Saturday, January 12, 2013

Menjadi Wartawan Detektif - Part 1: Investigasi

Serius, yang membuat saya jadi wartawan, salah satunya adalah gara-gara membaca komik Tintin sewaktu kecil. Bayangan saya, wartawan itu kerjanya mengungkap misteri dan rahasia begitu. Semacam mengungkap Rahasia Kapal Unicorn hehehehe.

Ternyata bayangan itu tidak salah-salah amat. Jurnalisme Investigasi, begitulah istilah umum menyebutnya. Wartawan mengungkap suatu kasus atau peristiwa dengan riset yang sangat detil dan mendalam. Fakta-fakta yang diungkap belum pernah diketahui publik sama sekali. Kalau kata Kasino Warkop, seperti jadi detektif partikelir.

Satu-satunya tempat untuk memuaskan hasrat investigasi itu adalah detikNews, sekarang plus Majalah Detik dan Harian Detik. Kayanya kalau di detikTravel belum ada yang bisa diinvestigasi hehehe, belum lho ya.

Sepanjang karir saya sebagai wartawan, ada sebuah kasus yang saya ungkap, diinvestigasi dari nol, sampai akhirnya jadi ramai se-Indonesia. Pokoknya ini kasus yang menjadi kenangan untuk saya, karena memuaskan hasrat pribadi saya melakukan investigasi sampai tuntas.

Kasus itu adalah Penipu Cantik Selly Yustiawati yang bikin ramai Indonesia pada awal-awal tahun 2010. Hayoooooo pada masih inget nggak kasusnya? Cewek, cantik, masih muda, jago tipu. Saking banyaknya korban sampai mereka bikin grup di Facebook lho.

Kasus ini bermula dari curhatan sepupu saya yang baru saja ditipu jutaan rupiah oleh seorang gadis muda bernama Selly. Nama itu seperti pernah saya dengar, gebetan teman saya yang lain. Saya tanya ke teman saya itu, dan dia bilang, "Wah nipu tuh cewek, untung belum jadian ama dia." Teman saya menyebutkan si gadis penipu mengaku sebagai wartawan Kompas yang liputan di Mabes Polri.

Saya hanya punya satu nama cewek anak Kompas yang liputan di Mabes Polri, dan namanya Sarie bukan Selly. Ketika saya hubungi Sarie, makin kagetlah saya kalau Selly habis menipu para wartawan dan karyawan Kompas. Selly pernah bekerja sebagai resepsionis Kompas, kemudian resign sebelum kasus penipuannya ketahuan.

Yak, sampai sini saya ingin menjelaskan elemen utama yang penting untuk liputan investigasi: INSTING. Ini seperti Spider Sense punya Spiderman gitu. Insting kalau yang saya hadapi adalah sesuai yang bisa bikin geger. Nggak ada sekolahnya sih, wartawan detikcom melatih insting berita melalui diskusi berkelanjutan dengan Pimred saat itu Pak Budiono Darsono dan Wapimred saat itu Arifin Asydhad. Belajar memahami insting mereka dan mencoba melatih sendiri insting berita kita.

Insting saya mengatakan ini kasus bakal bikin ramai. Kapan lagi ada penipu cantik? Saya bawa kasus ini ke Mas Asydhad, beliau berpikir sebentar dan lalu bilang, "Mainkan, Fay! Tapi kamu riset dulu dari awal yang benar."

Saya waktu itu sudah editor detikNews. Masih liputan ke lapangan, tapi separuh waktu di kantor mengedit tulisan kawan-kawan di lapangan. Kalau sudah ada perintah 'Mainkan' itu artinya editor yang ditunjuk bertanggung jawab penuh mengembangkan beritanya dari nol dan memanfaatkan semua asset wartawan di lapangan untuk mengumpulkan data dan informasi. Jadi ruang redaktur itu isinya editor-editor yang pada pegang kasus gitu. Si X fokus sama kasus A, Si Y fokus sama kasus B. Kayak detektif pegang kasus kan jadinya.

Saya memulainya dengan membuka arsip berita, detektif banget kan buka-buka arsip kerjaannya. Selly pernah dilaporkan ke Polda Metro Jaya karena menipu para mahasiswa Universitas Moestopo pada tahun 2006. Wartawan detikcom Amel di Polda dan Didi di Polres Jaksel memberi informasi kalau Selly juga menipu karyawan Hotel Grand Mahakam pada 2009 dan Kompas juga pada 2009.

