Sunday, February 17, 2013

Menjadi Wartawan Detektif - Part 3: Menyamar

Kalau menonton film Sherlock Holmes yang diperankan Robert Downey Jr, keren banget nggak sih pas dia menyamar jadi gembel, jadi perempuan, bahkan jadi tembok. Detektif memang identik dengan kegiatan 'undercover'.

Wartawan sih nggak segitunya. Tapi..... siapa bilang itu tidak dilakukan. Dalam kondisi tertentu, wartawan juga menyamar. Saya.... pernah menyamar beberapa kali hehehe.

Ada prinsip utamanya yang harus dipegang. Narasumber harus tahu kalau Anda wartawan. Tidak boleh seseorang diwawancarai diam-diam, lalu ucapannya muncul di media. Itu melanggar etika jurnalistik. Oleh karena itu menurut saya, menyamar tidak dalam kapasitas untuk menulis berita secara langsung.

Saat melakukan investigasi, menyamar hanya dalam kapasitas untuk mencari informasi yang akurat, kisah orang dalam, informasi A1, kisah-kisah tersembunyi, dongeng di balik layar. Hanya itu saja. Nah, nanti konfirmasi tetap dilakukan dengan wawancara sungguhan kepada pihak-pihak yang berwenang. Menjebak narasumber adalah tindakan yang tidak patut.

Pun demikian untuk saya. Menyamar hanya untuk mendapatkan pengetahuan mendalam mengenai suatu kasus atau kejadian. Tapi saya tidak pernah menulis itu menjadi berita, tanpa seizin nara sumber. Teknisnya macam-macam, bisa dengan melindungi identitas nara sumber. Atau, ada pihak-pihak yang menjamin kalau penulisan identitas ini sudah aman bagi yang bersangkutan.

Nah, kalau menyamar harus fokus ya. Jangan seperti intel polisi, terlalu memikirkan target buruan, tapi jadi nggak fokus dengan penyamarannya. Misalnya menyamar jadi tukang sayur, terus daging ayamnya ditawar sadis oleh ibu-ibu, pasrah saja. Atau, menyamar jadi tukang sapu, tapi menyapu asal-asalan.

Jangan bayangkan saya pakai kumis palsu atau jadi pohon ya, itu mah film banget. Saya pernah menyamar menjadi mahasiswa di Ujung Kulon agar bisa bertemu petani perambah yang berkonflik dengan pengelola Taman Nasional Ujung Kulong. Tapi menyamar yang paling asyik adalah yang ini:

Suatu ketika, Ariel Peterpan ditahan gara-gara video bokep-nya dengan dua artis perempuan. Pasti tahu dong kasus ini. Nah, seorang narasumber, menawarkan masuk ke tahanan Ariel di Bareskrim Mabes Polri, dengan cara menyamar. Pilihan jatuh kepada saya yang belum lama pulang dari Jerman. Pertimbangannya, sudah tidak akan ada orang yang mengenal saya di Mabes Polri.

"Benar ya, sudah nggak ada wartawan seangkatan gue yang liputan di Mabes Polri sekarang?" tanya saya.
"Bener Fay, sudah pada ganti kok anak-anaknya. Paling tinggal satu dua doang yang sezaman ama elo liputan di Mabes Polri," ujar kawan saya.

Soalnya percuma kalau saya menyusup, terus tiba-tiba ada yang memanggil, "Fay! Gimana Jerman? Kapan pulang?" Hehehehe.

Skenarionya simpel. Saya menjadi ajudan narasumber saya. Saya diberikan kemeja baru, bawa kamera, semua tas dan identitas saya ditinggalkan di kantor si nara sumber. Saya menjadi tipikal ajudan yang mengikut di belakang pejabat, bawa-bawain tas begitu. Penyamaran yang sederhana, bukan?

Tapi tetap saja.... "Fay, ngapain?" Tiba-tiba, ada suara memanggil saya di pelataran Bareskrim Mabes Polri. Rupanya teman lama wartawan juga. "Gue pindah kerja," sambar saya sebelum buru-buru masuk mengikuti 'atasan' saya.

Kami tidak mendatangi Ariel ke tahanan, melainkan Ariel yang dikeluarkan dari tahanan untuk menjumpai kami di sebuah ruangan. Jreng.... jreng, Ariel pun muncul!

Hah? Ariel kok sependek saya? Sumpah, saya pikir Ariel tinggi. Luna Maya dan Cut Tari suka apanya ya? Begitu yang terpikir di kepala waktu pertama kali melihat Ariel. Wajah Ariel sangat pucat dan kusut, Ariel tampak stress. Pengacaranya sempat curiga pada saya, tapi narasumber saya menegaskan kalau saya adalah ajudannya.

Kami pun mengobrol panjang. Narasumber saya meminta Ariel mengakui perbuatannya dan memikirkan dampak tindakannya terhadap para penggemarnya yang masih belia. Namun, Ariel bebal dan keukeuh tidak mau mengakui video-nya itu. Ya sudahlah, kami pulang.

Tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Ariel yang saya beritakan. Namun, informasi langsung dari mulut Ariel saya share di redaksi, agar mereka dapat gambaran bagaimana kondisi Ariel. Berita soal Ariel, saya kemudian mewawancarai lagi pihak berwenang.

Menyamar dan bertemu Ariel yang pucat, orang lain saya hitamkan yaaa hehehe
Namun sekarang, saya sudah mendapat gambaran soal kondisi Ariel karena saya juga sudah bertemu langsung. Dan....... foto-foto sama Ariel hehehehe. Kapan lagi foto bareng Ariel di dalam masa penahanan. Namun, orang-orang lain terpaksa saya hitamkan ya, untuk melindungi identitas mereka.

Saturday, February 9, 2013

Menjadi Wartawan Detektif - Part 2: Liputan Kriminal

Ini adalah lanjutan dari tulisan pertama, Menjadi Wartawan Detektif. Dalam tulisan kedua ini, saya tidak bicara soal jurnalisme investigasi, tapi bicara wartawan yang berpikir seperti detektif, hehehe.

Sebelum saya menjadi redaktur pelaksana detikTravel, saya malang melintang di detikNews. Walaupun akhirnya pos liputan saya lebih banyak berkaitan dengan berita internasional dan politik, saya mencicipi juga liputan di wilayah (sebutan wartawan untuk kawasan kerja polisi di Jakarta). Mulai dari Polsek sampai Mabes Polri.

Untuk kawan-kawan yang lebih lama liputan di kantor polisi, mereka lambat laun mengembangkan cara berpikir yang sama dengan polisinya. Ini saya bicara soal polisi Reserse, bukan polisi cantik yang biasa cuap-cuap di TV soal macet Jakarta. Unit Reserse Kriminal ini beneran polisi yang tiap hari bekerja membuat Jakarta menjadi lebih aman. Anda baru melihat mereka di acara berita-berita kriminal.

Di Amerika, mereka inilah yang disebut detektif polisi. Biasanya, sore atau malam hari menjadi momen ngobrol antara para wartawan dan para reserse ini. Bukan untuk konsumsi berita, tapi ini obrolan untuk sama-sama meng-update kondisi sebuah kasus. Mulut resmi nantinya tetap memakai ucapan Kepala Unit Reskrim, Direskrimum dst.

Kalau polisi punya 'Cepu' alias informan di jalanan, maka wartawan juga punya 'Cepu' yaitu para polisi detektif ini. Ini hubungan yang dibangun dengan relasi yang bagus antara si wartawan dan polisi. Kenapa ini perlu? Dalam sesi ngobrol itu polisi bisa cerita bagaimana kasus berkembang, wartawan bisa memberi masukan dan tanya jawab langsung. Ini ada manfaat langsungnya loh. Di sini wartawan bisa belajar berpikir ala detektif.

Rupanya, kasus kriminal itu bisa dibaca polanya, dari modus, locus delicti alias tempat kejadian perkara, sampai para pelakunya. NYPD atau FBI di luar negeri sana,  menyebut ini Profiler. Kasus-kasus kriminal, karena sering terjadi, bisa terpolakan untuk memudahkan polisi menangkap pelaku.

Wartawan bisa ikut mempelajari profiler ini untuk berpikir ala detektif. Pada akhirnya nanti, si wartawan juga bisa mengira-ngira ini siapa pelakunya. Ada banyak profiler, tapi ada dua yang selalu saya ingat-ingat:

1. Kalau ada cowok mukanya agak ganteng atau lumayan, dan dia dibunuh dengan sadis, pelakunya homo
2. Kalau ada anak kecil diperkosa bahkan dibunuh, pelakunya keluarga atau tetangga fedofil

Saya kasih ilustrasi. Ini adalah sebuah kasus kriminal paling besar tahun 2008 di Indonesia, dan saya adalah wartawan pertama yang datang ke lokasi (boleh dong bangga sedikit, please....). Mana saya tahu ini bakal jadi kasus paling heboh tahun 2008 hehehe.

Saat itu adalah Sabtu 12 Juli 2008, pagi hari pukul 09.30 WIB. Saatnya saya pulang setelah menjalani tugas piket malam di markas detikcom. Saat motor saya melintas di perempatan Ragunan, ponsel saya berdering.

"Fay, ada mayat di belakang Ragunan, elo liputan lagi dong. Posisi ente paling deket tuh. Ntar Ari nyusul ente ke sono. Baru deh ente balik," kata Mas Djoko, korlip saya dari ujung sambungan telepon.

Walaupun habis begadang semalaman, tapi wartawan detikcom harus siap tempur. Walaupun badan lelah, tapi kalau kondisi genting dan belum ada wartawan yang siap, dan posisi sayang paling memungkinkan, saya siap liputan lagi! (Pasang baterai cadangan di jantung hehehe).

TKP-nya di Jl Kebagusan, dekat kantor IM2 dan SDN 14 Ragunan. Warga berkerumun di luar Police Line, dengan menunjukkan kartu wartawan, saya minta izin mendekat. Ada beberapa lembaran koran menutupi potongan tubuh yang tersebar di beberapa tempat. Wah, dimutilasi nih!

Kok santai aja Fay, lihat mayat dipotong-potong gitu? Hmmm, ada proses pembelajarannya. Kalau saya wartawan newbie, mungkin muntah-muntah juga.

Usai mengambil gambar, ada polisi nyeletuk, "Korban ganteng nih." Voilla! Itu adalah kode profiler nomor 1 yang saya sebut di atas. Pelakunya diduga gay. Penemuan mayat pagi itu menjadi awal dari terungkapnya kasus pembunuh berantai paling sadis di Indonesia: Ryan si Jagal Jombang, seorang gay.

Kasus kedua: Bocah kelas V SD di Jakarta Timur mengalami peradangan dan meninggal. Polisi menemukan tanda korban pernah diperkosa. Pelaku? Berdasarkan profiler nomor 2, pelakunya kalau bukan keluarga, ya tetangga. Belakangan diketahui, pelaku adalah ayahnya sendiri.

Dengan belajar mempelajari profiler dari kasus-kasus kriminal, wartawan terbantu membayangkan bagaimana suatu berita kriminal yang akan ditulisnya bergulir ke arah mana. Menjadi wartawan, artinya kita juga belajar berpikir seperti detektif!

Friday, February 1, 2013

Ketika PKS Tersandung Daging

Semoga judul blog kali ini belum dipakai jadi judul Tempo atau media lain hehehe. Tapi begini ceritanya.... Hari Kamis 31 Januari kemarin, saya nggak ngantor dan meninggalkan Shafa sendirian mengatur detikTravel, karena teman-temannya liputan semua.

Saya seharian berobat ke RS Karya Bhakti Bogor karena sesak nafas. "Bapak kerja apa sampai sakit begini?" kata dokter penyakit dalam yang saya datangi, sebelum meminta saya berbaring di ranjang periksa. Saya menjawab kalau saya wartawan dan dia langsung menyambar, berita apa yang menarik untuk saya ceritakan.

Sambil berbaring dan terhalang tirai, sementara Pak Dokter memeriksa data medis saya di meja, berceritalah saya tentang berita seru: Presiden PKS jadi tersangka KPK. Puas rasanya saya cerita panjang lebar, dan baru sadar, Pak Dokter ini tidak kunjung menghampiri saya dan membela Presiden PKS Luthfi Hassan Ishaaq dari tempat duduknya itu.

"Luthfi pasti difitnah, ada yang nggak suka sama PKS, terus KPK diumpanin untuk membidik PKS. Pasti Demokrat karena kemarin Andi Mallaranggeng sudah kena sama KPK," kata Pak Dokter.

Saya bangkit dari ranjang periksa. Ini dokter lagi ngapain sih? Wah dia sedang membaca BBM.

"Nih Luthfi Hassan bilang ini adalah fitnah...." kata dia.

Oaaalaaaaaah, Pak Dokter ini kader PKS toh dan dia dapat BBM internal para kader PKS. Pantesaaaaaaaan. Semua kenalan saya yang kader PKS di BB, statusnya dua. Kalau bukan hadits 'fitnah itu lebih kejam dari pembunuhan', statusnya 'Hasbunallah wa ni'mal wakil....'

Untung saya nggak diapa-apain sama Pak Dokter ini setelah saya mengkritik PKS hehehe. Tapi akhirnya kita jadi mengobrol seru. Dia yakin PKS diobok-obok menjelang Pemilu 2014, saya mengiyakan. Dia yakin kalau PKS bisa bersikap tepat, PKS justru mendapat simpati karena dizalimi, saya lebih mengiyakan.

Tapi saya luruskan pandangan dia sedikit. Kalau KPK sengaja membidik PKS, kan Demokrat sudah lebih dulu menjadi korban KPK. Kalau Luthfi dan PKS yakin tidak bersalah, tidak usah takut dengan KPK toh. Logikanya sesederhana itu.

Saya memahami kegeraman Pak Dokter sebagai kader PKS di akar rumput. Ini kegeraman yang sama dengan jutaan kader PKS di seluruh Indonesia. Masalahnya adalah, apa yang sesungguhnya terjadi hanya Luthfi dan Allah saja yang tahu.

Kalau yakin tidak bersalah, lebih baik Luthfi dan tim hukum dari PKS menyiapkan pembelaan terbaik untuk berhadapan di Pengadilan Tipikor. Itu lebih baik daripada PKS bersikap reaktif. Concern saya cuma satu dan itu agaknya kurang dibahas juga dalam diskursus PKS dan daging impor ini.

Begini, ketika KPK mengatakan dua alat bukti sudah cukup untuk menetapkan seseorang menjadi tersangka. Salah satu alat bukti itu, sepanjang pengetahuan saya sebagai wartawan, adalah rekaman sadapan. Alat bukti kedua bisa tangkap tangan, dokumen penting, dll. Rekaman sadapan ini bukan main-main. Terukur dengan perbandingan serius bahwa ini adalah suara asli orang yang bersangkutan. Rekaman sadapan KPK selama ini mengungkap sisi gelap para tersangka yang selama ini terbalut oleh pencitraan.

Terserah PKS mau bilang ini fitnah atau apa. Saya hanya khawatir, hanya khawatir...... Ketika rekaman itu diperdengarkan KPK di Pengadilan Tipikor, ucapan Luthfi yang direkam itu akan mengungkapkan sisi lain Luthfi yang kita tidak tahu. Saya membayangkan hal itu akan menghancurkan hati jutaan kader PKS di akar rumput, yang masih lurus, idealis, ghirohnya luar biasa untuk umat, seperti Pak Dokter saya ini.

Semoga tidak ada yang disembunyikan Luthfi dan PKS bisa membuktikan ini fitnah belaka. Tapi jika memang KPK berhasil mengungkapkan hal yang selama ini tersembunyi, ya sudah. Hancurlah PKS tersandung daging. PKS harus legowo kalau benar demikian.

Kalau Presiden baru PKS Anis Matta menyerukan tobat nasional dan para kader PKS lantang berujar 'Hasbunallah wa ni'mal wakil', saya akan berkata lain. 'Allahumma arinal-haqqa haqqan warzuqnat-tiba'ah, wa arinal-batila batilan warzuqnaj-tinabah'. Ya Allah, tunjukan kalau benar, tunjukan kalau batil. Sederhana!

Kalau PKS nyaman berada di posisi yang dianggap benar, apakah PKS juga siap menerima kenyataan kalau seandainya mereka salah? Sekarang kita bicara sisi spiritual sedikit sebagai penutup. Kalau PKS merasa selalu membela Allah, lantas Allah malah memberikan kejadian ini untuk PKS. Bisakah mereka berpikir jernih mengenai apa yang ingin disampaikan Allah? Berpikirlah...

Sunday, January 13, 2013

Tucuxi dan Mimpi Anak-anak Habibie

Bangun subuh, baca detikcom rupanya ada berita detikOto, soal Danet Suryatama angkat bicara mengenai mobil Tucuxi. Wow, detikOto sampai dini hari uplod berita. Tapi memang penting banget sih masalah Tucuxi. Saya kali ini bukan mau bicara soal otomotif dan rencana industri mobil nasional, bukaaaan.

Saya tertampar dengan kalimat terakhir Danet, "Siapa menggagalkan mimpi anak-anak Habibie?" Jleeb, rasanya seperti sebuah tikaman di jantung. Habibie, manusia yang satu itu berhasil melambungkan mimpi jutaan anak negeri ini untuk meniru dirinya, mencari pengalaman ke luar negeri dan jadi orang pintar. Serius kawan, manusia-manusia Indonesia yang jenius banyak di luar sana.

Danet, saya harus menghela nafas sebelum melanjutkan kalimat ini, adalah orang kesekian ribu yang tidak dihargai pemerintah bangsanya sendiri. Saya sebut pemerintah, karena kalau urusannya people to people, mereka lebih bisa menghargai orang jenius ini daripada pemerintahnya.

Selama merantau di Jerman, saya sering bertemu dengan orang-orang seperti Danet. Manusia dengan tingkat kecerdasan luar biasa. Mereka ada pada level yang saya sendiri tidak sangka manusia Indonesia bisa sepintar itu. Gila man, orang Indonesia tuh boleh diadu dengan orang paling pintar dari belahan dunia mana pun. Sebel saya kalau melihat pejabat kita merasa inferior kalau ketemu bos perusahaan asing atau pejabat pemerintahan asing. Hari gini masih punya mental bangsa jajahan? Hah, sudahlah!

Balik lagi soal manusia Indonesia jenius. Guru bahasa Jerman saya di Hartnackschule Berlin sampai punya anggapan begini: Semua orang Indonesia datang ke Jerman untuk belajar teknologi. Nggak salah kok, mereka adalah Anak-anak Habibie, generasi muda Indonesia yang belajar aneka ilmu yang dahsyat. Bidangnya sudah aneh-aneh. Lagipula, ngapain sih belajar yang biasa kalau mereka punya otak yang luar biasa.

Ada dua ilmuwann yang saya cukup kenal. Demi menjaga privasi mereka,  kita pakai inisial saja ya. Yang pertama ini adalah Pak H. Bidangnya teknik sipil, namun sangat tinggi ilmunya. Tahu nggak kenapa kontruksi beton buatan Jerman kuat-kuat. Mereka menguji beton konstruksinya diledakan! Blarrr! Dan manusia jenius di balik uji coba beton ini adalah Pak H dan dia adalah satu-satunya orang Indonesia yang ada di badan riset beton itu.

Ada ucapan beliau yang terus terngiang-ngiang di kepala saya. "Mas Fitraya, kalau saya ke Indonesia, nanti saya mau kerja apa?" Persis! Ya Tuhan, bangsa ini belum sanggup menampung anak-anak Habibie yang kepintarannya jauh melebihi para anggota DPR yang terhormat itu.

Orang kedua adalah ilmuwan geofisika, Pak M namanya. Sempat berbakti di Indonesia dan terlibat dalam penanganan Kasus Lumpur Lapindo. Namun rupanya pihak Lapindo tidak butuh orang jujur. Ketika Pak M bicara apa adanya soal kemungkinan human error dalam kasus Lapindo, dia malah didepak. Mendepak orang sejenius ini? Karena kejujurannya? Bangsa kita sudah sakit.

Jerman pun mengambil Pak M. Dia kini menjadi salah satu ilmuwan ternama pada sebuah universitas top di Jerman. Orang Indonesia, saudara-saudara sekalian. Masih banyak orang-orang seperti mereka, bertebaran di seluruh dunia dengan kemampuan luar biasa. Mereka siap membangun Indonesia, tapi tidak ada political will yang serius dari pemerintah Indonesia untuk menghimpun mereka.

Saat saya hendak meninggalkan Jerman untuk pulang ke Indonesia, Pak H dan Pak M cerita ada wadah yang sudah dibikin namanya Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I4). Wah saya ikut girang, daripada menunggu niat baik pemerintah, mending mereka yang jemput bola menghimpun diri. Bayangkan anak-anak Habibie ini di seluruh dunia merapatkan barisan, ingin berbuat sesuatu untuk bangsa.

Tapi, masalah Tucuxi ini seperti pukulan terhadap mimpi idealis mereka untuk menyembuhkan bangsa yang berpikir pendek dan instan ini. Danet, kalau saya tidak salah, adalah bagian dari jaringan I4 ini. Saya hanya bisa membayangkan sakit hatinya Danet.

Saya hanya berdoa......... Ah lagi-lagi saya harus menghela nafas panjang. Please, Danet, Pak H, Pak M dan kalian wahai anak-anak Habibie di segala penjuru planet Bumi, jangan menyerah dengan bangsa ini. Kalau bangsa ini memang kerbau. Cocoklah hidungnya dan bawa ke padang rumput yang hijau, lalu ajari kerbau ini menjadi manusia Indonesia seutuhnya.

Saya hanya mengutip, kalimat pembuka surat terbuka I4 yang dibikin dulu banget waktu deklarasi. Ingat-ingatlah kata-kata ini, ingat-ingatlah mimpi kalian:

Kepada Para Ilmuwan Indonesia Internasional di Berbagai Belahan Bumi
Bahwa sesungguhnya kemajuan dan kemuliaan suatu bangsa tidak terlepas dari penguasaannya terhadap ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi. Kemajuan dan kemuliaan suatu bangsa merupakan kristalisasi keringat dan kerja keras dari bangsa tersebut dalam menguasai, memanfaatkan dan mengamalkan ilmu pengetahuan, sains, dan teknologi dalam pembangunan bangsanya.


Anak-anak Habibie, kalian adalah pemuda yang disebut Soekarno dapat mengguncang dunia!

Sri Lanka: Di Titik Nol Sebuah Negara

Nampang depan Independence Memorial Hall
Ini masih kelanjutan cerita soal liputan ke Sri Lanka pada akhir Maret sampai awal April 2012 lalu. Usai dari Sri Lanka Expo 2012 dan mengisi perut dengan aneka kari di Harbour Room, Grand Oriental Hotel yang antik, saya masih punya banyak waktu luang sore hari.

Anthony yang jadi pemandu saya menawarkan kami, 4 jurnalis dari Indonesia ini, pergi ke monumen kemerdekaan Sri Lanka. Secara saya penikmat jejak peradaban dan sejarah, saya langsung setuju. Maka jadilah Anthony membawa kami ke kawasan Cinnamon Garden.

Independence Memorial Hall adalah monumen nasional yang sangat penting untuk bangsa Sri Lanka, sekaligus objek wisata menarik untuk wisatawan. Letaknya di jantung Kota Colombo. Kalau kita traveling sendirian, tanya sopir bajaj yang bertebaran di kota ini, mereka pasti bisa mengantar Anda ke taman alun-alun ini.

Karena namanya Hall alias aula, monumen ini memang berbentuk seperti aula dengan banyak tiang dan atap kokoh, namun sengaja dibuat tanpa dinding. Pengunjung bisa masuk dari arah mana saja. pada 28 Maret 2012 sore itu, matahari bersinar terik sekali. Tadinya mau foto narsis lama-lama, eh nggak jadi.

Patung Stephen Senanayake, PM Sri Lanka pertama
Dalam catatan sejarahnya, pada 4 Februari 1948, di lokasi ini menjadi tempat diresmikannya parlemen pertama Sri Lanka oleh Pangeran Henry dari Inggris. Hal itu sekaligus menandai, dimulainya pemerintahan Sri Lanka yang berdiri sendiri, bebas dari kekuasaan Inggris.

Arsitekturnya bukan sembarangan. Aula kemerdekaan ini meniru Mogul Moduwa, ruang perayaan dari Kerajaan Kandy, kerajaan terakhir di Sri Lanka sebelum dijajah Inggris.

Di depan aula ini tegak berdiri patung Stephen Senanayake. Dialah bapak bangsa untuk Sri Lanka, sebagai Perdana Menteri pertama Sri Lanka. Dia menjadi ikon, seperti halnya Soekarno menjadi proklamator Indonesia bersama Mohammad Hatta.

Objek wisata ini menarik untuk dikunjungi karena menjadi titik awal lahirnya Sri Lanka. Tempat ini gratis lho untuk didatangi. Sebagai bonus tambahan, jangan lewatkan Independence Memorial Museum yang terletak di ruang bawah tanah aula kemerdekaan ini. Sayang kami tidak punya banyak waktu untuk melongok isi museum.

Singa, lambang negaranya Sri Lanka
Oh, jangan lupa untuk menikmati relief di langit-langit di dalam aula. Relief ini menceritakan sejarah Sri Lanka tapi dalam periode di luar dugaan saya. Ada relief sebuah gunung. Anthony bilang itu adalah Adam's Peak alias Gunung Sri Pada.

Gunung itu diyakini sebagai tempat Nabi Adam turun ke bumi. Hal itu ditandai dengan sebuah tapak kaki di puncak Sri Pada. Sayang beribu sayang, Adam's Peak tidak ada dalam itinerary saya... Haaaaah ya sudahlah. Anyway, kisah soal monumen ini sudah saya tulis juga untuk detikTravel.

Sri Lanka: Sebuah Pemandangan 175 Tahun

View dari balkon Harbour Room
 Beres liputan Sri Lanka Expo 28 Maret 2012 silam, sambil nggak dapat berita apa-apa juga, saya, kawan-kawan wartawan dan Mba Glory Singapore Airlines memutuskan hengkang dari sana. Hmmm, rupanya panitia Expo sudah menyiapkan tempat untuk kita makan siang: Grand Oriental Hotel. Rupanya bukan tempat sembarangan. Mereka ingin sekalian mempromosikan sebuah tempat yang bisa jadi objek wisata sejarah di Colombo.

Lorong kota tua di York Street
Kolonialisme Inggris di Colombo, Sri Lanka, menyisakan banyak bangunan antik yang memesona wisatawan. Grand Oriental Hotel ini adalah salah satu bangunan antik tersebut. Tempat ini menawarkan suasana makan zaman panjajahan dengan pemandangan Pelabuhan Colombo. Klasik!

Hotel jadul ini terletak di ujung jalan York Street, di kawasan kota tua Colombo. Patokannya gampang, hotel ini bersebelahan dengan Mabes Polisi Colombo dan pintu masuk Pelabuhan Colombo. Kita sempat menikmati lorong-lorong kota tua ini sebelum masuk ke dalam hotel.

Di lobi hotel, ada plakat soal keterangan pembangunan Grand Oriental Hotel. Dibangun dengan duit 80.000 Poundsterling oleh Pemerintah Inggris pada 1835, hotel ini selesai dibangun pada 1837. Artinya, hotel ini sudah berumur 175 tahun, wow!

Untuk menikmati pemandangan terbaik di Pelabuhan Colombo, silakan naik ke lantai 5 hotel ini menuju restoran Harbour Room. Nama tempatnya pas banget. Restoran ini dikonsep dengan suasana restoran di dalam kapal dan punya pemandangan menakjubkan dari Pelabuhan Colombo. Para wisatawan yang berkunjung bisa menikmati buffet atau ala carte tergantung hari kunjungannya.

Yang unik, daftar menu minumannya berbentuk menyerupai peta tua. Sementara, makanan hari ini berkonsep buffet. Begitu melihat buffet-nya, mata saya langsung hijau. Kari! Kari bertebaran di mana-mana! (pakai efek mata berlinang-linang). Saya campur semua di piring, Dhal Curry, Chicken Curry dan Mutton Curry.

Tampak depan Grand Oriental Hotel
Makanan enak sudah di meja, kini saatnya menikmati pemandangan. Meja paling dekat jendela memang menjadi rebutan. Pemandangannya bagaikan layar TV raksasa menampilkan pelabuhan dan laut lepas. Aktivitas bongkar muat kapal, kapal patroli, serta kapal pesiar di kejauhan, hiruk pikuk itu begitu terasa.

Tapi, kita ingin pemandangan yang lebih asyik. Jadi setelah makan, kita melipir ke balkon restoran. Panas hawanya tapi kita bisa menikmati angin pelabuhan, suara kapal pun terdengar lebih jelas dan lebih leluasa untuk mengambil foto.

Di kepala saya langsung terbayang, bagaimana para pejabat kolonial Inggris, dan para landlord pemilik perkebunan teh dahulu bergaul di tempat ini. Pada malam hari, pasti lampu-lampu pelabuhan juga akan tampil dengan cantik. Setelah 175 tahun berlalu, suasanya klasik ini nyaris tak berubah.

Soal suasana makan di Grand Oriental Hotel ini sudah tayang di detikTravel juga kawan-kawan...

Saturday, January 12, 2013

Menjadi Wartawan Detektif - Part 1: Investigasi

Serius, yang membuat saya jadi wartawan, salah satunya adalah gara-gara membaca komik Tintin sewaktu kecil. Bayangan saya, wartawan itu kerjanya mengungkap misteri dan rahasia begitu. Semacam mengungkap Rahasia Kapal Unicorn hehehehe.

Ternyata bayangan itu tidak salah-salah amat. Jurnalisme Investigasi, begitulah istilah umum menyebutnya. Wartawan mengungkap suatu kasus atau peristiwa dengan riset yang sangat detil dan mendalam. Fakta-fakta yang diungkap belum pernah diketahui publik sama sekali. Kalau kata Kasino Warkop, seperti jadi detektif partikelir.

Satu-satunya tempat untuk memuaskan hasrat investigasi itu adalah detikNews, sekarang plus Majalah Detik dan Harian Detik. Kayanya kalau di detikTravel belum ada yang bisa diinvestigasi hehehe, belum lho ya.

Sepanjang karir saya sebagai wartawan, ada sebuah kasus yang saya ungkap, diinvestigasi dari nol, sampai akhirnya jadi ramai se-Indonesia. Pokoknya ini kasus yang menjadi kenangan untuk saya, karena memuaskan hasrat pribadi saya melakukan investigasi sampai tuntas.

Kasus itu adalah Penipu Cantik Selly Yustiawati yang bikin ramai Indonesia pada awal-awal tahun 2010. Hayoooooo pada masih inget nggak kasusnya? Cewek, cantik, masih muda, jago tipu. Saking banyaknya korban sampai mereka bikin grup di Facebook lho.

Kasus ini bermula dari curhatan sepupu saya yang baru saja ditipu jutaan rupiah oleh seorang gadis muda bernama Selly. Nama itu seperti pernah saya dengar, gebetan teman saya yang lain. Saya tanya ke teman saya itu, dan dia bilang, "Wah nipu tuh cewek, untung belum jadian ama dia." Teman saya menyebutkan si gadis penipu mengaku sebagai wartawan Kompas yang liputan di Mabes Polri.

Saya hanya punya satu nama cewek anak Kompas yang liputan di Mabes Polri, dan namanya Sarie bukan Selly. Ketika saya hubungi Sarie, makin kagetlah saya kalau Selly habis menipu para wartawan dan karyawan Kompas. Selly pernah bekerja sebagai resepsionis Kompas, kemudian resign sebelum kasus penipuannya ketahuan.

Yak, sampai sini saya ingin menjelaskan elemen utama yang penting untuk liputan investigasi: INSTING. Ini seperti Spider Sense punya Spiderman gitu. Insting kalau yang saya hadapi adalah sesuai yang bisa bikin geger. Nggak ada sekolahnya sih, wartawan detikcom melatih insting berita melalui diskusi berkelanjutan dengan Pimred saat itu Pak Budiono Darsono dan Wapimred saat itu Arifin Asydhad. Belajar memahami insting mereka dan mencoba melatih sendiri insting berita kita.

Insting saya mengatakan ini kasus bakal bikin ramai. Kapan lagi ada penipu cantik? Saya bawa kasus ini ke Mas Asydhad, beliau berpikir sebentar dan lalu bilang, "Mainkan, Fay! Tapi kamu riset dulu dari awal yang benar."

Saya waktu itu sudah editor detikNews. Masih liputan ke lapangan, tapi separuh waktu di kantor mengedit tulisan kawan-kawan di lapangan. Kalau sudah ada perintah 'Mainkan' itu artinya editor yang ditunjuk bertanggung jawab penuh mengembangkan beritanya dari nol dan memanfaatkan semua asset wartawan di lapangan untuk mengumpulkan data dan informasi. Jadi ruang redaktur itu isinya editor-editor yang pada pegang kasus gitu. Si X fokus sama kasus A, Si Y fokus sama kasus B. Kayak detektif pegang kasus kan jadinya.

Saya memulainya dengan membuka arsip berita, detektif banget kan buka-buka arsip kerjaannya. Selly pernah dilaporkan ke Polda Metro Jaya karena menipu para mahasiswa Universitas Moestopo pada tahun 2006. Wartawan detikcom Amel di Polda dan Didi di Polres Jaksel memberi informasi kalau Selly juga menipu karyawan Hotel Grand Mahakam pada 2009 dan Kompas juga pada 2009.

