Kemarin, sejumlah orang termasuk saya mendapat sebuah pelajaran maha penting, sekaligus sebuah pengingat tentang pernikahan. Seseorang yang dekat dengan kami, batal menikah pada jam-jam terakhir menjelang pernikahannya. Batal begitu saja... dengan alasan tertentu.
Sedih rasanya mengetahui hal ini... Kisahnya terlalu privat untuk diceritakan di sini. Namun ada esensi penting yang harus disampaikan sebagai pengingat.
Menikah...... bukan hanya menyatukan dua manusia. Menikah adalah menyatukan banyak orang..... dalam dua keluarga, atas nama Allah, agama dan cinta.
Terlalu sederhana kalau menikah hanya menyebut A menikahi B, karena faktanya banyak orang yang akhirnya bersatu dalam sebuah pernikahan, lebih dari sekadar kedua mempelai tersebut. Kedua orang tua menjadi besanan, saudara-saudara menjadi ipar, dan sanak famili menjadi kerabat. Anak akan punya orang tua baru bernama mertua, siapkah mereka menghormati? Orang tua akan punya anak baru bernama menantu, sudah siapkah mereka menyayangi?
Melalui pernikahan, cinta mengikat lebih dari sekadar sang pengantin, tapi juga seluruh keluarganya. Hal itu sekaligus juga menjadi tantangan, karena kita tahu bahwa konflik juga merupakan bagian dari kehidupan.
Menikah..... juga adalah cara untuk menyatukan sebuah perbedaan. Terkadang perbedaan itu begitu besarnya, karena lagi-lagi yang terlibat bukan hanya dua orang, tapi banyak orang. Kadang kita semua berhasil mengatasinya..... kadang tidak. Kemarin, perbedaan itu belum bisa kami atasi.
Kemarin, Allah menjadikan pernikahan sebagai sebuah pengingat. Untuk yang akhirnya tidak menjadi pengantin, Allah bertanya, "Apakah kamu sudah siap menikah? Apa niat kamu menikah? Dengan siapa kamu menikah?" Kepada keluarga yang akan menikahkan anak-anak mereka, Allah juga bertanya, "Apa tujuan dari pernikahan ini? Dengan siapa kamu menikahkan anakmu?"
Setiap detil yang menyusun sebuah mahligai pernikahan, adalah kebaikan, dan harus berasal dari kebaikan itu sendiri. Mengawali pernikahan dengan niat yang benar, cita-cita yang benar dan cara yang benar. Jangan beri tempat untuk keburukan mencari celah dalam ruang penikahan.
Saat pertanyaan-pertanyaan dari Allah itu dijawab.... Saat niat itu diuji.... Kita akan tahu, apakah sebuah pernikahan baru layak untuk dimulai atau tidak. Bisakah kita menyatukan perbedaan itu, bahkan berdamai dengan perbedaan dan menjadikannya sebagai benih-benih harmoni.
Saking seriusnya sebuah pernikahan, Rasulullah Muhammad SAW mengatakan, "Menikah itu menyempurnakan separuh agama." Karena pada faktanya, dalam pernikahan kita mempraktekan dalam kehidupan nyata separuh pelajaran agama yang kita dapat, separuh isi Al Quran yang kita baca.
MENIKAH adalah CINTA terhadap pasangan, ditambah RESPEK kepada keluarga, ditambah TANGGUNG JAWAB kepada Allah. Allah ingin mengingatkan kita bahwa menikah adalah salah satu cara untuk menggapai ridha-nya. Jadi, luruskan niat. MENIKAHLAH karena Allah.
Saat sampai kembali ke rumah, saya peluk Desti erat-erat. Allah juga menjadikan peristiwa hari ini sebagai pengingat atas komitmen kami menikah hampir 8 tahun silam.
"Desti, semoga Allah menjaga niat kita, semoga Allah melindungi kita, semoga Allah mengikat kita. Semoga pernikahan ini menjadi jalan untuk meraih cinta sejati dari-Nya."
Sunday, October 14, 2012
Thursday, October 11, 2012
Waktu Seperti Membeku di Lawang Sewu
Jumat 5 Oktober sore itu, tidak banyak waktu saya di Simpang Lima, Semarang. Tinggal menunggu mobil yang akan membawa saya ke MesaStila Resort di Magelang. Rombongan lain ada perlu membeli charger Blackberry. Alih-alih bengong, lebih baik saya menunggu di tempat yang asyik.
Kaki pun melangkah menuju Lawang Sewu. Inilah bekas kantor pusat kereta api Belanda, Nederlandsche Indische Spoorweg Matschappij (NIS). Dibangun pada tahun 1904 selesai pada tahun 1907.
Saya tidak masuk ke dalam, tapi memutuskan untuk menikmati pemandangannya dari arah taman di tengah Simpang Lima. Bersama saya, ada beberapa pasangan yang duduk mojok pacaran. Segerombolan ABG asyik bercanda ria. Sedangkan, tiga penghobi foto membidik Lawang Sewu seperti juga saya.
Jika saya adalah Lawang Sewu, terbayang betapa suasana di hadapan saya berubah dalam 105 tahun. Jepang menjadikan ruang bawah tanahnya sebagai penjara. Darah pemuda Indonesia pernah tumpah di depan Lawang Sewu saat Pertempuran 5 Hari di Semarang, 14-19 Oktober 1945.
Pohon-pohon ada yang hilang berganti jadi gedung dan kantor. Kereta kuda yang melintas berubah menjadi motor dan mobil. Sedangkan si Lawang Sewu... sang waktu berhenti berdetak untuknya.
Sahabat setianya hanya sebuah lokomotif tua bernomor C 23 01 buatan Chemnitz, Jerman, tahun 1908. Berdua, mereka menyaksikan zaman berubah dan mereka bertahan di Simpang Lima. Entah sampai kapan... Tapi dinikmati saja, seperti saya menikmati suasana di depan Lawang Sewu sore itu dengan sederhana.
Saat matahari sore sudah lebih turun, kaki saya pun melangkah pulang. Paling saya hanya 15 menit di tempat itu. Satu hari lagi akan berlalu untuk gedung berjuluk seribu pintu itu.
Baca versi beritanya di sini
Friday, September 28, 2012
Ein Ritter in Der Familie
Ini adalah satu dari 3 peristiwa besar saat saya vacum dari aktivitas nge-blog: Kelahiran anak kedua kami, laki-laki. Siapa yang nggak ingin punya anak laki-laki, tapi buat saya dan Desti apapun yang diberikan Allah, apapun gendernya.
Bukan tanpa sebab, program anak kedua rupanya jauh lebih sulit dari dugaan kita. Merencanakan kehamilan Desti sudah dimulai sejak Desti mendapatkan gelar Master di Berlin, Jerman. Tapi sampai kami pulang ke Indonesia dan berbulan-bulan kemudian, belum hamil juga.
Perlu satu blog sendiri bagaimana akhirnya Desti hamil, sempat konsultasi ke RSCM segala soalnya hehehe. Saya dan Desti tes ini itu. Tapi sebelum semuanya tuntas, Desti sudah hamil. Alhamdulillah!
Saya benar-benar nggak masalah dengan gender si bayi, karena Desti bisa hamil saja perjuangannya lumayan. Tapi, sejak awal Zahra selalu bilang, "Mama, Papa, aku mau adik laki-laki nanti namanya Dzaky." Kami meng-amin-kan sambil berpikir andai saja memiliki bayi semudah membeli laptop, bisa diatur spek-nya mau bagaimana.