Informasi awal cukup dan saya yakin dengan pengembangan berita, saya pun siap melepas berita pertama. Saya butuh judul yang sangat catchy dan pilihan saya adalah film Leonardo di Caprio 'Catch Me If You Can'. Si Selly ini mirip banget dengan karakter dalam film itu, muda dan jago tipu. Jadilah judul pertama "Catch Me If You Can, Perempuan Cantik Menipu Lagi"


Pelan-pelan, meja saya yang kosong menjadi penuh dengan corat-coret, tempelan nomor telepon para korban, dan nomor telepon lain, aneka skenario yang mungkin dilakukan Selly dan semua serba Selly ada di meja saya. Satu orang mengarahkan saya kepada orang lain. Mungkin ada sekitar 50 orang yang saya wawancara. Sementara berita tentang Selly semakin banyak yang muncul di detikcom, dari tulisan saya dan tulisan teman-teman yang membantu saya.

Beberapa obrolan dengan psikolog dan kriminolog menyebutkan kalau saya berhadapan dengan orang yang licin, pintar, agak-agak psycho. Bayangkan, Selly mencuri identitas seorang wartawati Kompas sungguhan, mempelajari gerak-gerik, cara bicara, gaya kerja. Selly mengubah dirinya menjadi sang wartawati tersebut, plus membawa-bawa ransel Kompas kemana-mana. Psycho banget nih orang. Saya harus bisa berpikir satu-dua langkah di depan Selly, menebak kemana dia akan pergi.

Isu yang kita mainkan, sukses atau nggak, parameternya satu. Kalau semua media di Indonesia ikutan menulis Selly, itu artinya kita SUKSES. Dari TV, koran, radio akhirnya semua ikut memberitakan Selly. Bahkan Tabloid Nova saja bikin edisi Selly. Wah ketika semua menulis Selly, saya girangnya bukan main. Artinya ruang gerak penipu ini makin terbatas, selain juga merasakan orgasme jurnalistis (istilah apaan nih?!). Maksud saya rasanya puas banget bisa bikin isu yang bisa bikin ramai negara ini yang udah lelah dengan berita politik dan korupsi.

Dari investigasi saya, begini pergerakan Selly: Usai menipu Kompas dia lari ke Depok, menipu di Depok lantas dia lari ke Bogor. Usai menipu di Bogor, dia lari ke Bandung. Nah, ada garis batas yang jelas antara investigasi polisi dan investigasi wartawan. Investigasi wartawan sampai kapanpun tidak bisa menjadi alat penyidikan. Masalahnya dalam banyak hal, wartawan selangkah atau dua langkah lebih maju dari polisi. Kita sudah tahu Selly di Bandung, polisi masih berpikir Selly di Bogor. Hadeeeeuhh.

Satu-satunya cara adalah membujuk agar korban melapor, ini yang paling susah. Kriminolog dan psikolog yang saya wawancarai benar juga. Korban penipuan paling malas melapor ke polisi, ini yang bikin Selly makin merajalela. Saya selalu membujuk para korban agar melapor ke polisi. Tapi walaupun korban malu ke polisi, mereka punya mekanisme sendiri: Bikin grup Facebook.

Selly yang mencari korban lewat Facebook, dilawan para korbannya lewat Facebook juga. Ratusan orang jadi anggota grupnya. Ada korban dan publik yang mau tahu soal perkembangan kasus Selly. Jadinya saya lebih mudah menyebar jejaring informasi lewat jejaring sosial. Setiap hari saya memasang umpan, barangsiapa yang punya info soal Selly akan saya hubungi. Setiap pagi, setiap umpan yang berbalas saya segera hubungi untuk setiap informasi terbaru soal Selly.

Akhirnya, korban yang di Bogor dan di Bandung berani melapor ke polisi. Nah kalau sudah begini kerjaan saya akan lebih mudah untuk mem-push kepolisian menindaklanjuti kasus ini. Akhirnya pada Maret 2010, Selly masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) alias buron. Artinya semua polisi di Indonesia bisa menangkap Selly. Selly lantas menghilang ditelan bumi, tapi saya tahu Selly kabur ke Yogyakarta. Tiarap dan tidak ada lagi kasus penipuan yang muncul. Laporan sumber kepada saya juga menyebutkan Selly muncul di Bali.

EPILOGUE

Setahun setelah Selly menjadi buron, wartawan detikNews di Bali, Gede Suardana memberi tahu Selly tertangkap di Bali. Waktu itu, kasus Selly sudah saya anggap tutup buku sementara waktu. Selly babak dua ini sudah tidak menjadi tanggung jawab saya lagi, tapi sudah dikerjakan ramai-ramai. "Ketangkep juga tuh Fay, Si Selly," ujar seorang kawan.

Akhirnya Selly diadili dan divonis 11 bulan penjara. Tidak lama, tapi semoga itu membuatnya jera dan tidak ada Selly lain di masa depan.

Kalau di film detektif, ini adalah adegan dimana saya kembali ke kantor, menggantung jas dan melempar topi saya. Kemudian duduk dan menaruh kedua kaki saya ke atas meja kerja. Kamera lalu men-zoom in wajah saya, yang lalu berkata, "Case closed!"

No comments: