Monday, December 24, 2012

Menikah Muda dan Bangga!

Di tengah tulip Britzergarten Berlin
"Mas Faya anaknya mau tiga, dan kita belum menikah!" pekik anak buah saya, Putri, waktu saya memberi tahu Travel Troopers (sebutan untuk awak detikTravel), kalau Desti lagi hamil.

Yup, saya dan Desti menikah dalam usia 23 tahun. Pada saat saya berumur 24 tahun, saya sudah menggendong bayi bernama Zahra. Masih muda bukan? Sampai ibu saya bilang, pernah ada yang menduga kami menikah karena Desti hamil duluan. Apaaa? Sembarangan! Saya adalah pria gentle yang menjaga kehormatan perempuan...

Tergesa-gesa juga bukan. Menikah dengan Desti adalah keputusan terbaik dalam hidup saya. Menikah muda adalah langkah yang kami ambil dengan PENUH perhitungan. Lihat, kata 'penuh' ditulis dengan bold, italic, underline dan uppercase. Ini bukan main-main.

Pada saat saya seusia anak buah saya sekarang, saya sudah berpikir jauh lebih dewasa dari mereka. Dunia mereka masih bermain, belajar kerja, cinta masih dicari, kalaupun dapat masih flirting kanan kiri. Mungkin enak hidup seperti itu. Namun sayang, itu bukan pilihan untuk saya saat itu.

Saya menjalani hidup yang keras. 5 Tahun paling kelam yang akhirnya mengubah Fitraya Ramadhanny selamanya. Shafa, anak buah saya, nggak percaya saya pernah hidup dalam kegelapan hahahaha. Dia mengira saya lugu, polos dan lurus hehehehe.

Mungkin butuh 5 blog untuk menjelaskan masa-masa itu, tidak sederhana memang. Ibu saya berulang kali bilang, "Mama bersyukur kamu bisa melewati masa itu, bahkan kamu itu nggak lari ke narkoba!" Saya pribadi bersyukur masih hidup, tidak berakhir menjadi sebuah artikel di koran lampu merah bagian berita bunuh diri.

Saya dipaksa hancur di saat saya baru mau meretas masa depan. Saya melawan dengan menjadi nakal. Lelah menjadi nakal, saya lari. Lelah melarikan diri, saya belajar bangkit dan menolak hancur. Saya harus melindungi orang-orang yang saya sayang. Walaupun saya babak belur, namun saya merasa hidup saya masih layak diperjuangkan. Karena saya menjalani itu tidak sendirian, ada seorang gadis cantik dan brilian otaknya, yang mengetahui kejadian itu sejak awal, dan menemani saya melewati masa sulit itu. Namanya Desti Fitriani.

Kebun anggur Sans Soucci Palace, Postdam
Desti, juga menjalani hidup yang sama keras. Dalam usia sebelia itu, kami dipaksa menghadapi dan mengatasi masalah untuk orang-orang 10-20 tahun lebih tua dari kami, justru karena mereka yang kekanak-kanakan. Situasi memaksa kami berpikir dan bertindak dewasa, jauh lebih dewasa dari teman-teman sebaya. Pilihan kami cuma dua, bertahan atau hancur.

"Kita mesti mikir hidup ini nanti bagaimana, bukan bagaimana nanti," ujar Desti, yang selalu saya ingat sampai sekarang. We were living in hell...

Penasaran ya ada apa yang terjadi? Desti bilang, nggak usah ditulis jadi blog hahahaha. Cukup jadi lesson learned for us. Sori......... Anyway, cinta kami yang awalnya tipikal gejolak kawula muda (halah ampun ini istilahnya), tiba-tiba menemukan makna sejatinya. Jadi beneran, jadi serius. Kami saling mencintai untuk bertahan hidup. Saling menguatkan satu sama lain, saling membantu satu sama lain, saling menjaga satu sama lain. Saling menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing, ini yang paling sukar. Mentertawakan dan meratapi nasib kami bareng-bareng.

Kami seperti tinggal berdua melawan dunia.Teman-teman SMA, cuma 2 orang yang tahu masalahnya. Teman-teman kampus nggak ada yang tahu juga kami menghadapi apa, dan masa iya kami mesti pasang pengumuman. Kami tersenyum di depan mereka dengan hati yang getir, kami tertawa dengan hati yang menangis.

