Tuesday, July 19, 2016

Erdogan Oh Erdogan

Lucu sekali melihat orang Indonesia mengomentari percobaan kudeta terhadap Erdogan di Turki. Fans Erdogan di Indonesia cukup garis keras juga ya. Tapi haters Erdogan juga lumayan keras. Saya tidak tertarik ikutan kubu-kubuan macam suporter bola begini.

Saya tidak tergoda untuk pasang aneka status. Bagi saya, cukuplah berbincang dengan orang yang saya percayai, yang berada langsung di Istanbul bertahun-tahun dan memahami betul seluk beluk kondisi politik riil di sana, bukan hasil polesan propaganda para fans atau haters Erdogan di Tanah Air.

Nggak usah saya ceritakan juga, nanti fans Erdogan sakit hati, dan hatersnya juga kecewa sekaligus. Kenapa saya selalu menyebut fans dan haters berbarengan. Karena, jauh di lubuk hati kita, Erdogan hanya diambil simbolnya saja. Jujur saja deh, bagi orang Indonesia Erdogan cuma sekadar simbol untuk ego kalian yang terluka (fans) dan arogansi kalian yang di atas angin untuk membully (haters).

10 tahun lalu, simbol untuk ego kalian yang terluka itu bernama Ahmadinejad. Oh iya, saya tidak akan lupa sebuah fakta sejarah kalau orang-orang Indonesia pernah menggilai Ahmadinejad. 10 tahun dari sekarang, simbol untuk ego kalian yang terluka itu akan berganti nama lagi. Yang abadi ya cuma ego yang terluka itu.

Ahmadinejad, Erdogan dan entah siapa lagi yang akan dijadikan idola adalah candu. Fans dan hater akan bertukar posisi sesuai zaman, dan kelakuannya saya jamin sama. Itu sebabnya fans dan haters itu di mata saya nggak penting.

Ego kalian pernah terluka oleh SBY, makanya kalian menggilai Ahmadinejad. Presiden yang tidak mungkin memimpin kalian. Sekarang ego kalian terluka oleh Jokowi, lalu kalian mencari Erdogan. Figur lain yang tidak mungkin memimpin Indonesia. Kalian mencari pelarian yang tidak ada dan baru berduka ketika pemimpin sendiri sudah lengser.

Cuma segelintir dari kalian yang peduli dengan kudetanya. Bahkan tidak ada yang membahas Fethullah Gullen bukan? Satu saja broadcast soal Gullen, please share to me hehehehe.

Diskursus kudeta di Turki cuma pertarungan Erdogan itu pemimpin hebat VS Erdogan itu pemimpin bangsat. Sungguh sia-sia. Itu bisa diperdebatkan tanpa harus menunggu kudeta di Turki toh?

Bahas dong, kenapa pemimpin seagung dan semulia Erdogan dikudeta? Apa kira-kira yang salah? Bahas juga kenapa langsung ada ribuan orang yang ditangkap, itu daftarnya dari mana? Coba hitung, berapa berita media Turki yang mewawancarai mereka yang ditangkap? Siapa itu Fethullah Gulen yang dibenci Erdogan? Ulama loh dia dan kalian memuja Erdogan membangun kejayaan Islam kan.

Diskusi soal tema-tema di atas jauh lebih bermanfaat dari pada broadcast daftar jasa-jasa Erdogan oleh yang ngakunya doktor ilmu politik yang ternyata politisi kubu oposisi dan tidak netral. Atau menyebar daftar dosa-dosa Erdogan, itu juga nggak ada manfaatnya.

Ngomongin kudeta nih. Kalau buat saya, kudeta Turki belum mengalahkan rekor kisah kudeta paling keren dan berhasil. Sama-sama dilakukan malam hari, tapi yang disikat adalah faksi militer yang anti kudeta dulu. Jadi tidak ada faksi militer kuat yang bisa dipegang presiden macam Erdogan ini. Kemudian media dibungkam erat, cuma satu koran yang menyuarakan kubu militer pendukung kudeta. Presiden mau langsung disikat, tapi ternyata tidak ada di tempat.

Besokannya, tuduhan kudeta dilemparkan ke partai politik pendukung presiden. Ribuan orang ditangkapi dan dibantai dengan daftar yang ternyata sudah ada, dari guru, pegawai pemerintah, petani, militer, tokoh perempuan dll (miriplah dengan pasca kudeta di Turki). Presiden pun akhirnya tetap bisa di-skak mat.

Kalau Anda cukup piknik dan baca buku tentunya, pasti tahu kudeta yang saya maksud...

Wednesday, July 13, 2016

Balada Negeri Suporter Bola dan Negeri Warung Kopi

Jangan bingung melihat kelakuan anak bangsa berpolitik di negeri ini ya. Apalagi di dunia maya. Dari paradigma behavioralisme, cukup sederhana menyimpulkan perilaku mereka. Saya bikin nama sendiri yang kayaknya sesuai:

1. Negeri Suporter Bola

Tahu supporter bola kan? Kalau tim jagoannya kalah, marah-marah. Menurut mereka, kalau tim jagoannya kalah, itu karena salah tim lawan, salah wasit, dan kalau perlu salah rumput stadionnya. Tim jagoan dia nggak pernah salah, pokoknya nggak pernah. Nggak pernah....

2. Negeri Warung Kopi

Pernah ke warung kopi tradisional di Indonesia? Orang-orang ngumpul, ngobrol, ngomentarin sesuatu, paling asyik sambil nonton TV buat dikomentarin. Komentarnya jago-jago, analisanya dahsyat, mereka paling tahu solusi terbaik. Tapi apakah mereka lantas membuat perubahan? Ya nggak lah, kan cuma minum kopi doang.

Sekarang bagaimana kita mau menjadi oposisi yang kuat, pengkritik yang menakutkan pemerintah kalau mentalnya cuma sekelas suporter bola dan pengunjung warung kopi?

