya bergulir ke arah mana. Menjadi wartawan, artinya kita juga belajar berpikir seperti detektif!

Friday, February 1, 2013

Ketika PKS Tersandung Daging

Semoga judul blog kali ini belum dipakai jadi judul Tempo atau media lain hehehe. Tapi begini ceritanya.... Hari Kamis 31 Januari kemarin, saya nggak ngantor dan meninggalkan Shafa sendirian mengatur detikTravel, karena teman-temannya liputan semua.

Saya seharian berobat ke RS Karya Bhakti Bogor karena sesak nafas. "Bapak kerja apa sampai sakit begini?" kata dokter penyakit dalam yang saya datangi, sebelum meminta saya berbaring di ranjang periksa. Saya menjawab kalau saya wartawan dan dia langsung menyambar, berita apa yang menarik untuk saya ceritakan.

Sambil berbaring dan terhalang tirai, sementara Pak Dokter memeriksa data medis saya di meja, berceritalah saya tentang berita seru: Presiden PKS jadi tersangka KPK. Puas rasanya saya cerita panjang lebar, dan baru sadar, Pak Dokter ini tidak kunjung menghampiri saya dan membela Presiden PKS Luthfi Hassan Ishaaq dari tempat duduknya itu.

"Luthfi pasti difitnah, ada yang nggak suka sama PKS, terus KPK diumpanin untuk membidik PKS. Pasti Demokrat karena kemarin Andi Mallaranggeng sudah kena sama KPK," kata Pak Dokter.

Saya bangkit dari ranjang periksa. Ini dokter lagi ngapain sih? Wah dia sedang membaca BBM.

"Nih Luthfi Hassan bilang ini adalah fitnah...." kata dia.

Oaaalaaaaaah, Pak Dokter ini kader PKS toh dan dia dapat BBM internal para kader PKS. Pantesaaaaaaaan. Semua kenalan saya yang kader PKS di BB, statusnya dua. Kalau bukan hadits 'fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan', statusnya 'Hasbunallah wa ni'mal wakil....'

Untung saya nggak diapa-apain sama Pak Dokter ini setelah saya mengkritik PKS hehehe. Tapi akhirnya kita jadi mengobrol seru. Dia yakin PKS diobok-obok menjelang Pemilu 2014, saya mengiyakan. Dia yakin kalau PKS bisa bersikap tepat, PKS justru mendapat simpati karena dizalimi, saya lebih mengiyakan.

Tapi saya luruskan pandangan dia sedikit. Kalau KPK sengaja membidik PKS, kan Demokrat sudah lebih dulu menjadi korban KPK. Kalau Luthfi dan PKS yakin tidak bersalah, tidak usah takut dengan KPK toh. Logikanya sesederhana itu.

Saya memahami kegeraman Pak Dokter sebagai kader PKS di akar rumput. Ini kegeraman yang sama dengan jutaan kader PKS di seluruh Indonesia. Masalahnya adalah, apa yang sesungguhnya terjadi hanya Luthfi dan Allah saja yang tahu.

Kalau yakin tidak bersalah, lebih baik Luthfi dan tim hukum dari PKS menyiapkan pembelaan terbaik untuk berhadapan di Pengadilan Tipikor. Itu lebih baik daripada PKS bersikap reaktif. Concern saya cuma satu dan itu agaknya kurang dibahas juga dalam diskursus PKS dan daging impor ini.

Begini, ketika KPK mengatakan dua alat bukti sudah cukup untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka. Salah satu alat bukti itu, sepanjang pengetahuan saya sebagai wartawan, adalah rekaman sadapan. Alat bukti kedua bisa tangkap tangan, dokumen penting, dll. Rekaman sadapan ini bukan main-main. Terukur dengan perbandingan serius bahwa ini adalah suara asli orang yang bersangkutan. Rekaman sadapan KPK selama ini mengungkap sisi gelap para tersangka yang selama ini terbalut oleh pencitraan.

