Alkisah ada seorang pria, keturunan Nabi Muhammad SAW. Buyut canggahnya dianggap imam oleh orang Syiah, padahal mereka Sunni. Namun sejarah keluarga pria itu agak kelam. Banyak anggota keluarga yang diburu seolah tanpa penghormatan bahwa mereka melanjutkan darah daging Kekasih Allah. Dari Arab mereka terus terpinggir dan menyingkir, menjauh dari Masjidil Haram.
Pria itu seperti lelah didera konflik politik, dia yakin itu bukan konflik agama. Meski sudah menjadi gubernur di kerajaan India, rasa resahnya tidak hilang. Di kepalanya cuma satu saja yang dipikirkan: menyelamatkan Islam ke tempat yang aman.
Dia berpikir dengan kondisi umat yang saling bertarung tanpa akhir, akan seperti apa Islam nanti di masa depan. Akan muncul Islam perang, bukan Islam damai. Islam yang memecah, bukan mempersatukan.
Pria ini lantas mundur dari jabatannya, menjadi seorang pengembara. Dia ingin pergi ke ujung dunia, dimana tidak ada yang namanya konflik di antara umat Islam. Dia lari ke Maroko, tapi hatinya kurang sreg, namun anaknya ditinggal di sana. Dia pergi ke Uzbekistan, tapi hatinya kurang sreg, namun anaknya ditinggal di sana.
Dia lantas ke ujung tenggara Jalur Sutera, sebuah semenanjung seindah surga, dengan penduduk yang ternyata menyimpan kebijaksanaan kuno bernama ilmu budi, ketika nama ajaran itu belum disebut sebagai Islam. Warganya pecinta kedamaian. Dia panggil anaknya yang di Maroko dan Uzbekistan, berkumpul dalam suka cita.
Di tempat itu mereka menyemai Islam yang damai, di tempat yang begitu jauh dari konflik umat Muhammad SAW. Dalam pikiran mereka, butuh waktu sampai akhir zaman, untuk Islam bohongan -yang penuh ide-ide perang dan merusak ini- sampai ke tempat mereka.
Harapannya, tempat itu menjadi The Last Sanctuary of Islam, yang dijaga keluarga besar mereka, penerus garis keturunan Rasulullah, di titik perjalanan terjauh yang tidak dibayangkan oleh mereka sendiri. Mereka mengelilingi hampir separuh Bumi.
Suatu hari keluarga mereka didatangi seorang perdana menteri di negeri itu, datang dari ibukota kerajaan naik kapal laut. Dia adalah seorang penakluk beragama kafir. Namun, bukannya mereka diberangus, anak mereka yang muda diangkat sebagai care taker wilayah yang bertanggung jawab langsung kepada dia. Silakan kalian beragama Islam, kata dia. Si perdana menteri itu bernama Gajah Mada dan pria yang saya sebut pertama kali itu, namanya Syekh Jumadil Kubro.... Keturunannya ada 9 orang yang menjadi legenda
Thursday, October 27, 2016
Saturday, October 22, 2016
Bulan Roller Coaster
Seperti seorang teman baik bilang, perpisahan memang menyebalkan.
Tapi itu adalah bukti, kalau kita semua butuh ruang untuk tumbuh.
Hidup adalah perjalanan, ia bagai babak cerita
Orang-orang datang dan pergi.
Ada mimpi, ada ambisi dan sebuah
persimpangan jalan.
Kita semua membuat pilihan.
Aku melihat kawan-kawan pergi.
Aku melihat kawan-kawan tetap di sini dan di kejauhan ada kawan-kawan yang datang.
Suatu hari nanti aku adalah orang yang pergi dan aku adalah
orang yang datang.
Tapi bukan saat ini.
Semua kenangan indah bersama teman adalah hadiah yang mengisi ruang hati.
Dan semua kisah sedih akan membentuk kita seutuhnya.
Semua tersimpan dalam istana memori.
Dimana aku?
Saat ini aku hanya ingin berdiri pagi ini.
Membiarkan sinar matahari menghangatkan jiwa.
Embun pagi menyapa lembut di ujung-ujung jari yang membelai ilalang.
Dan udara sejuk mendinginkan hati.
Ketika membuka mata, aku tahu akan melihat melihat sebuah jalan.
Aku akan berlari lebih cepat lagi dan terbang lebih tinggi lagi.
Menjadi elang.....
-sebuah sabtu pagi, untuk teman yang pergi-
Labels:
Gurat Pena,
Think Big
Sunday, July 24, 2016
Pilkada DKI, Marketing Politik dan Cara Mengalahkan Ahok (Kalau Mau)
Pilkada seperti halnya pilpres, bukanlah pemilihan legislatif. Banyak politisi dan juga pakar (atau pembual) membuat perhitungan kekuatan suara berdasar perolehan suara legislatif atau prosentasi kekuatan parpol di DPRD.
Matematika politik, tidak begitu. Dalam berbagai kajian ilmu politik tentang pemilu, popular vote berbeda jauh, jauuuh sekali dengan electoral vote. Memilih orang, tidak pernah sama dengan memilih partai, karena sebagian pemilih tidak punya loyalitas kepada partai.
Masalahnya, apakah ini sebagian kecil, atau sebagian besar? Kalau sebagian besar, matilah semua partai politik menghadapi pilkada, karena dia sungguh berada di dimensi yang lain.
Dalam kaca mata political marketing ada beberapa hal yang mesti diperhatikan. Pertama adalah Produk, pilkada DKI dan pilkada lainnya menjual produk berupa tokoh. Percuma partai politik punya pemilih besar, tapi tidak punya tokoh yang dimajukan. Nyatanya, di DKI saja parpol besar banyak yang ragu majuin calon kan?
Kedua adalah Brand Awareness. Berapa tokoh yang sudah dijual kepada masyarakat menjelang pilkada DKI ini? Ahok, Yusril, Sandiaga Uno dan calon peserta lain, mereka adalah Brand. Seberapa besar mereka menciptakan Awareness.
Yang pasti luput dari perhatian kita adalah, Awareness tidak bicara kabar baik atau kabar buruk. Keduanya sama-sama menciptakan Awareness. Positive atau negative campaign keduanya menciptakan Awareness.
Makanya, jangan gembira dulu dengan banyaknya serangan untuk Ahok di medsos. Popularitasnya memang bisa terpengaruhi, tapi Awareness-nya naik. Semakin kontroversial, semakin tinggi Awareness yang dihasilkan. Nama tokohnya dulu yang nempel di kepala orang, bukan beritanya.
Ketiga adalah Brand Image, bahasa gampangnya pencitraan. Di titik ini duelnya lebih fair. Tapi sayang menurut saya imej yang dijual hanya sebatas 'Another version of Ahok'. Misalnya Ahok versi Muslim, Ahok versi pribumi atau Ahok versi santun. Belum ada yang bikin brand, 'Bukan Ahok'. Sementara di level akar rumput fans memuja setengah mati, hatersnya menghina setengah mati. Media massa dan media sosial punya peran vital memoles imej kandidat. Hal ini termasuk media abal-abal, dan pasukan cyber. Masalahnya adalah, publik bisa memilih mau percaya yang mana, sumber informasi yang valid banyak kok. Sedangkan, awareness-nya tidak bisa dicegah masuk ke kepala mereka.
Keempat, Market. Siapa pasar yang mau disasar oleh kandidat? Seberapa besar kandidat memahami pemilih. Umur mereka berapa, prosentase tua mudanya bagaimana? Tingkat pendidikan, gender, latar belakang etnis dan agama. Pemahaman terhadap voting behavior akan menentukan strategi kampanyenya.