Manusia politik sekelas suporter bola hanya mengandalkan amarah dan benci kepada tim lawan, sambil mengagungkan tim sendiri. Padahal amarah dan benci itu temporer, kalau sudah reda maka hilanglah ikatan mereka, malah nobar ama tim lawan. Akibatnya tenaga mereka habis untuk memelihara kebencian, karena itu satu-satunya ikatan mereka.

Manusia politik sekelas pengunjung warung kopi ya kayak anjing menggonggong saja. Tenaga mereka habis untuk sumpah serapah, tapi tidak bisa digulirkan menjadi sebuah gerakan politik yang menggelinding keluar dari warung kopinya.

Mereka cuma terpana melihat mimpi politik mereka makin jauh dari realita. Manusia politik jenis suporter bola dan pengunjung warung kopi, hidup dalam ilusi mayoritas dan terbiasa mengkonsumsi informasi fiktif yang memabukan. Lah, kalau tim bolanya jelek mau bagaimana lagi? Kalau cuma teriak-teriak di warung kopi, bagaimana mau bikin perubahan?

Bagaimana berpolitik yang baik? Gampang. Berhentilah jadi supporter bola, tapi jadilah pemain bola yang turun ke lapangan. Menjadi sparring partner dari tim lawan yang kalian benci itu. Jadi kalian bisa ukur diri dan ukur lawan dengan data dan fakta yang sungguhan.

Kedua, keluarlah dari warung kopi. Realisasikan omongan, analisa atau bualan yang canggih-canggih itu ke dalam sebuah gerakan dari akar rumput. Jadilah solusi tandingan terhadap pemerintah yang kalian kritik itu. Jangan cuma ribut doang di medsos.

Marah dan teriak-teriak tidak akan membuat kita menjadi lebih terdengar. Karena, di dalam bilik TPS tetap saja kita cuma diberikan 1 kertas suara...

Saturday, June 18, 2016

Media Disuruh Netral, Eh Malah Pembacanya yang Partisan

Yaaa judul tulisannya sudah menjelaskan apa yang mau saya tulis kan? Semua berawal dari obrolan panjang dengan kawan-kawan SMA di group Whatsapp ketika untuk ke sekian kalinya berbagi link berita media online abal-abal.

Ternyata banyak yang belum tahu juga ngebedain media abal-abal sama media beneran. Jadilah saya jelasin, sesuai UU patokannya 3: mencantumkan alamat, mencantumkan susunan redaksi dan mencantumkan pedoman media cyber‎.

Terus ada pertanyaan, apakah 3 patokan ini menjamin media itu nulis berita yang benar? Ya saya balik lagi omongannya, media yang nulis berita bener itu banyak, pertanyaannya apakah sekarang pembaca butuh berita bener?

Kami sudah capek-capek liputan sampe malam, nulis berita sesuai fakta, cover both side. Tapi apa yang di-share orang? Pelintiran berita yang bahkan wartawannya saja nggak ada di lokasi, Wong cuma media online abal-abal.‎ Kan kezzeeeelll. Udah jelas datanya palsu, kita pegang data asli. Tetap aja orang percaya yang data palsu itu.

Faktanya pembaca sudah membentuk persepsi politik di otaknya. Media dia pakai untuk pembenaran atas persepsinya bukan untuk mencari kebenaran, yang parah sumbernya adalah media abal-abal atau blog yang menyerupai media, yang tidak bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya. Itulah yang terjadi sekarang.

Padahal, aturan yang ada itu untuk melindungi hak pembaca. Manakala dirugikan oleh berita, ada hak jawab bahkan somasi. Sekarang kalau kamu difitnah sama media abal-abal, mau protes sama siapa?

Pembaca menuntut media untuk selalu netral. Tapi pembacanya malah partisan. Kalau beritanya enak buat kuping mereka, keluar puja puji. Kalau nggak enak, keluar caci maki. Media yang legal saja sulit menjaga netralitas, lantas netralitas apa yang bisa dijamin oleh media abal-abal. Tapi tidak akan ada protes selama itu memuaskan ego politik pembaca.

Situasi ini adalah pembelajaran baru di Indonesia. Masyarakat kita akan menjadi seperti di Inggris atau Amerika. Media dan pembacanya sama-sama partisan. Di Inggris kalau kamu dukung Uni Eropa, kamu bacanya Guardian. Kalau anti Uni Eropa, kamu bacanya Daily Mail. Di USA kalau kamu benci Islam kamu bacanya New York Post, tapi kalau belain Islam kamu bacanya New York Daily News.

Di Indonesia sudah mulai begini. Dukung Jokowi nontonnya Metro Mini, anti Jokowi nontonnya TV Satu. Tapi setidaknya partisan ini dijaga dalam koridor media yang resmi, jangan kasih tempat untuk media abal-abal yang cuma jadi sumber fitnah dan adu domba dari kedua kubu.

Lantas, bagaimana cara menjadi pembaca berita yang cerdas? Eh tapi yakin mau jadi pembaca berita yang cerdas? Sudah siap mental? Baik, begini caranya: Bacalah berita dari kedua kubu. Berani nggak? Udah siap sakit hati belum?

Kalau nonton TV Satu, nonton juga dong Metro Mini. Kalau baca Media Nusantara, baca juga dong Rakyat Freedom. Pun demikian dengan media sosial, kalau dengerin Jonru, dengerin juga dong Abu Janda. Percayalah, mereka saling melengkapi informasi dan kamu dijamin jadi pembaca yang cerdas.

Mau yang netral? Masih ada detikcom kok tenang aja. Kita punya parameter sederhana untuk menjaga netralitas kita. Bos gue bilang, kalau kita dimusuhin kedua kubu, artinya kita netral. Biarin aja ada pembaca bilang detik pro Jokowi, toh mereka nggak tahu kalau wartawan kita ada yang di-black list PDIP (true story). Zaman pilpres redaktur politik kita dimarahin parpol pendukung Jokowi, sekaligus dimarahin parpol pendukung Prabowo.

