Wednesday, March 21, 2007

Still Sleeping Jakarta

Motorku meraung 90 km/jam membelah Sudirman. Jam tangan saat itu menunjuk ke angka lima.

Ufuk merah bahkan belum muncul di langit Jakarta yang masih gelap. Tapi aku sungguh dikejar waktu secepatnya tiba di Istana Negara. Bisa gawat, kalau ketinggalan rombongan wartawan untuk acara SBY di Subang.

Baru kali ini pergi kerja bahkan sebelum shubuh. Jam belum menunjuk angka 4 waktu aku meninggalkan rumahdi Parung. Dalam hati, aku memecahkan rekor kecepatan menuju Istana Negara.

Cuma ada badan ini, dan motorku di jalanan. Aku cuma lihat petugas dinas pertamanan yang menyapu aspal. Jam 5 shubuh! Menyapu jalan dari sampah yang kita buang.

Di puncak kesunyian aku hentikan motorku. Posisinya di Bundaran HI. Masih ada waktu, pikirku saat melirik arloji. Kuambil Creative Divicam 525D dari tas. Jepret, kuabadikan sunyinya landmark Ibukota dengan kamera ber-zoom mentok ini.

Nyaris tidak ada siapa-siapa. Kecuali sekelompok pekerja bangunan Grand Indonesia bermain air kolam, di titik yang menjadi saksi bisu hiruk pikuk manusia di siang hari. Aku nyaris tidak percaya, Jakarta bisa tertidur......

Monday, March 12, 2007

U R What U Read

Ada pepatah bilang "you are what you read". Apa yang kita baca membentuk karakter kita.

Hari ini gue jadi wartawan, terus gue mikir gue dulu baca apa? Ya ampun.... Buku yang pertama diperkenalkan ibu gue tuh ternyata Tintin, itu waktu gue masih balita. Dan gue nggak pernah menyangka, 20 tahun kemudian gue jadi wartawan kaya Tintin.

Ibu gue dulu ikut pertukaran pelajar mahasiswa Sastra UI ke Perancis. Gue belum lahir lah. Yang jelas, ibu gue demen banget ama Tintin.

Pas Tintin keluar edisi Indonesianya, ibu gue beli, gue ngga tahu kapan. Yang jelas waktu gue belum bisa baca, masuk TK pun belum, gue dibacain komik Tintin sebelum tidur siang. Gue kagak pernah diceritain Si Kancil, gue tahu dongeng itu malah dari nenek gue.

Gue cuma mengerti gambarnya, ibu gue yang bercerita. Setelah gue pikir-pikir, dari Tintin gue belajar membedakan tanda seru ama tanda tanya. Gue juga diajarin moralitas dari komik Tintin.

"Faya, tahu nggak kenapa Tintin selamet terus? Karena dia sering menolong orang," gitu kata ibu gue.

Pas gue bisa baca setelah SD, ibu gue beli lebih banyak komik Tintin. Gue sih ngaku terinspirasi bertualang dari si jambul ini, makanya gue ikut pecinta alam waktu masuk SMA. Demikian seterusnya sampai hari ini gue jadi wartawan dan menikmati setiap petualangan mencari berita.

Gue baru ngeh pas kemarin-kemarin, dan gue tanya Desti apa gue jadi wartawan karena dulu baca komik Tintin?
"Bisa jadi....." kata Desti sambil menaikan alisnya.

Friday, March 9, 2007

Onizuka Sensei

Pada suka dorama Jepang? Udah pada nonton Great Teacher Onizuka, anime atau dorama-nya?
Daripada dorama cinta gitu, gue lebih seneng yang ini sih. Gue nonton waktu masih kuliah dulu, yang versi doramanya.

Buat yang belum tahu, ini drama tentang mantan ketua geng motor yang punya cita-cita luhur jadi guru seriously. Jadilah Eikichi Onizuka guru wali kelas yang seluruh muridnya bermasalah dari preman sampai yang depresi. In the end (spoiler allert!) dia berhasil merangkul murid-muridnya dan mencuri hati Azusa Fuyutsuki, gebetannya sesama guru. Serial lucu tapi tetap romantis.

Dorama ini sebenernya menggambarkan bingungnya remaja mencari jati diri, tapi guru-guru tidak pernah menempatkan dirinya sebagai teman di saat kritis ini. Guru cuma bilang kamu adalah winner kalau bukan loser, untuk jadi winner kamu harus belajar keras. Tahu kan stress-nya anak-anak sekolah Jepang...