Pernah nggak ada studi, black campaign anti-China terhadap Ahok itu efektif untuk pemilih yang mana, dan tidak efektif untuk pemilih yang mana? Berapa besar perbandingannya? Kalau saya sih melihat strategi mempengaruhi pasar ini dipukul rata begitu saja. Jangan heran, beberapa materi kampanye anti-Ahok jadi bahan tertawaan sebagian orang di media sosial. Pun beberapa materi kampanye pro-Ahok bernasib sama. Kalau pun berhasil menyulut emosi, itu malah orang yang nggak punya KTP Jakarta. Percuma lah, ini Pilkada DKI bray.
Kelima dan terakhir ialah Statistika Politik. Poin satu sampai empat tadi pada ujungnya hitung-hitungan statistik, naik turun angka perolehan suara. Jelang pilkada pasti banyak riset-riset tuh, walau sebagian bayaran dari para kandidat (sudah rahasia umum bukan?) Tapi pasti hitungan asli dipegang oleh masing-masing kubu.
Kalau terbiasa mengkonsumsi data fiktif, black campaign, broadcast fitnah dll, saran saya hentikan! Nggak mungkin dong maju ke medan perang pilkada dengan data palsu. Siap-siap kejang saja. Kita butuh data riil, kemungkinan perolehan suara itu berapa.
Kesimpulan saya dirangkum dalam tiga analisa prediksi:
1. Figur yang bisa menyaingi Ahok dalam produk, brand awareness, brand image dan market sampai saat ini cuma Ridwan Kamil dan Risma. Risma adalah produk dengan brand image yang lebih baik dari Ahok, Risma adalah 'bukan Ahok' sementara yang lain cuma punya brand images 'another version of Ahok' Masalahnya Risma jadi maju atau nggak? Kalau maju, barulah seru Pilkada DKI ini.
2. Kalau ada banyak calon yang akhirnya mendaftar, Ahok kemungkinan besar menang Pilkada DKI. Awareness Ahok paling tinggi. Kompetitor Ahok harus berbagi awareness, sedangkan Ahok tidak berbagi awareness dengan siapa-siapa karena ini pilkada melawan incumbent. Vote untuk kelompok anti Ahok akan pecah ke banyak kandidat. Pun, kalau sampai dua putaran, pemilih terlanjur tahu kekuatan riil semua kandidat. Nanti tuh bakal ada komentar, "Oh si anu yang dipuja-puja di medsos itu cuma segitu kemampuannya lawan Ahok."
3. Saya nggak tahu para pesaing Ahok mikir sampe sini nggak. Tapi kalau mau mengalahkan Ahok, nggak sulit kok, cukup kirim SATU kandidat saja buat menantang Ahok. Ada dua cara untuk ini yaitu dari awal majuin 1 kandidat, atau merger jadi 1 kekuatan seandainya Pilkada DKI 2 putaran. Ini akan menaikan probabilitas kemenangan, pemenangnya sudah pasti 50%+1 suara sesuai UU. 50 persen kemenangan sudah di tangan, karena mereka yang anti Ahok di berbagai kelompok politik, akan terkumpul di dalam satu kotak saja. Peluang 1:2 lebih baiklah dari pada 1:3 atau 1:4. Cagub lain mikir sampai sini nggak? Kalau nggak ya selamat bertugas kembali untuk Ahok, hehehe.
Matematika politik, tidak begitu. Dalam berbagai kajian ilmu politik tentang pemilu, popular vote berbeda jauh, jauuuh sekali dengan electoral vote. Memilih orang, tidak pernah sama dengan memilih partai, karena sebagian pemilih tidak punya loyalitas kepada partai.
Masalahnya, apakah ini sebagian kecil, atau sebagian besar? Kalau sebagian besar, matilah semua partai politik menghadapi pilkada, karena dia sungguh berada di dimensi yang lain.
Dalam kaca mata political marketing ada beberapa hal yang mesti diperhatikan. Pertama adalah Produk, pilkada DKI dan pilkada lainnya menjual produk berupa tokoh. Percuma partai politik punya pemilih besar, tapi tidak punya tokoh yang dimajukan. Nyatanya, di DKI saja parpol besar banyak yang ragu majuin calon kan?
Kedua adalah Brand Awareness. Berapa tokoh yang sudah dijual kepada masyarakat menjelang pilkada DKI ini? Ahok, Yusril, Sandiaga Uno dan calon peserta lain, mereka adalah Brand. Seberapa besar mereka menciptakan Awareness.
Yang pasti luput dari perhatian kita adalah, Awareness tidak bicara kabar baik atau kabar buruk. Keduanya sama-sama menciptakan Awareness. Positive atau negative campaign keduanya menciptakan Awareness.
Makanya, jangan gembira dulu dengan banyaknya serangan untuk Ahok di medsos. Popularitasnya memang bisa terpengaruhi, tapi Awareness-nya naik. Semakin kontroversial, semakin tinggi Awareness yang dihasilkan. Nama tokohnya dulu yang nempel di kepala orang, bukan beritanya.
Ketiga adalah Brand Image, bahasa gampangnya pencitraan. Di titik ini duelnya lebih fair. Tapi sayang menurut saya imej yang dijual hanya sebatas 'Another version of Ahok'. Misalnya Ahok versi Muslim, Ahok versi pribumi atau Ahok versi santun. Belum ada yang bikin brand, 'Bukan Ahok'. Sementara di level akar rumput fans memuja setengah mati, hatersnya menghina setengah mati. Media massa dan media sosial punya peran vital memoles imej kandidat. Hal ini termasuk media abal-abal, dan pasukan cyber. Masalahnya adalah, publik bisa memilih mau percaya yang mana, sumber informasi yang valid banyak kok. Sedangkan, awareness-nya tidak bisa dicegah masuk ke kepala mereka.
Keempat, Market. Siapa pasar yang mau disasar oleh kandidat? Seberapa besar kandidat memahami pemilih. Umur mereka berapa, prosentase tua mudanya bagaimana? Tingkat pendidikan, gender, latar belakang etnis dan agama. Pemahaman terhadap voting behavior akan menentukan strategi kampanyenya.
Pernah nggak ada studi, black campaign anti-China terhadap Ahok itu efektif untuk pemilih yang mana, dan tidak efektif untuk pemilih yang mana? Berapa besar perbandingannya? Kalau saya sih melihat strategi mempengaruhi pasar ini dipukul rata begitu saja. Jangan heran, beberapa materi kampanye anti-Ahok jadi bahan tertawaan sebagian orang di media sosial. Pun beberapa materi kampanye pro-Ahok bernasib sama. Kalau pun berhasil menyulut emosi, itu malah orang yang nggak punya KTP Jakarta. Percuma lah, ini Pilkada DKI bray.
Kelima dan terakhir ialah Statistika Politik. Poin satu sampai empat tadi pada ujungnya hitung-hitungan statistik, naik turun angka perolehan suara. Jelang pilkada pasti banyak riset-riset tuh, walau sebagian bayaran dari para kandidat (sudah rahasia umum bukan?) Tapi pasti hitungan asli dipegang oleh masing-masing kubu.
Kalau terbiasa mengkonsumsi data fiktif, black campaign, broadcast fitnah dll, saran saya hentikan! Nggak mungkin dong maju ke medan perang pilkada dengan data palsu. Siap-siap kejang saja. Kita butuh data riil, kemungkinan perolehan suara itu berapa.
Kesimpulan saya dirangkum dalam tiga analisa prediksi:
1. Figur yang bisa menyaingi Ahok dalam produk, brand awareness, brand image dan market sampai saat ini cuma Ridwan Kamil dan Risma. Risma adalah produk dengan brand image yang lebih baik dari Ahok, Risma adalah 'bukan Ahok' sementara yang lain cuma punya brand images 'another version of Ahok' Masalahnya Risma jadi maju atau nggak? Kalau maju, barulah seru Pilkada DKI ini.