Namun Allah menjawab doa Zahra. Sejak proses USG, ibu dokter kandungan langganan kami sudah bilang bayinya laki-laki. "Itu ada kodenya 0-1-0," kata si ibu dokter berjilbab itu sambil menatap monitor. Testikel-Penis-Testikel, demikian dia menjelaskan sebentuk 'angka' yang muncul di layar USG, di bagian selangkangan bayi kami.
Tiba akhirnya pada Senin 23 Mei 2011, sore hari. Desti menghubungi dari telepon dengan nada santai, "Say, aku sudah pembukaan, kamu nyusul ke RS yaaaa." Ada ibu saya memang di rumah, kebetulan sedang liburan menengok cucunya. Saya waktu itu masih jadi Waredpel detikNews, mohon pamit ke Mba Nurul selaku Redaktur Eksekutif dan tancap gas ke RSIA Citra Insani, Parung, Bogor.
Kelahiran anak adalah momen penting buat saya. Maaf, saya bukan tipikal suami yang menunggu di luar ruang bersalin. Bagi saya, itu adalah momen paling genting untuk Desti dan saya harus ada di sampingnya sejak awal. Ikut berlumur bersama darah dan air ketuban, serta tangan yang lecet-lecet dicubit dan dicakar Desti, yang penting saya hadir saat detik pertama anak kami lahir. Saya ada di situ waktu detik pertama Zahra lahir. Saya harus ada di situ juga saat adiknya lahir.
Saat kepalanya nongol saya cuma bilang, "Come on, my boy!" Melihat kepala mungil berlumur darah dan air ketuban. Pukul 21.45 WIB, putra kami lahir, menangis kecil, dibersihkan suster dan saya mendampingi sang bayi. Saya hitung kelengkapan organ tubuhnya, melihat timbangannya 3,6 kg, panjangnya 50 cm. Yang paling penting, saya mengadzani si bayi kecil.
"Siapa nama bayinya, Pak?" tanya suster. Saya menjawab mantap, "Dzaky Ritter Ramadhanny!"
Proses penamaannya tidak sebentar, karena nama adalah doa dari orangtua. Zahra sudah memberikan nama depan, kami cari ejaan yang benar ternyata "Dzaky" artinya cerdas. Nama belakang sudah pasti ikut nama bapaknya, Ramadhanny walaupun bukan lahir saat Ramadan. Kami tinggal mencari nama tengah.
Sejak awal kami berniat nama tengahnya harus dalam bahasa Jerman, untuk mengenang pengembaraan kami di Negeri Bratwurst itu. Tapi, nama Jerman ini kami tidak mau nama Injil dan bukan pula nama tradisional Jerman yang terkait dengan pekerjaan nenek moyang, contoh: Schumacher - Pembuat Sepatu, Fischer - Nelayan, Schneider - Tukang Jahit, Schweinsteiger - Penunggang Babi.
Kami mencari nama-nama bernada ningrat atau kata sifat yang macho. Tadinya mau pakai Stark (Kuat) tapi sudah dipakai untuk nama belakang superhero Iron Man. Di level nama bangsawan ada Der Koenig (Raja) dan Der Prinze (Pangeran). Namun pilihan saya jatuh pada Der Ritter (Ksatria), di situ ada sifat membela yang lemah, berjuang, berani, bertanggung jawab, gentleman, bersifat ksatria.
Und, haben wir ein Ritter in der Familie! Kami punya seorang Ksatria di dalam keluarga kami! Dzaky, 1,5 tahun kemudian tumbuh menjadi bayi yang berotot betis dan lengan kencang. Energinya tidak pernah habis. Aktif sekali dengan motoriknya bagus. Bodinya sebesar sepupunya yang blasteran bule Australia. Saya bersyukur kepada Allah!
Tapi, orang yang paling berjasa dalam kelahiran Dzaky adalah neneknya. Begini ceritanya, rupanya Desti mengalami Ketuban Pecah Dini dan Desti tidak mengerti. Per detik itu menjadi sangat berarti untuk segera membawa Desti ke RS sebelum kondisinya menjadi genting. Ibu saya gitu-gitu juga pernah jadi istri dokter kandungan. Dia mengambil keputusan cepat dengan BERAKTING, agar Desti bisa dirayu cepat pergi ke RS, tanpa panik.
"Ke RS saja yuk sekarang," kata Mama.
"Kenapa sekarang Ma?" kata Desti yang nggak tahu sudah mengalami Ketuban Pecah Dini.
"Kalau sudah begini cepat kok lahirannya," kata Mama, berpura-pura tenang.
Mama ambil Terios kami dan pergi membawa Desti ke RS dalam kondisi cuaca hujan badai! Pas saya sampai RS, hujan itu baru selesai. Pheeeww.... Mom, you were the hero for us!
Sunday, September 2, 2012
Si Cokor Hejo
Saya nyaris tidak pernah ke Bekasi, selain melintasinya dengan kereta Cirebon Expres. Maaf.... Padahal di Bekasi ada rumah Mas Alvin sepupu saya, Wa Dini mamanya Sastri, dan Bi Nia tantenya Desti. Namun, selama bertahun-tahun itu, waktu memang belum mengizinkan.
Makanya, seminggu usai Lebaran lalu, kami memaksakan diri, pokoknya harus bisa ke Bekasi. Karena Wa Dini ke Bandung, kami hanya pergi ke Bi Nia. Ternyata rumahnya belum masuk Bekasi, tapi Pulo Gebang, Jakarta Timur, nyaris Bekasi sih tempatnya.
Itu adalah hari yang menyenangkan, bisa bertemu Bi Nia dan keluarga. Terakhir saya ingat bertemu Bi Nia saat saya dan Desti menikah. Namun, Bi Nia meralat ucapan saya.
"Bukan, kita pertama bertemu waktu menjenguk Aki Ipik (almarhum kakek mertua). Aki Ipik memanggil kamu Si Cokor Hejo....," kata Bi Nia. Saya benar-benar lupa...
"Iya say, kan waktu itu kamu dikenalkan sebagai calon aku. Aki Ipik udah sakit. Kan kamu tanya juga ke aku Si Cokor Hejo itu apa artinya, aku juga nggak tahu kan," Desti menimpali.
"Si Cokor Hejo itu artinya suka traveling, karena kamu ada turunan orang Bogor," Bi Nia mengingatkan.
Wooooowwww! Bertahun-tahun lalu, sebelum saya lebih banyak bertualang, sebelum saya jadi Redaktur Pelaksana detikTravel, Aki Ipik sudah tahu dalam sekali lirik. Apa ini namanya potensi tersembunyi atau apa begitu.
Jadi karena ibu saya turunan Bogor, saya jadi suka traveling begitu? Masa sih? Mesti nanya dulu sama Kang Haris Maulana ini hehehe.
Tapi ini bukan ramalan, saya tahu betul. Karena, saya yakin dalam setiap nama pemberian orang tua, ada doa di sana. Si Cokor Hejo adalah doa Aki Ipik, dan Allah mengabulkannya. Saya pun berjalan-jalan kesana kemari.