Apakah detikcom punya keberpihakan? Oh jelas kita punya, bos gue bilang kita berpihak kepada kebenaran. Aiih sedaaaap.....

Thursday, June 9, 2016

Ilusi Mayoritas

Bismillah, nge-blog lagi ah, drpd isi otak terbuang sayang...

Ilusi Mayoritas

Menganalisa kondisi politik terkini negeri ini, secara sederhana adalah berkembangnya xenophobic populism (skripsi kuliah saya). Ini nggak cuma di Indonesia kok, santai aja bro. Inti masalah pada awalnya ada kesenjangan ekonomi dan politik, lalu ada sebagian kecil yang frustasi karena terancam dalam kompetisi.

Kenapa? Karena mereka hidup dalam ilusi mayoritas. Mereka merasa jumlah mereka banyak, lantas berhak terhadap akses politik dan ekonomi. Masalahnya, mayoritas bukan artinya serta merta bisa meminta begitu saja akses politik dan ekonomi itu. Macam preman pulak kau.... beraninya keroyokan.

Cuma ya ilusi udah jd makanan mereka sehari-hari, untuk mengobati sakit hati. Jadi gagap bgt dengan realitas. Dari Prancis, Amerika, Australia, sampai Indonesia hal ini terjadi. Kebencian mereka mengambil simbol apapun yang dianggap berbeda, tapi mewakili lawan politik mereka.

Di Prancis yang dihajar umat Islam, di Australia yang dihajar adalah imigran, di Amerika yang dihajar imigran Amerika Latin, di Indonesia yang dihajar adalah China dan kaum kafir. Xenophobic populism melakukan agregasi politik dengan cara yang paling mudah dalam sistem politik di negara tersebut. Di Australia, pasti bikin parpol, karena gampang banget. Kalo di Indonesia, pasti bikin ormas dan berharap uang dari parpol tertentu.

Ilusi apa sih maksudnya? Australia contoh paling gampang, banyak parpol gurem mengusung isu anti imigran. Buat mereka, sebagai true blue Australian (pribumi), mereka terjajah kaum imigran. Pdhl itu ilusi, mereka doang kali. Mayoritas pribumi Australian tdk merasa terjajah imigran, karena secara politik dan ekonomi lebih aman posisinya.

Kalau di Indonesia, isi kepala mereka begini: Saya kan pribumi, pribumi kan banyak, masa org China lbh kaya dari saya. Atau, saya kan Islam, Islam kan banyak, kok orang kafir yang jd penguasa. Pdhl realitanya, banyak kok pribumi kaya dan muslim penguasa.

Ciri-ciri mereka: kecil tapi berisik. Tapi jangan takut, kekuatan mereka cuma mengandalkan kebencian semata, ketika benci itu hilang, hilang juga dukungan terhadap kelompok ini, pindah ke spektrum tengah. Solusinya adalah membuat sistem yang lebih menjamin akses politik dan ekonomi yang lebih merata untuk rakyat. Negara yang melakukan itu, terhindar dari gejala xenophobic populism. Negara-negara Skandinavia baek-baek aja tuh.

Btw soal spektrum, xenophobic populism ada di ekstrem kanan, sementara communism ada di ujung paling kiri. Xenophobic populism itu satu famili tapi lebih jinak dari fasism, racism, ultra nationalism, far right, ultra right, right wing. Disebut lebih jinak, karena ada embel-embel populism, mereka gampang terbuai oleh tokoh yang menjual janji-janji surga macam Donald Trump. Intinya mereka cuma anak-anak kecil yang manja dan merengek-rengek, karena anak baru di komplek punya mainan lebih bagus.

Sunday, April 21, 2013

Yang Janggal dari Video Bom Boston (di Mata Seorang Wartawan)

Sebelum baca tulisan saya, yuk tonton dulu detik-detik awal liputan eksklusif The Boston Globe saat ledakan bom di Boston Marathon. Seiring itu kita sampaikan duka cita kepada seluruh para korban.



Sudah? Oke, dalam perkembangan berita terakhir kita tahu warga Boston bersorak sorai karena pelakunya yang kakak beradik orang Chechnya itu sudah tertangkap dan satu lagi tewas. Case closed? Nanti dulu.

Sekitar Selasa sore kemarin, anak buah gue Afif kasih lihat video Youtube ini dari The Boston Globe. Detik-detik awal ledakan bom di acara Boston Marathon. Wajar nggak? Buat saya ada beberapa hal yang janggal saja sih di video itu. Mungkin hanya sekadar ketidaktahuan saya, silakan mengkritik saya untuk itu. Saya mau bahas detik demi detik.

1. Detik 0:07
Kameramen bernama Steve Silva ini berdiri di garis Finish merekam para pelari masuk ke garis finish dan bomnya meledak. Reaksi dia? Nggak kaget-kaget amat. Kok bisa?

Entah kenapa saya merasa reaksi dia nggak manusiawi. Menghadap ke arah ledakan, tapi dia nggak punya refleks apa-apa. Kalau dia kaget dan refleks, arah kameranya bisa berubah angle drastis karena misalnya dia menunduk, jongkok, dan aneka reaksi manusiawi lain untuk mencari posisi aman karena kaget. Tapi si kameramen seperti bertugas merekam ledakannya sebaik mungkin. Kameranya cuma 'shaken' sedikit saja.

Di Youtube juga banyak contohnya kameramen yang refleks ketika kaget dan rekaman gambarnya jadi kacau. Tapi rupanya tidak demikian dengan kameramen kita ini.

2. Detik 0:14
Seorang pelari tergeletak setelah ledakan bom. Itu berita banget secara gambar. Saya pikir semua wartawan dan fotografer sepakat. Silakan tanya para kameramen TV One atau Metro TV. Tapi si kameramen Boston Globe ini malah asyik merekam asap yang mengepul, bukannya segera mengambil gambar korban.

Kenapa yah? Saya juga nggak mengerti kenapa si kameramen menahan ketinggian kameranya di bawah dada. Kameramen lain saya pikir akan mengangkat kameranya tinggi-tinggi untuk angle yang lebih luas. Setidaknya sejajar kepala. Menahan kamera setinggi dada kan akibatnya angle gambarnya terbatas.

