Monday, September 24, 2007

Those Bloody Directors.....

Kadang-kadang kita nonton film karena ceritanya atau aktornya. Tapi untuk yang satu ini, gue nonton film karena sutradaranya.

Quentin Tarantino dan Robert Rodriguez. Sebenarnya memang masih banyak sutradara hebat model Steven Spielberg. Tapi gue nonton Tarantino dan Rodriguez untuk karya mereka yang nggak biasa.

Di luar mainstream Hollywood, film-film mereka adalah eksperimen terhadap seni visual itu sendiri. Mereka mengembalikan seni pada dasar sebuah film: gambar.

Filmnya pasti action, brutal, sadis, gangster, gelap. Tapi cara bertuturnya, visualisasi gambarnya, edan.... Yang gue nikmati adalah gambarnya. Skill yang mungkin membuat mereka selalu bisa dapat aktor berkelas model Bruce Willis, Uma Thurman, Antonio Banderas, sampai John Travolta.

Pertama kali tahu waktu nonton Kill Bill Volume 1. Gue pikir ini hanya sebuah film action belaka. Tapi gue bengong waktu si Tarantino bisa mencampur Hollywood, Harajuku ama Anime. Ada adegan animasi Jepang apik di tengah film action. Busyet.....

Kill Bill Volume 2 juga maut. Dia campur tuh film gangster Hollywood ama film silat cina klasik tahun 1970-an. Mantap. Terus, baru gue tahu Pulp Fiction juga edan, tapi gue belum nemu barangnya di tukang DVD langganan gue hehe.

Tarantino filmnya nggak banyak selain dua seri Kill Bill ama Pulp Fiction. Rodriguez lebih banyak lagi filmnya seperti trilogi El Mariachi, Desperado, Once Upon Time in Mexico, ama trilogi film anak-anak Spy Kids.

Tapi gue dapet Sin City, kolaborasi dua orang ini untuk mengadaptasi novel grafik Frank Miller. 3 Maestro kerja bareng. Hasilnya, eksperimen gambar hitam putih selama 2 jam dan cerita noir yang ciamik. Buat yang nggak tahu dua orang gila ini pasti kaget.

Di Sin City, mereka berasyik masyuk bermain dengan angle, tata cahaya, bayangan, dialog, efek visual. Bayangin, mereka cuma main di 5 warna. Hitam, putih, sedikit merah, biru dan kuning. Seperti nonton teater. Tapi ceritanya tetep brutal dan khusus dewasa.

Makanya gue nungguin DVD Grindhouse. Dua orang gila ini kerja bareng lagi dan nggak tahu mereka mau bikin eksperimen apa. Yang jelas Grindhouse mengoplos dua cerita terpisah dalam satu film berdurasi 3 jam. Semacam beli 1 dapat 2. Hmmmm.......

Friday, September 21, 2007

Hongkong: Malam Minggu di Causeway Bay

Kenyang makan di Under Bridge Spicy Crab, kami pulang ke Causeway Bay. Guest house yang kami sewa ada di Paterson Building di kawasan tersebut.

Tapi, malam minggu sungguh malam yang panjang. Tidak hanya di Indonesia, masyarakat Hong Kong pun menggunakan kesempatan ini untuk berjalan-jalan. Salah satu tempat yang ramai adalah Causeway Bay, Hong Kong.

Daerah yang penuh tempat belanja dan hiburan ini dibanjiri ribuan orang pada malam minggu. Seperti pada Sabtu (11/8/2007) malam, saking ramainya, sudah menjadi kebiasaan jika kawasan ini dibuat steril dari kendaraan pada malam Minggu.

Masyarakat pun bebas berlalu lalang di jalan raya. Suasana yang membuatnya sepintas mirip dengan Kesawan Square di Medan, namun tanpa restoran yang digelar di jalanan.

Sejumlah jalan yang ditutup antara lain Lockhart Road dan Great George Street. Masyarakat keluar masuk satu toko dan pindah ke toko lain. Muda-mudi dengan berbagai dandanan modis bersenda gurau dengan sebayanya. Orang tua menggendong anak-anak mereka yang sudah lelah berjalan kaki.