Saat mobil kami membelah Tol JORR nan sepi sore itu, di kepala saya terngiang-ngiang ucapan Bi Nia soal Si Cokor Hejo. Yang bisa saya lakukan hanya memberi Al Fatihah untuk Aki Ipik di surga sana.
Saya jarang foto kaki sendiri (ngapain juga...) Tapi untung ada foto Cokor Hejo saya di bekas Tembok Berlin. Kaki kanan saya di bekas Jerman Barat, kaki kiri saya di bekas Jerman Timur. Ini salah satu foto kesukaan saya.
Yang membuat saya sekarang bahagia, saya bertemu dengan banyak Si Cokor Hejo lainnya, mengurus kanal berita detikTravel soal Si Cokor Hejo dan saya ingin berteman dengan banyak Si Cokor Hejo. Saya yakin, banyak Si Cokor Hejo di luar sana, termasuk Anda.
Makanya, seminggu usai Lebaran lalu, kami memaksakan diri, pokoknya harus bisa ke Bekasi. Karena Wa Dini ke Bandung, kami hanya pergi ke Bi Nia. Ternyata rumahnya belum masuk Bekasi, tapi Pulo Gebang, Jakarta Timur, nyaris Bekasi sih tempatnya.
Itu adalah hari yang menyenangkan, bisa bertemu Bi Nia dan keluarga. Terakhir saya ingat bertemu Bi Nia saat saya dan Desti menikah. Namun, Bi Nia meralat ucapan saya.
"Bukan, kita pertama bertemu waktu menjenguk Aki Ipik (almarhum kakek mertua). Aki Ipik memanggil kamu Si Cokor Hejo....," kata Bi Nia. Saya benar-benar lupa...
"Iya say, kan waktu itu kamu dikenalkan sebagai calon aku. Aki Ipik udah sakit. Kan kamu tanya juga ke aku Si Cokor Hejo itu apa artinya, aku juga nggak tahu kan," Desti menimpali.
"Si Cokor Hejo itu artinya suka traveling, karena kamu ada turunan orang Bogor," Bi Nia mengingatkan.
Wooooowwww! Bertahun-tahun lalu, sebelum saya lebih banyak bertualang, sebelum saya jadi Redaktur Pelaksana detikTravel, Aki Ipik sudah tahu dalam sekali lirik. Apa ini namanya potensi tersembunyi atau apa begitu.
Jadi karena ibu saya turunan Bogor, saya jadi suka traveling begitu? Masa sih? Mesti nanya dulu sama Kang Haris Maulana ini hehehe.
Tapi ini bukan ramalan, saya tahu betul. Karena, saya yakin dalam setiap nama pemberian orang tua, ada doa di sana. Si Cokor Hejo adalah doa Aki Ipik, dan Allah mengabulkannya. Saya pun berjalan-jalan kesana kemari.
Saat mobil kami membelah Tol JORR nan sepi sore itu, di kepala saya terngiang-ngiang ucapan Bi Nia soal Si Cokor Hejo. Yang bisa saya lakukan hanya memberi Al Fatihah untuk Aki Ipik di surga sana.
Saya jarang foto kaki sendiri (ngapain juga...) Tapi untung ada foto Cokor Hejo saya di bekas Tembok Berlin. Kaki kanan saya di bekas Jerman Barat, kaki kiri saya di bekas Jerman Timur. Ini salah satu foto kesukaan saya.
Yang membuat saya sekarang bahagia, saya bertemu dengan banyak Si Cokor Hejo lainnya, mengurus kanal berita detikTravel soal Si Cokor Hejo dan saya ingin berteman dengan banyak Si Cokor Hejo. Saya yakin, banyak Si Cokor Hejo di luar sana, termasuk Anda.
Sunday, August 26, 2012
Ini Dia Tahu yang Lebih Enak Dari Tahu Sumedang!
Tahu Lamping namanya, asli dari Kuningan. Bentuknya mirip Tahu Sumedang, disajikan dalam keranjang anyaman. Rasanya boleh diadu, tapi Tahu Lamping ini diklaim lebih padat dan tidak kopong seperti Tahu Sumedang. Pembaca detikTravel menyebut persaingan dua tahu ini seseru Apple VS Samsung. Saya setuju.....
Kalau saya harus memilih, saya membela Tahu Lamping. Soalnya saya memang membenci kopongnya Tahu Sumedang, nggak kenyang-kenyang jadinya. Lantas, kemana kita mencari Tahu Lamping?
Kemacetan ini karena banyak kendaraan yang parkir di kanan dan kiri jalan. Perhatikan baik-baik, di kanan dan kiri jalan itu banyak toko yang menjual tahu panas, Tahu Lamping namanya.
Ada banyak toko penjual Tahu Lamping, tapi yang menjadi favorit adalah Tahu Kopeci dan cabangnya Tahu Kopeci 2 yang berada di seberangnya. Tahu Kopeci paling menyedot perhatian traveler dibandingkan toko Tahu Lamping lainnya. Tahu Kopeci ini favorit mendiang bapak mertua. Beliau lah yang mengajarkan saya untuk mencintai Tahu Lamping dan pindah ke lain hati dari Tahu Sumedang hehehe.
Saya mampir Selasa 21 Agustus, hari ketiga Lebaran. Kopeci Satu tutup, tapi Kopeci Dua sudah buka begitu pula aneka pesaing mereka. Suasana di Tahu Kopeci penuh sesak pengunjung. Sambil menunggu antrean, saya wawancara seorang pembeli.
"Tahu ini lebih enak dari Tahu Sumedang. Kalau Tahu Sumedang yang baru digoreng kan kopong, kalau Tahu Lamping ini tetap padat berisi. Jadi, tahu ini lebih mengenyangkan selain juga lebih gurih," kata Iip, asal Ciamis. Saya manggut-manggut setuju.
Model pembeliannya "first come first served", yang datang duluan dilayani duluan. Saking lakunya, tahu yang baru keluar dari kuali besar tidak pernah lama-lama berada di tempat saji. Hup hup! Penjual Tahu Lamping dengan cekatan memasukkan tahu panas ke dalam keranjang. Teteh-teteh yang melayani pembeli ini sudah biasa memegang tahu panas.
"Tahu Kopeci dan Kopeci 2 ini adik kakak, sudah lama berjualan tahu di sini. Dalam sehari kita bikin 3,5 kuintal tahu, kalau Lebaran bisa sampai 4,5 kuintal dan pasti habis," kata Maman, pengolah Tahu Lamping.
Maman balik bertanya, saya siapa. Saya jelaskan saya wartawan detikTravel, situs berita traveling paling top di Indonesia, hehehe. Tapi saya jelaskan, bapak saya pun asli dari Lengkong, Kuningan. Nah di sinilah hebatnya brotherhood orang Kuningan.
Kalau Anda traveling ke Kuningan, berbincang dengan orang lokal, dan BISA menunjukan kalau Anda berkerabat/berteman dengan orang dari salah satu desa di Kuningan, Anda langsung dianggap saudara! Begitu saya bilang bapak saya dari Lengkong, Maman langsung girang.
"Pan eta si Juju juga dari Lengkong!" kata dia sumringah.
Juju siapaaaaaaa??? Nggak kenaaaaallll, rasanya saya ingin jatuh berlutut di depan dia. Tapi sifat brotherhood inilah yang membuat semua penjual mie rebus dan bubur kacang asal Kuningan di Jabodetabek kompak-kompak.
Anyway, Tahu Lamping dihargai Rp 500 per biji. Biasanya pengujung membeli Rp 20.000 untuk 40 tahu yang memang pas memenuhi keranjang anyaman. Cabe rawit menjadi teman setia tahu ini. Sajian lain adalah susu kedelai yang dijual Rp 2.000 sekantung kecil ukuran 200 ml.
Tahu panas sudah di tangan saya, saatnya mencicipi tahu ini. Nyamm! Kelezatan Tahu Lamping, bukan omong kosong belaka. Satu keranjang Tahu Lamping jadi teman perjalanan saya kembali ke Cirebon hari itu.
Kisah Tahu Lamping ini bisa dinikmati versi beritanya di sini.
Road Trip Wanayasa, Asoy Geboy!

Jadilah kami: saya, Desti, dua anak kami Zahra dan Dzaky, plus Fitri adik ipar, bergabung bersama jutaan orang lain yang memilih mudik pada 17 Agustus lalu. Saat bendera Merah Putih dikerek naik lewat upacara bendera, kami sudah membelah jalan tol Jagorawi.
Dicky, anak magang detikTravel memberi kabar buruk dari BB. Dia hanya beringsut di Pantura. Oke, saya akan ambil jalan Sadang. Namun rupanya, pintu tol Cikampek sudah ditutup, semua kendaraan diminta keluar di Sadang.
Walhasil, Sadang pamer paha -padat merayap tanpa harapan- dan ketika kami tinggal melintas lampu merah, Sadang ditutup polisi tepat di depan hidung saya. What!!!
"Liwat Wanayasa!" kata bapak polisi.
Tahu begitu, saya keluar sekalian dari pintu tol Purwakarta. Sumpah, saya nggak punya bayangan lewat Wanayasa itu seperti apa. Plang "Wanayasa belok kiri" terbaca dan Terios kami nan perkasa ini masuk menyusuri jalan kampung yang kecil.
Hei, hei, pemandangannya asyik juga dan edukatif buat Zahra yang jarang bisa melihat sawah. Kami disuguhi padi, tebu, jagung, ubi, balong ikan. Yang membuat kami tergelak adalah balong ikan bertuliskan "Sedia Anak Buaya" Serius? Kami ingin berputar balik, tapi konvoi mobil mudikers di belakang menyulitkan kami untuk putar arah.
Jalan desa yang kami ambil akhirnya bertemu dengan jalan utama Wanayasa dari mereka yang keluar di pintu tol Purwakarta. Sistem buka tutup jalan sempat membuat beberapa mobil frustasi dan putar balik. Tapi kami terus melaju, sabar-sabar sajalah.
Jalan raya Wanayasa punya pemandangan yang lebih asyik. Rupanya banyak destinasi wisata yang saya juga baru tahu. Kami lewat Situ Buleud, danau yang tidak terlalu besar, tapi ditata rapi. Ada juga Curug Cijalu yang tidak pas di pinggir jalan, tapi mesti masuk dulu 5 km. Entah seperti apa penampilannya. Lagi-lagi, saya tak sempat berfoto di Situ Cibuleud, gara-gara memburu waktu ke Cirebon.
Pemandangan asyik lainnya adalah warga desa menjemur cengkeh. Yup! Cengkeh ada dimana-mana. Warga gelar terpal di halaman untuk menjemur cengkeh. Rupanya pula, di kawasan ini teras persawahannya pun hijau dan cantik, seperti di Ubud.
Di lereng gunung mana ini kami berada? Google map menunjukan kalau mobil kami melintas di belakang Gunung Tangkubanperahu. Pantas saja, hawa lebih adem daripada di Pantura.
Menjelang simpang Cagak, Subang, pemandangan berganti dengan jejeran penjual nanas nan menggiurkan. Apalagi, kondisi lagi macet karena buka tutup jalur, mana tahan kalau nggak beli nanas. Dengan membayar Rp 10.000, dua nanas pun menambah penuh belakang mobil kami.
Nah, pemandangan dari Cagak menuju Sumedang tuh yang asyik. Kebun teh menghampar diselingi jejeran pohon sengon. Lagi-lagi, karena lagi tanggung jalanan lancar, saya urungkan niat berhenti untuk mengambil gambar.

Selepas itu jalanan lancar sampai kita masuk Majalengka malam hari. Pas balik ke Jakarta beberapa hari kemudian, pada siang hari, barulah saya sadar Majalengka sudah lebih menarik untuk para traveler. Saya angkat topi untuk Pemkab yang mencoba menata taman kota. 3 Hal yang saya garis bawahi.
Alun-alun Majalengka punya air mancur yang interaktif untuk anak-anak bermain basah-basahan. Kedua, bundaran tugu ikan, sekarang punya taman kota yang memajang jet tempur tua, tapi dicat ulang sampai kinclong. Keren banget nih ada monumen pesawat jet! Ketiga, menjelang arah Kadipaten, ada tugu tulisan 'KOTA MAJALENGKA', konsepnya meniru tulisan Hollywood, Pantai Losari, I AmSterdam. Sederhana, tapi menarik banget buat nongkrong.
Yudasmoro protes kenapa saya nggak twit pic. Sorry banget bro, saya nyetir dan istri jaga 2 anak yang hiperaktif hehehe.
Tapi, satu hal kita baru menyadari betapa Pantura itu membosankan, walaupun mobil bisa melaju kencang. Sebaliknya, jalan alternatif Wanayasa atau Sadang butuh waktu lebih lama, tapi dua jalan ini menawarkan pemandangan yang lebih asyik dengan banyak tempat menarik untuk sebuah road trip yang berkesan.
Dalam hati kami berjanji, kalau lewat Sadang atau Wanayasa lagi, kami akan menikmati setiap kilometernya. Banyak berhenti untuk menikmati suasananya, termasuk menemukan gambar menarik macam toko seluler dengan nama istri saya seperti di samping ini. Semua itu demi Situ Buleud, demi kebun teh, demi sawah menghampar, demi tugu pesawat tempur, demi traveling yang berkualitas.
Sunday, August 12, 2012
My Sacrifice
Badan ini lelah saat kembali ke rumah usai bikin e-KTP malam-malam di kantor kecamatan. Namun dengan sisa tenaga, ingin rasanya membuka email di laptop. Takutnya ada email penting dari para Traveltrooper, maklum Blackberry lagi dirawat inap di Cempaka Mas.
Namun, yang saya temukan adalah sebuah email dari Jerman, isinya menusuk hati sebenarnya. Tentang sebuah mimpi yang harus saya korbankan ketika memilih menjadi Redaktur Pelaksana detikTravel.
Apakah saya mengorbankan sesuatu yang penting? Jawabannya IYA.
Saya percaya, manusia yang baik harus hidup dengan banyak pilihan dan rencana. Saya membuat banyak hal semacam itu. Senang rasanya ketika saya punya banyak cara untuk menjalani hidup yang cuma sekali ini. Selain berkarir, impian lama saya dan juga Desti adalah bersekolah setinggi-tingginya.
Sudah komitmen kita sejak pacaran, yang satu akan mendukung yang lain untuk bersekolah, apapun risikonya. Tapi kami bukan orang kaya dan kami terbiasa mandiri, andalan kami adalah uang beasiswa. Desti sudah dapat Master of Art dari Fachoschule fuer Wirtschaft und Recht Berlin, kini sebenarnya adalah giliran saya.
Yang menarik hati saya adalah Master's Program International Media Studies dari Deutsche Welle Akademie bekerja sama dengan Fachoschule Bonn-Rhein-Sieg. DW yang bagi saya adalah BBC-nya Jerman, menjadi tempat khayalan ini melayang bahwa saya kerja jadi wartawan di kantor berita asing.
Alangkah girangnya saat 3 tahun lalu saya tahu telah dibuka DW Akademie, sekolah tinggi yang dibikin khusus untuk para wartawan. Saya sudah terbayang thesis saya kelak adalah soal Media Online. Bermodal pengalaman 6-7 tahun jadi wartawan detikcom dan beasiswa DAAD, DW Akademie adalah mimpi yang sempurna. Bersekolah di DW, belum sampai bekerja di sana lho, itu tetap terdengar indah di telinga ini.
Aplikasi kuliah sudah dikirim, lamaran beasiswa DAAD pun demikian, lalu pilihan kedua itu datang tiba-tiba: Promosi ke posisi Redaktur Pelaksana detikTravel. Saya mendadak dalam kebimbangan panjang.
detikTravel adalah tantangan sekaligus impian juga, plus mungkin doa Desti. Semasa di Jerman dan kami jadi backpacker ke beberapa negara dan menulis artikel untuk detikcom, Desti pernah berucap, "Kenapa kamu nggak jadi wartawan travelling saja sayang? Mungkin namanya Detik Travel atau apa gitu?" Ketika kami kembali ke Indonesia, kanal ini sungguhan ada hehehe.
Tapi butuh waktu setahun lebih sampai akhirnya Mas Asydhad selaku Wapimred saat itu untuk menawari posisi yang saya juga sama sekali tidak terpikir. Saya tahu saya akan ditarik dari comfort zone sebagai Waredpel detikNews. Artinya banyak tantangan di depan, tapi ini bidang yang saya suka sebenarnya.
Jika saya mengiyakan, artinya saya harus mengorbankan cita-cita saya bersekolah S2. Karena, saya nggak mau setengah-setengah dalam mengerjakan sesuatu, atau kabur di tengah jalan. Saya harus menghanguskan aplikasi saya dengan berat hati. Sangat berat hati.
Maka jadilah saya Redpel detikTravel, menjadi mentor untuk 4 anak muda yang harus saya poles dan bakar semangatnya. Pada medio Januari 2012, ponsel saya berdering dengan nomor awal +49..... dari Jerman.
Benar saja, DW Akademie menelepon saya. Seorang perempuan berbahasa Inggris, namun dengan aksen Jerman yang kental. Dia menanyakan kelanjutan proses aplikasi S2 saya di DW Akademie.
"I would love to, but I've been promoted as Managing Editor. So, I'm afraid that I can't continue my application process in DW Akademie," ucap saya dengan kerongkongan yang seret.
"If you are still interested with our program next year, you can still apply from our website. Best wishes," ujar suara dari ujung sana.
Itulah terakhir kalinya DW menelepon saya. Email yang saya terima semalam adalah penegasan obrolan tempo hari. Tapi hidup adalah pilihan, selalu ada yang dikorbankan demi sebuah cita-cita dan kehidupan yang lebih baik. Saya berdoa ini adalah pilihan terbaik yang ditetapkan Allah, Sang Maha Mengetahui.
Ada sebuah gambar yang dulu suka saya lihat dari situs DW Akademie di internet, untuk membakar semangat saya waktu menyusun aplikasi S2 ini. Gambar itu tinggal kenangan, saya mungkin tidak akan pernah berada di tempat itu. Gambar itu adalah gedung Deutsche Welle Akademie....
Namun, yang saya temukan adalah sebuah email dari Jerman, isinya menusuk hati sebenarnya. Tentang sebuah mimpi yang harus saya korbankan ketika memilih menjadi Redaktur Pelaksana detikTravel.
Apakah saya mengorbankan sesuatu yang penting? Jawabannya IYA.
Saya percaya, manusia yang baik harus hidup dengan banyak pilihan dan rencana. Saya membuat banyak hal semacam itu. Senang rasanya ketika saya punya banyak cara untuk menjalani hidup yang cuma sekali ini. Selain berkarir, impian lama saya dan juga Desti adalah bersekolah setinggi-tingginya.
Sudah komitmen kita sejak pacaran, yang satu akan mendukung yang lain untuk bersekolah, apapun risikonya. Tapi kami bukan orang kaya dan kami terbiasa mandiri, andalan kami adalah uang beasiswa. Desti sudah dapat Master of Art dari Fachoschule fuer Wirtschaft und Recht Berlin, kini sebenarnya adalah giliran saya.
Yang menarik hati saya adalah Master's Program International Media Studies dari Deutsche Welle Akademie bekerja sama dengan Fachoschule Bonn-Rhein-Sieg. DW yang bagi saya adalah BBC-nya Jerman, menjadi tempat khayalan ini melayang bahwa saya kerja jadi wartawan di kantor berita asing.
Alangkah girangnya saat 3 tahun lalu saya tahu telah dibuka DW Akademie, sekolah tinggi yang dibikin khusus untuk para wartawan. Saya sudah terbayang thesis saya kelak adalah soal Media Online. Bermodal pengalaman 6-7 tahun jadi wartawan detikcom dan beasiswa DAAD, DW Akademie adalah mimpi yang sempurna. Bersekolah di DW, belum sampai bekerja di sana lho, itu tetap terdengar indah di telinga ini.
Aplikasi kuliah sudah dikirim, lamaran beasiswa DAAD pun demikian, lalu pilihan kedua itu datang tiba-tiba: Promosi ke posisi Redaktur Pelaksana detikTravel. Saya mendadak dalam kebimbangan panjang.
detikTravel adalah tantangan sekaligus impian juga, plus mungkin doa Desti. Semasa di Jerman dan kami jadi backpacker ke beberapa negara dan menulis artikel untuk detikcom, Desti pernah berucap, "Kenapa kamu nggak jadi wartawan travelling saja sayang? Mungkin namanya Detik Travel atau apa gitu?" Ketika kami kembali ke Indonesia, kanal ini sungguhan ada hehehe.
Tapi butuh waktu setahun lebih sampai akhirnya Mas Asydhad selaku Wapimred saat itu untuk menawari posisi yang saya juga sama sekali tidak terpikir. Saya tahu saya akan ditarik dari comfort zone sebagai Waredpel detikNews. Artinya banyak tantangan di depan, tapi ini bidang yang saya suka sebenarnya.
Jika saya mengiyakan, artinya saya harus mengorbankan cita-cita saya bersekolah S2. Karena, saya nggak mau setengah-setengah dalam mengerjakan sesuatu, atau kabur di tengah jalan. Saya harus menghanguskan aplikasi saya dengan berat hati. Sangat berat hati.
Maka jadilah saya Redpel detikTravel, menjadi mentor untuk 4 anak muda yang harus saya poles dan bakar semangatnya. Pada medio Januari 2012, ponsel saya berdering dengan nomor awal +49..... dari Jerman.
Benar saja, DW Akademie menelepon saya. Seorang perempuan berbahasa Inggris, namun dengan aksen Jerman yang kental. Dia menanyakan kelanjutan proses aplikasi S2 saya di DW Akademie.
"I would love to, but I've been promoted as Managing Editor. So, I'm afraid that I can't continue my application process in DW Akademie," ucap saya dengan kerongkongan yang seret.