2. Kalau ada banyak calon yang akhirnya mendaftar, Ahok kemungkinan besar menang Pilkada DKI. Awareness Ahok paling tinggi. Kompetitor Ahok harus berbagi awareness, sedangkan Ahok tidak berbagi awareness dengan siapa-siapa karena ini pilkada melawan incumbent. Vote untuk kelompok anti Ahok akan pecah ke banyak kandidat. Pun, kalau sampai dua putaran, pemilih terlanjur tahu kekuatan riil semua kandidat. Nanti tuh bakal ada komentar, "Oh si anu yang dipuja-puja di medsos itu cuma segitu kemampuannya lawan Ahok."
3. Saya nggak tahu para pesaing Ahok mikir sampe sini nggak. Tapi kalau mau mengalahkan Ahok, nggak sulit kok, cukup kirim SATU kandidat saja buat menantang Ahok. Ada dua cara untuk ini yaitu dari awal majuin 1 kandidat, atau merger jadi 1 kekuatan seandainya Pilkada DKI 2 putaran. Ini akan menaikan probabilitas kemenangan, pemenangnya sudah pasti 50%+1 suara sesuai UU. 50 persen kemenangan sudah di tangan, karena mereka yang anti Ahok di berbagai kelompok politik, akan terkumpul di dalam satu kotak saja. Peluang 1:2 lebih baiklah dari pada 1:3 atau 1:4. Cagub lain mikir sampai sini nggak? Kalau nggak ya selamat bertugas kembali untuk Ahok, hehehe.
Tuesday, July 19, 2016
Erdogan Oh Erdogan
Lucu sekali melihat orang Indonesia mengomentari percobaan kudeta terhadap Erdogan di Turki. Fans Erdogan di Indonesia cukup garis keras juga ya. Tapi haters Erdogan juga lumayan keras. Saya tidak tertarik ikutan kubu-kubuan macam suporter bola begini.
Saya tidak tergoda untuk pasang aneka status. Bagi saya, cukuplah berbincang dengan orang yang saya percayai, yang berada langsung di Istanbul bertahun-tahun dan memahami betul seluk beluk kondisi politik riil di sana, bukan hasil polesan propaganda para fans atau haters Erdogan di Tanah Air.
Nggak usah saya ceritakan juga, nanti fans Erdogan sakit hati, dan hatersnya juga kecewa sekaligus. Kenapa saya selalu menyebut fans dan haters berbarengan. Karena, jauh di lubuk hati kita, Erdogan hanya diambil simbolnya saja. Jujur saja deh, bagi orang Indonesia Erdogan cuma sekadar simbol untuk ego kalian yang terluka (fans) dan arogansi kalian yang di atas angin untuk membully (haters).
10 tahun lalu, simbol untuk ego kalian yang terluka itu bernama Ahmadinejad. Oh iya, saya tidak akan lupa sebuah fakta sejarah kalau orang-orang Indonesia pernah menggilai Ahmadinejad. 10 tahun dari sekarang, simbol untuk ego kalian yang terluka itu akan berganti nama lagi. Yang abadi ya cuma ego yang terluka itu.
Ahmadinejad, Erdogan dan entah siapa lagi yang akan dijadikan idola adalah candu. Fans dan hater akan bertukar posisi sesuai zaman, dan kelakuannya saya jamin sama. Itu sebabnya fans dan haters itu di mata saya nggak penting.
Ego kalian pernah terluka oleh SBY, makanya kalian menggilai Ahmadinejad. Presiden yang tidak mungkin memimpin kalian. Sekarang ego kalian terluka oleh Jokowi, lalu kalian mencari Erdogan. Figur lain yang tidak mungkin memimpin Indonesia. Kalian mencari pelarian yang tidak ada dan baru berduka ketika pemimpin sendiri sudah lengser.
Cuma segelintir dari kalian yang peduli dengan kudetanya. Bahkan tidak ada yang membahas Fethullah Gullen bukan? Satu saja broadcast soal Gullen, please share to me hehehehe.
Diskursus kudeta di Turki cuma pertarungan Erdogan itu pemimpin hebat VS Erdogan itu pemimpin bangsat. Sungguh sia-sia. Itu bisa diperdebatkan tanpa harus menunggu kudeta di Turki toh?
Bahas dong, kenapa pemimpin seagung dan semulia Erdogan dikudeta? Apa kira-kira yang salah? Bahas juga kenapa langsung ada ribuan orang yang ditangkap, itu daftarnya dari mana? Coba hitung, berapa berita media Turki yang mewawancarai mereka yang ditangkap? Siapa itu Fethullah Gulen yang dibenci Erdogan? Ulama loh dia dan kalian memuja Erdogan membangun kejayaan Islam kan.
Diskusi soal tema-tema di atas jauh lebih bermanfaat dari pada broadcast daftar jasa-jasa Erdogan oleh yang ngakunya doktor ilmu politik yang ternyata politisi kubu oposisi dan tidak netral. Atau menyebar daftar dosa-dosa Erdogan, itu juga nggak ada manfaatnya.
Ngomongin kudeta nih. Kalau buat saya, kudeta Turki belum mengalahkan rekor kisah kudeta paling keren dan berhasil. Sama-sama dilakukan malam hari, tapi yang disikat adalah faksi militer yang anti kudeta dulu. Jadi tidak ada faksi militer kuat yang bisa dipegang presiden macam Erdogan ini. Kemudian media dibungkam erat, cuma satu koran yang menyuarakan kubu militer pendukung kudeta. Presiden mau langsung disikat, tapi ternyata tidak ada di tempat.
Besokannya, tuduhan kudeta dilemparkan ke partai politik pendukung presiden. Ribuan orang ditangkapi dan dibantai dengan daftar yang ternyata sudah ada, dari guru, pegawai pemerintah, petani, militer, tokoh perempuan dll (miriplah dengan pasca kudeta di Turki). Presiden pun akhirnya tetap bisa di-skak mat.
Kalau Anda cukup piknik dan baca buku tentunya, pasti tahu kudeta yang saya maksud...
Saya tidak tergoda untuk pasang aneka status. Bagi saya, cukuplah berbincang dengan orang yang saya percayai, yang berada langsung di Istanbul bertahun-tahun dan memahami betul seluk beluk kondisi politik riil di sana, bukan hasil polesan propaganda para fans atau haters Erdogan di Tanah Air.
Nggak usah saya ceritakan juga, nanti fans Erdogan sakit hati, dan hatersnya juga kecewa sekaligus. Kenapa saya selalu menyebut fans dan haters berbarengan. Karena, jauh di lubuk hati kita, Erdogan hanya diambil simbolnya saja. Jujur saja deh, bagi orang Indonesia Erdogan cuma sekadar simbol untuk ego kalian yang terluka (fans) dan arogansi kalian yang di atas angin untuk membully (haters).
10 tahun lalu, simbol untuk ego kalian yang terluka itu bernama Ahmadinejad. Oh iya, saya tidak akan lupa sebuah fakta sejarah kalau orang-orang Indonesia pernah menggilai Ahmadinejad. 10 tahun dari sekarang, simbol untuk ego kalian yang terluka itu akan berganti nama lagi. Yang abadi ya cuma ego yang terluka itu.
Ahmadinejad, Erdogan dan entah siapa lagi yang akan dijadikan idola adalah candu. Fans dan hater akan bertukar posisi sesuai zaman, dan kelakuannya saya jamin sama. Itu sebabnya fans dan haters itu di mata saya nggak penting.