Kenapa saya begitu yakin akan menghabiskan hidup dengan Desti? Saya saat itu menyadari kalau pasangan hidup bukan seseorang yang sempurna. Manusia nggak ada yang seperti itu. Pasangan hidup adalah seseorang yang saya butuhkan. Seseorang yang bisa melengkapi keberadaan kita, walaupun dia berbeda sifat. Apa yang nggak ada di saya, ada di Desti. Begitu juga sebaliknya. Desti lah yang menyempurnakan keberadaan saya di dunia.

Saya dan Desti sampai kepada suatu titik kesimpulan. Menikah adalah tiket kami untuk menyelamatkan diri dari dunia kami yang sakit. Saat itu usia kami bahkan baru 20 tahun. Sadar bahwa kami mungkin menghadapi tantangan dari orangtua masing-masing, kami mempersiapkan dulu pernikahan itu, sebelum kami benar-benar menyampaikan rencana itu kepada orangtua kami 2 tahun kemudian.

Saya menyampaikan niat saya menikah dengan Desti, bicara empat mata dengan ayahnya, saat umur saya 22 tahun.... masih kuliah. Tapi saya berani karena membawa rencana matang, bukan omong kosong. Calon mertua saya tahu cobaan hidup apa yang saya hadapi.... dan mengizinkan saya menikahi Desti. Dengan syarat, saya lulus kuliah dulu, karena Desti lulus setahun lebih cepat. Desti angkatan 1999, saya angkatan 2000.

6 Bulan setelah lulus kuliah, tepatnya 20 November 2004, kami menikah. Sebuah pernikahan yang kami persiapkan sendiri dibantu teman-teman, karena kami sadar tidak bisa membebani orangtua kami terlalu banyak saat itu.

Stockholm Palace
Delapan tahun berlalu sejak saat itu. Kami mensyukuri pernikahan kami. Benar-benar memulai dari nol, kini kehidupan kami penuh warna. Sempat berkelana 1 tahun di Jerman dan backpacker keliling Eropa, itu juga pengalaman berharga buat keluarga kecil kami. Ada Zahra si juara kelas, ada Dzaky si ganteng yang penuh tenaga, dan bayi di perut Desti.Saya sekarang Redaktur Pelaksana detikTravel dan Desti adalah dosen FEUI dengan gelar Master dari Jerman.

Tentu saja kami masih punya mimpi dan cita-cita. Mimpi dan cita-cita yang saya tahu tidak bisa saya kerjakan sendiri. Sedari awal, saya dan Desti adalah tim yang solid dan akan terus seperti itu. Kami harus punya visi jauh ke depan, itu yang membuat kami bertahan, walaupun dipaksa dewasa sebelum waktunya hehehe.

Kami kini sudah bisa tersenyum melihat masa lalu kami yang berat. Saya sendiri sudah berdamai dengan masa lalu, saya sudah memaafkan semua yang terjadi, memaafkan semua yang membuat kami jadi begini. Kami kini sudah memahami apa rencana Allah di balik semua ini. Memang ini yang jalan yang ditetapkan Allah untuk kami.

Allah mengganti semua air mata itu dengan sejuta kebahagiaan. Titik balik itu adalah pernikahan dini kami, seperti janji-Nya bahwa menikah itu membuka pintu rezeki. Menikah dalam usia muda, adalah hal terbaik yang pernah kami lakukan.

4 comments:

Anonymous said...

Hihi jadi ingat SMA dulu, kalian bisa pada kuliah Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, bahkan Jerman dll sedangkan si Budi kecil cuman jadi kuncen Cirebon karena tidak ada biaya. Tapi Si Budi kecil tau bahwa tinta takdir sudah tertulis, jika Desti mengatakan "Kita mesti mikir hidup ini nanti bagaimana, bukan bagaimana nanti". Si Budi kecil cuman berpikir mengalir seperti air, cari yang termudah, nikmati yang ada dan syukuri yang diperoleh. Terus berdoa dan berusaha. Alhamdulillah fay. Aku banyak belajar dari tukang beca sholeh, bahwa kesuksesan itu tidak ada di dunia, tetapi setelah meninggalkan dunia yaitu Syurga. Dunia cuman tempat beramal, tukang beca itu tidak muluk-muluk hanya menginginkan anaknya rajin beribadah. --(dari si Budi Kecil)--

Erfano said...

Luar biasa...keren memtuskan menikah di usia muda itu tidaklah mudah...kecee badai!

Faya said...

Makasih Bud, Insya Allah saya akan menjadi setenang air di telaga. Smoga kita jd org yg selalu bersyukur dan bersabar

Randi said...

+100 bang. Memotivasi untuk segera menikah diusia muda