"If you are still interested with our program next year, you can still apply from our website. Best wishes," ujar suara dari ujung sana.
Itulah terakhir kalinya DW menelepon saya. Email yang saya terima semalam adalah penegasan obrolan tempo hari. Tapi hidup adalah pilihan, selalu ada yang dikorbankan demi sebuah cita-cita dan kehidupan yang lebih baik. Saya berdoa ini adalah pilihan terbaik yang ditetapkan Allah, Sang Maha Mengetahui.
Ada sebuah gambar yang dulu suka saya lihat dari situs DW Akademie di internet, untuk membakar semangat saya waktu menyusun aplikasi S2 ini. Gambar itu tinggal kenangan, saya mungkin tidak akan pernah berada di tempat itu. Gambar itu adalah gedung Deutsche Welle Akademie....
Saturday, August 11, 2012
Puisi Twitter (#Puitwit) 1-10
Inilah cikal bakal Puisi Twittter yang saya kembangkan. Awalnya belum pakai hastag #Puitwit. Benar-benar spontan apa yang dirasakan saat itu. Temanya juga masih sangat personal. Teksnya dibiarkan apa adanya saat copy paste dari timeline di Twitter. Ternyata, hobi ini semua bermula pada tanggal 23 Juni 2012. Enjoy!
------------
1.
23 Jun Fitraya Ramadhanny Fitraya Ramadhanny @fayanamaku
Lalu lembut kucium dirimu. Selembut angin malam mencumbu Ciremai. Mahligai cinta kita dibangun di sini, 8 tahun silam
2.
23 Jun Fitraya Ramadhanny Fitraya Ramadhanny @fayanamaku
Kami pun lari, berdua, saat kabut malam membungkus Ciremai. Aku dan dia ingin kembali ke tempat saat cinta kami dirajut #cirebonhometown
3.
23 Jun Fitraya Ramadhanny Fitraya Ramadhanny @fayanamaku
Kugenggam erat jemarinya saat kami menyusur jalan desa di Sangkanurip. Kubiarkan Orion cemburu pada kami di langit malam #cirebonhometown
4.
27 Jun Fitraya Ramadhanny Fitraya Ramadhanny @fayanamaku
Let the wind blows, sometimes we just don't know why
5.
27 Jun Fitraya Ramadhanny Fitraya Ramadhanny @fayanamaku
Dan biarkan hawa pagi mengisi paru-paruku, lantas kuucapkan selamat pagi pada dunia ketika air wudhu mencuci wajahku
6.
27 Jun Fitraya Ramadhanny Fitraya Ramadhanny @fayanamaku
In a place called Home, I have a lot amount of Love and Passion
7.
27 Jun Fitraya Ramadhanny Fitraya Ramadhanny @fayanamaku
Wahai hari, berkah Tuhan yang mana yang dititipkan padamu kali ini. Biarkan aku menjemputnya dengan hati ikhlas, tenang tanpa pergolakan
8.
3 Juli Fitraya Ramadhanny @fayanamaku
Ya Allah, aku hanyalah cangkir kecil yang Kau tuang lautan ilmu. Tapi ingin kureguk smua, walau perlahan, walau tertatih. Aku adl hamba
9.
3 Jul Fitraya Ramadhanny Fitraya Ramadhanny @fayanamaku
Iri adalah perasaan yang tidak perlu. karena aku tahu, Allah cinta padaku, seperti Dia mengasihi setiap mahluk di planet ini
10.
3 Jul Fitraya Ramadhanny Fitraya Ramadhanny @fayanamaku
Teh pekat itu meluncur hangat ke dalam tenggorokanku. Sebuah hari telah berlalu. Biarkan air membasuh letih. Sudah tak ada lagi rintih
------------
1.
23 Jun Fitraya Ramadhanny Fitraya Ramadhanny @fayanamaku
Lalu lembut kucium dirimu. Selembut angin malam mencumbu Ciremai. Mahligai cinta kita dibangun di sini, 8 tahun silam
2.
23 Jun Fitraya Ramadhanny Fitraya Ramadhanny @fayanamaku
Kami pun lari, berdua, saat kabut malam membungkus Ciremai. Aku dan dia ingin kembali ke tempat saat cinta kami dirajut #cirebonhometown
3.
23 Jun Fitraya Ramadhanny Fitraya Ramadhanny @fayanamaku
Kugenggam erat jemarinya saat kami menyusur jalan desa di Sangkanurip. Kubiarkan Orion cemburu pada kami di langit malam #cirebonhometown
4.
27 Jun Fitraya Ramadhanny Fitraya Ramadhanny @fayanamaku
Let the wind blows, sometimes we just don't know why
5.
27 Jun Fitraya Ramadhanny Fitraya Ramadhanny @fayanamaku
Dan biarkan hawa pagi mengisi paru-paruku, lantas kuucapkan selamat pagi pada dunia ketika air wudhu mencuci wajahku
6.
27 Jun Fitraya Ramadhanny Fitraya Ramadhanny @fayanamaku
In a place called Home, I have a lot amount of Love and Passion
7.
27 Jun Fitraya Ramadhanny Fitraya Ramadhanny @fayanamaku
Wahai hari, berkah Tuhan yang mana yang dititipkan padamu kali ini. Biarkan aku menjemputnya dengan hati ikhlas, tenang tanpa pergolakan
8.
3 Juli Fitraya Ramadhanny @fayanamaku
Ya Allah, aku hanyalah cangkir kecil yang Kau tuang lautan ilmu. Tapi ingin kureguk smua, walau perlahan, walau tertatih. Aku adl hamba
9.
3 Jul Fitraya Ramadhanny Fitraya Ramadhanny @fayanamaku
Iri adalah perasaan yang tidak perlu. karena aku tahu, Allah cinta padaku, seperti Dia mengasihi setiap mahluk di planet ini
10.
3 Jul Fitraya Ramadhanny Fitraya Ramadhanny @fayanamaku
Teh pekat itu meluncur hangat ke dalam tenggorokanku. Sebuah hari telah berlalu. Biarkan air membasuh letih. Sudah tak ada lagi rintih
Wednesday, August 8, 2012
Jadi Kapan Kalian Mau Urus Papua?
Dengan suara kresek-kresek, Sastri menelepon dari Lembah Baliem, Papua sana, sembari saya menyendokkan bubur ayam hangat untuk mengisi perut semalam. Gelagatnya buruk nih. Batalnya Menparekraf Mari Elka Pangestu membuka Festival Lembah Baliem disambut kekecewaan bupati dan warga Jayawijaya.
Pagi tadi bupatinya menggelar keterangan pers. Jelaslah saya kenapa bupatinya sangat kecewa.
"23 Tahun menunggu, 4 kali ganti presiden, nggak ada menteri pariwisata yang ke sini. Padahal yang akan ditampilkan adalah murni budaya dan ini adalah budaya tertua di Papua," curhat Bupati Jayawijaya John Wempi Wetipo dalam jumpa pers di Hotel Baliem Pilamo, yang dilaporkan Sastri.
Eh busyet? Selama itukah? Anda wajar marah Pak Bupati. Festival Lembah Baliem sudah berumur 23 tahun, reputasinya sudah mendunia...... tapi rupanya belum men-Jakarta........
Menparekraf Mari Elka Pangestu mengikuti jejak para pendahulunya, sejak 22 tahun lalu, untuk tidak menghadiri Festival Lembah Baliem. Alasannya ada rapat kabinet dengan Presiden SBY. Padahal, pak bupati sudah menyiapkan helikopter untuk ibu menteri kita
Ah lagi-lagi urusan di penghujung Nusantara tidak pernah terlihat seksi di mata penguasa. Para penguasa sedang panik menunggu siapa yang bakal diseret KPK menjadi tersangka minggu ini, atau minggu depan. Semua sedang galau memantau tingkat popularitas yang anjlok. Sebuah festival eksotis di ujung timur Indonesia, sudah tidak penting lagi untuk mereka di Jakarta.
Padahal dalam kesempatan berbeda, politisi berlomba berkoar untuk setiap kasus penembakan, atau konflik bersenjata di Bumi Cendrawasih. Semua berteriak, "Papua bagian dari Indonesia!" Lip service kadang begitu memuakan.
Kasihan Baliem, kasihan ratusan orang-orang Suku Dani. Hari ini dengan bangga mereka memakai koteka, perempuannya memakai kombou. Mereka angkat tombak-tombak mereka dalam tarian penuh kegagahan. Mereka merayakan sebuah budaya yang paling tua dan masih lestari di Bumi Papua.
Mereka hanya butuh sedikiiiiiitttt saja PERHATIAN dari Jakarta. Tak perlu janji-janji promosi internasional untuk Lembah Baliem. Mereka hanya butuh Mari Elka hadir bersama di saat panah pertama melesat menembus tubuh anak babi menandai permulaan festival. Sedikiiiit saja mungkin senyum dari ibu menteri kita mewakili pemerintah pusat, maka orang-orang Dani akan memberikan senyum mereka yang paling lebar.
Jadi kapan kalian mau urus Papua?
Pagi tadi bupatinya menggelar keterangan pers. Jelaslah saya kenapa bupatinya sangat kecewa.
"23 Tahun menunggu, 4 kali ganti presiden, nggak ada menteri pariwisata yang ke sini. Padahal yang akan ditampilkan adalah murni budaya dan ini adalah budaya tertua di Papua," curhat Bupati Jayawijaya John Wempi Wetipo dalam jumpa pers di Hotel Baliem Pilamo, yang dilaporkan Sastri.
Eh busyet? Selama itukah? Anda wajar marah Pak Bupati. Festival Lembah Baliem sudah berumur 23 tahun, reputasinya sudah mendunia...... tapi rupanya belum men-Jakarta........
Menparekraf Mari Elka Pangestu mengikuti jejak para pendahulunya, sejak 22 tahun lalu, untuk tidak menghadiri Festival Lembah Baliem. Alasannya ada rapat kabinet dengan Presiden SBY. Padahal, pak bupati sudah menyiapkan helikopter untuk ibu menteri kita
Ah lagi-lagi urusan di penghujung Nusantara tidak pernah terlihat seksi di mata penguasa. Para penguasa sedang panik menunggu siapa yang bakal diseret KPK menjadi tersangka minggu ini, atau minggu depan. Semua sedang galau memantau tingkat popularitas yang anjlok. Sebuah festival eksotis di ujung timur Indonesia, sudah tidak penting lagi untuk mereka di Jakarta.
Padahal dalam kesempatan berbeda, politisi berlomba berkoar untuk setiap kasus penembakan, atau konflik bersenjata di Bumi Cendrawasih. Semua berteriak, "Papua bagian dari Indonesia!" Lip service kadang begitu memuakan.
Kasihan Baliem, kasihan ratusan orang-orang Suku Dani. Hari ini dengan bangga mereka memakai koteka, perempuannya memakai kombou. Mereka angkat tombak-tombak mereka dalam tarian penuh kegagahan. Mereka merayakan sebuah budaya yang paling tua dan masih lestari di Bumi Papua.
Mereka hanya butuh sedikiiiiiitttt saja PERHATIAN dari Jakarta. Tak perlu janji-janji promosi internasional untuk Lembah Baliem. Mereka hanya butuh Mari Elka hadir bersama di saat panah pertama melesat menembus tubuh anak babi menandai permulaan festival. Sedikiiiit saja mungkin senyum dari ibu menteri kita mewakili pemerintah pusat, maka orang-orang Dani akan memberikan senyum mereka yang paling lebar.
Jadi kapan kalian mau urus Papua?
Sunday, August 5, 2012
A Gentlemen Agreement
Merujuk istilah dari Shafa, gue adalah redpel yang punya sampingan sebagai tong sampah curhatan anak-anak :) Tapi serius, bukankah membosankan kalau di kantor kita cuma ngobrol soal kerjaan. Maka saya menikmati semua obrolan dengan TravelTroopers selain urusan menulis berita.
Gue tidak ingat awalnya, tapi siang itu tiba-tiba sedang ngobrol dengan Putri soal cowok yang memikat hatinya dan apa tanggapan ibu dan bapaknya. Tiba-tiba! (boleh dengan efek zoom in zoom out sinetron Punjabi) Gue pikir gue tahu cowok yang jadi preferensi bapaknya Putri.
"Bapak kamu pilih yang ini ya? (menyebut nama cowok)" tebak saya.
"Alasan Mas Faya apa?" tanya Putri.
"Tapi tebakan gue benar kan," sahut saya dan Putri cuma nyengir.
Mendadak obrolan itu jadi penting buat gue, bukan lantaran gue bisa menebak cowok pilihan bapaknya Putri, TAPI karena gue juga adalah ayah dari seorang anak perempuan dan mungkin 20 tahun dari sekarang, akan ada seorang pemuda mengetuk pintu rumah gue dan mencari Zahra. Gue belum terbayang harus bagaimana, tapi dari obrolan itu semua jadi jelas.
Bapaknya Putri melakukan hal yang sama persis dengan apa yang dilakukan almarhum bapak mertua gue, dan mendadak jelas buat gue sekarang apa maksud dari segala ucapan bapak mertuaku itu dulu. Intinya, seorang ayah akan memilih pemuda yang paling siap untuk melakukan Gentlemen Agreement dengan dia.
Gentlemen Agreement adalah perjanjian di antara dua pria terhormat, yaitu seorang ayah dan pemuda yang ingin punya hubungan serius dengan anak putrinya itu. Elo mau anak gue, elo minta baik-baik ama gue, kita bikin Gentlemen Agreement. Nah, pemuda mana yang siap melakukan itu, rupanya ada parameternya. Bapaknya putri dan bapak mertua gue parameternya sama, berarti gue juga mesti ngikutin tuh.
Serius, jujur, ulet, tekun, berani, pekerja keras, respek ama ortu ceweknya. Walaupun pemuda itu bukan siapa-siapa asalkan parameter itu ada, dia siap melakukan Gentlemen Agreement. Gue ternyata juga melalui penilaian itu.
Bapaknya Desti tahu betapa gue serius ngejar anaknya sejak SMA, sampai ke UI pun gue kejar walau itu artinya gue harus menempuh UMPTN dulu dan asli itu nggak gampang. Dan, gue berani bilang ke beliau gue serius dan ingin menikahi anaknya, dengan kondisi gue baru lulus dan belum kerja. Nekat? Bukan, gue berani, karena gue punya planning.