3. Detik 0:53, 1:04 dan 1:12
Apa reaksi wartawan ketika ada bom meledak? Mencari sumber ledakan. Itu yang dilakukan fotografer lain, mulai dari detik 0:53, 1:04 dan 1:12. Sumber ledakan punya nilai berita lebih dari pada si Silva ini yang merekam situasi di sekitarnya. Lihatlah beberapa fotografer mendekati trotoar untuk mengambil gambar. Tapi tidak dengan kameramen Boston Globe. Why?

4. Detik 1:30
Si kameramen mendapat angle untuk mengambil gambar korban yang belum didatangi paramedis. Si kameramen tidak melakukannya. Tapi dia malah menyorot banner '2013 Boston Marathon'.

Saya nggak paham kenapa kameramen ini tidak mau merekam gambar para korban di detik-detik awal setelah ledakan dan malah mengambil jarak. Nggak wartawan banget, nggak kameramen banget gayanya.

5. Detik 1:44
Ada tentara? Sampai sini saya nggak tahu mau bilang apa. Apakah AS punya kebiasaan melibatkan tentara aktif di dalam sebuah acara sipil? AS itu bukan Indonesia yang melibatkan Korem dan Koramil untuk acara-acara rakyat jelata.

AS itu mengaku punya civil society kuat, pengamanan mereka dilakukan polisi, kalau genting ada SWAT. Tentara mereka ada di barak. Mereka tidak serta merta muncul membantu polisi dalam...... 1 menit 44 detik?!?! CMIIW, tapi saya benar-benar tidak tahu kenapa tiba-tiba ada tentara di acara Boston Marathon.

Itu sih 5 hal yang mengganggu dari video ledakan Bom Boston. Masalahnya, video inilah yang dipakai seluruh media di AS untuk menggambarkan ledakan bom tersebut. Yang mau analisa lebih konspiratif, silakan baca laman-laman tetangga ya. Saya hanya menganalisa sebatas data yang saya punya.

Sunday, April 14, 2013

2 Pria yang Mengubah Briptu Norman... Selamanya

Berita pertama Norman Kamaru di Indonesia
Wow! Sebulan nggak nge-blog gara-gara pulang malem terus dan backpackeran hehehe. Okay, what I'm gonna tell you is some kind of secret....... I'm kidding.... Here we go:

Minggu, 3 April 2011 adalah hari yang akan saya kenang, dan juga teman saya Anwar Khumaini. Pada masa itu saya masih di detikNews, Anwar juga belum pindah ke merdeka.com. Saya piket Minggu menjadi kordinator liputan dan Anwar sebagai penulis kantor. Di lapangan ada 2-3 wartawan liputan.

Ini adalah hari Minggu yang landai dan membosankan.Tidak ada kejadian dominan. Sampai pada sore hari... Redpel detikNews, Indra Subagja tiba-tiba memberi link video Youtube 'Polisi Gorontalo Menggila'. Saya tonton, dan busyet! Keren sekali polisi Brimob ini joget India. Ngakak menontonnya.

Tiba-tiba, insting wartawan saya menyala (kayak Spider Sense-nyaSpiderman gitu). Kayaknya menarik ini untuk diberitakan, soalnya hari Minggu itu nggak ada yang seru seharian. Dan si Brimob ini bisa jadi Shinta dan Jojo baru yang waktu itu lagi ngetop banget.

"War, harus ente yang bikin, kan ente penggemar film India. Lebih menghayati. Entar gue edit, gue bumbuin deh," kata saya mengoper link Youtube itu ke Anwar.

Ini pasti lagu Shahrukh Khan, tapi yang mana? Anwar tampak berpikir keras, memutar semua film Shahrukh Khan... di kepalanya. Kata kunci kami cuma bagian reff, sesuatu yang terdengar 'chaiyya chaiyya' begitu. Browsinglah dan kami menemukan video klip dari film Dil Se, film jadulnya Shahrukh Khan.

Wah mirip gaya jogetnya! Memang meniru video klip aslinya! Nambah ngakak kami menontonnya. Hup hup, Anwar lantas mulai ketak-ketik memberi deskripsi cerita. Sementara saya bikin prints creen video klip dengan gaya si polisi yang paling maksimal.

Informasi kami sangat terbatas. Mendeskripsikan total apa yang kami lihat dari video klip. Kami cuma tahu pangkatnya Briptu. Artikel beres, giliran saya yang mengedit.

Pertama adalah membuat lead. Polisi nyeleneh ini pasti bakal dihantam sama atasannya. Jadi kita harus membuat lead yang agak membela si Brimob ini. Jadilah saya menambahkan lead, "Brimob juga manusia." Humanis toh, semua orang punya hak untuk berjoget. Biar lebih kuat, kami tambahkan komentar para pengguna Youtube yang menyukai aksi si polisi.

Lantas judulnya, harus eye catching banget nih di hari Minggu santai ini. "Kudu pake bahasa India, War," kata saya. Jadilah saya ganti judulnya Anwar menjadi Chaiyya! Anggota Brimob Nyanyi Lagu India.

Sumpah, kami menulis berita ini sambil ngakak-ngakak. Untuk penutupnya, kita bilang "Akankah sang Brimob ini bisa setenar Shinta dan Jojo? Kita tunggu saja"

Artikel ditutup dengan kode nama kami (Anw/Fay). Artinya Anwar yang menulis, Faya yang mengedit. Berita ini naik pada Minggu, 03/04/2011 pukul 16:32 WIB. Yang pertama di Indonesia, silakan cek.

Kami pulang dengan senyum-senyum. Kami yakin beritanya pasti menarik dan dibaca orang. Hanya saja, kami tidak menduga beritanya bakal meledak, SANGAT MELEDAK, BLAAARRRR!!!!!!!

Pada hari Senin, Indra bilang berita kita menggelinding liar seperti bola salju. Semua media nasional melahapnya habis-habisan. Seperti saya duga, bolanya mengarah kepada kemungkinan sanksi untuk si Brimob yang belakangan saya tahu namanya Briptu Norman.

Lantas Mabes Polri dengan cerdik melihatnya sebagai peluang untuk membersihkan muka Korps Bhayangkara yang lagi dihantam masalah Cicak VS Buaya. Jadilah Briptu Norman Kamaru sebagai bintang.

"Gara-gara ente berdua tuh," kata beberapa kawan.

Yup! Kami berdua yang bertanggung jawab atas perubahan nasib Briptu Norman hahahahahaha. Bahkan semestinya Norman berterima kasih kepada Anwar, tapi pas Norman tempo hari main ke kantor detikcom, Anwar malu-malu menemui dia.

Bagaimana rasanya menjadi pihak yang pertama kali mengangkat sebuah berita yang fenomenal? Feel like orgasm hehehe. Bagaimana rasanya kalau berita itu menjadi perhatian nasional, meledak luar biasa, diikuti semua media nasional? Multiple orgasm..... hahahaha.

Tapi beneran, menjadi wartawan paling puas itu kalau berita yang kita bikin disukai pembaca. Saya tidak ada urusan dengan si Briptu Norman ini. Urusan saya adalah memberikan berita terbaik kepada pembaca detikcom. Ketika pembaca suka, itu sudah jauh lebih dari cukup bagi saya sebagai seorang wartawan.

Monday, March 18, 2013

Bungker Misterius!

Terowongan rahasia
Bayangkanlah adegan dalam novel masa depan yang akan saya tulis, hehehe..... Cita-cita belum kesampaian. Sumpah ini cerita fiktif. Begini ceritanya....

----------------

Suatu pagi di Jakarta....

Mobil Rama meluncur kencang membelah jalanan sepi pagi itu. Namun menjelang bangunan Belanda itu mobilnya melambat. Mestinya di sini, pikir dia. Rama memarkirkan mobil dan menyapa ramah sang penjaga, dia pikir Rama hanya tamu biasa.

"Bapak datang terlalu pagi, yang biasa menemani tamu belum datang," kata bapak itu.

Rama berlagak seperti turis saja dan melongok-longok rumah Belanda itu. "Masih asli ya, Pak. Kalau di halaman belakang ada apa?" pancing Rama.
"Ada bungker," ujar si penjaga terpancing. Ini dia! Jantung Rama berdegup kencang tapi mencoba tenang.

Ingatan ini terlempar beberapa waktu lalu ketika Farhat mengucapkan kata yang sama, "Ada bungker". Bungker sih tidak masalah, tapi yang menarik perhatian Rama karena letak bungker ini berada dalam garis legendaris bernama Terowongan Rahasia Jakarta.

Legenda itu menyebutkan VOC membangun terowongan rahasia membelah Kota Jakarta. Ada yang percaya itu terkait dengan emas harta karun, ada yang percaya itu terkait dengan kelompok rahasia macam Freemason dan Illuminati

Apapun itu, Rama harus membuktikannya sendiri. Si penjaga pun dengan lugu mengantar saya ke halaman belakang rumah Belanda ini. Rama si petualang muda hanya berdua saja dengan penjaga yang menunjuk ke lubang kotak yang sempat diduga Rama sebagai lubang drainase.

Damn! Ini memang bungker kata Rama dalam hati. Lubang itu dipasangi tangga panjat alumunium, karena....
"Pak, anak tangganya salah ya?" tanya Rama.
"Memang nggak pas, Mas. Kalau mau turun pakai tangga ini," kata si penjaga memegang tangga alumunium itu.

Otak Rama berpikir keras. Naluri detektifnya bermain. Tangga turun ke bungker ini diubah! Anak tangganya tiba-tiba bertemu dinding sebelum sampai ke permukaan tanah.
"Pak, saya loncat saja cuma semeter ini," kata Rama.

Satu-satunya lubang cahaya
Sambil memegang kamera SLR-nya Rama melompat. Hup! Dia lalu menuruni tangga sampai tiba di belokan. Tangga itu membawanya ke sebuah ruangan bungker. Tingginya hanya 2 meter di bagian tengah dan lebih rendah di bagian kiri dan kanan. Sepatunya menginjak lantai lembab dan agak basah.

Rama berjalan ke tengah bungker yang agak gelap itu. Sumber cahaya hanyalah sebuah lubang angin di atas kepalanya. Berapa meter aku di dalam tanah? Pikir Rama. Lubang angin ini pasti disangka warga Jakarta yang tidak peduli sejarah sebagai lubang gorong-gorong.

Rama pun tiba di ujung bungker. Ada lubang! Tembok jebol itulah tepatnya. "Sial, aku bukan orang yang pertama kemari. Aku bukanlah orang pertama yang menduga ada terowongan rahasia di sini," pikir Rama.

Rama memeriksa bekas galian tembok itu. Gelap dan Rama tidak membawa senter. Lubang itu belum menuju kemana-mana. Penggalinya sepertinya menyerah. Tapi setidaknya dia berpikiran sama dengan Rama, bungker ini adalah terowongan yang sengaja diputus. Si penggali menduga akan ada ruang lain di balik ujung tembok bungker ini.

Rama pun sebenarnya agak ragu. Bungker ini memanjang dengan poros utara-selatan, bukan barat-timur sebagaimana legenda terowongan itu dikisahkan sesuai jalurnya di kawasan tersebut. Meski demikian, sejarah kepemilikan rumah ini yang menyebabkan Rama mau menguji teorinya.

Pemuda ganteng ini memperhatikan besi-besi berkarat yang mencuat akibat tembok yang dijebol paksa itu. Tiba-tiba, Rama memalingkan pandangannya ke bagian lain bungker ini. Dirabanya tekstur temboknya dan dibandingkan dengan tekstur di sekitar tembok yang dijebol.

Tembok itu membentuk pola-pola teratur dan Rama tahu betul itu apa, anyaman bambu bilik. Otak cerdasnya berkalkulasi walaupun ilmu arsitektur dan teknik sipilnya hanya modal membaca buku di perpustakaan. Besi, bambu, triplek.... Dan senyum Rama tersungging.... Dia berhasil memecahkan teka-teki bungker itu.

Rama pun bergegas naik keluar dari bungker. Sepi..... Si penjaga menghilang! Tiba-tiba rumah Belanda itu sepi dan tinggal Rama sendirian. Bahkan sampai Rama kembali ke mobilnya tidak ada siapa-siapa. Namun Rama tahu, ada beberapa pasang mata yang menatapnya dari kejauhan.

Tembok yang dijebol
Rama tak peduli. Satu hal yang pasti, dugaannya selama ini masuk akal. Kenapa terowongan itu diubah bentuknya, mungkin karena untuk menutupi rahasianya selama ratusan tahun ini. Toh, manusia Jakarta yang hidup di atasnya pun tidak peduli....

--------------

Teka-teki apa yang dipecahkan oleh Rama? Tunggu edisi lengkapnya di toko-toko buku terdekat langganan Anda :) Amiiiiiiiiin!

Sunday, February 17, 2013

Menjadi Wartawan Detektif - Part 3: Menyamar

Kalau menonton film Sherlock Holmes yang diperankan Robert Downey Jr, keren banget nggak sih pas dia menyamar jadi gembel, jadi perempuan, bahkan jadi tembok. Detektif memang identik dengan kegiatan 'undercover'.

Wartawan sih nggak segitunya. Tapi..... siapa bilang itu tidak dilakukan. Dalam kondisi tertentu, wartawan juga menyamar. Saya.... pernah menyamar beberapa kali hehehe.

Ada prinsip utamanya yang harus dipegang. Narasumber harus tahu kalau Anda wartawan. Tidak boleh seseorang diwawancarai diam-diam, lalu ucapannya muncul di media. Itu melanggar etika jurnalistik. Oleh karena itu menurut saya, menyamar tidak dalam kapasitas untuk menulis berita secara langsung.

Saat melakukan investigasi, menyamar hanya dalam kapasitas untuk mencari informasi yang akurat, kisah orang dalam, informasi A1, kisah-kisah tersembunyi, dongeng di balik layar. Hanya itu saja. Nah, nanti konfirmasi tetap dilakukan dengan wawancara sungguhan kepada pihak-pihak yang berwenang. Menjebak narasumber adalah tindakan yang tidak patut.

Pun demikian untuk saya. Menyamar hanya untuk mendapatkan pengetahuan mendalam mengenai suatu kasus atau kejadian. Tapi saya tidak pernah menulis itu menjadi berita, tanpa seizin nara sumber. Teknisnya macam-macam, bisa dengan melindungi identitas nara sumber. Atau, ada pihak-pihak yang menjamin kalau penulisan identitas ini sudah aman bagi yang bersangkutan.

Nah, kalau menyamar harus fokus ya. Jangan seperti intel polisi, terlalu memikirkan target buruan, tapi jadi nggak fokus dengan penyamarannya. Misalnya menyamar jadi tukang sayur, terus daging ayamnya ditawar sadis oleh ibu-ibu, pasrah saja. Atau, menyamar jadi tukang sapu, tapi menyapu asal-asalan.

Jangan bayangkan saya pakai kumis palsu atau jadi pohon ya, itu mah film banget. Saya pernah menyamar menjadi mahasiswa di Ujung Kulon agar bisa bertemu petani perambah yang berkonflik dengan pengelola Taman Nasional Ujung Kulong. Tapi menyamar yang paling asyik adalah yang ini:

Suatu ketika, Ariel Peterpan ditahan gara-gara video bokep-nya dengan dua artis perempuan. Pasti tahu dong kasus ini. Nah, seorang narasumber, menawarkan masuk ke tahanan Ariel di Bareskrim Mabes Polri, dengan cara menyamar. Pilihan jatuh kepada saya yang belum lama pulang dari Jerman. Pertimbangannya, sudah tidak akan ada orang yang mengenal saya di Mabes Polri.

"Benar ya, sudah nggak ada wartawan seangkatan gue yang liputan di Mabes Polri sekarang?" tanya saya.
"Bener Fay, sudah pada ganti kok anak-anaknya. Paling tinggal satu dua doang yang sezaman ama elo liputan di Mabes Polri," ujar kawan saya.

Soalnya percuma kalau saya menyusup, terus tiba-tiba ada yang memanggil, "Fay! Gimana Jerman? Kapan pulang?" Hehehehe.

Skenarionya simpel. Saya menjadi ajudan narasumber saya. Saya diberikan kemeja baru, bawa kamera, semua tas dan identitas saya ditinggalkan di kantor si nara sumber. Saya menjadi tipikal ajudan yang mengikut di belakang pejabat, bawa-bawain tas begitu. Penyamaran yang sederhana, bukan?

Tapi tetap saja.... "Fay, ngapain?" Tiba-tiba, ada suara memanggil saya di pelataran Bareskrim Mabes Polri. Rupanya teman lama wartawan juga. "Gue pindah kerja," sambar saya sebelum buru-buru masuk mengikuti 'atasan' saya.

Kami tidak mendatangi Ariel ke tahanan, melainkan Ariel yang dikeluarkan dari tahanan untuk menjumpai kami di sebuah ruangan. Jreng.... jreng, Ariel pun muncul!

Hah? Ariel kok sependek saya? Sumpah, saya pikir Ariel tinggi. Luna Maya dan Cut Tari suka apanya ya? Begitu yang terpikir di kepala waktu pertama kali melihat Ariel. Wajah Ariel sangat pucat dan kusut, Ariel tampak stress. Pengacaranya sempat curiga pada saya, tapi narasumber saya menegaskan kalau saya adalah ajudannya.