Konsep winner dan loser dikritik film ini karena mematikan potensi sesungguhnya dari seorang murid. Iya juga sih, Indonesia juga ngga beda jauh. Otak kiri yang berurusan dengan logika diforsir sedangkan otak kanan yang berurusan dengan kreativitas tidak disentuh. Anak yang otak kanannya bagus dan pandai melukis atau bernyanyi tetap dianggap bodoh karena matematikanya dapat 5.

Onizuka sensei yang slengean menempatkan dirinya sebagai teman yang sejajar tanpa kehilangan respek. Sementara guru lain menuntut respek dan memposisikan diri mereka terlalu di langit. Gue jadi inget Pak Taufik, guru tata negara gue waktu SMU. Dia juga menempatkan diri dia sebagai teman dan jadi populer banget. Nggak ada yang kabur, kalau dia ngajar.

Jangankan Jepang, negara ini juga perlu lebih banyak Onizuka......

BTW, beli juga DVD Detective Conan The Movie yang versi orang bukan kartun. Judulnya Challenge Letter to Shinichi Kodou. Ini edisi peringatan 10 tahun komiknya. Ceritanya adalah kasus terakhir Kudou sebelum dipaksa telan pil yang bikin dia jadi anak kecil. Jadi kaya prequel gitu ke komiknya. Halah, jadi promosi gini gue...........

Kembali ke Laptop !

Maaf, ini bukan soal Tukul Arwana.

Beberapa hari lalu, gue jemput Desti ke FE UI. Kebetulan gue bisa pulang cepet karena acara di Istana sudah habis. Gue sampai di sana selepas Magrib.

Gue menyusuri koridor kampus menuju gedung Departemen Akuntansi. Yang gue lihat mahasiswa-mahasiswa duduk berjejer di lantai, masing-masing membuka laptop dan asyik dengan tugas-tugas kuliahnya.

Pemandangan yang belum ada waktu gue kuliah di UI 2000-2004. Laptop sekarang murah atau mahasiswa UI sekarang tajir-tajir ya? Semoga jawabannya yang pertama.

Jawaban kedua adalah kekhawatiran gue dan temen-temen angkatan, waktu Rektor memutuskan menaikan SPP secara drastis tahun 1999. Kritik kita adalah akan adanya seleksi alam di UI, cuma mahasiswa kaya aja yang bisa kuliah di sini. Semoga ini tidak terbukti.

BTW, Rektor juga membabat sebagian hutan untuk dibuat parkir mobil, karena mungkin makin banyak mahasiswa UI yang bawa mobil. Gue hanya menghela nafas panjang mengenang pergi ke kampus jalan kaki dengan temen-temen kontrakan gue..........

Wednesday, March 7, 2007

Jauhnya...........

"Rumah loe dimana, Fay?"
"Parung,"
"Jauh bener......."

Paling sering deh temen-temen wartawan ngomong gitu kalau nanya rumah gue. Gue, Desti dan Zahra emang tinggal di rumah mungil di Cluster Griya Ganesha, Telaga Kahuripan, Parung-BOGOR.

Kalau dirasa-rasa memang jauh sih rumah gue. Dengan patokan Monas yang jadi titik utama liputan gue (Istana, Deplu, Depag, Depdagri), itu jaraknya pas 50 km dari aspal depan rumah gue sampai parkiran Depdagri.

Kalau pake kendaraan umum bisa 3 jam, tapi kalau pake motor 2 jam perjalanan. Perjuangannya lumayan lah kalau berangkat kerja. Gue harus melewati 4 kota di 3 provinsi. Kebayang nggak...?

Dari Parung (Kabupaten Bogor) gue lempeng sampai Sawangan (Depok) - JAWA BARAT. Terus lempeng lagi masuk Ciputat (Tanggerang) - BANTEN. Terus lempeng lagi masuk Lebak Bulus (Jakarta). Emang sih jalannya lurus aja gitu, kagak ada belok-belok sampai arteri.

Gue emang sangat terbantu dengan motor Shogun biru dari kantor gue. Motor peninggalan Atqa, anak Detik yang kuliah ke Malaysia, ini cukup handal buat gue bawa bolak-balik Bogor-Jakarta. Dua jam perjalanan ke kawasan Monas bisa gue tempuh karena menghapal banyak jalan tikus.

Tapi gue emang nggak mau cari rumah di Bekasi atau Tanggerang. Harus Depok atau Bogor, karena Desti kerja di FE UI. Mending gue yang jauh daripada Desti. Meskipun jauh, gue harus bersyukur untuk banyak hal.

