Hari Jumat 12 September 2008 menjadi hari yang mengejutkan. Desti memforward email DAAD yang bilang kalau visa gue dan Zahra tidak bisa diloloskan kantor Imigrasi Berlin dengan alasan masa studi Desti cuma 1,5 tahun. Gue merasa menubruk tembok besar.
Segala usaha satu tahun terakhir berhenti detik itu juga. Kami berhadapan dengan kenyataan pahit kalau semua akan terpisah, Desti di Berlin, gue di Jakarta, Zahra di Cirebon sampai tahun depan. Chatting sore hari itu penuh dengan rasa sesak di dada dan air mata.
Life must go on. Kita sangat percaya Allah menyiapkan yang terbaik ketika kita berdoa meminta yang terbaik. Manusia hanya berencana, tapi kita tidak tahu rencana-Nya. Sabar dan ikhlas kembali menjadi dua kata yang sangat berat untuk dijalankan.
Malamnya Ikhsan, Abie, dan Nyoman menghibur gue dengan berkaleng-kaleng soda dan batang coklat sampai waktu sahur tiba (thanks guys!). Gue dan Desti pun kembali menyusun kepingan optimisme kami. Ya udah, Desti kuliah, gue tetap jadi wartawan Detikcom. We tried the best and will keep doing so. Tapi ternyata, kejutan belum berakhir.
Jumat 19 September 2008, sebuah telepon dari Kedubes Jerman di Jakarta, masuk saat kaki sedang melangkah ke mesjid untuk Jumatan. Visa kami diterima......... Semua orang dan keluarga bilang ini ajaib. Gue bilang ini berkah Ramadhan.
Komentar gue...... jangan berprasangka buruk kepada-Nya. Dia punya janji untuk orang-orang yang mau bersabar. Seberapa jauh kita mau percaya kalau Allah menyiapkan yang terbaik untuk mereka yang mau berusaha.
Wahai Engkau yang maha membolak balik perasaan, terima kasih sudah mengingatkan kami yang lemah ini akan arti sabar, ikhlas dan penyerahan total dalam ketawakalan.
Dan sejak 20 Oktober 2008, kami kini berkumpul di Berlin........
No comments:
Post a Comment