Terserah PKS mau bilang ini fitnah atau apa. Saya hanya khawatir, hanya khawatir...... Ketika rekaman itu diperdengarkan KPK di Pengadilan Tipikor, ucapan Luthfi yang direkam itu akan mengungkapkan sisi lain Luthfi yang kita tidak tahu. Saya membayangkan hal itu akan menghancurkan hati jutaan kader PKS di akar rumput, yang masih lurus, idealis, ghirohnya luar biasa untuk umat, seperti Pak Dokter saya ini.

Semoga tidak ada yang disembunyikan Luthfi dan PKS bisa membuktikan ini fitnah belaka. Tapi jika memang KPK berhasil mengungkapkan hal yang selama ini tersembunyi, ya sudah. Hancurlah PKS tersandung daging. PKS harus legowo kalau benar demikian.

Kalau Presiden baru PKS Anis Matta menyerukan tobat nasional dan para kader PKS lantang berujar 'Hasbunallah wa ni'mal wakil', saya akan berkata lain. 'Allahumma arinal-haqqa haqqan warzuqnat-tiba'ah, wa arinal-batila batilan warzuqnaj-tinabah'. Ya Allah, tunjukan kalau benar, tunjukan kalau batil. Sederhana!

Kalau PKS nyaman berada di posisi yang dianggap benar, apakah PKS juga siap menerima kenyataan kalau seandainya mereka salah? Sekarang kita bicara sisi spiritual sedikit sebagai penutup. Kalau PKS merasa selalu membela Allah, lantas Allah malah memberikan kejadian ini untuk PKS. Bisakah mereka berpikir jernih mengenai apa yang ingin disampaikan Allah? Berpikirlah...

Sunday, January 13, 2013

Tucuxi dan Mimpi Anak-anak Habibie

Bangun subuh, baca detikcom rupanya ada berita detikOto, soal Danet Suryatama angkat bicara mengenai mobil Tucuxi. Wow, detikOto sampai dini hari uplod berita. Tapi memang penting banget sih masalah Tucuxi. Saya kali ini bukan mau bicara soal otomotif dan rencana industri mobil nasional, bukaaaan.

Saya tertampar dengan kalimat terakhir Danet, "Siapa menggagalkan mimpi anak-anak Habibie?" Jleeb, rasanya seperti sebuah tikaman di jantung. Habibie, manusia yang satu itu berhasil melambungkan mimpi jutaan anak negeri ini untuk meniru dirinya, mencari pengalaman ke luar negeri dan jadi orang pintar. Serius kawan, manusia-manusia Indonesia yang jenius banyak di luar sana.

Danet, saya harus menghela nafas sebelum melanjutkan kalimat ini, adalah orang kesekian ribu yang tidak dihargai pemerintah bangsanya sendiri. Saya sebut pemerintah, karena kalau urusannya people to people, mereka lebih bisa menghargai orang jenius ini daripada pemerintahnya.

Selama merantau di Jerman, saya sering bertemu dengan orang-orang seperti Danet. Manusia dengan tingkat kecerdasan luar biasa. Mereka ada pada level yang saya sendiri tidak sangka manusia Indonesia bisa sepintar itu. Gila man, orang Indonesia tuh boleh diadu dengan orang paling pintar dari belahan dunia mana pun. Sebel saya kalau melihat pejabat kita merasa inferior kalau ketemu bos perusahaan asing atau pejabat pemerintahan asing. Hari gini masih punya mental bangsa jajahan? Hah, sudahlah!

Balik lagi soal manusia Indonesia jenius. Guru bahasa Jerman saya di Hartnackschule Berlin sampai punya anggapan begini: Semua orang Indonesia datang ke Jerman untuk belajar teknologi. Nggak salah kok, mereka adalah Anak-anak Habibie, generasi muda Indonesia yang belajar aneka ilmu yang dahsyat. Bidangnya sudah aneh-aneh. Lagipula, ngapain sih belajar yang biasa kalau mereka punya otak yang luar biasa.

Ada dua ilmuwann yang saya cukup kenal. Demi menjaga privasi mereka,  kita pakai inisial saja ya. Yang pertama ini adalah Pak H. Bidangnya teknik sipil, namun sangat tinggi ilmunya. Tahu nggak kenapa kontruksi beton buatan Jerman kuat-kuat. Mereka menguji beton konstruksinya diledakan! Blarrr! Dan manusia jenius di balik uji coba beton ini adalah Pak H dan dia adalah satu-satunya orang Indonesia yang ada di badan riset beton itu.

Ada ucapan beliau yang terus terngiang-ngiang di kepala saya. "Mas Fitraya, kalau saya ke Indonesia, nanti saya mau kerja apa?" Persis! Ya Tuhan, bangsa ini belum sanggup menampung anak-anak Habibie yang kepintarannya jauh melebihi para anggota DPR yang terhormat itu.

Orang kedua adalah ilmuwan geofisika, Pak M namanya. Sempat berbakti di Indonesia dan terlibat dalam penanganan Kasus Lumpur Lapindo. Namun rupanya pihak Lapindo tidak butuh orang jujur. Ketika Pak M bicara apa adanya soal kemungkinan human error dalam kasus Lapindo, dia malah didepak. Mendepak orang sejenius ini? Karena kejujurannya? Bangsa kita sudah sakit.

Jerman pun mengambil Pak M. Dia kini menjadi salah satu ilmuwan ternama pada sebuah universitas top di Jerman. Orang Indonesia, saudara-saudara sekalian. Masih banyak orang-orang seperti mereka, bertebaran di seluruh dunia dengan kemampuan luar biasa. Mereka siap membangun Indonesia, tapi tidak ada political will yang serius dari pemerintah Indonesia untuk menghimpun mereka.

Saat saya hendak meninggalkan Jerman untuk pulang ke Indonesia, Pak H dan Pak M cerita ada wadah yang sudah dibikin namanya Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I4). Wah saya ikut girang, daripada menunggu niat baik pemerintah, mending mereka yang jemput bola menghimpun diri. Bayangkan anak-anak Habibie ini di seluruh dunia merapatkan barisan, ingin berbuat sesuatu untuk bangsa.

Tapi, masalah Tucuxi ini seperti pukulan terhadap mimpi idealis mereka untuk menyembuhkan bangsa yang berpikir pendek dan instan ini. Danet, kalau saya tidak salah, adalah bagian dari jaringan I4 ini. Saya hanya bisa membayangkan sakit hatinya Danet.

Saya hanya berdoa......... Ah lagi-lagi saya harus menghela nafas panjang. Please, Danet, Pak H, Pak M dan kalian wahai anak-anak Habibie di segala penjuru planet Bumi, jangan menyerah dengan bangsa ini. Kalau bangsa ini memang kerbau. Cocoklah hidungnya dan bawa ke padang rumput yang hijau, lalu ajari kerbau ini menjadi manusia Indonesia seutuhnya.

Saya hanya mengutip, kalimat pembuka surat terbuka I4 yang dibikin dulu banget waktu deklarasi. Ingat-ingatlah kata-kata ini, ingat-ingatlah mimpi kalian:

Kepada Para Ilmuwan Indonesia Internasional di Berbagai Belahan Bumi
Bahwa sesungguhnya kemajuan dan kemuliaan suatu bangsa tidak terlepas dari penguasaannya terhadap ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi. Kemajuan dan kemuliaan suatu bangsa merupakan kristalisasi keringat dan kerja keras dari bangsa tersebut dalam menguasai, memanfaatkan dan mengamalkan ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi dalam pembangunan bangsanya.


Anak-anak Habibie, kalian adalah pemuda yang disebut Soekarno dapat mengguncang dunia!

Sri Lanka: Di Titik Nol Sebuah Negara

Nampang depan Independence Memorial Hall
Ini masih kelanjutan cerita soal liputan ke Sri Lanka pada akhir Maret sampai awal April 2012 lalu. Usai dari Sri Lanka Expo 2012 dan mengisi perut dengan aneka kari di Harbour Room, Grand Oriental Hotel yang antik, saya masih punya banyak waktu luang sore hari.

Anthony yang jadi pemandu saya menawarkan kami, 4 jurnalis dari Indonesia ini, pergi ke monumen kemerdekaan Sri Lanka. Secara saya penikmat jejak peradaban dan sejarah, saya langsung setuju. Maka jadilah Anthony membawa kami ke kawasan Cinnamon Garden.

Independence Memorial Hall adalah monumen nasional yang sangat penting untuk bangsa Sri Lanka, sekaligus objek wisata menarik untuk wisatawan. Letaknya di jantung Kota Colombo. Kalau kita traveling sendirian, tanya sopir bajaj yang bertebaran di kota ini, mereka pasti bisa mengantar Anda ke taman alun-alun ini.

Karena namanya Hall alias aula, monumen ini memang berbentuk seperti aula dengan banyak tiang dan atap kokoh, namun sengaja dibuat tanpa dinding. Pengunjung bisa masuk dari arah mana saja. pada 28 Maret 2012 sore itu, matahari bersinar terik sekali. Tadinya mau foto narsis lama-lama, eh nggak jadi.

Patung Stephen Senanayake, PM Sri Lanka pertama
Dalam catatan sejarahnya, pada 4 Februari 1948, di lokasi ini menjadi tempat diresmikannya parlemen pertama Sri Lanka oleh Pangeran Henry dari Inggris. Hal itu sekaligus menandai, dimulainya pemerintahan Sri Lanka yang berdiri sendiri, bebas dari kekuasaan Inggris.

Arsitekturnya bukan sembarangan. Aula kemerdekaan ini meniru Mogul Moduwa, ruang perayaan dari Kerajaan Kandy, kerajaan terakhir di Sri Lanka sebelum dijajah Inggris.

Di depan aula ini tegak berdiri patung Stephen Senanayake. Dialah bapak bangsa untuk Sri Lanka, sebagai Perdana Menteri pertama Sri Lanka. Dia menjadi ikon, seperti halnya Soekarno menjadi proklamator Indonesia bersama Mohammad Hatta.

Objek wisata ini menarik untuk dikunjungi karena menjadi titik awal lahirnya Sri Lanka. Tempat ini gratis lho untuk didatangi. Sebagai bonus tambahan, jangan lewatkan Independence Memorial Museum yang terletak di ruang bawah tanah aula kemerdekaan ini. Sayang kami tidak punya banyak waktu untuk melongok isi museum.

Singa, lambang negaranya Sri Lanka
Oh, jangan lupa untuk menikmati relief di langit-langit di dalam aula. Relief ini menceritakan sejarah Sri Lanka tapi dalam periode di luar dugaan saya. Ada relief sebuah gunung. Anthony bilang itu adalah Adam's Peak alias Gunung Sri Pada.

Gunung itu diyakini sebagai tempat Nabi Adam turun ke bumi. Hal itu ditandai dengan sebuah tapak kaki di puncak Sri Pada. Sayang beribu sayang, Adam's Peak tidak ada dalam itinerary saya... Haaaaah ya sudahlah. Anyway, kisah soal monumen ini sudah saya tulis juga untuk detikTravel.

Sri Lanka: Sebuah Pemandangan 175 Tahun

View dari balkon Harbour Room
 Beres liputan Sri Lanka Expo 28 Maret 2012 silam, sambil nggak dapat berita apa-apa juga, saya, kawan-kawan wartawan dan Mba Glory Singapore Airlines memutuskan hengkang dari sana. Hmmm, rupanya panitia Expo sudah menyiapkan tempat untuk kita makan siang: Grand Oriental Hotel. Rupanya bukan tempat sembarangan. Mereka ingin sekalian mempromosikan sebuah tempat yang bisa jadi objek wisata sejarah di Colombo.

Lorong kota tua di York Street
Kolonialisme Inggris di Colombo, Sri Lanka, menyisakan banyak bangunan antik yang memesona wisatawan. Grand Oriental Hotel ini adalah salah satu bangunan antik tersebut. Tempat ini menawarkan suasana makan zaman panjajahan dengan pemandangan Pelabuhan Colombo. Klasik!