Pertama, hawanya fresh banget. O2 sudah jadi barang langka di Koja, Jakarta Utara. Kedua, bebas banjir. Ketiga, airnya PDAM dan air yang sama yang dikirim ke Cendana (ini kata orang PDAM-nya, pantes adem). Keempat, kompleks gue ada danaunya, minggu pagi gue bisa ajak Zahra jalan-jalan dan dia bisa belajar jalan sepuasnya sambil lihat pemandangan.

Kelima, sejumlah barang kebutuhan harganya murah, beli aja langsung dari kampung. Keenam, gue nggak sendirian, tetangga gue Sukmo Radio Trijaya. Wapemred detikcom, Mas Asydhad satu kompleks ama gue walaupun beda cluster. Sepupu gue juga tinggal depan rumah gue. Ketujuh, harga rumahnya lebih murah daripada Depok. Masih banyak lagi deh yang lain.

Rumah gue emang jauh, tapi gue kerasan. Gue cuma minta Allah mendaratkan kami di tempat yang baik. Di Parunglah kini kami berada, dan gue yakin itu tempat yang Allah tetapkan untuk doa kami.

Friday, March 2, 2007

Watch Out Mr President!




Nge-pos di Istana Negara meletakan gue di pusat pemerintahan republik ini. Tempat dengan pemeriksaan keamanan dua lapis, tiga lapis kalau ada tamu negara. No jeans, shirt, and sandals area. Gue sempat berpikir tempat ini bener-bener aman. Apa iya?

Tapi pas hari Jumat 2/3/07 gue bengong di depan Kantor Presiden karena SBY tidak ada kegiatan khusus. Gue jadi mikir, amankah Presiden? Istana menurut gue terlalu banyak ruang terbuka.

Misi assasination lewat penyusupan sepertinya sulit. Tapi, kalau SBY di-sniper musuh negara ini, kata gue sih bisa aja. Salahkan Pemda DKI Jakarta dalam mengatur tata ruang. Ada dua gedung yang menjulang secara mencolok dan terlihat jelas dari tengah kawasan Istana. Gedung itu adalah Apartemen Istana Harmoni dan Bank BTN. Dari gedung ini sniper bisa melihat ke tengah Istana.

Kalau SBY pergi dari Istana Negara ke Kantor Presiden yang jaraknya sekitar 100 meter, jalan kaki atau naik mobil golf, pasti kelihatan dari dua gedung ini. Soalnya itu tempat terbuka yang tengahnya taman seluas lapangan bola.

Nembak dari Bank BTN agak susah, tapi kalau dari Apartemen Istana Harmoni lebih gampang. Tinggal sewa satu di antara ratusan apartemen di bangunan itu yang mayoritas memang punya balkon yang menghadap istana.

Pas gue lihat di peta, jaraknya ternyata cuma 600 meter dari daerah terbuka itu. Tepatnya 5 cm dalam skala 1:12.000.

Gue buka-buka Wikipedia, ternyata jarak 600 meter bisa dijangkau dengan senapan sniper. Pelurunya cukup dengan kaliber 7,62x51 mm standar NATO atau lebih dikenal dengan nama kaliber .308 Winchester. Jarak jangkauan pelurunya 800-1.000 m. Cukuplah buat sasaran berjarak 600 meter.

Pilihan senjatanya, ternyata....lumayan banyak. Eksekutor bisa memilih FRF2, M24, M40A1, M40A3, atau M25. Eksekutornya tinggal bikin kopi panas, gelar karpet tebel di teras balkonnya, berbaring, pasang snipernya. Dengan bantuan alat sadap atau info dari agen yang masuk ke Istana, dia dapat jadwal kapan SBY keluar dari Istana Negara ke Kantor Presiden.

Dor!

Tapi setelah gue pikir-pikir lagi, negara mana yang perlu membunuh pemimpin republik ini? Gue mungkin kebanyakan nonton film-film dari novelnya Tom Clancy ; )

Soal foto: paling atas itu M40A1 terus bawahnya FRF2, dan terakhir M24

Tuesday, February 27, 2007

Sweet Child of Mine

Ini foto waktu Zahra ultah 6 Februari kemarin. Dia seneng narik gantungan koin Cina kalau lagi digendong gue. Fotonya diambil Teh Fanny. Oh iya, ini baju princess yang Desti beliin buat dia di ITC Depok, cantik banget.

Gue yang baru setahun belajar jadi ayah masih sering amaze dengan malaikat kecil ini. Ada gitu, manusia kecil yang mukanya mirip gue.

Semua orang juga bilang gitu. Mirip gue kecuali bibirnya dari Desti. Alis tebel, muka bulat, pipi tembem, mata belo, jari panjang, termasuk mimik muka manyunnya yang nggak pernah gue ajarin tapi menurun secara genetis. Sumpah mirip banget ama gue waktu kecil yang difoto ibu gue.

Desti suka manggil dia Fitraya Kecil, gue lebih suka nyebut Mini Me.

Amazing menyaksikan dia tumbuh setiap hari. Berguling, merangkak, berdiri dan sekarang berjalan. Gue berdoa semoga Allah selalu memberikan gue waktu untuk melihat Zahra tumbuh.

Weekend sempurna adalah hari di mana gue dan Desti sepenuhnya milik Zahra. Terserah dia mau minta apa. Jalan-jalan di Danau Cilala, Telaga Kahuripan atau makan di Pizza Hut walau dia baru bisa makan garlic bread doang.

Ah....... tidak ada habisnya mengagumi nikmat Allah yang ini....

Duh Levina!

Gue baru selesai belanja bulanan bareng Desti dan Zahra saat kami terjebak hujan di McDonald Plaza Bogor Indah. Kami duduk di teras McD sambil makan kentang goreng dan di sebelah kita ada stand elektronik.

TV-nya masang breaking news Metro TV, KM Levina I tenggelam wartawan jadi korban. Gue kaget tapi belum mudeng. Hujan berhenti, kita pulang dan di rumah gue tonton berita sore. Wartawan Lativi meninggal, 3 hilang, beberapa luka.

Gue spontan sms Melly yang piket di kantor. Anak Detik ada yang celaka? Alhamdulillah nggak ada. Nala yang semestinya naek ke kapal ternyata salah informasi dan menunggu di tempat yang salah. Tempat yang justru menyelamatkan dia.

Besok paginya, Hatta Radjasa dan Wakapolri Komjen Pol Makbul Padmanegara menyalahkan wartawan. Kenapa naik ke kapal yang sudah diberi police line? Perdebatannya berlanjut dengan siapa yang mempersilakan wartawan naik ke kapal.

Pak, ada hal-hal yang mungkin sulit dipahami orang lain. Kami selalu berupaya menyajikan berita terbaik, gambar terbaik, suara terbaik, tulisan terbaik. Kami akan mencari informasi itu dengan mempertahankan kualitas terbaik. Walau itu artinya meloncat naik ke KM Levina I yang tenggelam dalam 3 menit.

Ada kepuasan tersendiri Pak, bagi kami. Sepuas tegukan air pertama di hari yang panas. Kepuasan yang bernama "memanfaatkan kesempatan dengan baik". Tidak fair jika kesalahan ditimpakan kepada wartawan, karena pada akhirnya kita ingin memberikan informasi terbaik bagi masyarakat.

Kami memang sering menerabas police line dan masuk ke TKP bermodalkan kartu pers. Tapi bukan artinya kami tidak bisa dilarang. Kami masih tahu aturan.

Levina menyadarkan gue, bahwa profesi ini memiliki resiko kematian. Teman-teman juga mungkin lupa memikirkan pelampung yang tidak dipakai.

Sambil menonton berita itu, gue peluk Desti erat-erat, sementara Zahra tidur-tiduran di pangkuan gue. Gue bersyukur tidak berada di kapal itu. Dalam hati gue tegaskan diri gue sendiri untuk totally aware and be careful.

"Jangan polos-polos pisan ya, Pah," pinta Desti yang kujawab dengan anggukan dalam.

Kuberikan penghormatan tertinggi gue buat Suherman dari Lativi, selamat jalan dan semoga Guntur dari SCTV diberikan keselamatan. Buat semua teman-teman di atas kapal Levina, kalian mendapatkan teguk air itu.

UPDATE: Guntur akhirnya ditemukan meninggal dunia dalam pencarian keesokan harinya.

Saturday, February 17, 2007

Death

Meliput berita kematian itu gampang-gampang susah. Menyelami profesi jurnalis, pasti kita pernah mencicipi yang namanya kasus (baca: liputan) orang mati dibunuh, bunuh diri, mati sebab alami dll.

Waktu gue pertama jadi wartawan, belum kebayang gimana rasanya meliput mayat. Mual nggak ya gue lihat korban pembunuhan? But in fact, ketika akhirnya berhadapan langsung, nggak sempat berpikir untuk mual dsb.