Informasi awal cukup dan saya yakin dengan pengembangan berita, saya pun siap melepas berita pertama. Saya butuh judul yang sangat catchy dan pilihan saya adalah film Leonardo di Caprio 'Catch Me If You Can'. Si Selly ini mirip banget dengan karakter dalam film itu, muda dan jago tipu. Jadilah judul pertama "Catch Me If You Can, Perempuan Cantik Menipu Lagi"


Pelan-pelan, meja saya yang kosong menjadi penuh dengan corat-coret, tempelan nomor telepon para korban, dan nomor telepon lain, aneka skenario yang mungkin dilakukan Selly dan semua serba Selly ada di meja saya. Satu orang mengarahkan saya kepada orang lain. Mungkin ada sekitar 50 orang yang saya wawancara. Sementara berita tentang Selly semakin banyak yang muncul di detikcom, dari tulisan saya dan tulisan teman-teman yang membantu saya.

Beberapa obrolan dengan psikolog dan kriminolog menyebutkan kalau saya berhadapan dengan orang yang licin, pintar, agak-agak psycho. Bayangkan, Selly mencuri identitas seorang wartawati Kompas sungguhan, mempelajari gerak-gerik, cara bicara, gaya kerja. Selly mengubah dirinya menjadi sang wartawati tersebut, plus membawa-bawa ransel Kompas kemana-mana. Psycho banget nih orang. Saya harus bisa berpikir satu-dua langkah di depan Selly, menebak kemana dia akan pergi.

Isu yang kita mainkan, sukses atau nggak, parameternya satu. Kalau semua media di Indonesia ikutan menulis Selly, itu artinya kita SUKSES. Dari TV, koran, radio akhirnya semua ikut memberitakan Selly. Bahkan Tabloid Nova saja bikin edisi Selly. Wah ketika semua menulis Selly, saya girangnya bukan main. Artinya ruang gerak penipu ini makin terbatas, selain juga merasakan orgasme jurnalistis (istilah apaan nih?!). Maksud saya rasanya puas banget bisa bikin isu yang bisa bikin ramai negara ini yang udah lelah dengan berita politik dan korupsi.

Dari investigasi saya, begini pergerakan Selly: Usai menipu Kompas dia lari ke Depok, menipu di Depok lantas dia lari ke Bogor. Usai menipu di Bogor, dia lari ke Bandung. Nah, ada garis batas yang jelas antara investigasi polisi dan investigasi wartawan. Investigasi wartawan sampai kapanpun tidak bisa menjadi alat penyidikan. Masalahnya dalam banyak hal, wartawan selangkah atau dua langkah lebih maju dari polisi. Kita sudah tahu Selly di Bandung, polisi masih berpikir Selly di Bogor. Hadeeeeuhh.

Satu-satunya cara adalah membujuk agar korban melapor, ini yang paling susah. Kriminolog dan psikolog yang saya wawancarai benar juga. Korban penipuan paling malas melapor ke polisi, ini yang bikin Selly makin merajalela. Saya selalu membujuk para korban agar melapor ke polisi. Tapi walaupun korban malu ke polisi, mereka punya mekanisme sendiri: Bikin grup Facebook.

Selly yang mencari korban lewat Facebook, dilawan para korbannya lewat Facebook juga. Ratusan orang jadi anggota grupnya. Ada korban dan publik yang mau tahu soal perkembangan kasus Selly. Jadinya saya lebih mudah menyebar jejaring informasi lewat jejaring sosial. Setiap hari saya memasang umpan, barangsiapa yang punya info soal Selly akan saya hubungi. Setiap pagi, setiap umpan yang berbalas saya segera hubungi untuk setiap informasi terbaru soal Selly.

Akhirnya, korban yang di Bogor dan di Bandung berani melapor ke polisi. Nah kalau sudah begini kerjaan saya akan lebih mudah untuk mem-push kepolisian menindaklanjuti kasus ini. Akhirnya pada Maret 2010, Selly masuk Daftar Pencarian Orang (DPO) alias buron. Artinya semua polisi di Indonesia bisa menangkap Selly. Selly lantas menghilang ditelan bumi, tapi saya tahu Selly kabur ke Yogyakarta. Tiarap dan tidak ada lagi kasus penipuan yang muncul. Laporan sumber kepada saya juga menyebutkan Selly muncul di Bali.

EPILOGUE

Setahun setelah Selly menjadi buron, wartawan detikNews di Bali, Gede Suardana memberi tahu Selly tertangkap di Bali. Waktu itu, kasus Selly sudah saya anggap tutup buku sementara waktu. Selly babak dua ini sudah tidak menjadi tanggung jawab saya lagi, tapi sudah dikerjakan ramai-ramai. "Ketangkep juga tuh Fay, Si Selly," ujar seorang kawan.

Akhirnya Selly diadili dan divonis 11 bulan penjara. Tidak lama, tapi semoga itu membuatnya jera dan tidak ada Selly lain di masa depan.

Kalau di film detektif, ini adalah adegan dimana saya kembali ke kantor, menggantung jas dan melempar topi saya. Kemudian duduk dan menaruh kedua kaki saya ke atas meja kerja. Kamera lalu men-zoom in wajah saya, yang lalu berkata, "Case closed!"

Monday, December 24, 2012

Menikah Muda dan Bangga!

Di tengah tulip Britzergarten Berlin
"Mas Faya anaknya mau tiga, dan kita belum menikah!" pekik anak buah saya, Putri, waktu saya memberi tahu Travel Troopers (sebutan untuk awak detikTravel), kalau Desti lagi hamil.

Yup, saya dan Desti menikah dalam usia 23 tahun. Pada saat saya berumur 24 tahun, saya sudah menggendong bayi bernama Zahra. Masih muda bukan? Sampai ibu saya bilang, pernah ada yang menduga kami menikah karena Desti hamil duluan. Apaaa? Sembarangan! Saya adalah pria gentle yang menjaga kehormatan perempuan...

Tergesa-gesa juga bukan. Menikah dengan Desti adalah keputusan terbaik dalam hidup saya. Menikah muda adalah langkah yang kami ambil dengan PENUH perhitungan. Lihat, kata 'penuh' ditulis dengan bold, italic, underline dan uppercase. Ini bukan main-main.

Pada saat saya seusia anak buah saya sekarang, saya sudah berpikir jauh lebih dewasa dari mereka. Dunia mereka masih bermain, belajar kerja, cinta masih dicari, kalaupun dapat masih flirting kanan kiri. Mungkin enak hidup seperti itu. Namun sayang, itu bukan pilihan untuk saya saat itu.

Saya menjalani hidup yang keras. 5 Tahun paling kelam yang akhirnya mengubah Fitraya Ramadhanny selamanya. Shafa, anak buah saya, nggak percaya saya pernah hidup dalam kegelapan hahahaha. Dia mengira saya lugu, polos dan lurus hehehehe.

Mungkin butuh 5 blog untuk menjelaskan masa-masa itu, tidak sederhana memang. Ibu saya berulang kali bilang, "Mama bersyukur kamu bisa melewati masa itu, bahkan kamu itu nggak lari ke narkoba!" Saya pribadi bersyukur masih hidup, tidak berakhir menjadi sebuah artikel di koran lampu merah bagian berita bunuh diri.