Hotel jadul ini terletak di ujung jalan York Street, di kawasan kota tua Colombo. Patokannya gampang, hotel ini bersebelahan dengan Mabes Polisi Colombo dan pintu masuk Pelabuhan Colombo. Kita sempat menikmati lorong-lorong kota tua ini sebelum masuk ke dalam hotel.

Di lobi hotel, ada plakat soal keterangan pembangunan Grand Oriental Hotel. Dibangun dengan duit 80.000 Poundsterling oleh Pemerintah Inggris pada 1835, hotel ini selesai dibangun pada 1837. Artinya, hotel ini sudah berumur 175 tahun, wow!

Untuk menikmati pemandangan terbaik di Pelabuhan Colombo, silakan naik ke lantai 5 hotel ini menuju restoran Harbour Room. Nama tempatnya pas banget. Restoran ini dikonsep dengan suasana restoran di dalam kapal dan punya pemandangan menakjubkan dari Pelabuhan Colombo. Para wisatawan yang berkunjung bisa menikmati buffet atau ala carte tergantung hari kunjungannya.

Yang unik, daftar menu minumannya berbentuk menyerupai peta tua. Sementara, makanan hari ini berkonsep buffet. Begitu melihat buffet-nya, mata saya langsung hijau. Kari! Kari bertebaran di mana-mana! (pakai efek mata berlinang-linang). Saya campur semua di piring, Dhal Curry, Chicken Curry dan Mutton Curry.

Tampak depan Grand Oriental Hotel
Makanan enak sudah di meja, kini saatnya menikmati pemandangan. Meja paling dekat jendela memang menjadi rebutan. Pemandangannya bagaikan layar TV raksasa menampilkan pelabuhan dan laut lepas. Aktivitas bongkar muat kapal, kapal patroli, serta kapal pesiar di kejauhan, hiruk pikuk itu begitu terasa.

Tapi, kita ingin pemandangan yang lebih asyik. Jadi setelah makan, kita melipir ke balkon restoran. Panas hawanya tapi kita bisa menikmati angin pelabuhan, suara kapal pun terdengar lebih jelas dan lebih leluasa untuk mengambil foto.

Di kepala saya langsung terbayang, bagaimana para pejabat kolonial Inggris, dan para landlord pemilik perkebunan teh dahulu bergaul di tempat ini. Pada malam hari, pasti lampu-lampu pelabuhan juga akan tampil dengan cantik. Setelah 175 tahun berlalu, suasanya klasik ini nyaris tak berubah.

Soal suasana makan di Grand Oriental Hotel ini sudah tayang di detikTravel juga kawan-kawan...

Saturday, January 12, 2013

Menjadi Wartawan Detektif - Part 1: Investigasi

Serius, yang membuat saya jadi wartawan, salah satunya adalah gara-gara membaca komik Tintin sewaktu kecil. Bayangan saya, wartawan itu kerjanya mengungkap misteri dan rahasia begitu. Semacam mengungkap Rahasia Kapal Unicorn hehehehe.

Ternyata bayangan itu tidak salah-salah amat. Jurnalisme Investigasi, begitulah istilah umum menyebutnya. Wartawan mengungkap suatu kasus atau peristiwa dengan riset yang sangat detil dan mendalam. Fakta-fakta yang diungkap belum pernah diketahui publik sama sekali. Kalau kata Kasino Warkop, seperti jadi detektif partikelir.

Satu-satunya tempat untuk memuaskan hasrat investigasi itu adalah detikNews, sekarang plus Majalah Detik dan Harian Detik. Kayanya kalau di detikTravel belum ada yang bisa diinvestigasi hehehe, belum lho ya.

Sepanjang karir saya sebagai wartawan, ada sebuah kasus yang saya ungkap, diinvestigasi dari nol, sampai akhirnya jadi ramai se-Indonesia. Pokoknya ini kasus yang menjadi kenangan untuk saya, karena memuaskan hasrat pribadi saya melakukan investigasi sampai tuntas.

Kasus itu adalah Penipu Cantik Selly Yustiawati yang bikin ramai Indonesia pada awal-awal tahun 2010. Hayoooooo pada masih inget nggak kasusnya? Cewek, cantik, masih muda, jago tipu. Saking banyaknya korban sampai mereka bikin grup di Facebook lho.