Caranya, gue selalu langsung berkonsentrasi menyiapkan beritanya, karena kecepatan laporan setiap detiknya berarti. Seseram apapun situasinya jadi lupa sendiri, ..... berceceran, ..... bengkak mati tenggelam, ..... pecah, atau ..... terburai . (Cukup segini aja ya detilnya).

My biggest story ever sampai saat ini adalah kasus jatuhnya Mandala Air di Medan, 5 September 2005. Gue yang lagi liput demo di Kedubes AS, langsung bergeser ke Dephub untuk jumpa pers. Ujungnya, Menhub Hatta Radjasa menyediakan 10 kursi untuk wartawan. Gue sign in, nggak masalah siapa yang berangkat, detikcom harus ikut.

Akhirnya emang gue yang dikirim dengan baju yang cuma nempel di badan, dan duit 300 rb dari atm bandara. Gue berangkat bareng keluarga korban dengan Boeing 737-200, model pesawat yang sama dengan yang kecelakaan. Gue berdoa dalam-dalam dan selamat sampai Medan malam hari.

Kamar jenazah RS Adam Malik sebenarnya hanya sedikit lebih kecil dari RSCM, tapi 100 lebih jenazah ditaruh di situ. Nggak muat pastinya. Pihak rumah sakit pasang tenda besar, 100-an jenazah yang kebanyakan hangus dalam posisi duduk, dijejer rapi dan diberi nomer.

Bau? jelas bau hangus. Jijik? nggak sama sekali. Gue malah kasihan ama keluarga korban yang udah histeris. Gue cuma minta masker ama tim forensik, dan mulai berburu ratusan calon berita di hadapan gue. Malam pertama situasi sangat kacau, plus hujan. Gue masih ingat injak jaringan kulit entah siapa yang terjatuh di lantai. Gue cuma minta maaf dalam hati.

Yang nyebelin, pusat data ditaruh paling ujung dari kamar jenazah. Untuk memeriksa update korban teridentifikasi, kita harus lewat selasar kamar jenazah, dua ruang otopsi dan baru posko data. Hiruk pikuk dan bau menyengat bikin pusing.

Menjelang hari ketiga atau 7 September 2005, situasi lebih buruk lagi. Keluarga mulai stress dan frustasi. Gue lihat ratusan kisah manusia ditentukan di situ. Tentara tegap yang jatuh berlutut dengan menggenggam cincin tunangannya. Dua keluarga yang berantem berebut satu mayat. Ada yang kesurupan arwah korban dan menunjukan sendiri yang mana mayatnya. Berdoa dalam lingkaran meminta Tuhan memberi petunjuk yang mana mayat kerabat mereka, atau bakar dupa, atau baca Yassin.

Pada 7 September jam 12.00 WIB jadi batas terakhir diidentifikasi. Kondisi jenazah sudah tidak bisa diotopsi lagi karena mulai membusuk. Itupun sudah ditahan dengan balok es. 33 jenazah yang gagal diidentifikasi dimakamkan massal. Gue mengakhiri liputan di Medan dengan nyewa hotel berbintang, mandi air panas, dan jalan-jalan ke Kesawan Square. Masih ada kehidupan di Medan.....

Susahnya liputan kematian adalah: Elo ditelpon kantor, segera meluncur ke kamar jenazah RSCM, ada kasus. Begitu sampai di sana, elo harus mikir, yang mana dari sekian banyak orang berwajah sedih adalah keluarga korban?

Nggak mungkin elo naik ke kursi terus teriak: Keluarga Mr/Mrs X yang mana? Informasi didapat dengan bertanya pelan-pelan atau berbagi info dengan wartawan lain. Kalau dapat, Kemudian wawancara keluarga korban.

Ada pantangan bagi gue untuk satu pertanyaan yang suka diajukan wartawan lain (belajar dari pengalaman kasus Mandala). Wartawan kadang suka refleks nanya: Apakah anda sedih ditinggal almarhum?

Please deh. Nara sumber anda sudah berurai air mata, teriak histeris, syok, dan anda masih tanya apa dia sedih?

Pertanyaan kedua masih OK: Apa sebelumnya anda mendapat firasat? (Indonesia banget). Pertanyaan ini suka mendapat jawaban tidak terduga, dan lagi pula pembaca suka dengan kabar gaib-gaib dari firasat apaan gitu. So, yang ini masih gue tanya asalkan semua pertanyaan penting gue udah dijawab.