Ego kalian pernah terluka oleh SBY, makanya kalian menggilai Ahmadinejad. Presiden yang tidak mungkin memimpin kalian. Sekarang ego kalian terluka oleh Jokowi, lalu kalian mencari Erdogan. Figur lain yang tidak mungkin memimpin Indonesia. Kalian mencari pelarian yang tidak ada dan baru berduka ketika pemimpin sendiri sudah lengser.
Cuma segelintir dari kalian yang peduli dengan kudetanya. Bahkan tidak ada yang membahas Fethullah Gullen bukan? Satu saja broadcast soal Gullen, please share to me hehehehe.
Diskursus kudeta di Turki cuma pertarungan Erdogan itu pemimpin hebat VS Erdogan itu pemimpin bangsat. Sungguh sia-sia. Itu bisa diperdebatkan tanpa harus menunggu kudeta di Turki toh?
Bahas dong, kenapa pemimpin seagung dan semulia Erdogan dikudeta? Apa kira-kira yang salah? Bahas juga kenapa langsung ada ribuan orang yang ditangkap, itu daftarnya dari mana? Coba hitung, berapa berita media Turki yang mewawancarai mereka yang ditangkap? Siapa itu Fethullah Gulen yang dibenci Erdogan? Ulama loh dia dan kalian memuja Erdogan membangun kejayaan Islam kan.
Diskusi soal tema-tema di atas jauh lebih bermanfaat dari pada broadcast daftar jasa-jasa Erdogan oleh yang ngakunya doktor ilmu politik yang ternyata politisi kubu oposisi dan tidak netral. Atau menyebar daftar dosa-dosa Erdogan, itu juga nggak ada manfaatnya.
Ngomongin kudeta nih. Kalau buat saya, kudeta Turki belum mengalahkan rekor kisah kudeta paling keren dan berhasil. Sama-sama dilakukan malam hari, tapi yang disikat adalah faksi militer yang anti kudeta dulu. Jadi tidak ada faksi militer kuat yang bisa dipegang presiden macam Erdogan ini. Kemudian media dibungkam erat, cuma satu koran yang menyuarakan kubu militer pendukung kudeta. Presiden mau langsung disikat, tapi ternyata tidak ada di tempat.
Besokannya, tuduhan kudeta dilemparkan ke partai politik pendukung presiden. Ribuan orang ditangkapi dan dibantai dengan daftar yang ternyata sudah ada, dari guru, pegawai pemerintah, petani, militer, tokoh perempuan dll (miriplah dengan pasca kudeta di Turki). Presiden pun akhirnya tetap bisa di-skak mat.
Kalau Anda cukup piknik dan baca buku tentunya, pasti tahu kudeta yang saya maksud...
Wednesday, July 13, 2016
Balada Negeri Suporter Bola dan Negeri Warung Kopi
Jangan bingung melihat kelakuan anak bangsa berpolitik di negeri ini ya. Apalagi di dunia maya. Dari paradigma behavioralisme, cukup sederhana menyimpulkan perilaku mereka. Saya bikin nama sendiri yang kayaknya sesuai:
1. Negeri Suporter Bola
Tahu supporter bola kan? Kalau tim jagoannya kalah, marah-marah. Menurut mereka, kalau tim jagoannya kalah, itu karena salah tim lawan, salah wasit, dan kalau perlu salah rumput stadionnya. Tim jagoan dia nggak pernah salah, pokoknya nggak pernah. Nggak pernah....
2. Negeri Warung Kopi
Pernah ke warung kopi tradisional di Indonesia? Orang-orang ngumpul, ngobrol, ngomentarin sesuatu, paling asyik sambil nonton TV buat dikomentarin. Komentarnya jago-jago, analisanya dahsyat, mereka paling tahu solusi terbaik. Tapi apakah mereka lantas membuat perubahan? Ya nggak lah, kan cuma minum kopi doang.
Sekarang bagaimana kita mau menjadi oposisi yang kuat, pengkritik yang menakutkan pemerintah kalau mentalnya cuma sekelas suporter bola dan pengunjung warung kopi?
Manusia politik sekelas suporter bola hanya mengandalkan amarah dan benci kepada tim lawan, sambil mengagungkan tim sendiri. Padahal amarah dan benci itu temporer, kalau sudah reda maka hilanglah ikatan mereka, malah nobar ama tim lawan. Akibatnya tenaga mereka habis untuk memelihara kebencian, karena itu satu-satunya ikatan mereka.
Manusia politik sekelas pengunjung warung kopi ya kayak anjing menggonggong saja. Tenaga mereka habis untuk sumpah serapah, tapi tidak bisa digulirkan menjadi sebuah gerakan politik yang menggelinding keluar dari warung kopinya.
Mereka cuma terpana melihat mimpi politik mereka makin jauh dari realita. Manusia politik jenis suporter bola dan pengunjung warung kopi, hidup dalam ilusi mayoritas dan terbiasa mengkonsumsi informasi fiktif yang memabukan. Lah, kalau tim bolanya jelek mau bagaimana lagi? Kalau cuma teriak-teriak di warung kopi, bagaimana mau bikin perubahan?
Bagaimana berpolitik yang baik? Gampang. Berhentilah jadi supporter bola, tapi jadilah pemain bola yang turun ke lapangan. Menjadi sparring partner dari tim lawan yang kalian benci itu. Jadi kalian bisa ukur diri dan ukur lawan dengan data dan fakta yang sungguhan.
Kedua, keluarlah dari warung kopi. Realisasikan omongan, analisa atau bualan yang canggih-canggih itu ke dalam sebuah gerakan dari akar rumput. Jadilah solusi tandingan terhadap pemerintah yang kalian kritik itu. Jangan cuma ribut doang di medsos.
Marah dan teriak-teriak tidak akan membuat kita menjadi lebih terdengar. Karena, di dalam bilik TPS tetap saja kita cuma diberikan 1 kertas suara...
1. Negeri Suporter Bola
Tahu supporter bola kan? Kalau tim jagoannya kalah, marah-marah. Menurut mereka, kalau tim jagoannya kalah, itu karena salah tim lawan, salah wasit, dan kalau perlu salah rumput stadionnya. Tim jagoan dia nggak pernah salah, pokoknya nggak pernah. Nggak pernah....
2. Negeri Warung Kopi
Pernah ke warung kopi tradisional di Indonesia? Orang-orang ngumpul, ngobrol, ngomentarin sesuatu, paling asyik sambil nonton TV buat dikomentarin. Komentarnya jago-jago, analisanya dahsyat, mereka paling tahu solusi terbaik. Tapi apakah mereka lantas membuat perubahan? Ya nggak lah, kan cuma minum kopi doang.
Sekarang bagaimana kita mau menjadi oposisi yang kuat, pengkritik yang menakutkan pemerintah kalau mentalnya cuma sekelas suporter bola dan pengunjung warung kopi?
Manusia politik sekelas suporter bola hanya mengandalkan amarah dan benci kepada tim lawan, sambil mengagungkan tim sendiri. Padahal amarah dan benci itu temporer, kalau sudah reda maka hilanglah ikatan mereka, malah nobar ama tim lawan. Akibatnya tenaga mereka habis untuk memelihara kebencian, karena itu satu-satunya ikatan mereka.
Manusia politik sekelas pengunjung warung kopi ya kayak anjing menggonggong saja. Tenaga mereka habis untuk sumpah serapah, tapi tidak bisa digulirkan menjadi sebuah gerakan politik yang menggelinding keluar dari warung kopinya.
Mereka cuma terpana melihat mimpi politik mereka makin jauh dari realita. Manusia politik jenis suporter bola dan pengunjung warung kopi, hidup dalam ilusi mayoritas dan terbiasa mengkonsumsi informasi fiktif yang memabukan. Lah, kalau tim bolanya jelek mau bagaimana lagi? Kalau cuma teriak-teriak di warung kopi, bagaimana mau bikin perubahan?