Saya dipaksa hancur di saat saya baru mau meretas masa depan. Saya melawan dengan menjadi nakal. Lelah menjadi nakal, saya lari. Lelah melarikan diri, saya belajar bangkit dan menolak hancur. Saya harus melindungi orang-orang yang saya sayang. Walaupun saya babak belur, namun saya merasa hidup saya masih layak diperjuangkan. Karena saya menjalani itu tidak sendirian, ada seorang gadis cantik dan brilian otaknya, yang mengetahui kejadian itu sejak awal, dan menemani saya melewati masa sulit itu. Namanya Desti Fitriani.

Kebun anggur Sans Soucci Palace, Postdam
Desti, juga menjalani hidup yang sama keras. Dalam usia sebelia itu, kami dipaksa menghadapi dan mengatasi masalah untuk orang-orang 10-20 tahun lebih tua dari kami, justru karena mereka yang kekanak-kanakan. Situasi memaksa kami berpikir dan bertindak dewasa, jauh lebih dewasa dari teman-teman sebaya. Pilihan kami cuma dua, bertahan atau hancur.

"Kita mesti mikir hidup ini nanti bagaimana, bukan bagaimana nanti," ujar Desti, yang selalu saya ingat sampai sekarang. We were living in hell...

Penasaran ya ada apa yang terjadi? Desti bilang, nggak usah ditulis jadi blog hahahaha. Cukup jadi lesson learned for us. Sori......... Anyway, cinta kami yang awalnya tipikal gejolak kawula muda (halah ampun ini istilahnya), tiba-tiba menemukan makna sejatinya. Jadi beneran, jadi serius. Kami saling mencintai untuk bertahan hidup. Saling menguatkan satu sama lain, saling membantu satu sama lain, saling menjaga satu sama lain. Saling menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing, ini yang paling sukar. Mentertawakan dan meratapi nasib kami bareng-bareng.

Kami seperti tinggal berdua melawan dunia.Teman-teman SMA, cuma 2 orang yang tahu masalahnya. Teman-teman kampus nggak ada yang tahu juga kami menghadapi apa, dan masa iya kami mesti pasang pengumuman. Kami tersenyum di depan mereka dengan hati yang getir, kami tertawa dengan hati yang menangis.

Kenapa saya begitu yakin akan menghabiskan hidup dengan Desti? Saya saat itu menyadari kalau pasangan hidup bukan seseorang yang sempurna. Manusia nggak ada yang seperti itu. Pasangan hidup adalah seseorang yang saya butuhkan. Seseorang yang bisa melengkapi keberadaan kita, walaupun dia berbeda sifat. Apa yang nggak ada di saya, ada di Desti. Begitu juga sebaliknya. Desti lah yang menyempurnakan keberadaan saya di dunia.

Saya dan Desti sampai kepada suatu titik kesimpulan. Menikah adalah tiket kami untuk menyelamatkan diri dari dunia kami yang sakit. Saat itu usia kami bahkan baru 20 tahun. Sadar bahwa kami mungkin menghadapi tantangan dari orangtua masing-masing, kami mempersiapkan dulu pernikahan itu, sebelum kami benar-benar menyampaikan rencana itu kepada orangtua kami 2 tahun kemudian.

Saya menyampaikan niat saya menikah dengan Desti, bicara empat mata dengan ayahnya, saat umur saya 22 tahun.... masih kuliah. Tapi saya berani karena membawa rencana matang, bukan omong kosong. Calon mertua saya tahu cobaan hidup apa yang saya hadapi.... dan mengizinkan saya menikahi Desti. Dengan syarat, saya lulus kuliah dulu, karena Desti lulus setahun lebih cepat. Desti angkatan 1999, saya angkatan 2000.

6 Bulan setelah lulus kuliah, tepatnya 20 November 2004, kami menikah. Sebuah pernikahan yang kami persiapkan sendiri dibantu teman-teman, karena kami sadar tidak bisa membebani orangtua kami terlalu banyak saat itu.

Stockholm Palace
Delapan tahun berlalu sejak saat itu. Kami mensyukuri pernikahan kami. Benar-benar memulai dari nol, kini kehidupan kami penuh warna. Sempat berkelana 1 tahun di Jerman dan backpacker keliling Eropa, itu juga pengalaman berharga buat keluarga kecil kami. Ada Zahra si juara kelas, ada Dzaky si ganteng yang penuh tenaga, dan bayi di perut Desti.Saya sekarang Redaktur Pelaksana detikTravel dan Desti adalah dosen FEUI dengan gelar Master dari Jerman.

Tentu saja kami masih punya mimpi dan cita-cita. Mimpi dan cita-cita yang saya tahu tidak bisa saya kerjakan sendiri. Sedari awal, saya dan Desti adalah tim yang solid dan akan terus seperti itu. Kami harus punya visi jauh ke depan, itu yang membuat kami bertahan, walaupun dipaksa dewasa sebelum waktunya hehehe.

Kami kini sudah bisa tersenyum melihat masa lalu kami yang berat. Saya sendiri sudah berdamai dengan masa lalu, saya sudah memaafkan semua yang terjadi, memaafkan semua yang membuat kami jadi begini. Kami kini sudah memahami apa rencana Allah di balik semua ini. Memang ini yang jalan yang ditetapkan Allah untuk kami.

Allah mengganti semua air mata itu dengan sejuta kebahagiaan. Titik balik itu adalah pernikahan dini kami, seperti janji-Nya bahwa menikah itu membuka pintu rezeki. Menikah dalam usia muda, adalah hal terbaik yang pernah kami lakukan.

Sunday, December 16, 2012

The Best Job in The World

Pas lagi di Pantai Cinabung, Ujung Kulon, difotoin Fayyas
Lewat jejaring Facebook, saya menemukan teman lama. Lamaaaa banget. Namanya Charlie Huveneers, anak Belgia yang dulu sama-sama jadi Exchange Student 1998-1999 di Queensland, Australia. Dimana dia sekarang?

Usai program duta budaya selesai, kami pulang ke negara masing-masing. Namun, Charlie kembali ke Negeri Down Under. Dari bio-nya dia bekerja di Sydney Institute of Marine Science, jadi marine biologist. Ini adalah pekerjaan yang saya tahu sudah menjadi mimpi dia sejak kami remaja dulu.

"I wanna be Jacques Cousteau!" ujar dia berulang-ulang dahulu. Here it is, jadilah dia Jacques Cousteau, ahli biologi laut yang film dokumenter divingnya sering dipasang TVRI dalam acara Flora dan Fauna, zaman kita kecil dulu. Kita? Elo kali Fay yang masih kecil baru ada TVRI doang.

Charlie bilang apa kepada saya dalam sebuah chatting beberapa bulan lalu? "Maaan, I have the best job in the world! I'm paid to swim and play with fish, can't complain, hahaha."

