Sunday, August 12, 2012

My Sacrifice

Badan ini lelah saat kembali ke rumah usai bikin e-KTP malam-malam di kantor kecamatan. Namun dengan sisa tenaga, ingin rasanya membuka email di laptop. Takutnya ada email penting dari para Traveltrooper, maklum Blackberry lagi dirawat inap di Cempaka Mas.

Namun, yang saya temukan adalah sebuah email dari Jerman, isinya menusuk hati sebenarnya. Tentang sebuah mimpi yang harus saya korbankan ketika memilih menjadi Redaktur Pelaksana detikTravel.

Apakah saya mengorbankan sesuatu yang penting? Jawabannya IYA.

Saya percaya, manusia yang baik harus hidup dengan banyak pilihan dan rencana. Saya membuat banyak hal semacam itu. Senang rasanya ketika saya punya banyak cara untuk menjalani hidup yang cuma sekali ini. Selain berkarir, impian lama saya dan juga Desti adalah bersekolah setinggi-tingginya.

Sudah komitmen kita sejak pacaran, yang satu akan mendukung yang lain untuk bersekolah, apapun risikonya. Tapi kami bukan orang kaya dan kami terbiasa mandiri, andalan kami adalah uang beasiswa. Desti sudah dapat Master of Art dari Fachoschule fuer Wirtschaft und Recht Berlin, kini sebenarnya adalah giliran saya.

Yang menarik hati saya adalah Master's Program International Media Studies dari Deutsche Welle Akademie bekerja sama dengan Fachoschule Bonn-Rhein-Sieg. DW yang bagi saya adalah BBC-nya Jerman, menjadi tempat khayalan ini melayang bahwa saya kerja jadi wartawan di kantor berita asing.

Alangkah girangnya saat 3 tahun lalu saya tahu telah dibuka DW Akademie, sekolah tinggi yang dibikin khusus untuk para wartawan. Saya sudah terbayang thesis saya kelak adalah soal Media Online. Bermodal pengalaman 6-7 tahun jadi wartawan detikcom dan beasiswa DAAD, DW Akademie adalah mimpi yang sempurna. Bersekolah di DW, belum sampai bekerja di sana lho, itu tetap terdengar indah di telinga ini.

Aplikasi kuliah sudah dikirim, lamaran beasiswa DAAD pun demikian, lalu pilihan kedua itu datang tiba-tiba: Promosi ke posisi Redaktur Pelaksana detikTravel. Saya mendadak dalam kebimbangan panjang.

detikTravel adalah tantangan sekaligus impian juga, plus mungkin doa Desti. Semasa di Jerman dan kami jadi backpacker ke beberapa negara dan menulis artikel untuk detikcom, Desti pernah berucap, "Kenapa kamu nggak jadi wartawan travelling saja sayang? Mungkin namanya Detik Travel atau apa gitu?" Ketika kami kembali ke Indonesia, kanal ini sungguhan ada hehehe.

Tapi butuh waktu setahun lebih sampai akhirnya Mas Asydhad selaku Wapimred saat itu untuk menawari posisi yang saya juga sama sekali tidak terpikir. Saya tahu saya akan ditarik dari comfort zone sebagai Waredpel detikNews. Artinya banyak tantangan di depan, tapi ini bidang yang saya suka sebenarnya.

Jika saya mengiyakan, artinya saya harus mengorbankan cita-cita saya bersekolah S2. Karena, saya nggak mau setengah-setengah dalam mengerjakan sesuatu, atau kabur di tengah jalan. Saya harus menghanguskan aplikasi saya dengan berat hati. Sangat berat hati.

Maka jadilah saya Redpel detikTravel, menjadi mentor untuk 4 anak muda yang harus saya poles dan bakar semangatnya. Pada medio Januari 2012, ponsel saya berdering dengan nomor awal +49..... dari Jerman.

Benar saja, DW Akademie menelepon saya. Seorang perempuan berbahasa Inggris, namun dengan aksen Jerman yang kental. Dia menanyakan kelanjutan proses aplikasi S2 saya di DW Akademie.

"I would love to, but I've been promoted as Managing Editor. So, I'm afraid that I can't continue my application process in DW Akademie," ucap saya dengan kerongkongan yang seret.
"If you are still interested with our program next year, you can still apply from our website. Best wishes," ujar suara dari ujung sana.

Itulah terakhir kalinya DW menelepon saya. Email yang saya terima semalam adalah penegasan obrolan tempo hari. Tapi hidup adalah pilihan, selalu ada yang dikorbankan demi sebuah cita-cita dan kehidupan yang lebih baik. Saya berdoa ini adalah pilihan terbaik yang ditetapkan Allah, Sang Maha Mengetahui.

Ada sebuah gambar yang dulu suka saya lihat dari situs DW Akademie di internet, untuk membakar semangat saya waktu menyusun aplikasi S2 ini. Gambar itu tinggal kenangan, saya mungkin tidak akan pernah berada di tempat itu. Gambar itu adalah gedung Deutsche Welle Akademie....

No comments: