Sebelum baca tulisan saya, yuk tonton dulu detik-detik awal liputan eksklusif The Boston Globe saat ledakan bom di Boston Marathon. Seiring itu kita sampaikan duka cita kepada seluruh para korban.
Sudah? Oke, dalam perkembangan berita terakhir kita tahu warga Boston bersorak sorai karena pelakunya yang kakak beradik orang Chechnya itu sudah tertangkap dan satu lagi tewas. Case closed? Nanti dulu.
Sekitar Selasa sore kemarin, anak buah gue Afif kasih lihat video Youtube ini dari The Boston Globe. Detik-detik awal ledakan bom di acara Boston Marathon. Wajar nggak? Buat saya ada beberapa hal yang janggal saja sih di video itu. Mungkin hanya sekadar ketidaktahuan saya, silakan mengkritik saya untuk itu. Saya mau bahas detik demi detik.
1. Detik 0:07
Kameramen bernama Steve Silva ini berdiri di garis Finish merekam para pelari masuk ke garis finish dan bomnya meledak. Reaksi dia? Nggak kaget-kaget amat. Kok bisa?
Entah kenapa saya merasa reaksi dia nggak manusiawi. Menghadap ke arah ledakan, tapi dia nggak punya refleks apa-apa. Kalau dia kaget dan refleks, arah kameranya bisa berubah angle drastis karena misalnya dia menunduk, jongkok, dan aneka reaksi manusiawi lain untuk mencari posisi aman karena kaget. Tapi si kameramen seperti bertugas merekam ledakannya sebaik mungkin. Kameranya cuma 'shaken' sedikit saja.
Di Youtube juga banyak contohnya kameramen yang refleks ketika kaget dan rekaman gambarnya jadi kacau. Tapi rupanya tidak demikian dengan kameramen kita ini.
2. Detik 0:14
Seorang pelari tergeletak setelah ledakan bom. Itu berita banget secara gambar. Saya pikir semua wartawan dan fotografer sepakat. Silakan tanya para kameramen TV One atau Metro TV. Tapi si kameramen Boston Globe ini malah asyik merekam asap yang mengepul, bukannya segera mengambil gambar korban.
Kenapa yah? Saya juga nggak mengerti kenapa si kameramen menahan ketinggian kameranya di bawah dada. Kameramen lain saya pikir akan mengangkat kameranya tinggi-tinggi untuk angle yang lebih luas. Setidaknya sejajar kepala. Menahan kamera setinggi dada kan akibatnya angle gambarnya terbatas.
3. Detik 0:53, 1:04 dan 1:12
Apa reaksi wartawan ketika ada bom meledak? Mencari sumber ledakan. Itu yang dilakukan fotografer lain, mulai dari detik 0:53, 1:04 dan 1:12. Sumber ledakan punya nilai berita lebih dari pada si Silva ini yang merekam situasi di sekitarnya. Lihatlah beberapa fotografer mendekati trotoar untuk mengambil gambar. Tapi tidak dengan kameramen Boston Globe. Why?
4. Detik 1:30
Si kameramen mendapat angle untuk mengambil gambar korban yang belum didatangi paramedis. Si kameramen tidak melakukannya. Tapi dia malah menyorot banner '2013 Boston Marathon'.
Saya nggak paham kenapa kameramen ini tidak mau merekam gambar para korban di detik-detik awal setelah ledakan dan malah mengambil jarak. Nggak wartawan banget, nggak kameramen banget gayanya.
5. Detik 1:44
Ada tentara? Sampai sini saya nggak tahu mau bilang apa. Apakah AS punya kebiasaan melibatkan tentara aktif di dalam sebuah acara sipil? AS itu bukan Indonesia yang melibatkan Korem dan Koramil untuk acara-acara rakyat jelata.
AS itu mengaku punya civil society kuat, pengamanan mereka dilakukan polisi, kalau genting ada SWAT. Tentara mereka ada di barak. Mereka tidak serta merta muncul membantu polisi dalam...... 1 menit 44 detik?!?! CMIIW, tapi saya benar-benar tidak tahu kenapa tiba-tiba ada tentara di acara Boston Marathon.
Itu sih 5 hal yang mengganggu dari video ledakan Bom Boston. Masalahnya, video inilah yang dipakai seluruh media di AS untuk menggambarkan ledakan bom tersebut. Yang mau analisa lebih konspiratif, silakan baca laman-laman tetangga ya. Saya hanya menganalisa sebatas data yang saya punya.
Sunday, April 21, 2013
Sunday, April 14, 2013
2 Pria yang Mengubah Briptu Norman... Selamanya
Berita pertama Norman Kamaru di Indonesia |
Minggu, 3 April 2011 adalah hari yang akan saya kenang, dan juga teman saya Anwar Khumaini. Pada masa itu saya masih di detikNews, Anwar juga belum pindah ke merdeka.com. Saya piket Minggu menjadi kordinator liputan dan Anwar sebagai penulis kantor. Di lapangan ada 2-3 wartawan liputan.