Pernyataan Charlie menyentak saya. Pekerjaan terbaik di dunia bukanlah soal pekerjaan dengan gaji jutaan dollar. Pekerjaan terbaik di dunia adalah melakukan hal yang kita cintai. Penyanyi Nugie bilang 'Lentera Jiwa'.

Bagaimana kalau pekerjaan ini bukan sesuatu yang kita cintai? Kita masih bisa membuatnya the best job in the world. Caranya, belajar mencintai dan mensyukuri pekerjaan Anda. Karena, dengan itu Anda tidak menggelandang di jalanan. Karena, pekerjaan Anda sekarang bisa menjadi alat bantu untuk Anda melakukan hal yang Anda cintai, entah hobi, travelling, makan, belanja dll. Cinta itu proses kok, memang butuh waktu.

Saya terdiam satu jurus dan berpikir, iya juga ya. Lalu saya akhirnya menjawab ucapannya. "Me too, mate. I also have the best job in the world. I'm paid to travel!"

Menjadi wartawan detikTravel, artinya kami dibayar untuk jalan-jalan. Keren nggak sih? Jalan-jalan, tentu adalah hal yang kami cintai. Team member saya, Afif dan Sastri puas menjelajah Papua, dibayari. Shafa ke Pulau Komodo, Putri ke Kalimantan, dibayari juga. Badan pariwisata negara lain meminta detikTravel menulis pariwisata di negara mereka, artinya membayari kami datang.

Charlie membantu saya untuk bisa mensyukuri kehidupan saya sekarang. Sekeras apapun masalah yang saya, Desti, Zahra dan Dzaky alami dalam hidup ini, setidaknya saya mengerjakan sesuatu yang saya cintai sebagai penghidupan.

Untuk team member saya, Afif, Putri, Shafa, Sastri. Kerja yang rajin ya... Bersyukurlah Travel Troopers, kita punya pekerjaan terbaik di dunia!!

Sri Lanka: Victoria's Secret, Dilmah Tea dan Sebuah Kekecewaan

Stand pameran Sri Lanka Tourism
Akhirnya pagi datang di Colombo. Dari jendela kamar saya bisa melihat pemandangan kota dan sebuah danau berkilau di belakang Hotel Grand Colombo.

Tapi saya harus bergegas gara-gara liputan pembukaan Sri Lanka Expo 2012, yang manaaaaaa Presiden Sri Lanka Mahinda Rajapaksa akan membuka acara. Ngomong-ngomong, Rajapaksa adalah nama yang keren untuk seorang presiden. Powerful banget kan, Raja-Paksa.

Anyway, berkumpul lah kami di lobi setelah sarapan. Para wartawan, saya, Roland, Imung, Astrid dan Mbak Glory dari Singapore Airlines membuat kesepakatan. Kita kan diundang oleh Sri Lanka Tourism, ngapain juga kita liput pidatonya presiden. Serahkan itu kepada wartawan Sri Lanka hehehe. Itu artinya satu jam tambahan untuk mengumpulkan tenaga.

Jemputan anak sekolah
Lantas bergeraklah kami menuju lokasi Expo di Bandaranaike Memorial International Convention Hall (BMICH). Inilah JCC-nya punya Colombo. Sepanjang jalan, barulah saya bisa menikmati pemandangan. Anak-anak naik mobil jemputan sekolah, bajaj lalu lalang, orang-orang berkerumun di pinggir jalan, gedung-gedung beraneka rupa.

BMICH sendiri tidak sebagus JCC, sebagian jalannya masih tanah, dengan stand-stand pameran berserakan. Paspampres bersiaga, rupanya Presiden Rajapaksa baru pulang. Wartawan masuk dari pintu yang tidak mengenakan, dari belakang dan entah tembus ke sebelah mananya pameran. Rabu 28 Maret 2012 itu, matahari bersinar terik di langit Colombo.

Batu mulia dan perhiasan
Jangan mengeluh kawan, inilah pameran besar di Colombo pertama kalinya usai selesai perang saudara dengan gerilyawan Macan Tamil. Terakhir mereka bikin pameran seperti ini 15 tahun lalu. Usahanya kelihatan kok betapa mereka ingin pemodal kembali masuk ke Sri Lanka.

Ini pameran besar-besaran diikuti 370 eksporter termasuk 70 perusahaan kecil dan menengah, serta 1.200 delegasi perdagangan. Sri Lanka mempromosikan komoditi ekspor mereka yaitu pakaian jadi, karet dan produk karet, batu mulia dan perhiasan, teknologi informasi, makanan dan minuman serta rempah-rempah.

Produsen lingerie Victoria's Secret saja pameran di sini. Hmmm, mungkin mereka mau bikin lingerie-sari atau apa begitu kali. Tapi tidak ada yang mengalahkan perhatian saya selain stand pameran Dilmah Tea! Hell yeaaaah!

Victoria's Secret ada yang mau?
Stand pamerannya besar banget dengan teh Dilmah asli Sri Lanka beraneka rasa menggugah selera. Bikin mupeeeeeng. Tapi yang jelas ada aneka produsen teh dan semua produk promo gratisannya saya sikat, hohohoho. Kantung tas ransel saya isinya teh sachet aneka pabrik.

Puas merampas teh, saatnya liputan. Wartawan detikcom (awas lagi sombong) sanggup meliput apa saja. Wartawan news, kalau situasi membutuhkan, bisa juga meliput ekonomi, olahraga, gosip, otomotif dll. Walaupun saya di detikTravel, aroma acaranya saja membuat saya harus menyetor berita ekonomi ke detikFinance. Ini hasilnya.

Nah, untuk kebutuhan kanal sendiri, saya mencari Sri Lanka Tourism. Wah, rupanya satu tenda sendiri dia. Saya girang bukan kepalang. Saya masuk ke dalam tenda dan ada beraneka meja dan brosur. Terbayang dong saya mau bertanya soal bagaimana liburan ke Sri Lanka, apa yang menarik, naik apa, kalau mau backpackeran bagaimana dll.

Dilmaaaaaaaaaaah 
Tapi yang saya hadapi adalah wajah-wajah tertegun.... padahal saya sudah menunjukan identitas saya sebagai wartawan. Saya dioper ke sana, ke sini, untuk sebuah wawancara yang semestinya sederhana. Ujung-ujungnya mereka bilang, "Maaf pejabat yang berhak menjawab Anda sedang tidak berada di tempat. Kami tidak berwenang untuk menjawabnya."

Tiba-tiba saya merasa sedang berada di kelurahan mana begitu dengan birokrat yang menyebalkan. I'm sorry, you invite me all the way long from Jakarta, then you reject an interview? Saya kan undangan kalian, haloooo? Kalian meminta saya menulis apa kalau begini?

Saya keluar dari tenda itu dengan hati gondok, nggak dapat berita. Saya menghela nafas panjang, Sri Lanka masih belajar....