Bagaimana berpolitik yang baik? Gampang. Berhentilah jadi supporter bola, tapi jadilah pemain bola yang turun ke lapangan. Menjadi sparring partner dari tim lawan yang kalian benci itu. Jadi kalian bisa ukur diri dan ukur lawan dengan data dan fakta yang sungguhan.
Kedua, keluarlah dari warung kopi. Realisasikan omongan, analisa atau bualan yang canggih-canggih itu ke dalam sebuah gerakan dari akar rumput. Jadilah solusi tandingan terhadap pemerintah yang kalian kritik itu. Jangan cuma ribut doang di medsos.
Marah dan teriak-teriak tidak akan membuat kita menjadi lebih terdengar. Karena, di dalam bilik TPS tetap saja kita cuma diberikan 1 kertas suara...
Saturday, June 18, 2016
Media Disuruh Netral, Eh Malah Pembacanya yang Partisan
Yaaa
judul tulisannya sudah menjelaskan apa yang mau saya tulis kan? Semua
berawal dari obrolan panjang dengan kawan-kawan SMA di group Whatsapp
ketika untuk ke sekian kalinya berbagi link berita media online
abal-abal.
Ternyata banyak yang belum tahu juga
ngebedain media abal-abal sama media beneran. Jadilah saya jelasin,
sesuai UU patokannya 3: mencantumkan alamat, mencantumkan susunan
redaksi dan mencantumkan pedoman media cyber.
Terus
ada pertanyaan, apakah 3 patokan ini menjamin media itu nulis berita
yang benar? Ya saya balik lagi omongannya, media yang nulis berita bener
itu banyak, pertanyaannya apakah sekarang pembaca butuh berita bener?
Kami
sudah capek-capek liputan sampe malam, nulis berita sesuai fakta, cover
both side. Tapi apa yang di-share orang? Pelintiran berita yang bahkan
wartawannya saja nggak ada di lokasi, Wong cuma media online abal-abal.
Kan kezzeeeelll. Udah jelas datanya palsu, kita pegang data asli. Tetap
aja orang percaya yang data palsu itu.
Faktanya
pembaca sudah membentuk persepsi politik di otaknya. Media dia pakai
untuk pembenaran atas persepsinya bukan untuk mencari kebenaran, yang parah sumbernya adalah media abal-abal atau blog yang menyerupai media, yang
tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Itulah yang terjadi
sekarang.
Padahal, aturan yang ada itu untuk
melindungi hak pembaca. Manakala dirugikan oleh berita, ada hak jawab
bahkan somasi. Sekarang kalau kamu difitnah sama media abal-abal, mau
protes sama siapa?
Pembaca menuntut media untuk
selalu netral. Tapi pembacanya malah partisan. Kalau beritanya enak buat
kuping mereka, keluar puja puji. Kalau nggak enak, keluar caci maki. Media yang legal saja sulit menjaga netralitas, lantas netralitas apa yang bisa dijamin oleh media abal-abal. Tapi tidak akan ada protes selama itu memuaskan ego politik pembaca.
Situasi ini adalah pembelajaran baru di Indonesia. Masyarakat kita akan menjadi seperti di Inggris atau Amerika. Media dan pembacanya sama-sama partisan. Di Inggris kalau kamu dukung Uni Eropa, kamu bacanya Guardian. Kalau anti Uni Eropa, kamu bacanya Daily Mail. Di USA kalau kamu benci Islam kamu bacanya New York Post, tapi kalau belain Islam kamu bacanya New York Daily News.
Di Indonesia sudah mulai begini. Dukung Jokowi nontonnya Metro Mini, anti Jokowi nontonnya TV Satu. Tapi setidaknya partisan ini dijaga dalam koridor media yang resmi, jangan kasih tempat untuk media abal-abal yang cuma jadi sumber fitnah dan adu domba dari kedua kubu.
Lantas, bagaimana cara menjadi pembaca berita yang cerdas? Eh tapi yakin mau jadi pembaca berita yang cerdas? Sudah siap mental? Baik, begini caranya: Bacalah berita dari kedua kubu. Berani nggak? Udah siap sakit hati belum?
Kalau nonton TV Satu, nonton juga dong Metro Mini. Kalau baca Media Nusantara, baca juga dong Rakyat Freedom. Pun demikian dengan media sosial, kalau dengerin Jonru, dengerin juga dong Abu Janda. Percayalah, mereka saling melengkapi informasi dan kamu dijamin jadi pembaca yang cerdas.
Mau yang netral? Masih ada detikcom kok tenang aja. Kita punya parameter sederhana untuk menjaga netralitas kita. Bos gue bilang, kalau kita dimusuhin kedua kubu, artinya kita netral. Biarin aja ada pembaca bilang detik pro Jokowi, toh mereka nggak tahu kalau wartawan kita ada yang di-black list PDIP (true story). Zaman pilpres redaktur politik kita dimarahin parpol pendukung Jokowi, sekaligus dimarahin parpol pendukung Prabowo.
Apakah detikcom punya keberpihakan? Oh jelas kita punya, bos gue bilang kita berpihak kepada kebenaran. Aiih sedaaaap.....
Thursday, June 9, 2016
Ilusi Mayoritas
Bismillah, nge-blog lagi ah, drpd isi otak terbuang sayang...
Ilusi Mayoritas
Menganalisa kondisi politik terkini negeri ini, secara sederhana adalah berkembangnya xenophobic populism (skripsi kuliah saya). Ini nggak cuma di Indonesia kok, santai aja bro. Inti masalah pada awalnya ada kesenjangan ekonomi dan politik, lalu ada sebagian kecil yang frustasi karena terancam dalam kompetisi.
Kenapa? Karena mereka hidup dalam ilusi mayoritas. Mereka merasa jumlah mereka banyak, lantas berhak terhadap akses politik dan ekonomi. Masalahnya, mayoritas bukan artinya serta merta bisa meminta begitu saja akses politik dan ekonomi itu. Macam preman pulak kau.... beraninya keroyokan.
Cuma ya ilusi udah jd makanan mereka sehari-hari, untuk mengobati sakit hati. Jadi gagap bgt dengan realitas. Dari Prancis, Amerika, Australia, sampai Indonesia hal ini terjadi. Kebencian mereka mengambil simbol apapun yang dianggap berbeda, tapi mewakili lawan politik mereka.
Di Prancis yang dihajar umat Islam, di Australia yang dihajar adalah imigran, di Amerika yang dihajar imigran Amerika Latin, di Indonesia yang dihajar adalah China dan kaum kafir. Xenophobic populism melakukan agregasi politik dengan cara yang paling mudah dalam sistem politik di negara tersebut. Di Australia, pasti bikin parpol, karena gampang banget. Kalo di Indonesia, pasti bikin ormas dan berharap uang dari parpol tertentu.
Ilusi apa sih maksudnya? Australia contoh paling gampang, banyak parpol gurem mengusung isu anti imigran. Buat mereka, sebagai true blue Australian (pribumi), mereka terjajah kaum imigran. Pdhl itu ilusi, mereka doang kali. Mayoritas pribumi Australian tdk merasa terjajah imigran, karena secara politik dan ekonomi lebih aman posisinya.
Kalau di Indonesia, isi kepala mereka begini: Saya kan pribumi, pribumi kan banyak, masa org China lbh kaya dari saya. Atau, saya kan Islam, Islam kan banyak, kok orang kafir yang jd penguasa. Pdhl realitanya, banyak kok pribumi kaya dan muslim penguasa.