Kami pun mengobrol panjang. Narasumber saya meminta Ariel mengakui perbuatannya dan memikirkan dampak tindakannya terhadap para penggemarnya yang masih belia. Namun, Ariel bebal dan keukeuh tidak mau mengakui video-nya itu. Ya sudahlah, kami pulang.

Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Ariel yang saya beritakan. Namun, informasi langsung dari mulut Ariel saya share di redaksi, agar mereka dapat gambaran bagaimana kondisi Ariel. Berita soal Ariel, saya kemudian mewawancarai lagi pihak berwenang.

Menyamar dan bertemu Ariel yang pucat, orang lain saya hitamkan yaaa hehehe
Namun sekarang, saya sudah mendapat gambaran soal kondisi Ariel karena saya juga sudah bertemu langsung. Dan....... foto-foto sama Ariel hehehehe. Kapan lagi foto bareng Ariel di dalam masa penahanan. Namun, orang-orang lain terpaksa saya hitamkan ya, untuk melindungi identitas mereka.

Saturday, February 9, 2013

Menjadi Wartawan Detektif - Part 2: Liputan Kriminal

Ini adalah lanjutan dari tulisan pertama, Menjadi Wartawan Detektif. Dalam tulisan kedua ini, saya tidak bicara soal jurnalisme investigasi, tapi bicara wartawan yang berpikir seperti detektif, hehehe.

Sebelum saya menjadi redaktur pelaksana detikTravel, saya malang melintang di detikNews. Walaupun akhirnya pos liputan saya lebih banyak berkaitan dengan berita internasional dan politik, saya mencicipi juga liputan di wilayah (sebutan wartawan untuk kawasan kerja polisi di Jakarta). Mulai dari Polsek sampai Mabes Polri.

Untuk kawan-kawan yang lebih lama liputan di kantor polisi, mereka lambat laun mengembangkan cara berpikir yang sama dengan polisinya. Ini saya bicara soal polisi Reserse, bukan polisi cantik yang biasa cuap-cuap di TV soal macet Jakarta. Unit Reserse Kriminal ini beneran polisi yang tiap hari bekerja membuat Jakarta menjadi lebih aman. Anda baru melihat mereka di acara berita-berita kriminal.

Di Amerika, mereka inilah yang disebut detektif polisi. Biasanya, sore atau malam hari menjadi momen ngobrol antara para wartawan dan para reserse ini. Bukan untuk konsumsi berita, tapi ini obrolan untuk sama-sama meng-update kondisi sebuah kasus. Mulut resmi nantinya tetap memakai ucapan Kepala Unit Reskrim, Direskrimum dst.

Kalau polisi punya 'Cepu' alias informan di jalanan, maka wartawan juga punya 'Cepu' yaitu para polisi detektif ini. Ini hubungan yang dibangun dengan relasi yang bagus antara si wartawan dan polisi. Kenapa ini perlu? Dalam sesi ngobrol itu polisi bisa cerita bagaimana kasus berkembang, wartawan bisa memberi masukan dan tanya jawab langsung. Ini ada manfaat langsungnya loh. Di sini wartawan bisa belajar berpikir ala detektif.

Rupanya, kasus kriminal itu bisa dibaca polanya, dari modus, locus delicti alias tempat kejadian perkara, sampai para pelakunya. NYPD atau FBI di luar negeri sana,  menyebut ini Profiler. Kasus-kasus kriminal, karena sering terjadi, bisa terpolakan untuk memudahkan polisi menangkap pelaku.

Wartawan bisa ikut mempelajari profiler ini untuk berpikir ala detektif. Pada akhirnya nanti, si wartawan juga bisa mengira-ngira ini siapa pelakunya. Ada banyak profiler, tapi ada dua yang selalu saya ingat-ingat:

1. Kalau ada cowok mukanya agak ganteng atau lumayan, dan dia dibunuh dengan sadis, pelakunya homo
2. Kalau ada anak kecil diperkosa bahkan dibunuh, pelakunya keluarga atau tetangga fedofil

Saya kasih ilustrasi. Ini adalah sebuah kasus kriminal paling besar tahun 2008 di Indonesia, dan saya adalah wartawan pertama yang datang ke lokasi (boleh dong bangga sedikit, please....). Mana saya tahu ini bakal jadi kasus paling heboh tahun 2008 hehehe.

Saat itu adalah Sabtu 12 Juli 2008, pagi hari pukul 09.30 WIB. Saatnya saya pulang setelah menjalani tugas piket malam di markas detikcom. Saat motor saya melintas di perempatan Ragunan, ponsel saya berdering.

"Fay, ada mayat di belakang Ragunan, elo liputan lagi dong. Posisi ente paling deket tuh. Ntar Ari nyusul ente ke sono. Baru deh ente balik," kata Mas Djoko, korlip saya dari ujung sambungan telepon.

Walaupun habis begadang semalaman, tapi wartawan detikcom harus siap tempur. Walaupun badan lelah, tapi kalau kondisi genting dan belum ada wartawan yang siap, dan posisi sayang paling memungkinkan, saya siap liputan lagi! (Pasang baterai cadangan di jantung hehehe).

TKP-nya di Jl Kebagusan, dekat kantor IM2 dan SDN 14 Ragunan. Warga berkerumun di luar Police Line, dengan menunjukkan kartu wartawan, saya minta izin mendekat. Ada beberapa lembaran koran menutupi potongan tubuh yang tersebar di beberapa tempat. Wah, dimutilasi nih!

Kok santai aja Fay, lihat mayat dipotong-potong gitu? Hmmm, ada proses pembelajarannya. Kalau saya wartawan newbie, mungkin muntah-muntah juga.

Usai mengambil gambar, ada polisi nyeletuk, "Korban ganteng nih." Voilla! Itu adalah kode profiler nomor 1 yang saya sebut di atas. Pelakunya diduga gay. Penemuan mayat pagi itu menjadi awal dari terungkapnya kasus pembunuh berantai paling sadis di Indonesia: Ryan si Jagal Jombang, seorang gay.

