Sambil nyeruput teh panas malem ini, izinkan saya menerawang jagat
politik 2018. Bagaimana serunya permainan tahta tahun ini? Yuk kita bagi
dalam beberapa poin:
1. Jokowi
Presiden selalu jadi aktor utama politik Indonesia. Tahun 2018 ini dia akan memastikan jalannya lapang menuju Pilpres 2019.
3 tahun pertama sudah dia habiskan untuk menguasai Indonesia dari ujung, diakhiri dengan cuci muka di Rote. Dia biarkan musuhnya bergumul di Jakarta, sementara dia bikin orang pedalaman jatuh cinta sama dia lewat aneka proyek pembangunan yang dia resmikan.
Dari desa mengepung kota. Itulah strategi Jokowi 2018. Dari ujung Indonesia, menyerbu Jawa. Pilkada 2018 akan jadi pertarungan Jokowi menguasai Jawa, karena Djawa adalah koentji!
Tahun ini Jokowi akan buka cabang ke partai lain. Menguasai dari balik layar, menaruh orang, atau melakukan deal tingkat tinggi dengan para ketum parpol. Ini untuk memastikan mesin partainya saat Pilpres 2019 bukan cuma PDIP. Jokowi juga akan menambah koleksi jenderal di sekelilingnya
Jokowi ini juga sudah menggarap pemilih milenial lewat setidaknya 3 orang KOL. Tinggal jentik jari, berubah jadi dukungan politik. Siapa KOL ini, tunggu aja tanggal mainnya. Sekitar 6 bulan dari sekarang, Jokowi untuk pertama kalinya akan mengungkap kekuatan politik yang disembunyikannya selama ini lewat imej lemah yang dia lempar dengan sengaja, seperti muka planga-plongo atau petugas partai.
2. Pilkada
Pilkada diamati banyak akademisi ilmu politik untuk melihat konsistensi koalisi politik di Jakarta berhadapan dengan kondisi politik di Jawa dan provinsi utama di Sumatera dan Sulawesi. Analis dan pengamat sama-sama menunggu hasil eksperimen pencalonan pasangan cagub yang bisa berubah sampai detik terakhir.
Pilkada Jabar sebagai penyangga Jakarta, adalah duel mesin parpol-parpol. Semua tampak imbang di sini demi pemanasan bertarung di Pemilu 2019. Pilkada Jateng adalah duel Jokowi VS JK. Ganjar adalah jago Jokowi, Sudirman Said adalah orangnya JK. Pilkada Jatim adalah all Jokowi Finals. Ipul didukung PDIP, Khofifah adalah orang Jokowi yang disokong PD, hasil deal Jokowi-SBY yang sudah tukeran warna baju batik dan luput dari perhatian oposisi.
Dari sini kita bisa melihat pola bahwa kekuatan oposisi makin jauh dari Jakarta, makin lemah dia. Gerindra dan PKS bahkan berkongsi dengan partai pendukung penista agama di Jawa Timur. Koalisi maut oposisi di Jakarta menggusur Ahok, tidak bisa dilanjutkan di daerah.
3. Tokoh alternatif
2017 dan 2018 adalah tahun lahirnya tokoh alternatif. Tokoh tua selain incumbent, tidak pernah laku di negeri ini. JK, Mega dan SBY sudah pasti jadi King Maker. Panggung tokoh alternatif menjadi milik Gatot Nurmayanto dan Anies Baswedan.
Gatot punya daya tawar tinggi. Tapi JK dan Prabowo sudah berinvestasi politik dalam sosok Anies. Itu sebabnya Anies jaim sementara Sandi dimagangkan sebagai gubernur, terutama untuk ngomongin kebijakan kontroversial.
Satu masalah adalah Gatot berebut kue pasar pemilih yang sama dengan Prabowo. Bisa saja dipasangkan Gatot-Anies atau Prabowo-Anies. Tapi ini belum mengakuisisi pasar pemilih nasionalis abangan. Justru Gatot adalah pasangan yang sempurna untuk Jokowi, pasar nasionalis abangan dan pasar religius. Kepada siapa Gatot akan berlabuh?
Sementara itu bursa Wapres lebih ramai lagi untuk calon pasangan Jokowi. Menteri aktif, ketum parpol, alumni kepala daerah, sampai tokoh nasional bersaing ketat. Jokowi akan mengungkapnya 6 bulan lagi.
4. Xenophobic populism
Xenophobic = isu SARA, populism = bualan angin surga. Saya waktu kuliah ngabisin waktu 8 bulan tahun 2004, buat meneliti gaya politik unik ini dengan studi kasus Australia. Nggak nyangka kalau gaya politik ini bisa tumbuh di Indonesia 10 tahun kemudian. Dalam kajian ilmu politik, Xenophobic Populism muncul ketika incumbent penguasa, susah dilawan di level pikiran, ide, gagasan dan kebijakan, karena sedang bagus dan stabil.
Jadi, incumbent dilawan di level emosi, mengagregasi kemarahan dan rasa frustasi karena kalah, lewat isu SARA dan omongan berbusa-busa menawarkan mimpi. Xenophobic populism muncul ketika Amerika sedang punya Obama, Prancis sedang punya Hollande dan Indonesia sedang punya Jokowi. Di Amerika dia menang lewat Trump, di Prancis dia kalah terhadap Macron, di Indonesia kita tunggu 2019.
Xenophobic populism akan terus mewarnai politik Indonesia sampai 2019. Meskipun di daerah, tidak sekuat di Jakarta atau Jawa. Karena Pilpres ini berpusat di Jakarta, maka Xenophobic populism akan tetap mendapat panggung. Sabar-sabar ya ama isu SARA dan bualan-bualan kejayaan. Hoax adalah materi propaganda paling umum dari Xenophobic populism, jadi atur sedikit Facebook Anda supaya algoritmanya bersih dari materi Hoax.
5. Broker Politik
Tahun 2018 juga bakal ramai dengan yang namanya broker politik. Teman saya yang ikut aksi 212 bilang, perjuangan mereka selesai setelah Ahok dipenjara. Saya setuju. Lantas apa itu yang masih kasak kusuk kesana kemari bawa-bawa nama umat Islam sampai sekarang? Itulah para Middle Men, yang punya agenda tersembunyi. Mereka lebih berkuasa dari grass root, tapi lebih lemah di hadapan partai dan elit politik.
Parpol dan elit butuh middle men buat menggerakan massa akar rumput dan menampung uang bancakan untuk nanti dipakai lagi buat Pemilu 2019. Jadi tahun 2018 ini, jangan heran bakal banyak proyek baru dengan harga yang bombastis, impor a sampe z atau suntikan dana ini itu. Semuanya modus aja buat nabung duit menyambut pemilu. Middle men ini ada pengusaha, avonturir politik, aktivis, pentolan ormas dan LSM.
Kita melihat middle men tarik ulur kepentingan dengan majikan mereka. Minta jatah kepala daerah, nggak dikasih terus ngambek. Ada lagi yang bikin proyek supermahal, atau disuntik duit melebihi kebutuhan. Middle men mengabdikan diri kepada siapa yang sanggup bayar. Mereka bermain di dua kaki, kubu penguasa dan oposisi. Jadi jangan pernah percaya dengan mulut mereka, jangan pernah. Rakyat mereka jual sebagai posisi tawar di hadapan para majikan. Tujuan mereka cuma dua: cari duit dan naik kelas jadi kelompok elit.
5 Hal itu aja dulu yah yang diterawang. Ntar ditambahin lagi deh, kalau ada pertanyaan dari kawan-kawan sekalian. Tehnya udah habis nih...
1. Jokowi
Presiden selalu jadi aktor utama politik Indonesia. Tahun 2018 ini dia akan memastikan jalannya lapang menuju Pilpres 2019.
3 tahun pertama sudah dia habiskan untuk menguasai Indonesia dari ujung, diakhiri dengan cuci muka di Rote. Dia biarkan musuhnya bergumul di Jakarta, sementara dia bikin orang pedalaman jatuh cinta sama dia lewat aneka proyek pembangunan yang dia resmikan.
Dari desa mengepung kota. Itulah strategi Jokowi 2018. Dari ujung Indonesia, menyerbu Jawa. Pilkada 2018 akan jadi pertarungan Jokowi menguasai Jawa, karena Djawa adalah koentji!
Tahun ini Jokowi akan buka cabang ke partai lain. Menguasai dari balik layar, menaruh orang, atau melakukan deal tingkat tinggi dengan para ketum parpol. Ini untuk memastikan mesin partainya saat Pilpres 2019 bukan cuma PDIP. Jokowi juga akan menambah koleksi jenderal di sekelilingnya
Jokowi ini juga sudah menggarap pemilih milenial lewat setidaknya 3 orang KOL. Tinggal jentik jari, berubah jadi dukungan politik. Siapa KOL ini, tunggu aja tanggal mainnya. Sekitar 6 bulan dari sekarang, Jokowi untuk pertama kalinya akan mengungkap kekuatan politik yang disembunyikannya selama ini lewat imej lemah yang dia lempar dengan sengaja, seperti muka planga-plongo atau petugas partai.
2. Pilkada
Pilkada diamati banyak akademisi ilmu politik untuk melihat konsistensi koalisi politik di Jakarta berhadapan dengan kondisi politik di Jawa dan provinsi utama di Sumatera dan Sulawesi. Analis dan pengamat sama-sama menunggu hasil eksperimen pencalonan pasangan cagub yang bisa berubah sampai detik terakhir.
Pilkada Jabar sebagai penyangga Jakarta, adalah duel mesin parpol-parpol. Semua tampak imbang di sini demi pemanasan bertarung di Pemilu 2019. Pilkada Jateng adalah duel Jokowi VS JK. Ganjar adalah jago Jokowi, Sudirman Said adalah orangnya JK. Pilkada Jatim adalah all Jokowi Finals. Ipul didukung PDIP, Khofifah adalah orang Jokowi yang disokong PD, hasil deal Jokowi-SBY yang sudah tukeran warna baju batik dan luput dari perhatian oposisi.
Dari sini kita bisa melihat pola bahwa kekuatan oposisi makin jauh dari Jakarta, makin lemah dia. Gerindra dan PKS bahkan berkongsi dengan partai pendukung penista agama di Jawa Timur. Koalisi maut oposisi di Jakarta menggusur Ahok, tidak bisa dilanjutkan di daerah.
3. Tokoh alternatif
2017 dan 2018 adalah tahun lahirnya tokoh alternatif. Tokoh tua selain incumbent, tidak pernah laku di negeri ini. JK, Mega dan SBY sudah pasti jadi King Maker. Panggung tokoh alternatif menjadi milik Gatot Nurmayanto dan Anies Baswedan.
Gatot punya daya tawar tinggi. Tapi JK dan Prabowo sudah berinvestasi politik dalam sosok Anies. Itu sebabnya Anies jaim sementara Sandi dimagangkan sebagai gubernur, terutama untuk ngomongin kebijakan kontroversial.
Satu masalah adalah Gatot berebut kue pasar pemilih yang sama dengan Prabowo. Bisa saja dipasangkan Gatot-Anies atau Prabowo-Anies. Tapi ini belum mengakuisisi pasar pemilih nasionalis abangan. Justru Gatot adalah pasangan yang sempurna untuk Jokowi, pasar nasionalis abangan dan pasar religius. Kepada siapa Gatot akan berlabuh?
Sementara itu bursa Wapres lebih ramai lagi untuk calon pasangan Jokowi. Menteri aktif, ketum parpol, alumni kepala daerah, sampai tokoh nasional bersaing ketat. Jokowi akan mengungkapnya 6 bulan lagi.
4. Xenophobic populism
Xenophobic = isu SARA, populism = bualan angin surga. Saya waktu kuliah ngabisin waktu 8 bulan tahun 2004, buat meneliti gaya politik unik ini dengan studi kasus Australia. Nggak nyangka kalau gaya politik ini bisa tumbuh di Indonesia 10 tahun kemudian. Dalam kajian ilmu politik, Xenophobic Populism muncul ketika incumbent penguasa, susah dilawan di level pikiran, ide, gagasan dan kebijakan, karena sedang bagus dan stabil.
Jadi, incumbent dilawan di level emosi, mengagregasi kemarahan dan rasa frustasi karena kalah, lewat isu SARA dan omongan berbusa-busa menawarkan mimpi. Xenophobic populism muncul ketika Amerika sedang punya Obama, Prancis sedang punya Hollande dan Indonesia sedang punya Jokowi. Di Amerika dia menang lewat Trump, di Prancis dia kalah terhadap Macron, di Indonesia kita tunggu 2019.
Xenophobic populism akan terus mewarnai politik Indonesia sampai 2019. Meskipun di daerah, tidak sekuat di Jakarta atau Jawa. Karena Pilpres ini berpusat di Jakarta, maka Xenophobic populism akan tetap mendapat panggung. Sabar-sabar ya ama isu SARA dan bualan-bualan kejayaan. Hoax adalah materi propaganda paling umum dari Xenophobic populism, jadi atur sedikit Facebook Anda supaya algoritmanya bersih dari materi Hoax.
5. Broker Politik
Tahun 2018 juga bakal ramai dengan yang namanya broker politik. Teman saya yang ikut aksi 212 bilang, perjuangan mereka selesai setelah Ahok dipenjara. Saya setuju. Lantas apa itu yang masih kasak kusuk kesana kemari bawa-bawa nama umat Islam sampai sekarang? Itulah para Middle Men, yang punya agenda tersembunyi. Mereka lebih berkuasa dari grass root, tapi lebih lemah di hadapan partai dan elit politik.
Parpol dan elit butuh middle men buat menggerakan massa akar rumput dan menampung uang bancakan untuk nanti dipakai lagi buat Pemilu 2019. Jadi tahun 2018 ini, jangan heran bakal banyak proyek baru dengan harga yang bombastis, impor a sampe z atau suntikan dana ini itu. Semuanya modus aja buat nabung duit menyambut pemilu. Middle men ini ada pengusaha, avonturir politik, aktivis, pentolan ormas dan LSM.
Kita melihat middle men tarik ulur kepentingan dengan majikan mereka. Minta jatah kepala daerah, nggak dikasih terus ngambek. Ada lagi yang bikin proyek supermahal, atau disuntik duit melebihi kebutuhan. Middle men mengabdikan diri kepada siapa yang sanggup bayar. Mereka bermain di dua kaki, kubu penguasa dan oposisi. Jadi jangan pernah percaya dengan mulut mereka, jangan pernah. Rakyat mereka jual sebagai posisi tawar di hadapan para majikan. Tujuan mereka cuma dua: cari duit dan naik kelas jadi kelompok elit.
5 Hal itu aja dulu yah yang diterawang. Ntar ditambahin lagi deh, kalau ada pertanyaan dari kawan-kawan sekalian. Tehnya udah habis nih...