Ciri-ciri mereka: kecil tapi berisik. Tapi jangan takut, kekuatan mereka cuma mengandalkan kebencian semata, ketika benci itu hilang, hilang juga dukungan terhadap kelompok ini, pindah ke spektrum tengah. Solusinya adalah membuat sistem yang lebih menjamin akses politik dan ekonomi yang lebih merata untuk rakyat. Negara yang melakukan itu, terhindar dari gejala xenophobic populism. Negara-negara Skandinavia baek-baek aja tuh.
Btw soal spektrum, xenophobic populism ada di ekstrem kanan, sementara communism ada di ujung paling kiri. Xenophobic populism itu satu famili tapi lebih jinak dari fasism, racism, ultra nationalism, far right, ultra right, right wing. Disebut lebih jinak, karena ada embel-embel populism, mereka gampang terbuai oleh tokoh yang menjual janji-janji surga macam Donald Trump. Intinya mereka cuma anak-anak kecil yang manja dan merengek-rengek, karena anak baru di komplek punya mainan lebih bagus.
Ilusi Mayoritas
Menganalisa kondisi politik terkini negeri ini, secara sederhana adalah berkembangnya xenophobic populism (skripsi kuliah saya). Ini nggak cuma di Indonesia kok, santai aja bro. Inti masalah pada awalnya ada kesenjangan ekonomi dan politik, lalu ada sebagian kecil yang frustasi karena terancam dalam kompetisi.
Kenapa? Karena mereka hidup dalam ilusi mayoritas. Mereka merasa jumlah mereka banyak, lantas berhak terhadap akses politik dan ekonomi. Masalahnya, mayoritas bukan artinya serta merta bisa meminta begitu saja akses politik dan ekonomi itu. Macam preman pulak kau.... beraninya keroyokan.
Cuma ya ilusi udah jd makanan mereka sehari-hari, untuk mengobati sakit hati. Jadi gagap bgt dengan realitas. Dari Prancis, Amerika, Australia, sampai Indonesia hal ini terjadi. Kebencian mereka mengambil simbol apapun yang dianggap berbeda, tapi mewakili lawan politik mereka.
Di Prancis yang dihajar umat Islam, di Australia yang dihajar adalah imigran, di Amerika yang dihajar imigran Amerika Latin, di Indonesia yang dihajar adalah China dan kaum kafir. Xenophobic populism melakukan agregasi politik dengan cara yang paling mudah dalam sistem politik di negara tersebut. Di Australia, pasti bikin parpol, karena gampang banget. Kalo di Indonesia, pasti bikin ormas dan berharap uang dari parpol tertentu.
Ilusi apa sih maksudnya? Australia contoh paling gampang, banyak parpol gurem mengusung isu anti imigran. Buat mereka, sebagai true blue Australian (pribumi), mereka terjajah kaum imigran. Pdhl itu ilusi, mereka doang kali. Mayoritas pribumi Australian tdk merasa terjajah imigran, karena secara politik dan ekonomi lebih aman posisinya.
Kalau di Indonesia, isi kepala mereka begini: Saya kan pribumi, pribumi kan banyak, masa org China lbh kaya dari saya. Atau, saya kan Islam, Islam kan banyak, kok orang kafir yang jd penguasa. Pdhl realitanya, banyak kok pribumi kaya dan muslim penguasa.
Ciri-ciri mereka: kecil tapi berisik. Tapi jangan takut, kekuatan mereka cuma mengandalkan kebencian semata, ketika benci itu hilang, hilang juga dukungan terhadap kelompok ini, pindah ke spektrum tengah. Solusinya adalah membuat sistem yang lebih menjamin akses politik dan ekonomi yang lebih merata untuk rakyat. Negara yang melakukan itu, terhindar dari gejala xenophobic populism. Negara-negara Skandinavia baek-baek aja tuh.
Btw soal spektrum, xenophobic populism ada di ekstrem kanan, sementara communism ada di ujung paling kiri. Xenophobic populism itu satu famili tapi lebih jinak dari fasism, racism, ultra nationalism, far right, ultra right, right wing. Disebut lebih jinak, karena ada embel-embel populism, mereka gampang terbuai oleh tokoh yang menjual janji-janji surga macam Donald Trump. Intinya mereka cuma anak-anak kecil yang manja dan merengek-rengek, karena anak baru di komplek punya mainan lebih bagus.
Sunday, April 21, 2013
Yang Janggal dari Video Bom Boston (di Mata Seorang Wartawan)
Sebelum baca tulisan saya, yuk tonton dulu detik-detik awal liputan eksklusif The Boston Globe saat ledakan bom di Boston Marathon. Seiring itu kita sampaikan duka cita kepada seluruh para korban.
Sudah? Oke, dalam perkembangan berita terakhir kita tahu warga Boston bersorak sorai karena pelakunya yang kakak beradik orang Chechnya itu sudah tertangkap dan satu lagi tewas. Case closed? Nanti dulu.
Sekitar Selasa sore kemarin, anak buah gue Afif kasih lihat video Youtube ini dari The Boston Globe. Detik-detik awal ledakan bom di acara Boston Marathon. Wajar nggak? Buat saya ada beberapa hal yang janggal saja sih di video itu. Mungkin hanya sekadar ketidaktahuan saya, silakan mengkritik saya untuk itu. Saya mau bahas detik demi detik.
1. Detik 0:07
Kameramen bernama Steve Silva ini berdiri di garis Finish merekam para pelari masuk ke garis finish dan bomnya meledak. Reaksi dia? Nggak kaget-kaget amat. Kok bisa?
Entah kenapa saya merasa reaksi dia nggak manusiawi. Menghadap ke arah ledakan, tapi dia nggak punya refleks apa-apa. Kalau dia kaget dan refleks, arah kameranya bisa berubah angle drastis karena misalnya dia menunduk, jongkok, dan aneka reaksi manusiawi lain untuk mencari posisi aman karena kaget. Tapi si kameramen seperti bertugas merekam ledakannya sebaik mungkin. Kameranya cuma 'shaken' sedikit saja.
Di Youtube juga banyak contohnya kameramen yang refleks ketika kaget dan rekaman gambarnya jadi kacau. Tapi rupanya tidak demikian dengan kameramen kita ini.
2. Detik 0:14
Seorang pelari tergeletak setelah ledakan bom. Itu berita banget secara gambar. Saya pikir semua wartawan dan fotografer sepakat. Silakan tanya para kameramen TV One atau Metro TV. Tapi si kameramen Boston Globe ini malah asyik merekam asap yang mengepul, bukannya segera mengambil gambar korban.
Kenapa yah? Saya juga nggak mengerti kenapa si kameramen menahan ketinggian kameranya di bawah dada. Kameramen lain saya pikir akan mengangkat kameranya tinggi-tinggi untuk angle yang lebih luas. Setidaknya sejajar kepala. Menahan kamera setinggi dada kan akibatnya angle gambarnya terbatas.
3. Detik 0:53, 1:04 dan 1:12
Apa reaksi wartawan ketika ada bom meledak? Mencari sumber ledakan. Itu yang dilakukan fotografer lain, mulai dari detik 0:53, 1:04 dan 1:12. Sumber ledakan punya nilai berita lebih dari pada si Silva ini yang merekam situasi di sekitarnya. Lihatlah beberapa fotografer mendekati trotoar untuk mengambil gambar. Tapi tidak dengan kameramen Boston Globe. Why?
4. Detik 1:30
Si kameramen mendapat angle untuk mengambil gambar korban yang belum didatangi paramedis. Si kameramen tidak melakukannya. Tapi dia malah menyorot banner '2013 Boston Marathon'.
Saya nggak paham kenapa kameramen ini tidak mau merekam gambar para korban di detik-detik awal setelah ledakan dan malah mengambil jarak. Nggak wartawan banget, nggak kameramen banget gayanya.
5. Detik 1:44
Ada tentara? Sampai sini saya nggak tahu mau bilang apa. Apakah AS punya kebiasaan melibatkan tentara aktif di dalam sebuah acara sipil? AS itu bukan Indonesia yang melibatkan Korem dan Koramil untuk acara-acara rakyat jelata.
AS itu mengaku punya civil society kuat, pengamanan mereka dilakukan polisi, kalau genting ada SWAT. Tentara mereka ada di barak. Mereka tidak serta merta muncul membantu polisi dalam...... 1 menit 44 detik?!?! CMIIW, tapi saya benar-benar tidak tahu kenapa tiba-tiba ada tentara di acara Boston Marathon.
Itu sih 5 hal yang mengganggu dari video ledakan Bom Boston. Masalahnya, video inilah yang dipakai seluruh media di AS untuk menggambarkan ledakan bom tersebut. Yang mau analisa lebih konspiratif, silakan baca laman-laman tetangga ya. Saya hanya menganalisa sebatas data yang saya punya.
Sudah? Oke, dalam perkembangan berita terakhir kita tahu warga Boston bersorak sorai karena pelakunya yang kakak beradik orang Chechnya itu sudah tertangkap dan satu lagi tewas. Case closed? Nanti dulu.
Sekitar Selasa sore kemarin, anak buah gue Afif kasih lihat video Youtube ini dari The Boston Globe. Detik-detik awal ledakan bom di acara Boston Marathon. Wajar nggak? Buat saya ada beberapa hal yang janggal saja sih di video itu. Mungkin hanya sekadar ketidaktahuan saya, silakan mengkritik saya untuk itu. Saya mau bahas detik demi detik.
1. Detik 0:07
Kameramen bernama Steve Silva ini berdiri di garis Finish merekam para pelari masuk ke garis finish dan bomnya meledak. Reaksi dia? Nggak kaget-kaget amat. Kok bisa?
Entah kenapa saya merasa reaksi dia nggak manusiawi. Menghadap ke arah ledakan, tapi dia nggak punya refleks apa-apa. Kalau dia kaget dan refleks, arah kameranya bisa berubah angle drastis karena misalnya dia menunduk, jongkok, dan aneka reaksi manusiawi lain untuk mencari posisi aman karena kaget. Tapi si kameramen seperti bertugas merekam ledakannya sebaik mungkin. Kameranya cuma 'shaken' sedikit saja.
Di Youtube juga banyak contohnya kameramen yang refleks ketika kaget dan rekaman gambarnya jadi kacau. Tapi rupanya tidak demikian dengan kameramen kita ini.
2. Detik 0:14
Seorang pelari tergeletak setelah ledakan bom. Itu berita banget secara gambar. Saya pikir semua wartawan dan fotografer sepakat. Silakan tanya para kameramen TV One atau Metro TV. Tapi si kameramen Boston Globe ini malah asyik merekam asap yang mengepul, bukannya segera mengambil gambar korban.
Kenapa yah? Saya juga nggak mengerti kenapa si kameramen menahan ketinggian kameranya di bawah dada. Kameramen lain saya pikir akan mengangkat kameranya tinggi-tinggi untuk angle yang lebih luas. Setidaknya sejajar kepala. Menahan kamera setinggi dada kan akibatnya angle gambarnya terbatas.
3. Detik 0:53, 1:04 dan 1:12
Apa reaksi wartawan ketika ada bom meledak? Mencari sumber ledakan. Itu yang dilakukan fotografer lain, mulai dari detik 0:53, 1:04 dan 1:12. Sumber ledakan punya nilai berita lebih dari pada si Silva ini yang merekam situasi di sekitarnya. Lihatlah beberapa fotografer mendekati trotoar untuk mengambil gambar. Tapi tidak dengan kameramen Boston Globe. Why?
4. Detik 1:30
Si kameramen mendapat angle untuk mengambil gambar korban yang belum didatangi paramedis. Si kameramen tidak melakukannya. Tapi dia malah menyorot banner '2013 Boston Marathon'.
Saya nggak paham kenapa kameramen ini tidak mau merekam gambar para korban di detik-detik awal setelah ledakan dan malah mengambil jarak. Nggak wartawan banget, nggak kameramen banget gayanya.
5. Detik 1:44
Ada tentara? Sampai sini saya nggak tahu mau bilang apa. Apakah AS punya kebiasaan melibatkan tentara aktif di dalam sebuah acara sipil? AS itu bukan Indonesia yang melibatkan Korem dan Koramil untuk acara-acara rakyat jelata.
AS itu mengaku punya civil society kuat, pengamanan mereka dilakukan polisi, kalau genting ada SWAT. Tentara mereka ada di barak. Mereka tidak serta merta muncul membantu polisi dalam...... 1 menit 44 detik?!?! CMIIW, tapi saya benar-benar tidak tahu kenapa tiba-tiba ada tentara di acara Boston Marathon.
Itu sih 5 hal yang mengganggu dari video ledakan Bom Boston. Masalahnya, video inilah yang dipakai seluruh media di AS untuk menggambarkan ledakan bom tersebut. Yang mau analisa lebih konspiratif, silakan baca laman-laman tetangga ya. Saya hanya menganalisa sebatas data yang saya punya.
Sunday, April 14, 2013
2 Pria yang Mengubah Briptu Norman... Selamanya
Berita pertama Norman Kamaru di Indonesia |
Minggu, 3 April 2011 adalah hari yang akan saya kenang, dan juga teman saya Anwar Khumaini. Pada masa itu saya masih di detikNews, Anwar juga belum pindah ke merdeka.com. Saya piket Minggu menjadi kordinator liputan dan Anwar sebagai penulis kantor. Di lapangan ada 2-3 wartawan liputan.
Ini adalah hari Minggu yang landai dan membosankan.Tidak ada kejadian dominan. Sampai pada sore hari... Redpel detikNews, Indra Subagja tiba-tiba memberi link video Youtube 'Polisi Gorontalo Menggila'. Saya tonton, dan busyet! Keren sekali polisi Brimob ini joget India. Ngakak menontonnya.
Tiba-tiba, insting wartawan saya menyala (kayak Spider Sense-nyaSpiderman gitu). Kayaknya menarik ini untuk diberitakan, soalnya hari Minggu itu nggak ada yang seru seharian. Dan si Brimob ini bisa jadi Shinta dan Jojo baru yang waktu itu lagi ngetop banget.
"War, harus ente yang bikin, kan ente penggemar film India. Lebih menghayati. Entar gue edit, gue bumbuin deh," kata saya mengoper link Youtube itu ke Anwar.
Ini pasti lagu Shahrukh Khan, tapi yang mana? Anwar tampak berpikir keras, memutar semua film Shahrukh Khan... di kepalanya. Kata kunci kami cuma bagian reff, sesuatu yang terdengar 'chaiyya chaiyya' begitu. Browsinglah dan kami menemukan video klip dari film Dil Se, film jadulnya Shahrukh Khan.
Wah mirip gaya jogetnya! Memang meniru video klip aslinya! Nambah ngakak kami menontonnya. Hup hup, Anwar lantas mulai ketak-ketik memberi deskripsi cerita. Sementara saya bikin prints creen video klip dengan gaya si polisi yang paling maksimal.
Informasi kami sangat terbatas. Mendeskripsikan total apa yang kami lihat dari video klip. Kami cuma tahu pangkatnya Briptu. Artikel beres, giliran saya yang mengedit.