Kasus kedua: Bocah kelas V SD di Jakarta Timur mengalami peradangan dan meninggal. Polisi menemukan tanda korban pernah diperkosa. Pelaku? Berdasarkan profiler nomor 2, pelakunya kalau bukan keluarga, ya tetangga. Belakangan diketahui, pelaku adalah ayahnya sendiri.

Dengan belajar mempelajari profiler dari kasus-kasus kriminal, wartawan terbantu membayangkan bagaimana suatu berita kriminal yang akan ditulisnya bergulir ke arah mana. Menjadi wartawan, artinya kita juga belajar berpikir seperti detektif!

Friday, February 1, 2013

Ketika PKS Tersandung Daging

Semoga judul blog kali ini belum dipakai jadi judul Tempo atau media lain hehehe. Tapi begini ceritanya.... Hari Kamis 31 Januari kemarin, saya nggak ngantor dan meninggalkan Shafa sendirian mengatur detikTravel, karena teman-temannya liputan semua.

Saya seharian berobat ke RS Karya Bhakti Bogor karena sesak nafas. "Bapak kerja apa sampai sakit begini?" kata dokter penyakit dalam yang saya datangi, sebelum meminta saya berbaring di ranjang periksa. Saya menjawab kalau saya wartawan dan dia langsung menyambar, berita apa yang menarik untuk saya ceritakan.

Sambil berbaring dan terhalang tirai, sementara Pak Dokter memeriksa data medis saya di meja, berceritalah saya tentang berita seru: Presiden PKS jadi tersangka KPK. Puas rasanya saya cerita panjang lebar, dan baru sadar, Pak Dokter ini tidak kunjung menghampiri saya dan membela Presiden PKS Luthfi Hassan Ishaaq dari tempat duduknya itu.

"Luthfi pasti difitnah, ada yang nggak suka sama PKS, terus KPK diumpanin untuk membidik PKS. Pasti Demokrat karena kemarin Andi Mallaranggeng sudah kena sama KPK," kata Pak Dokter.

Saya bangkit dari ranjang periksa. Ini dokter lagi ngapain sih? Wah dia sedang membaca BBM.

"Nih Luthfi Hassan bilang ini adalah fitnah...." kata dia.

Oaaalaaaaaah, Pak Dokter ini kader PKS toh dan dia dapat BBM internal para kader PKS. Pantesaaaaaaaan. Semua kenalan saya yang kader PKS di BB, statusnya dua. Kalau bukan hadits 'fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan', statusnya 'Hasbunallah wa ni'mal wakil....'

Untung saya nggak diapa-apain sama Pak Dokter ini setelah saya mengkritik PKS hehehe. Tapi akhirnya kita jadi mengobrol seru. Dia yakin PKS diobok-obok menjelang Pemilu 2014, saya mengiyakan. Dia yakin kalau PKS bisa bersikap tepat, PKS justru mendapat simpati karena dizalimi, saya lebih mengiyakan.

Tapi saya luruskan pandangan dia sedikit. Kalau KPK sengaja membidik PKS, kan Demokrat sudah lebih dulu menjadi korban KPK. Kalau Luthfi dan PKS yakin tidak bersalah, tidak usah takut dengan KPK toh. Logikanya sesederhana itu.

Saya memahami kegeraman Pak Dokter sebagai kader PKS di akar rumput. Ini kegeraman yang sama dengan jutaan kader PKS di seluruh Indonesia. Masalahnya adalah, apa yang sesungguhnya terjadi hanya Luthfi dan Allah saja yang tahu.

Kalau yakin tidak bersalah, lebih baik Luthfi dan tim hukum dari PKS menyiapkan pembelaan terbaik untuk berhadapan di Pengadilan Tipikor. Itu lebih baik daripada PKS bersikap reaktif. Concern saya cuma satu dan itu agaknya kurang dibahas juga dalam diskursus PKS dan daging impor ini.

Begini, ketika KPK mengatakan dua alat bukti sudah cukup untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka. Salah satu alat bukti itu, sepanjang pengetahuan saya sebagai wartawan, adalah rekaman sadapan. Alat bukti kedua bisa tangkap tangan, dokumen penting, dll. Rekaman sadapan ini bukan main-main. Terukur dengan perbandingan serius bahwa ini adalah suara asli orang yang bersangkutan. Rekaman sadapan KPK selama ini mengungkap sisi gelap para tersangka yang selama ini terbalut oleh pencitraan.

Terserah PKS mau bilang ini fitnah atau apa. Saya hanya khawatir, hanya khawatir...... Ketika rekaman itu diperdengarkan KPK di Pengadilan Tipikor, ucapan Luthfi yang direkam itu akan mengungkapkan sisi lain Luthfi yang kita tidak tahu. Saya membayangkan hal itu akan menghancurkan hati jutaan kader PKS di akar rumput, yang masih lurus, idealis, ghirohnya luar biasa untuk umat, seperti Pak Dokter saya ini.

Semoga tidak ada yang disembunyikan Luthfi dan PKS bisa membuktikan ini fitnah belaka. Tapi jika memang KPK berhasil mengungkapkan hal yang selama ini tersembunyi, ya sudah. Hancurlah PKS tersandung daging. PKS harus legowo kalau benar demikian.

Kalau Presiden baru PKS Anis Matta menyerukan tobat nasional dan para kader PKS lantang berujar 'Hasbunallah wa ni'mal wakil', saya akan berkata lain. 'Allahumma arinal-haqqa haqqan warzuqnat-tiba'ah, wa arinal-batila batilan warzuqnaj-tinabah'. Ya Allah, tunjukan kalau benar, tunjukan kalau batil. Sederhana!

Kalau PKS nyaman berada di posisi yang dianggap benar, apakah PKS juga siap menerima kenyataan kalau seandainya mereka salah? Sekarang kita bicara sisi spiritual sedikit sebagai penutup. Kalau PKS merasa selalu membela Allah, lantas Allah malah memberikan kejadian ini untuk PKS. Bisakah mereka berpikir jernih mengenai apa yang ingin disampaikan Allah? Berpikirlah...