Meminta maaf menjadi sebuah pelajaran penting untuk kami sekeluarga. Pada suatu malam, Zahra sudah sedemikian nakalnya. Zahra mencakar pipi Papanya sampai berdarah.
Kami pun memutuskan memberi hukuman untuk dia. Tapi kita tidak suka dengan konsep hukuman fisik. Jadi kami memberikan hukuman yang ringan untuk kita tapi berat untuk Zahra.
Zahra boleh bermain dimana pun di apartemen kami, tapi..... dia tidak boleh bermain di kasur bersama Mama dan Papanya. Zahra boleh bermain di kasur dengan syarat, dia meminta maaf kepada Papanya.
Kami merasa itu akan menjadi pembelajaran yang baik, karena selama ini kami memperhatikan, dia tidak pernah meminta maaf dan selalu merasa benar. Saat merebut mainan sepupunya Saskia, atau saat mencubit tantenya Bi Aina. Zahra tidak pernah mau meminta maaf.
Benar saja, Zahra memaksa main di kasur. Tapi tentu saja kami halangi karena dia belum meminta maaf. Semakin kami halangi, Zahra semakin marah dan mulai menangis bahkan berteriak-teriak. Tapi sayangnya dia tetap tidak mau meminta maaf.
"Zahra nggak mau minta maaf, kayak orang bodoh!" teriaknya yang juga membuat kami kaget. Inikah yang ada dipikirannya selama ini tentang meminta maaf.
"Zahra, kan Zahra sering lihat Papa minta maaf kalau punya salah sama Mama, juga sebaliknya. Meminta maaf itu tidak bodoh Zahra. Itu berarti Zahra anak shalihah kalau meminta maaf," kata Desti.
Dua jam lebih berlalu, Zahra tetap berteriak-teriak dan tidak mau minta maaf. Wajahnya terlihat lelah dengan air mata bercucuran. Kami sungguh tidak tega melihatnya. Padahal asal dia bilang maaf, dan semua ini berakhir. Sayang Zahra begitu keras kepala hingga dia kelelahan.
Desti pun memeluk dia sampai Zahra tertidur. Setelah Zahra ditidurkan, kami berpelukan. "Ma, kita coba lain kali ya," kata gue. Apa kami terlalu keras terhadap dia? Kami juga tidak mau menjadi orang tua yang kejam.
Pada pagi harinya, Desti sedang menyiapkan sarapan dan gue membereskan kamar tidur. Zahra tiba-tiba berlari dari arah ruang makan dan memeluk gue.
"Papa, Zahra minta maaf," ujarnya dan gue bengong. Lalu dia pun lari ke dapur sambil gue susul dari belakang.
"Ma, Zahra udah minta maaf sama Papa," kata gue. Zahra pun lalu memeluk mama.
"Mama, Zahra minta maaf,"
Orang tua mana yang tidak luluh kalau anaknya meminta maaf dengan tulus. Kami pun memeluk Zahra erat-erat. Pelajaran meminta maaf kami ternyata berhasil. Dan Zahra pun duduk senang menikmati yoghurt strawberry kesukaannya sebagai hadiah.
Sejak saat itu meminta maaf menjadi lebih mudah untuk Zahra. Maaf saat dia menumpahkan jus jeruk. Maaf saat dia ribut waktu mamanya main gamelan di KBRI. Dan maaf-maaf yang lain.
Di sisi lain, kami pun selalu berusaha memberi contoh di depan dia saat kita saling meminta maaf. Meminta maaf adalah cara terbaik untuk menyelesaikan masalah. Meminta maaf tidak hanya menjadi pelajaran penting buat Zahra, tapi juga buat gue dan Desti.
No comments:
Post a Comment