Pertama adalah membuat lead. Polisi nyeleneh ini pasti bakal dihantam sama atasannya. Jadi kita harus membuat lead yang agak membela si Brimob ini. Jadilah saya menambahkan lead, "Brimob juga manusia." Humanis toh, semua orang punya hak untuk berjoget. Biar lebih kuat, kami tambahkan komentar para pengguna Youtube yang menyukai aksi si polisi.
Lantas judulnya, harus eye catching banget nih di hari Minggu santai ini. "Kudu pake bahasa India, War," kata saya. Jadilah saya ganti judulnya Anwar menjadi Chaiyya! Anggota Brimob Nyanyi Lagu India.
Sumpah, kami menulis berita ini sambil ngakak-ngakak. Untuk penutupnya, kita bilang "Akankah sang Brimob ini bisa setenar Shinta dan Jojo? Kita tunggu saja"
Artikel ditutup dengan kode nama kami (Anw/Fay). Artinya Anwar yang menulis, Faya yang mengedit. Berita ini naik pada Minggu, 03/04/2011 pukul 16:32 WIB. Yang pertama di Indonesia, silakan cek.
Kami pulang dengan senyum-senyum. Kami yakin beritanya pasti menarik dan dibaca orang. Hanya saja, kami tidak menduga beritanya bakal meledak, SANGAT MELEDAK, BLAAARRRR!!!!!!!
Pada hari Senin, Indra bilang berita kita menggelinding liar seperti bola salju. Semua media nasional melahapnya habis-habisan. Seperti saya duga, bolanya mengarah kepada kemungkinan sanksi untuk si Brimob yang belakangan saya tahu namanya Briptu Norman.
Lantas Mabes Polri dengan cerdik melihatnya sebagai peluang untuk membersihkan muka Korps Bhayangkara yang lagi dihantam masalah Cicak VS Buaya. Jadilah Briptu Norman Kamaru sebagai bintang.
"Gara-gara ente berdua tuh," kata beberapa kawan.
Yup! Kami berdua yang bertanggung jawab atas perubahan nasib Briptu Norman hahahahahaha. Bahkan semestinya Norman berterima kasih kepada Anwar, tapi pas Norman tempo hari main ke kantor detikcom, Anwar malu-malu menemui dia.
Bagaimana rasanya menjadi pihak yang pertama kali mengangkat sebuah berita yang fenomenal? Feel like orgasm hehehe. Bagaimana rasanya kalau berita itu menjadi perhatian nasional, meledak luar biasa, diikuti semua media nasional? Multiple orgasm..... hahahaha.
Tapi beneran, menjadi wartawan paling puas itu kalau berita yang kita bikin disukai pembaca. Saya tidak ada urusan dengan si Briptu Norman ini. Urusan saya adalah memberikan berita terbaik kepada pembaca detikcom. Ketika pembaca suka, itu sudah jauh lebih dari cukup bagi saya sebagai seorang wartawan.
Monday, March 18, 2013
Bungker Misterius!
Terowongan rahasia |
----------------
Suatu pagi di Jakarta....
Mobil Rama meluncur kencang membelah jalanan sepi pagi itu. Namun menjelang bangunan Belanda itu mobilnya melambat. Mestinya di sini, pikir dia. Rama memarkirkan mobil dan menyapa ramah sang penjaga, dia pikir Rama hanya tamu biasa.
"Bapak datang terlalu pagi, yang biasa menemani tamu belum datang," kata bapak itu.
Rama berlagak seperti turis saja dan melongok-longok rumah Belanda itu. "Masih asli ya, Pak. Kalau di halaman belakang ada apa?" pancing Rama.
"Ada bungker," ujar si penjaga terpancing. Ini dia! Jantung Rama berdegup kencang tapi mencoba tenang.
Ingatan ini terlempar beberapa waktu lalu ketika Farhat mengucapkan kata yang sama, "Ada bungker". Bungker sih tidak masalah, tapi yang menarik perhatian Rama karena letak bungker ini berada dalam garis legendaris bernama Terowongan Rahasia Jakarta.
Legenda itu menyebutkan VOC membangun terowongan rahasia membelah Kota Jakarta. Ada yang percaya itu terkait dengan emas harta karun, ada yang percaya itu terkait dengan kelompok rahasia macam Freemason dan Illuminati
Apapun itu, Rama harus membuktikannya sendiri. Si penjaga pun dengan lugu mengantar saya ke halaman belakang rumah Belanda ini. Rama si petualang muda hanya berdua saja dengan penjaga yang menunjuk ke lubang kotak yang sempat diduga Rama sebagai lubang drainase.
Damn! Ini memang bungker kata Rama dalam hati. Lubang itu dipasangi tangga panjat alumunium, karena....
"Pak, anak tangganya salah ya?" tanya Rama.
"Memang nggak pas, Mas. Kalau mau turun pakai tangga ini," kata si penjaga memegang tangga alumunium itu.
Otak Rama berpikir keras. Naluri detektifnya bermain. Tangga turun ke bungker ini diubah! Anak tangganya tiba-tiba bertemu dinding sebelum sampai ke permukaan tanah.
"Pak, saya loncat saja cuma semeter ini," kata Rama.
Satu-satunya lubang cahaya |
Rama berjalan ke tengah bungker yang agak gelap itu. Sumber cahaya hanyalah sebuah lubang angin di atas kepalanya. Berapa meter aku di dalam tanah? Pikir Rama. Lubang angin ini pasti disangka warga Jakarta yang tidak peduli sejarah sebagai lubang gorong-gorong.
Rama pun tiba di ujung bungker. Ada lubang! Tembok jebol itulah tepatnya. "Sial, aku bukan orang yang pertama kemari. Aku bukanlah orang pertama yang menduga ada terowongan rahasia di sini," pikir Rama.
Rama memeriksa bekas galian tembok itu. Gelap dan Rama tidak membawa senter. Lubang itu belum menuju kemana-mana. Penggalinya sepertinya menyerah. Tapi setidaknya dia berpikiran sama dengan Rama, bungker ini adalah terowongan yang sengaja diputus. Si penggali menduga akan ada ruang lain di balik ujung tembok bungker ini.
Rama pun sebenarnya agak ragu. Bungker ini memanjang dengan poros utara-selatan, bukan barat-timur sebagaimana legenda terowongan itu dikisahkan sesuai jalurnya di kawasan tersebut. Meski demikian, sejarah kepemilikan rumah ini yang menyebabkan Rama mau menguji teorinya.
Pemuda ganteng ini memperhatikan besi-besi berkarat yang mencuat akibat tembok yang dijebol paksa itu. Tiba-tiba, Rama memalingkan pandangannya ke bagian lain bungker ini. Dirabanya tekstur temboknya dan dibandingkan dengan tekstur di sekitar tembok yang dijebol.
Tembok itu membentuk pola-pola teratur dan Rama tahu betul itu apa, anyaman bambu bilik. Otak cerdasnya berkalkulasi walaupun ilmu arsitektur dan teknik sipilnya hanya modal membaca buku di perpustakaan. Besi, bambu, triplek.... Dan senyum Rama tersungging.... Dia berhasil memecahkan teka-teki bungker itu.
Rama pun bergegas naik keluar dari bungker. Sepi..... Si penjaga menghilang! Tiba-tiba rumah Belanda itu sepi dan tinggal Rama sendirian. Bahkan sampai Rama kembali ke mobilnya tidak ada siapa-siapa. Namun Rama tahu, ada beberapa pasang mata yang menatapnya dari kejauhan.
Tembok yang dijebol |
--------------
Teka-teki apa yang dipecahkan oleh Rama? Tunggu edisi lengkapnya di toko-toko buku terdekat langganan Anda :) Amiiiiiiiiin!
Subscribe to:
Posts (Atom)