Banyak juga turis asing yang berbaur dengan mereka. Butik-butik sekelas Sogo, memajang etalase sebaik-baiknya untuk menarik konsumen. Supermarket pun penuh antrean orang membayar belanjaan.

Tidak ketinggalan tentunya para TKW asal Indonesia yang sedang mendapatkan libur dari majikannya. Gaya mereka pun tidak kalah. Dengan ponsel yang dikalungkan, mereka pun asyik bercengkerama dengan teman-temannya. Tapi teteup, bahasanya Jawa......

BTW, di versi berita online, cerita ini disatuin ama 'menjajal taksi bengal'

Hongkong: Mak Nyuuus di Kolong Jembatan

Kawasan Wanchai, Hong Kong pada malam hari ramai dengan restoran yang menawarkan berbagai cita rasa mulai dari kuliner Asia sampai Eropa. Namun yang layak diburu di sini adalah sea food-nya.

Di Marsh Road, masih di kawasan Wanchai, ada sejumlah restoran sea food yang layak dicoba, salah satunya adalah Under Bridge Spicy Crab. Tapi Anda jangan bayangkan restoran ini berada di kolong jembatan dan di pinggir sungai.

Dinamakan demikian karena restoran ini hampir bersebelahan dekat dengan sebuah fly over yang melintasi Marsh Road. Dari namanya, langsung ketahuan sajian andalannya adalah kepiting. Restoran ini tidak terlalu besar, agak sempit malah.

Mereka hanya memiliki 6 meja bundar masing-masing 8 tempat duduk. Namun restoran ini sangat ramai. Saya saat berkunjung ke restoran ini, Sabtu (11/8/2007) malam bersama rombongan, beruntung masih mendapatkan meja untuk bertujuh.

Tidak lama kemudian, orang membanjir karena sudah jam makan malam dan mereka harus mengantre di luar restoran. Karena buta bahasa Canton, kami menyerahkan sepenuhnya kepada staf Konjen RI yang mendampingi kami.

"Kalau tidak mengerti bahasanya, tunjukin saja gambarnya," ujar Konsul Konjen RI, Odhie, memberi saran.

Kepiting dan hewan laut segar sengaja mereka pajang di depan restoran. Untuk memastikan sea food mereka segar, sang pelayan dengan sengaja akan membawa kepiting mereka yang masih hidup ke hadapan konsumen untuk mendapatkan "restu".

"This is good," ujar si pelayan kepada kami lalu menuliskan sesuatu di kertas pesanan, namun ternyata dalam huruf Cina. Kami pun mengangguk dengan bingung.

Kami pun langsung disuguhi teh jasmine panas yang klop untuk mengusir dingin dan angin malam. Sambil menunggu makanan matang, pembeli disuguhi kacang goreng yang bagi saya terlalu asin. Para pelayan restoran kemudian menyuguhkan mangkuk berisi teh dan potongan jeruk limau. Tapi, teh ini bukan untuk diminum, tapi hanya untuk cuci tangan.

Kami memesan tahu goreng, sayur chinesse chives atau sejenis kucai, clams with chili and black bean sause atau kerang dengan saus kacang hitam dan cabe, lidah bebek goreng tepung, dan tentu saja makanan spesial Under Bridge Spice Crab.

Rasa kerangnya sungguh menyatu dengan saus kacang hitam dan cabe yang ternyata tidak pedas. Tumis chives-nya mirip-miriplah dengan tumis buncis atau kacang panjang kita. Nah, lidah bebek goreng tepung barulah seru, sedikit kenyal seperti ampela, namun ada tulang lunaknya yang bisa dimakan. Lidah bebek ini disajikan dengan saus tiram. Hmmm lezat....!

Akhirnya kami menyantap makanan utama, kepiting yang digoreng dengan minyak panas bersama daun bawang yang menambah keharuman. Tidak hanya itu, kepiting ini ditaburi keremes yang berasal dari sejumlah bumbu antara lain bawang putih, ketumbar dan cabe. Kami menyantapnya dengan nasi atau bubur. Keremes ini pun sangat lezat ditaburi di atasnya.

"Keremesnya yang bikin enak," ujar Oddhie. Tanpa kata-kata lagi, saya menyetujuinya. Maknyuuuussss!

Wednesday, September 19, 2007

Hongkong: Menjajal Taksi Bengal

Lolos dari badai, kita diantar ke guest house. Apartemen yang disewa per kamar. Malamnya lapar, baru diajak jalan keluar.

Taksi menjadi salah satu pilihan transportasi jika ingin praktis berkendaraan di Hong Kong. Namun, tidak disangka, sopir di sana bisa bengal juga.

Saya berkesempatan menjajal taksi Hong Kong ini saat hendak menuju daerah Wanchai, untuk mencari restoran sea food, Sabtu (11/8/2007). Dengan didampingi dua staf Konjen RI dan tiga wartawan lain dari Indonesia, saya memakai dua taksi.

Taksi di Hong Kong dibedakan berdasarkan warna. Di pulau Hong Kong, seluruh taksi berwarna merah dengan tarif tutup pintu HK$ 15. Di daerah Teritori Baru (New Territories), taksinya berwarna hijau dengan tarif tutup pintu HK$ 12,5. Tarif taksi paling miring ada di Pulau Lantau dengan taksi birunya yang dibandrol HK$ 12.

Taksi yang kali ini kami gunakan adalah taksi merah. Para sopirnya tidak berseragam khusus, namun mereka memajang ID Card di dashboard mobil seperti taksi Indonesia. Sabuk pengaman wajib dikenakan dan ada denda HK$ 5.000 untuk mereka yang nekat merokok di dalam taksi.

Mereka senang memutar radio lokal untuk mengusir bosan. Bagian tempat duduk penumpang penuh dengan berbagai penjelasan menumpang taksi dalam bahasa Canton dan Inggris.

Nah, komunikasi yang agak bermasalah. Tidak semua sopir taksi Hong Kong pandai cas cis cus bahasa Inggris. Contohnya sopir kami, Lui Chun Sai. Pria paruh baya ini hanya memahami intruksi arah "Marsh Road!" dari staf Konjen.

Kami tiba di daerah Wanchai, namun jalan yang dimaksud belum ditemukan. Jadi kami berusaha meminta petunjuk dengan staf konjen yang sudah tiba lebih dulu untuk memesan tempat. Walhasil kami berputar-putar di blok yang sama, dan bahasa Inggris sudah sulit untuk digunakan untuk memandu si sopir.

Terlebih lagi cara dia membawa mobilnya melompat-lompat dan sering mengerem mendadak, atau berbelok tanpa mengurangi kecepatan. Dia pun berdebat dengan kami ke mana hendak berbelok di sebuah perempatan dengan bahasa Canton, dan kami menimpali dengan bahasa Inggris.

Akhirnya tiba juga kami di Marsh Road. Argo menunjukan angka HK$ 26. Komentar kami, "Kasar banget." Namun ternyata pengalaman teman kami lebih parah. Sopir taksi mereka yang mengikuti taksi kami, malah marah-marah karena berputar-putar. Bahkan saat tiba di tujuan, dia meminta uang dan lalu mengusir penumpangnya keluar. "Now you get out!" ujar teman saya menirukan marahnya si sopir.

Hongkong: Turbulence

Gue berangkat ke Hongkong, Sabtu 11 Agustus subuh pake Garuda. Di Airport kenalan ama wartawan Republika Mas Priyanto yang juga satu misi ama gue.

Kita diundang Konjen RI untuk Hongkong Ferry Adamhar, mantan Dirjen Perlindungan WNI. Langganan wawancara kalo ada TKI mati, disiksa, dll. Dia diangkat jadi Konjen, jadi dia ngundang Detikcom, Republika ama RCTI eklusif buat lihat kehidupan TKW Hongkong.

Perjalanan 4 jam awalnya lancar dan asyik-asyik aja. Gue dapet tempat duduk window pula, walaupun pas di sayap. Sampai sekitar 30 menit ETA (estimated time of arrival) alias setengah jam sebelum mendarat, pilotnya bilang. "We will have big rain ahead in 10 minutes".

Pemandangan cerah tiba-tiba jadi awan gelap. Kaca jendela gue diterpa hujan dalam kecepatan tinggi. I saw nothing but dark cloud. Busyet ini bukan hujan, badai kali..... Lalu tiba-tiba nyesss, pesawat anjlok beberapa meter ke bawah.

Rasanya 'nikmat', kaya naik Halilintar Dufan. Penumpang jejeritan "Aaaaaargh!" Sekali, dua kali tiga kali anjlok. Nyawa gue kerasa ketinggalan di atas awan. Gue babacaan, istighfar, soalnya sayap pesawat udah menggelepar. Gue kan taunya pesawat terbang dalam badai di film doang.

Pesawat turun terus, tapi nggak keliatan apa-apa di jendela. Mana Hongkongnya? Baru sekitar 100 meter dari tanah baru keliatan laut hijau dan kota Hongkong. "All crew prepare to landing," kata pilot. Ya ampun, laut semua... Landing di Hongkong?? (Tapi emang mau landing di Hongkong hehe).

Tiba-tiba ada landasan dari mana gitu, terus pesawatnya landing.... Selamet..Selamet... Ternyata model bandaranya kayak Ngurah Rai, yang menjorok ke laut. Pas turun dari pesawat gue lihat awan tebel banget dan masih hujan.

Orang Konjen yang jemput kita bilang, "Kemarin barusan ada Topan Pabuk, udah warning banget. Untung nggak terbang kemarin,". Gue pun mengucap syukur. Alhamdulillah.............

BTW ini foto satelit Topan Pabuk di atas Hongkong......

Hongkong: Prolog

"Fay, sini Fay!" kata Wapemred gue Mas Asydhad suatu hari menjelang 17 Agustus.
"Siap tugas liputan nggak?"
"Siap Mas," (secara gue juga jenuh suasana Jakarta)
"Tapi lama nih... Seminggu,"
"Siap aja Mas. Kemana?"
"Hongkong....."

Kalau difilm adegannya setelah ini langsung view Hongkong pake latar musik film-film action tahun 80-an model The A Team, hehehe.
Misi: meliput kehidupan buruh migran Hongkong dan potret keseharian orang Hongkong sebanyak-banyaknya.

Gue pun melupakan persiapan meliput 17 Agustus di Istana Negara. Rencana sudah berubah total. Ini tulisan pertama dari rangkaian tulisan soal Hongkong. Semua dipajang di Detikcom pada 13-20 Agustus 2007.

Liputannya sih dari 11-17 Agustus 2007. Yang gue kasih disini tulisan mentah versi gue dan sejumlah tulisan serta foto yang tidak ada di Detikcom. 100 persen full version.

Enjoy......

Monday, September 10, 2007

Maaf.......

Kok lama banget nggak nulis lagi?
Iya nih, maaf. Ritme liputan di Istana Negara mengagetkan. Jadi susah curi-curi waktu. Gue juga udah nggak masuk tim penulis malam. Nambah susah lagi deh cari-cari waktu.

Maaf semua.....

Wednesday, March 21, 2007

Still Sleeping Jakarta

Motorku meraung 90 km/jam membelah Sudirman. Jam tangan saat itu menunjuk ke angka lima.

Ufuk merah bahkan belum muncul di langit Jakarta yang masih gelap. Tapi aku sungguh dikejar waktu secepatnya tiba di Istana Negara. Bisa gawat, kalau ketinggalan rombongan wartawan untuk acara SBY di Subang.

Baru kali ini pergi kerja bahkan sebelum shubuh. Jam belum menunjuk angka 4 waktu aku meninggalkan rumahdi Parung. Dalam hati, aku memecahkan rekor kecepatan menuju Istana Negara.

Cuma ada badan ini, dan motorku di jalanan. Aku cuma lihat petugas dinas pertamanan yang menyapu aspal. Jam 5 shubuh! Menyapu jalan dari sampah yang kita buang.

Di puncak kesunyian aku hentikan motorku. Posisinya di Bundaran HI. Masih ada waktu, pikirku saat melirik arloji. Kuambil Creative Divicam 525D dari tas. Jepret, kuabadikan sunyinya landmark Ibukota dengan kamera ber-zoom mentok ini.

Nyaris tidak ada siapa-siapa. Kecuali sekelompok pekerja bangunan Grand Indonesia bermain air kolam, di titik yang menjadi saksi bisu hiruk pikuk manusia di siang hari. Aku nyaris tidak percaya, Jakarta bisa tertidur......

Monday, March 12, 2007

U R What U Read

Ada pepatah bilang "you are what you read". Apa yang kita baca membentuk karakter kita.

Hari ini gue jadi wartawan, terus gue mikir gue dulu baca apa? Ya ampun.... Buku yang pertama diperkenalkan ibu gue tuh ternyata Tintin, itu waktu gue masih balita. Dan gue nggak pernah menyangka, 20 tahun kemudian gue jadi wartawan kaya Tintin.

Ibu gue dulu ikut pertukaran pelajar mahasiswa Sastra UI ke Perancis. Gue belum lahir lah. Yang jelas, ibu gue demen banget ama Tintin.

Pas Tintin keluar edisi Indonesianya, ibu gue beli, gue ngga tahu kapan. Yang jelas waktu gue belum bisa baca, masuk TK pun belum, gue dibacain komik Tintin sebelum tidur siang. Gue kagak pernah diceritain Si Kancil, gue tahu dongeng itu malah dari nenek gue.

Gue cuma mengerti gambarnya, ibu gue yang bercerita. Setelah gue pikir-pikir, dari Tintin gue belajar membedakan tanda seru ama tanda tanya. Gue juga diajarin moralitas dari komik Tintin.

"Faya, tahu nggak kenapa Tintin selamet terus? Karena dia sering menolong orang," gitu kata ibu gue.

Pas gue bisa baca setelah SD, ibu gue beli lebih banyak komik Tintin. Gue sih ngaku terinspirasi bertualang dari si jambul ini, makanya gue ikut pecinta alam waktu masuk SMA. Demikian seterusnya sampai hari ini gue jadi wartawan dan menikmati setiap petualangan mencari berita.

Gue baru ngeh pas kemarin-kemarin, dan gue tanya Desti apa gue jadi wartawan karena dulu baca komik Tintin?
"Bisa jadi....." kata Desti sambil menaikan alisnya.

Friday, March 9, 2007

Onizuka Sensei

Pada suka dorama Jepang? Udah pada nonton Great Teacher Onizuka, anime atau dorama-nya?
Daripada dorama cinta gitu, gue lebih seneng yang ini sih. Gue nonton waktu masih kuliah dulu, yang versi doramanya.

Buat yang belum tahu, ini drama tentang mantan ketua geng motor yang punya cita-cita luhur jadi guru seriously. Jadilah Eikichi Onizuka guru wali kelas yang seluruh muridnya bermasalah dari preman sampai yang depresi. In the end (spoiler allert!) dia berhasil merangkul murid-muridnya dan mencuri hati Azusa Fuyutsuki, gebetannya sesama guru. Serial lucu tapi tetap romantis.

Dorama ini sebenernya menggambarkan bingungnya remaja mencari jati diri, tapi guru-guru tidak pernah menempatkan dirinya sebagai teman di saat kritis ini. Guru cuma bilang kamu adalah winner kalau bukan loser, untuk jadi winner kamu harus belajar keras. Tahu kan stress-nya anak-anak sekolah Jepang...

Konsep winner dan loser dikritik film ini karena mematikan potensi sesungguhnya dari seorang murid. Iya juga sih, Indonesia juga ngga beda jauh. Otak kiri yang berurusan dengan logika diforsir sedangkan otak kanan yang berurusan dengan kreativitas tidak disentuh. Anak yang otak kanannya bagus dan pandai melukis atau bernyanyi tetap dianggap bodoh karena matematikanya dapat 5.

Onizuka sensei yang slengean menempatkan dirinya sebagai teman yang sejajar tanpa kehilangan respek. Sementara guru lain menuntut respek dan memposisikan diri mereka terlalu di langit. Gue jadi inget Pak Taufik, guru tata negara gue waktu SMU. Dia juga menempatkan diri dia sebagai teman dan jadi populer banget. Nggak ada yang kabur, kalau dia ngajar.

Jangankan Jepang, negara ini juga perlu lebih banyak Onizuka......

BTW, beli juga DVD Detective Conan The Movie yang versi orang bukan kartun. Judulnya Challenge Letter to Shinichi Kodou. Ini edisi peringatan 10 tahun komiknya. Ceritanya adalah kasus terakhir Kudou sebelum dipaksa telan pil yang bikin dia jadi anak kecil. Jadi kaya prequel gitu ke komiknya. Halah, jadi promosi gini gue...........