Kasus ini bermula dari curhatan sepupu saya yang baru saja ditipu jutaan rupiah oleh seorang gadis muda bernama Selly. Nama itu seperti pernah saya dengar, gebetan teman saya yang lain. Saya tanya ke teman saya itu, dan dia bilang, "Wah nipu tuh cewek, untung belum jadian ama dia." Teman saya menyebutkan si gadis penipu mengaku sebagai wartawan Kompas yang liputan di Mabes Polri.

Saya hanya punya satu nama cewek anak Kompas yang liputan di Mabes Polri, dan namanya Sarie bukan Selly. Ketika saya hubungi Sarie, makin kagetlah saya kalau Selly habis menipu para wartawan dan karyawan Kompas. Selly pernah bekerja sebagai resepsionis Kompas, kemudian resign sebelum kasus penipuannya ketahuan.

Yak, sampai sini saya ingin menjelaskan elemen utama yang penting untuk liputan investigasi: INSTING. Ini seperti Spider Sense punya Spiderman gitu. Insting kalau yang saya hadapi adalah sesuai yang bisa bikin geger. Nggak ada sekolahnya sih, wartawan detikcom melatih insting berita melalui diskusi berkelanjutan dengan Pimred saat itu Pak Budiono Darsono dan Wapimred saat itu Arifin Asydhad. Belajar memahami insting mereka dan mencoba melatih sendiri insting berita kita.

Insting saya mengatakan ini kasus bakal bikin ramai. Kapan lagi ada penipu cantik? Saya bawa kasus ini ke Mas Asydhad, beliau berpikir sebentar dan lalu bilang, "Mainkan, Fay! Tapi kamu riset dulu dari awal yang benar."

Saya waktu itu sudah editor detikNews. Masih liputan ke lapangan, tapi separuh waktu di kantor mengedit tulisan kawan-kawan di lapangan. Kalau sudah ada perintah 'Mainkan' itu artinya editor yang ditunjuk bertanggung jawab penuh mengembangkan beritanya dari nol dan memanfaatkan semua asset wartawan di lapangan untuk mengumpulkan data dan informasi. Jadi ruang redaktur itu isinya editor-editor yang pada pegang kasus gitu. Si X fokus sama kasus A, Si Y fokus sama kasus B. Kayak detektif pegang kasus kan jadinya.

Saya memulainya dengan membuka arsip berita, detektif banget kan buka-buka arsip kerjaannya. Selly pernah dilaporkan ke Polda Metro Jaya karena menipu para mahasiswa Universitas Moestopo pada tahun 2006. Wartawan detikcom Amel di Polda dan Didi di Polres Jaksel memberi informasi kalau Selly juga menipu karyawan Hotel Grand Mahakam pada 2009 dan Kompas juga pada 2009.

Informasi awal cukup dan saya yakin dengan pengembangan berita, saya pun siap melepas berita pertama. Saya butuh judul yang sangat catchy dan pilihan saya adalah film Leonardo di Caprio 'Catch Me If You Can'. Si Selly ini mirip banget dengan karakter dalam film itu, muda dan jago tipu. Jadilah judul pertama "Catch Me If You Can, Perempuan Cantik Menipu Lagi"


Pelan-pelan, meja saya yang kosong menjadi penuh dengan corat-coret, tempelan nomor telepon para korban, dan nomor telepon lain, aneka skenario yang mungkin dilakukan Selly dan semua serba Selly ada di meja saya. Satu orang mengarahkan saya kepada orang lain. Mungkin ada sekitar 50 orang yang saya wawancara. Sementara berita tentang Selly semakin banyak yang muncul di detikcom, dari tulisan saya dan tulisan teman-teman yang membantu saya.