Beberapa waktu setelah menikah, gue pernah terlibat obrolan sore hari. Beliau bicara soal pemuda desa biasa-biasa saja yang dia setujui untuk menikah dengan keponakannya di Ciamis.
"Asalkan orangnya tekun, sukses itu tinggal soal waktu," kata beliau. Si pemuda itu kini jadi bandar ponsel dan voucher paling besar di Cibinong dengan 2 rumah dan mobil Terios anyar.
Tapi pada sore hari itu, gue juga tahu bahwa kata-kata itu ditujukan juga buat gue. Gue adalah si pemuda serius dan ulet itu juga, makanya gue dikasih menikah sama anaknya walaupun gue belum kerja hehehe. Gue membayar setiap kepercayaan almarhum dengan karir gue sekarang. 7 Tahun kerja dan sudah jadi redaktur pelaksana, itu adalah energi luar biasa yang salah satunya dipacu oleh kepercayaan dari beliau. Apa yang gue raih hari ini adalah bagian dari Gentlemen Agreement itu, gue janji untuk sanggup menafkahi anaknya.
Sikap bapaknya Putri mengkonfirmasi sikap bapaknya Desti, bahwa itulah pertimbangan paling penting dari seorang ayah terhadap pemuda yang menghendaki putrinya. Gue akan menyetujui cowoknya Zahra yang paling siap melakukan Gentlemen Agreement sama gue kelak. Kalau cuma main-main, iseng-iseng doang, gue bacok!
Pada hari dimana akhirnya gue benar-benar berhadapan dengan bapaknya Desti untuk melakukan Gentlemen Agreement, punggung gue seperti ditimpa karung beras 60 kg, badan gue berat banget sumpah. Ya Allah! Gentlemen Agreement ini beneran serius ya. Mengambil alih amanat atas nasib seorang perempuan dari bapaknya ke gue.
Untuk cewek-cewek yang sedang menunggu Mr Right, pastikan saja dia siap melakukan Gentlemen Agreement dengan ayah Anda. Good luck!
Satu hal lagi, Gentlemen Agreement ini implikasinya luas dan serius, tapi dia punya seremoni formal yang sederhana. Perjanjian di antara dua pria terhormat atas nama Tuhan tentang menentukan nasib seorang perempuan yang sama-sama mereka sayangi. Yang satu, menyerahkan kepada yang lainnya. Islam mengatur Gentlemen Agreement ini dengan indah lewat prosesi sederhana: Ijab Kabul.
Gue tidak ingat awalnya, tapi siang itu tiba-tiba sedang ngobrol dengan Putri soal cowok yang memikat hatinya dan apa tanggapan ibu dan bapaknya. Tiba-tiba! (boleh dengan efek zoom in zoom out sinetron Punjabi) Gue pikir gue tahu cowok yang jadi preferensi bapaknya Putri.
"Bapak kamu pilih yang ini ya? (menyebut nama cowok)" tebak saya.
"Alasan Mas Faya apa?" tanya Putri.
"Tapi tebakan gue benar kan," sahut saya dan Putri cuma nyengir.
Mendadak obrolan itu jadi penting buat gue, bukan lantaran gue bisa menebak cowok pilihan bapaknya Putri, TAPI karena gue juga adalah ayah dari seorang anak perempuan dan mungkin 20 tahun dari sekarang, akan ada seorang pemuda mengetuk pintu rumah gue dan mencari Zahra. Gue belum terbayang harus bagaimana, tapi dari obrolan itu semua jadi jelas.
Bapaknya Putri melakukan hal yang sama persis dengan apa yang dilakukan almarhum bapak mertua gue, dan mendadak jelas buat gue sekarang apa maksud dari segala ucapan bapak mertuaku itu dulu. Intinya, seorang ayah akan memilih pemuda yang paling siap untuk melakukan Gentlemen Agreement dengan dia.
Gentlemen Agreement adalah perjanjian di antara dua pria terhormat, yaitu seorang ayah dan pemuda yang ingin punya hubungan serius dengan anak putrinya itu. Elo mau anak gue, elo minta baik-baik ama gue, kita bikin Gentlemen Agreement. Nah, pemuda mana yang siap melakukan itu, rupanya ada parameternya. Bapaknya putri dan bapak mertua gue parameternya sama, berarti gue juga mesti ngikutin tuh.
Serius, jujur, ulet, tekun, berani, pekerja keras, respek ama ortu ceweknya. Walaupun pemuda itu bukan siapa-siapa asalkan parameter itu ada, dia siap melakukan Gentlemen Agreement. Gue ternyata juga melalui penilaian itu.
Bapaknya Desti tahu betapa gue serius ngejar anaknya sejak SMA, sampai ke UI pun gue kejar walau itu artinya gue harus menempuh UMPTN dulu dan asli itu nggak gampang. Dan, gue berani bilang ke beliau gue serius dan ingin menikahi anaknya, dengan kondisi gue baru lulus dan belum kerja. Nekat? Bukan, gue berani, karena gue punya planning.
Beberapa waktu setelah menikah, gue pernah terlibat obrolan sore hari. Beliau bicara soal pemuda desa biasa-biasa saja yang dia setujui untuk menikah dengan keponakannya di Ciamis.
"Asalkan orangnya tekun, sukses itu tinggal soal waktu," kata beliau. Si pemuda itu kini jadi bandar ponsel dan voucher paling besar di Cibinong dengan 2 rumah dan mobil Terios anyar.
Tapi pada sore hari itu, gue juga tahu bahwa kata-kata itu ditujukan juga buat gue. Gue adalah si pemuda serius dan ulet itu juga, makanya gue dikasih menikah sama anaknya walaupun gue belum kerja hehehe. Gue membayar setiap kepercayaan almarhum dengan karir gue sekarang. 7 Tahun kerja dan sudah jadi redaktur pelaksana, itu adalah energi luar biasa yang salah satunya dipacu oleh kepercayaan dari beliau. Apa yang gue raih hari ini adalah bagian dari Gentlemen Agreement itu, gue janji untuk sanggup menafkahi anaknya.
Sikap bapaknya Putri mengkonfirmasi sikap bapaknya Desti, bahwa itulah pertimbangan paling penting dari seorang ayah terhadap pemuda yang menghendaki putrinya. Gue akan menyetujui cowoknya Zahra yang paling siap melakukan Gentlemen Agreement sama gue kelak. Kalau cuma main-main, iseng-iseng doang, gue bacok!
Pada hari dimana akhirnya gue benar-benar berhadapan dengan bapaknya Desti untuk melakukan Gentlemen Agreement, punggung gue seperti ditimpa karung beras 60 kg, badan gue berat banget sumpah. Ya Allah! Gentlemen Agreement ini beneran serius ya. Mengambil alih amanat atas nasib seorang perempuan dari bapaknya ke gue.
Untuk cewek-cewek yang sedang menunggu Mr Right, pastikan saja dia siap melakukan Gentlemen Agreement dengan ayah Anda. Good luck!
Satu hal lagi, Gentlemen Agreement ini implikasinya luas dan serius, tapi dia punya seremoni formal yang sederhana. Perjanjian di antara dua pria terhormat atas nama Tuhan tentang menentukan nasib seorang perempuan yang sama-sama mereka sayangi. Yang satu, menyerahkan kepada yang lainnya. Islam mengatur Gentlemen Agreement ini dengan indah lewat prosesi sederhana: Ijab Kabul.
Subscribe to:
Posts (Atom)