Tapi meliput berita kematian hati-hati juga, jangan sampai kayak temen gue anak radio (nama dan media tidak disebutkan) :

Ketua DPD II Golkar dari Donggala, Adham Ardjad meninggal di Hotel Mulia, usai Rakernas, November 2006. Temen gue segera meluncur ke kamar jenazah RSCM. Di selasar utama, sesosok mayat sudah ditempatkan di keranda dan bungkus kain putih. Seorang pemuda khusuk mengaji Yassin sambil menangis. Hanya ada mereka di selasar utama itu.

"Pak, bisa wawancara sebentar," tanya temen gue pelan-pelan.
"Bi bi bisa..," ujar pemuda itu menutup buku Yassin-nya.
"Bapak apanya almarhum?" lanjut temen gue.
"Putranya..." matanya berkaca-kaca.
"Bapak sakit, Pak?"
"Iya.. bapak sakit...," pemuda itu mulai menangis lagi.
"Keluarga belum kesini, Pak?"
"Masih di jalan.....," dia menangis dengan sesenggukan
"Kalau dari Partai Golkar udah melayat, Pak?"
"Partai Golkar?" pemuda ini heran dan tangisnya berhenti
"Iya, Pak Jusuf Kalla kan mau melayat...," temen gue jadi hopeless
"Oh..., yang orang Golkar bukan yang ini mayatnya, di ruang sebelah," pemuda itu hilang ekspresi.
"Bilang kek dari tadi!" gerutu temen gue, dalam hati tentunya.

Dia ke ruang sebelah dan ketemu gue yang baru laporan kalau Jusuf Kalla barusan melayat jenazah.
"Telat loe Bos,"
"Elo nggak tahu aja Fay.." cetus temen gue manyun.

Friday, February 16, 2007

Belantara Jakarta

Bete abis kalo pulang liputan kena macet. Gue pun menghapal semua jalan tikus yang gue butuhkan untuk bisa pulang dari seputaran Monas menuju Parung.

Tapi ada dua jalan tikus yang gue belum tahu. Bagaimana caranya dari Dukuh Atas bisa ke Atmajaya tanpa lewat Sudirman, kedua bagaimana caranya dari Setiabudi bisa ke Mampang tanpa lewat Kuningan. Akhirnya kemarin ama hari ini dua-duanya gue jajal.

Kemarin balik dari liputan di Istana, kena hujan padahal jarum jam udah ke angka 20.00 WIB. Jam segini, Thamrin-Sudirman macet lagi. Bis-bis jalan lebih pelan dan sabar cari penumpang, maklum, putaran terakhir soalnya. Akibatnya baru lewat Dukuh Atas udah macet sampe Semanggi.

Gue pun memutuskan cari jalan tikus, gue belokin Shogun biru gue ke jalan yang tembus ke Hotel Four Seasons. Terus gue ambil jalan tikus yang kira-kira masuk ke belakang Setiabudi. Gue di tengah pemukiman padat dan nggak tahu mesti kemana.

Yang gue cari adalah gedung pencakar langit manapun yang keliatan mata gue. Gue liat JW Marriot artinya gue terlalu deket ke Casablanca, gue belok kanan. Gue liat HSBC gue pilih lurus. Nekat aja, kalo nyasar tidak akan lebih lama dari terjebak macetnya.

Gue akhirnya keluar di Jl Dr Satrio, gue masuk lagi ke belakang Danamon Square dan keluar sebelum Atmajaya. Sukses!

Hari ini pun gue coba lagi. Kuningan macet ampun-ampunan. Pas sampe Casablanca, gue belok kiri dan cari jalan masuk dari kuburan Kober ke Menteng Dalam. Acuan gue lagi-lagi tower. Gue tembus ke Patra Kuningan dengan patokan Gran Melia. Sukses lagi keluar di samping Gran Melia

Sambil meninggalkan kemacetan di belakang gue, gue cuma mikir apa bedanya ini dengan mountaineering waktu gue masih jadi pecinta alam di SMU. Cari jejak jalan juga patokannya menghapal bukit di sekitar kita selain peta ama kompas. Bukit yang bentuknya begini dibelakangnya ada sungai, bukit yang begitu di belakangnya ada desa, dst.

Bedanya, belukarnya sekarang aspal, pohonnya sekarang tiang beton, dan gunungnya sekarang pencakar langit. Dalam hela napas, gue tidak habis berpikir sudah jadi apa Jakarta hari ini.........