Beberapa obrolan dengan psikolog dan kriminolog menyebutkan kalau saya berhadapan dengan orang yang licin, pintar, agak-agak psycho. Bayangkan, Selly mencuri identitas seorang wartawati Kompas sungguhan, mempelajari gerak-gerik, cara bicara, gaya kerja. Selly mengubah dirinya menjadi sang wartawati tersebut, plus membawa-bawa ransel Kompas kemana-mana. Psycho banget nih orang. Saya harus bisa berpikir satu-dua langkah di depan Selly, menebak kemana dia akan pergi.

Isu yang kita mainkan, sukses atau nggak, parameternya satu. Kalau semua media di Indonesia ikutan menulis Selly, itu artinya kita SUKSES. Dari TV, koran, radio akhirnya semua ikut memberitakan Selly. Bahkan Tabloid Nova saja bikin edisi Selly. Wah ketika semua menulis Selly, saya girangnya bukan main. Artinya ruang gerak penipu ini makin terbatas, selain juga merasakan orgasme jurnalistis (istilah apaan nih?!). Maksud saya rasanya puas banget bisa bikin isu yang bisa bikin ramai negara ini yang udah lelah dengan berita politik dan korupsi.

Dari investigasi saya, begini pergerakan Selly: Usai menipu Kompas dia lari ke Depok, menipu di Depok lantas dia lari ke Bogor. Usai menipu di Bogor, dia lari ke Bandung. Nah, ada garis batas yang jelas antara investigasi polisi dan investigasi wartawan. Investigasi wartawan sampai kapanpun tidak bisa menjadi alat penyidikan. Masalahnya dalam banyak hal, wartawan selangkah atau dua langkah lebih maju dari polisi. Kita sudah tahu Selly di Bandung, polisi masih berpikir Selly di Bogor. Hadeeeeuhh.

Satu-satunya cara adalah membujuk agar korban melapor, ini yang paling susah. Kriminolog dan psikolog yang saya wawancarai benar juga. Korban penipuan paling malas melapor ke polisi, ini yang bikin Selly makin merajalela. Saya selalu membujuk para korban agar melapor ke polisi. Tapi walaupun korban malu ke polisi, mereka punya mekanisme sendiri: Bikin grup Facebook.

Selly yang mencari korban lewat Facebook, dilawan para korbannya lewat Facebook juga. Ratusan orang jadi anggota grupnya. Ada korban dan publik yang mau tahu soal perkembangan kasus Selly. Jadinya saya lebih mudah menyebar jejaring informasi lewat jejaring sosial. Setiap hari saya memasang umpan, barangsiapa yang punya info soal Selly akan saya hubungi. Setiap pagi, setiap umpan yang berbalas saya segera hubungi untuk setiap informasi terbaru soal Selly.

Akhirnya, korban yang di Bogor dan di Bandung berani melapor ke polisi. Nah kalau sudah begini kerjaan saya akan lebih mudah untuk mem-push kepolisian menindaklanjuti kasus ini. Akhirnya pada Maret 2010, Selly masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) alias buron. Artinya semua polisi di Indonesia bisa menangkap Selly. Selly lantas menghilang ditelan bumi, tapi saya tahu Selly kabur ke Yogyakarta. Tiarap dan tidak ada lagi kasus penipuan yang muncul. Laporan sumber kepada saya juga menyebutkan Selly muncul di Bali.

EPILOGUE

Setahun setelah Selly menjadi buron, wartawan detikNews di Bali, Gede Suardana memberi tahu Selly tertangkap di Bali. Waktu itu, kasus Selly sudah saya anggap tutup buku sementara waktu. Selly babak dua ini sudah tidak menjadi tanggung jawab saya lagi, tapi sudah dikerjakan ramai-ramai. "Ketangkep juga tuh Fay, Si Selly," ujar seorang kawan.

Akhirnya Selly diadili dan divonis 11 bulan penjara. Tidak lama, tapi semoga itu membuatnya jera dan tidak ada Selly lain di masa depan.

Kalau di film detektif, ini adalah adegan dimana saya kembali ke kantor, menggantung jas dan melempar topi saya. Kemudian duduk dan menaruh kedua kaki saya ke atas meja kerja. Kamera lalu men-zoom in wajah saya, yang lalu berkata, "Case closed!"