Thursday, February 1, 2007

Old Stuff Named Nationalism

Rabu kemarin, di tengah hujan deras pagi-pagi, gue meluncur liputan ke Padepokan Pencak Silat TMII. Acaranya sewindu Keluarga Besar Marhaen.

Gue udah bayangin bakal ketemu generasi oldies. Tuh kan, ngga salah. Acara ini jadi perkumpulan opa-opa dan oma-oma. Ada anak mudanya juga, tapi keliatan yang jadi orang pentingnya yang udah pada ubanan tadi. Penggembiranya tetap anggota-anggota ormas bertampang sangar tapi bajunya nasionalis.

Pembicara utamanya, wedeh.....
Prof Dr dia-yang-namanya-tidak-kuperhatikan-karena-terkesima- dengan-penampilan.

Jalannya pakai tongkat, dipapah naik panggung ke podium. Di situ......... DIA KEPALKAN TANGAN KANAN KE ATAS....

MeRrDeeKAaAaAaAaAa..............................!!!!!! Lirih bener.....
Gila bow, semangat juang 45 dalam artian sesungguhnya, means that was 61 years old!!

Acaranya selanjutnya pidato berganti-ganti soal semangat kebangsaan. Please deh.... Sampai hari ini pesan-pesan nasionalisme tarnyata masih disampaikan dengan cara klasik. Pekik merdeka dan cerita-cerita indah masa lalu.

Nggak akan nyampe sama generasi muda, berani jamin. Hari ini orang lagi ngomong borderless society dan global village, mau bicara nasionalisme bagaimana? Gue sih nggak bakalan nyalahin anak gue kalau nggak ngerti arti upacara bendera, hormat grak, teriak merdeka dan seremoni lain. Karena......percuma........

Paham kebangsaan ngga ada disitu. Nationalism itu pemikiran politik negara-negara berkembang yang lahir saat melawan kolonialisme. Ada konteks bertahan hidup secara kolektif terhadap ancaman yang datang, maka dipilihlah identitas bersama yang disebut sebagai bangsa.

Sedangkan hari ini, bangsa ini asyik berantem sendiri, suku x lawan suku y, etnis a hajar etnis b, buruh lawan kapitalis, rakyat lawan pejabat, mahasiswa lawan aparat. Identitas bersama sebagai bangsa tidak bisa dipahami. Tidak ada kebutuhan untuk berbagi identitas.

Ok Ok langsung solusi nih:
Pikir dong, kenapa orang Italia nyanyi lagu kebangsaan mereka tanpa disuruh waktu menang piala dunia 2006 kemarin? Kenapa orang Libanon pesta waktu Israel mundur dari perbatasan?

Bangga. Bangga sebagai komunitas yang bisa mengatasi sebuah ancaman yang mengancam semua anggota komunitas tersebut. Walaupun bentuknya final piala dunia ataupun perang beneran.

Apa kita punya sesuatu untuk kita banggakan bersama? Adakah kita merasakan ancaman terhadap satu hal yang sama?

Ngga ada. Padahal tanpa itu kita nggak akan merasa perlu punya sense of belonging, need to survive dan will to reach the dreams. Tanpa keperluan ini kita ngga merasa perlu menjadi bangsa. Tanpa itu pula selamat tinggal nasionalisme.

Nasionalisme adalah empty signifier, penanda kosong. Dia diberi makna baru dia bermakna. Siapa yang memberi makna, yang jelas sudah bukan generasi oldies itu. Mereka sudah melakukan tugas mereka.

Bagaimana generasi kita memberi makna ke dalam nasionalisme? Yang jelas bukan dari upacara, hormat grak dll. Usul gue dua (2), just two.

Indonesia menang piala dunia atau kita perang dengan negara lain. Serius bo. Menang piala dunia bukan main bangganya. Soal perang, jalan terakhir emang Tapi inget waktu Malaysia mau nyikat blok Ambalat, orang Madura ama orang Dayak yang biasa berantem, bisa sama-sama bawa bendera merah putih terus teriak: Ganyang Malaysia. Padahal ngga usah segitunya sih. Hari gini ganyang Malaysia..... Mending dengar mp3 Too Phat atawa Raihan

So either win the world cup or make a war, that's the way we define our nationalism. I prefer the first, because George 'War' Bush choose the second one.

2 comments:

Anton Rizki said...

Nasionalisme memang suatu konsepsi modern. Biasanya dibuat untuk memberi dasar "alamiah" pada konsepsi modern lainnya, yang murni artifisial, yaitu Negara. Jadilah Negara-Bangsa.

Benar sekali ada banyak seruan2 mengarah pada kosmopilitisme atau "global-villagisme" dikarenakan proses globalisasi. Tapi pada kenyataanya nasionalisme tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Kenapa? Karena Negara tetap menjadi institusi pemersatu paling legitimate. Dan selama ada Negara, akan selalu ada Bangsa.

Kalo dilihat dari segi identitas, kebangsaan juga sangat penting. Manusia selalu memerlukan "the other" agar dapat mendefinisikan diri sendiri.

Kebangsaan adalah identitas paling utama kalau bertemu dengan "other" pada tingkat Negara2 (dlm kerangka pertemuan interNATIONal). Makanya Piala Dunia begitu mengangkat nasionalisme: musuhnya adalah negara2 lain. Coba kalau tim2 piala dunia berdasarkan suku dan bukan negara, yang bakal terangkat adalah sukuisme.

Singkatnya nasionalisme tidak akan pernah menjadi Old Stuff menurut gue.

Betul kita harus mengisinya. Tapi yang perlu diingat adalah perasaan yang sudah ada sebelum adanya nasionalisme itu. Perasaan yang alami dirasakan oleh semua orang: keterikatannya pada keluarga, tetangga, masyarakat serta tanah dan air dimana dia hidup dan darimana dia berasal. Dari keterikatan itu dapat dibangun keperdulian dan keinginan untuk mencapai yang terbaik.

Kalau kita menyadari itu, perang ataupun piala dunia tidak akan banyak artinya. Karena "cinta tanah air" itu tidak dibangun dari pembentukan the "other" dengan pola pikir konfliktual, melainkan dari hati dan kasih sayang kita pada orang2 terpenting bagi kita.

Gue rasa para founding fathers kita memunculkan nasionalisme indonesia lebih dari segi cinta tanah air daripada kebanggaan. Walaupun akhirnya jadi lebih berdasarkan kebanggaan.

kalo cinta kan nerima apa adanya. kalo bangga kan membutuhkan hasil2.

cintailah bangsa apa adanya. itu nasinalisme ala gue.. hahah..

Anonymous said...

mantaaaap cuy