Ini adalah hari Minggu yang landai dan membosankan.Tidak ada kejadian dominan. Sampai pada sore hari... Redpel detikNews, Indra Subagja tiba-tiba memberi link video Youtube 'Polisi Gorontalo Menggila'. Saya tonton, dan busyet! Keren sekali polisi Brimob ini joget India. Ngakak menontonnya.
Tiba-tiba, insting wartawan saya menyala (kayak Spider Sense-nyaSpiderman gitu). Kayaknya menarik ini untuk diberitakan, soalnya hari Minggu itu nggak ada yang seru seharian. Dan si Brimob ini bisa jadi Shinta dan Jojo baru yang waktu itu lagi ngetop banget.
"War, harus ente yang bikin, kan ente penggemar film India. Lebih menghayati. Entar gue edit, gue bumbuin deh," kata saya mengoper link Youtube itu ke Anwar.
Ini pasti lagu Shahrukh Khan, tapi yang mana? Anwar tampak berpikir keras, memutar semua film Shahrukh Khan... di kepalanya. Kata kunci kami cuma bagian reff, sesuatu yang terdengar 'chaiyya chaiyya' begitu. Browsinglah dan kami menemukan video klip dari film Dil Se, film jadulnya Shahrukh Khan.
Wah mirip gaya jogetnya! Memang meniru video klip aslinya! Nambah ngakak kami menontonnya. Hup hup, Anwar lantas mulai ketak-ketik memberi deskripsi cerita. Sementara saya bikin prints creen video klip dengan gaya si polisi yang paling maksimal.
Informasi kami sangat terbatas. Mendeskripsikan total apa yang kami lihat dari video klip. Kami cuma tahu pangkatnya Briptu. Artikel beres, giliran saya yang mengedit.
Pertama adalah membuat lead. Polisi nyeleneh ini pasti bakal dihantam sama atasannya. Jadi kita harus membuat lead yang agak membela si Brimob ini. Jadilah saya menambahkan lead, "Brimob juga manusia." Humanis toh, semua orang punya hak untuk berjoget. Biar lebih kuat, kami tambahkan komentar para pengguna Youtube yang menyukai aksi si polisi.
Lantas judulnya, harus eye catching banget nih di hari Minggu santai ini. "Kudu pake bahasa India, War," kata saya. Jadilah saya ganti judulnya Anwar menjadi Chaiyya! Anggota Brimob Nyanyi Lagu India.
Sumpah, kami menulis berita ini sambil ngakak-ngakak. Untuk penutupnya, kita bilang "Akankah sang Brimob ini bisa setenar Shinta dan Jojo? Kita tunggu saja"
Artikel ditutup dengan kode nama kami (Anw/Fay). Artinya Anwar yang menulis, Faya yang mengedit. Berita ini naik pada Minggu, 03/04/2011 pukul 16:32 WIB. Yang pertama di Indonesia, silakan cek.
Kami pulang dengan senyum-senyum. Kami yakin beritanya pasti menarik dan dibaca orang. Hanya saja, kami tidak menduga beritanya bakal meledak, SANGAT MELEDAK, BLAAARRRR!!!!!!!
Pada hari Senin, Indra bilang berita kita menggelinding liar seperti bola salju. Semua media nasional melahapnya habis-habisan. Seperti saya duga, bolanya mengarah kepada kemungkinan sanksi untuk si Brimob yang belakangan saya tahu namanya Briptu Norman.
Lantas Mabes Polri dengan cerdik melihatnya sebagai peluang untuk membersihkan muka Korps Bhayangkara yang lagi dihantam masalah Cicak VS Buaya. Jadilah Briptu Norman Kamaru sebagai bintang.
"Gara-gara ente berdua tuh," kata beberapa kawan.
Yup! Kami berdua yang bertanggung jawab atas perubahan nasib Briptu Norman hahahahahaha. Bahkan semestinya Norman berterima kasih kepada Anwar, tapi pas Norman tempo hari main ke kantor detikcom, Anwar malu-malu menemui dia.
Bagaimana rasanya menjadi pihak yang pertama kali mengangkat sebuah berita yang fenomenal? Feel like orgasm hehehe. Bagaimana rasanya kalau berita itu menjadi perhatian nasional, meledak luar biasa, diikuti semua media nasional? Multiple orgasm..... hahahaha.
Tapi beneran, menjadi wartawan paling puas itu kalau berita yang kita bikin disukai pembaca. Saya tidak ada urusan dengan si Briptu Norman ini. Urusan saya adalah memberikan berita terbaik kepada pembaca detikcom. Ketika pembaca suka, itu sudah jauh lebih dari cukup bagi saya sebagai seorang wartawan.
Subscribe to:
Posts (Atom)